Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

c4punk1950...Avatar border
TS
c4punk1950...
Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?


Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Koruptor, nama itu tak asing di telinga. Entah sudah berapa banyak kasus di Indonesia khususnya kasus korupsi yang terungkap, sudah berapa banyak tersangka yang menjalani hukuman.

Namun hingga saat ini masih banyak orang yang melakukan hal itu. Bahkan banyak yang tertangkap tangan oleh KPK. Tapi kita tak akan membahas kasusnya, hanya mempertanyakan apakah benar menjadi koruptor di Indonesia itu Bahagia?

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Sebenarnya kalau mau lihat dan berkaca pada definisi bahagia dimana kondisi emosi dengan karakter rasa senang, penuh syukur, dan puas. Dan setiap individu bisa berbeda antara satu orang dan lainnya. Hanya saja, karakteristik utamanya adalah kepuasan terhadap hidup atau momen yang sedang dijalani.

Tentu dari definisi bahagia para koruptor yang tertangkap ini tidak menunjukkan hal itu, tapi kenapa mereka tersenyum ketika mata kamera menyorot dirinya.

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Bahkan ada yang berpose dengan gaya yang membuat pengamat ekspresi amatir menunjukkan gestur bahagia, terlihat mereka senang karena di iringi dengan senyum, dan juga tertawa.

Tidak ada ekspresi ketakutan, bingung, sedih atau merasa bersalah atas tindakan yang ia lakukan.

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Memang terlihat perbedaan penanganan antara kasus yang sama dengan negara asing, di Indonesia para koruptor masih diberikan previlege.

Masih bisa bernafas lega dan terlihat santai, diperlakukan dengan baik bahkan berbeda dengan perlakuan maling ayam karena status ekonominya.

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Tapi kembali ke inti masalah, apakah benar mereka bahagia?

Kalau dari ekspresi dan gestur tubuh memang terlihat bahagia, namun kebahagiaan semu di depan kamera. Karena pada dasarnya namanya ditangkap, apalagi masuk penjara tentu tak seindah ketika mereka bisa hidup bebas tanpa batas.

Namun kiasan terkesan bahagia memang sering terlontar karena ekspresi yang mereka ungkapkan di ranah publik. Seakan tidak ada penyesalan, atas apa yang mereka lakukan.

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Seakan ketika ditangkap menjadi sebuah prestasi tersendiri, lalu menyapa para penggemarnya. Kenapa ini dilakukan?

Bisa saja ingin memberikan kesan yang baik dengan wajah yang menipu agar kalau keluar bisa kembali di dunia politik yang penuh dengan intrik, atau ada senyum licik karena dipenjarapun uang yang terkumpul hasil korupsi bisa menghidupi keluarganya tujuh turunan karena sudah melakukan praktek pencucian uang.

Quote:


Belum lagi dipenjara potong remisi ini dan itu, serta roda bisnis masih dapat berjalan dari balik jeruji. Entahlah, karena sebenarnya rasa bahagia itu hanya dirinya yang tahu bukan orang lain, tapi publik hanya bisa menilai dari ekspresinya saja.

Apakah itu ekspresi bahagia, takut, marah atau sedih. Lantas apa ekspresi dari para koruptor di Indonesia ini?

Terima kasih yang sudah membaca thread ini sampai akhir, bila ada kritik silahkan disampaikan dan semoga thread ini bermanfaat, tetap sehat dan merdeka. See u next thread.

emoticon-I Love Indonesia

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2022
referensi : klik, klik, klik
Pic : google

emoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Star

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?

Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?
Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?Apakah Benar Menjadi Koruptor Di Indonesia Itu Bahagia?


Diubah oleh c4punk1950... 03-04-2022 16:46
nomorelies
rachmansdk
archana24
archana24 dan 28 lainnya memberi reputasi
27
7K
94
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Tampilkan semua post
GludinAvatar border
Gludin
#15
Edan. TS kontroversi sekali perspektifnya emoticon-Ngakak (S)

Di thread ini ane agak paham maksud gan TS dibandingkan thread sebelumnya. Ane berasumsi, label “bahagia” yang TS sematkan kepada pelaku tindakan korupsi (mungkin juga ada orang lain yang melakukan pelabelan yang sama terhadap pelaku), sebagai bentuk sanksi sosial yang dialamatkan kepada pelaku.

Ketika seseorang sudah terbukti secara hukum melakukan tindakan kejahatan, dalam konteks ini tindak pidana korupsi, seharusnya responnya nggak seperti itu; cengar-cengir nggak jelas, dlsb. Jelas, yang mereka lakukan (tindak kejahatannya berikut responnya) membuat masyarakat sakit hati. Seolah-olah mereka nggak punya etika. Atau… emang nggak punya? Kalo ditelisik lebih lanjut, etika erat kaitannya dengan moral. Artinya, apabila seseorang melakukan tipikor, berarti tidak punya moral atau minimal, moral mereka buruk. Setidaknya begitu menurut ane.

Sejujurnya, ane nggak sepakat sih, mereka yang melakukan tipikor berarti bahagia. Bukan ane membela loh, ya. Ane punya pendapat sendiri. Ketika seseorang mendapatkan masalah, even mereka yang ketauan melakukan tindakan kejahatan, yang berarti pelaku mendapatkan masalah karena tindakannya ketauan, ada dua cara untuk mengatasinya, salah satunya emotion focused coping; keadaan di mana seseorang mereduksi, mengontrol maupun melindungi diri dari sebuah ketegangan yang diakibatkan oleh sebuah situasi yang memunculkan sebuah stres akibat sebuah permasalahan yang dihadapinya. Jadi, jangan heran ketika seseorang diterpa masalah dan menggunakan emotion focused coping, ada yang yang sedih, berduka, tapi ada pula yang cengar-cengir meskipun tindakannya tidak bermoral.

Ane coba fokusin kepada pelaku tipikor yang cengar-cengir, ya. Mereka begitu karena sedang berusaha “menerimanya” untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Sederhananya, mereka memasrahkan diri agar emosi dan pikiran menjadi lebih tenang. Hanya saja jelas, “memamerkan” emotion focused coping secara positif; agar mereka terlihat biasa aja atau bahkan senang atau bahagia, padahal telah melakukan tindakan korupsi merupakan tidakan yang salah. Kurang lebih seperti itu alasan pelaku tipikor cengar-cengir.

Jangan dipikir perkara korupsi hanya terjadi di zaman modern. Di masa yang telah mati pun ya ada. Nggak cuma di Indonesia, di berbagai tempat lain ya ada. Sebetulnya, masyarakat zaman dulu (peradaban era klasik/Hindu Budha), cukup serius menghadapi masalah korupsi.

Misalkan pada era Mataram Kuno tercantum pada Prasati Luitan (901 Masehi) yang memuat berita korupsi (penyelewengan pajak). emoticon-Ngakak (S)
Intinya sih, penduduk Desa Luitan melaporkan adanya ketidaksesuaian luas lahan persawahan yang dilaporkan petugas pajak. Akhirnya, Raja Balitung melalui Rakryan Mahapatih i Hino mengutus Sang Wahuta Hyang Kudur dan Rakryan Pagerwesi untuk mengukur ulang luas tanah penduduk Desa Luitan. Setelah diukur ulang ternyata bener; adanya ketidaksesuaian emoticon-Ngakak (S)

Adalagi kasus serupa tercatat di Prasasti Rumwiga II (kira-kira tahun 905 Masehi). Beda dengan kejadian Desa Luitan, yang mana penduduknya datang ke pusat kerajaan Mataram Kuno, yah… bisa dibilang mereka melakukan semacam demo gitu. Kasus di Desa Rumwiga diwakili oleh tetua desa, yang mana mewakili penduduk Desa Rumwiga. Tetua desa mengadu kepada petugas pajak; Samgat Momah Umah terkait keringanan pajak. Kemudian laporan itu masuk ke istana. Laporan tsb ditindaklanjuti oleh Rakryan Mahapatih i Hino. Hasilnya, adanya pungli dan dalangnya ternyata Samgat Momah Umah sendiri. Koplak emang. emoticon-Ngakak (S)

Tapi yang menarik adalah; pihak kerajaan justru menaikan pajak di Desa Rumwiga. Hasil penyelidikan yang dipimpin oleh Rakryan Mahapatih i Hino menyebutkan; penduduk Desa Rumwiga melakukan kongkalikong dengan Samgat Momah Umah agar menurunkan beban pajak dan ini sudah terjadi sejak lama. Memang, penduduk Desa Rumwiga tidak tahu bahwa sebetulnya mereka telah dibodohi oleh petugas pajak.

Namun, sang penguasa Mataram Kuno yang diwakilkan oleh Rakryan Mahapatih i Hino menyatakan ketidaksukaannya terhadap tindakan penduduk Desa Rumwiga. Seharusnya, perkara keringanan pajak harus dilakukan dengan benar; melaporkannya kepada Rakryan Mahapatih i Hino sebelum dilakukan penyelidikan, yang nantinya berpengaruh terhadap hasil, bukannya malah menyuap si petugas pajak.

Akhirnya, Samgat Momah Umah dihukum dengan diberhentikan dari jabatannya, dan anak keturunannya pun juga kena imbasnya. Meski nggak jelas hukuman yang diterima oleh anak keturunan si petugas pajak, agaknya mereka masuk black list, sehingga nggak bisa kerja di lingkungan dan birokrat kerajaan.

Fenomena itu sebetulnya juga terjadi nggak hanya di masa Mataram Kuno. Sependek yang ane tau, pada masa kerajaan Bali Kuno pun juga pernah terjadi. Maka, hukum soal perpajakan lumayan diatur pada masa pimpinan Anak Wungsu, Jaya Sakti, hingga Jaya Pangus. Tujuannya ya sama; untuk menindak tegas pelaku tipikor dan mafia hukum pada masa itu. Pada masa yang lebih “modern” pun perkara ini lebih diurus lagi. Misal, pada masa kerajaan Kediri, terdapat semacam undang-undang. Ane lupa di pasal berapa yang berisi; pelaku pemerkosaan, pembunuhan, dan pencurian (menurut ane, tipikor masuk ke dalam bentuk kejahatan pencurian) diganjar hukuman mati. Kalau melihat ini sih, nggak heran ada masyarakat masa kini meminta pelaku tipikor dihukum mati.

Menurut ane, tipikor lebih ditindak tegas di masa lalu. Mungkin hukumannya terlihat bengis. Masa Kerajaan Kediri, pelaku dihukum mati. Sementara pada masa Mataram Kuno, mungkin pelakunya nggak dihukum mati, namun hukumannya juga dirasakan oleh orang-orang sekitar dan anak keturunan pelaku tipikor. Agak lucu memang, orang masa lalu yang kerap dipandang… yah, “kurang cerdas” dibandingkan dengan orang modern (manusia sekarang), namun menyangkut perkara ginian, diatur sedemikian rupa.

Mungkin juga hukumannya bisa dibilang nggak adil, ya. Misal, dalam kasus Rumwiga. Keturunan Samgat Momah Umah kan nggak melakukan tipikor tapi terkena imbasnya. Pun juga penduduk desa tersebut. Namun dalam perspektif lain, pemerintah masa Mataram Kuno sangat concern dengan moral dan etika, yang keduanya akan mempengaruhi bagaimana bersikap. Jadi, kalo misalkan melakukan tindakan buruk, tipikor, mbok dipikir sekian kali; yang kena imbasnya nggak cuma pelaku, tetapi juga orang-orang disekitarnya.
heehaw
M2Rsmi
speakerdisco
speakerdisco dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.