Quote:
Pagi menjelang, saat Galih dan Ratih tiba kembali di desa Margopuro. Rasa lelah yang teramat sangat jelas dirasakan oleh Galih, setelah semalaman berkutat dengan segala hal yang sama sekali masih belum ia mengerti, apa dan kenapa sampai semua ini bisa terjadi.
Dan, rasa lelah itu sepertinya belum akan berakhir, meski mereka telah tiba kembali di desa. Niat Galih untuk bisa segera beristirahat begitu sampai di rumah, sepertinya harus tertunda, karena saat langkahnya telah memasuki halaman rumah Anjar, Prapto menyambutnya dengan wajah penuh kecemasan.
"Ah, syukurlah, akhirnya kalian datang juga! Kami sudah cemas menunggumu Galih," ujar Prapto yang tergopoh gopoh menyambut kedatangan sahabatnya itu.
"Eh, apa yang terjadi Prap?" Galih bertanya heran. Dari dalam rumah, jelas ia mendengar suara suara ribut penuh kecemasan. Juga suara tangisan seorang perempuan. Suara yang sangat Galih kenal sebagai suara Anjar.
"Anu..., Mbah Pariyem...," Prapto menggantung ucapannya.
"Kenapa dengan Mbah Pariyem?" Tanya Galih tak sabar.
"Mbah Pariyem sudah kembali, tapi ...,"
"Innalillahiiii...!!!"
Galih bergegas lari menerobos masuk kedalam rumah. Dilihatnya orang orang tengah berkerumun di sudut ruangan, mengelilingi Anjar yang menangis tersedu sambil memeluk tubuh sang nenek yang duduk terpaku, diam bagai patung batu diatas tikar rombeng yang digelar di ruangan itu.
"Mbaaahhh...!!! Sadar Mbah...!!! Eling! Ini aku, Anjar cucumu! Lihat aku Mbah! Lihat wajah cucumu ini! Apa simbah sudah tak ingat lagi sama Anjar?! Apa..., hiksss...! hiksss...! hiksss...!!!" Anjar berseru disela isak tangisnya, sambil menggoyang goyangkan tubuh sang nenek yang masih duduk mematung seolah tak peduli dengan suasana di sekitarnya.
Galih sendiri, hanya bisa berdiri terbengong bengong melihat pemandangan itu. Mbah Pariyem yang sekarang berada di hadapannya itu, ia merasa kalau itu bukanlah Mbah Pariyem yang selama ini ia kenal. Nenek tua itu, benar benar telah berubah menjadi seperti patung bernyawa kini. Hanya duduk diam ditengah kerumunan orang orang yang mengelilinginya. Wajahnya terlihat begitu datar, dengan tatapan mata kosong dan bibir terkatup rapat, seolah tak peduli dengan segala hiruk pikuk yang ada disekelilingnya. Bahkan tangisan dan ratapan Anjar sang cucupun sama sekali tak dihiraukannya.
"Apa sebenarnya yang terjadi?" Desis Prapto yang berdiri di sebelah Galih.
"Aku juga tak tau Prap, tapi..., ah, iya. Ratih! Anak itu pasti...," Galih lalu bermaksud untuk mencari Ratih yang sejak tiba di desa tadi sedikit terabaikan kehadirannya. Namun niatnya itu ia urungkan, karena dilihatnya gadis kecil berparas cantik itu kini ternyata telah melangkah pelan mendekat ke arah Mbah Pariyem.
"Njar, lepaskan dulu pelukanmu pada nenekmu ini," Galih mendekat dan membisikkan kata kata itu di telinga Anjar. Gadis itu menatap nanar ke arah Galih.
"Biar Ratih melihat dulu, apa yang sebenarnya terjadi pada nenekmu," dengan lembut Galih merengkuh bahu Anjar, lalu mengajaknya duduk agak menjauh dari sang nenek.
Sementara orang orang yang lain, juga melakukan hal yang sama, menjauh dari Mbah Pariyem, dan memberi ruang kepada gadis cilik itu melakukan apa yang ingin ia lakukan.
Sejenak Ratih berdiri diam, hanya beberapa jengkal didepan Mbah Pariyem. Mata beningnya menatap lurus ke arah mata perempuan tua itu tanpa berkedip, seolah berusaha menyelami apa yang ada dibalik tatapan kosong si nenek tersebut.
Sesaat kemudian, sebelah tangan gadis cilik itu terangkat pelan dan terulur kedepan, menempelkan ujung jari telunjuknya tepat ke dahi si nenek tua. Kedua matanya terpejam. Wajahnya sedikit menunduk hingga beberapa helai rambutnya yang hitam legam itu tergerai menutupinya.
Hening. Untuk sesaat suasana di ruangan itu benar benar hening. Semua mata tertuju ke arah si gadis cilik itu, tanpa ada satupun yang berani mengeluarkan kata kata. Dengus nafas dari orang orang yang menunggu dengan harap harap cemas, sampai jelas terdengar akibat keheningan yang tercipta secara tiba tiba itu.
"Dia," tiba tiba Ratih menggumam lirih. Suaranya yang sebenarnya begitu pelan, terdengar menggema di ruangan yang sempit itu, membuat beberapa orang yang hadir disitu sampai terlonjak karena kaget. "Dia, telah lama mengikat perjanjian dengan penghuni makam tua di atas gunung sana!"
"Eh...?!" Kasak kusuk mulai terdengar dari orang orang yang mendengar ucapan aneh gadis cilik itu. Mereka saling berbisik untuk mengetahui makna dari ucapan anak berusia sembilan tahun itu.
"Mendekatlah, dan tanyakan apa yang ingin sampeyan tanyakan," Pak Guru Sholeh mendekat dan berbisik di telinga Galih. Pemuda itu terdiam sejenak. Keraguan jelas terpancar dari rona wajahnya. Namun sesaat kemudian, pemuda itupun akhirnya beringsut maju dan mendekat ke arah Ratih.
"Perjanjian, yang seperti apa maksudnya dik?" Galih bertanya dengan suara yang sangat pelan, nyaris berbisik disamping gadis cilik itu.
"Keputusasaan yang ia rasakan, saat dulu nyaris kehilangan semua keluarganya, membuatnya menjadi gelap mata. Alih alih meminta pertolongan kepada yang maha memberi pertolongan, ia justru mengikat perjanjian dengan makhluk penghuni makam tua itu. Perjanjian, yang mana untuk seumur hidupnya ia bersedia untuk menjadi budak makhluk itu, dengan imbalan kembalinya sang cucu yang seharusnya telah mati waktu itu."
"Astagfirullahhaladzieemmm...! Jadi...," Galih melirik ke arah Anjar yang kembali menangis terguguk dalam pelukan Ajeng dan Arum. Jelas gadis itu sangat terpukul setelah mengetahui betapa besarnya pengorbanan sang nenek dulu untuk menyelamatkannya.
"Dan...," Ratih melanjutkan ucapannya. "Perjanjian itu ia ulangi lagi beberapa hari yang lalu, saat lagi lagi dia harus berjuang, tidak saja untuk menyelamatkan cucu cucunya, namun juga untuk menyelamatkan seisi desa ini!"
"Mbaahhhh....," Anjar merintih lirih, sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Ajeng dan Arum, lalu ikut mendekat ke arah sang nenek. "Kenapa Mbah? Kenapa simbah sampai rela melakukan semua itu?"
"Untuk menebus semua rasa bersalah yang ia rasakan," Ratih kembali bersuara. "Rasa dendam dan sakit hati yang dulu ia rasakan, sampai menyebabkan hilangnya nyawa dari orang yang sebenarnya sama sekali tak bersalah."
"Bapak...?"
"Pakdhe Marsudi?"
Hampir bersamaan Galih dan Anjar bergumam, dengan mata saling menatap satu sama lain. Rasa bersalah jelas tergambar di wajah keduanya. Galih merasa bersalah, karena Mbah Pariyem ternyata melakukan semua ini semata mata hanya untuk menebus kesalahan yang sebenarnya sudah semenjak lama ia maafkan itu. Sementara Anjar merasa bersalah, karena neneknyalah dulu kedua orang tua Galih sampai nekat menghabisi nyawanya sendiri.
"Hufth, aku tak menyangka kalau kejadiannya sampai akan sejauh ini. Maafkan aku Anjar, aku..."
"Tak apa Galih, tak ada yang perlu dimaafkan. Semua ini mungkin memang sudah takdir yang seharusnya terjadi," Anjar menyusut air mata yang mengalir di kedua pipinya itu. Gadis itu terlihat lebih tabah kini.
"Soal perjanjian itu, apa yang akan terjadi dengan nenekku, setelah mengikat perjanjian dengan makhluk penghuni makam tua itu?" Tanya gadis itu lagi kepada Ratih.
"Bukan hal yang sulit sebenarnya. Imbalan yang harus diberikan olehnya hanyalah, untuk seumur hidupnya ia harus menjadi pejaga dari gunung dan juga dua makam yang ada diatasnya itu."
"Penjaga gunung? Semacam juru kunci atau..."
"Ya. Penjaga gunung! Juru kunci! Atau apapun namanya."
"Tapi kenapa sekarang nenekku menjadi seperti ini? Apa dia..."
"Dia hanya kelelahan," Ratih menurunkan tangannya dan membuka kedua matanya. "Boleh minta minum Mbak?"
"Sebentar! Biar aku ambilkan!" Ajeng yang tanggap segera beranjak ke dapur. Sementara Ratih kini duduk diantara Anjar dan Galih.
"Kalau Mas Galih dan Mbak Anjar mau, aku bisa kok memutuskan perjanjian itu," celetuk gadis cilik itu, dengan gaya khas anak anaknya. Sikapnya sangat jauh berbeda dari saat ia menerawang apa yang telah terjadi pada Mbah Pariyem tadi.
"Tidak anak manis," Anjar merengkuh tubuh gadis cilik itu, membawanya ke pangkuannya, lalu mengecup sebelah pipinya dengan lembut. "Apa yang kamu lakukan tadi, itu sudah lebih dari cukup. Dan aku sangat berterimakasih kepadamu dik. Soal nenekku yang harus menjadi penjaga gunung dan juga kedua makam tua diatasnya itu, kurasa itu bukanlah sesuatu yang buruk. Biar bagaimanapun...." Anjar menyusut air mata yang kembali mengalir dari kedua sudut matanya, sambil menatap jauh ke arah Gunung Kambengan yang nampak berdiri angkuh diluar sana.
"Biar bagaimanapun, gunung itu sudah menjadi rumah kedua bagi kami. Aku dan nenekku, serta gunung itu, juga dua makam tua diatasnya, Ah, sudah terlalu banyak hal yang kami alami di gunung itu. Gunung itu, gunung itu telah banyak memberi kehidupan kepada kami. Gunung itu, telah banyak memberi pelajaran kepada kami. Di gunung itulah, kami sempat saling merasakan kehilangan. Dan di gunung itu juga kami akhirnya dipertemukan kembali. Jadi, sepertinya cukup pantas kalau nenekku, dan juga aku, harus mengabdikan diri untuk menjadi penjaga gunung itu."
"Ah, Mbak Anjar cukup bijak rupanya," Ratih tersenyum sambil menengadahkan wajahnya, menatap wajah Anjar yang juga tengah tersenyum ke arahnya.
"Ini dik minumnya," Ajeng yang telah kembali dari dapur menyodorkan segelas air putih yang segera diterima oleh Ratih. Anehnya, gadis cilik itu bukannya meminum air itu. Ia hanya memegangnya sebentar, lalu menyerahkannya kembali kepada Ajeng.
"Berikan kepada simbah itu, suruh minum sampai habis, lalu bawa simbah ke kamar untuk beristirahat. Mudah mudahan dalam satu atau dua hari kondisinya akan kembali pulih seperti sedia kala."
Ajeng segera melaksanakan semua yang diucapkan oleh gadis cilik itu. Dengan dibantu oleh Arum, keduanya lalu membawa Mbah Pariyem kedalam bilik dan menyuruhnya untuk beristirahat.
"Sekarang," Ratih bangkit dari pangkuan Anjar. "Sepertinya tugas saya sudah selesai Mas, Mbak. Jadi saya pamit pulang. Tolong jaga baik baik simbahnya Mbak Anjar itu."
"Terimakasih banyak di Ratih. Terimakasih. Kami..., ah, kami bahkan tak tau dengan apa harus membalas semua kebaikan dik Ratih ini. Hanya ucapan terimakasih yang bisa kami..."
"Tak apa Mas, Mbak. Sudah sepantasnya kan sebagai manusia untuk saling menolong. Dan..," Ratih mengerling nakal ke arah kedua pemuda pemudi yang duduk bersebelahan itu. "Dan sepertinya kalian berdua masih punya janji yang harus saling kalian tepati."
Ratih tersenyum , lalu beranjak ke tempat sang ayah yang nampak sibuk mengobrol dengan Pakdhe Margono dan Paklik Harno. Sementara Galih dan Anjar kembali saling pandang.
"Galih," Anjar membuka suara, setelah sesaat keduanya berada dalam suasana kebisuan. Gadis itu menggenggam erat kedua tangan Galih, membuat Galih menjadi sedikit jengah, karena hampir semua mata yang ada diruangan itu kini tertuju kepada mereka.
"Aku tak menyangka kalau kau benar benar menepati janjimu untuk membawa kembali nenekku. Terimakasih untuk semua usahamu. Dan sekarang, aku juga akan menepati janjiku, seperti yang telah kuucapkan kemarin itu." Ujar Anjar pelan.
"Eh? Janji? Janji yang mana?" Galih tergagap.
"Aku siap untuk kaunikahi!"
"Hah...?!"
"Kau sendiri kan yang bilang kemarin kalau kau mau menikahiku, agar kita bisa benar benar menjadi satu keluarga?"
"Eh, yang itu..., emmm, sebenarnya kemarin itu...."
"Kenapa?"
"Yang kemarin itu..., sebenarnya aku tak serius Njar. Aku mengatakannya karena terdorong oleh rasa emosiku yang..."
"Plaakkk...!" Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Galih.
"Hei! Kenapa kau menamparku?" Galih menatap Anjar yang kini juga tengah menatapnya dengan mata yang tajam berkilat kilat.
"Plakkkk...!!!" Kembali sebuah tamparan keras dilayangkan oleh gadis itu.
"Laki laki macam apa kamu ini hah?! Hingga ucapan seperti itu kau jadikan bahan candaan?!"
"Aku bukan bercanda Njar, tapi..."
"Tapi apa?!"
"Aku...,"
"Aku apa?"
"Aku..., kita...,"
"Plaakkk...!!!"
"Kau tak mau menikahiku karena aku buruk rupa dan berwajah menyeramkan kan?!"
"Bukan begitu Anjar, tapi..."
"Plakkk...!!!"
"Kau kebanyakan tapi!"
"Anjar...!!!"
"Plaakkk...!!!"
"Iya iya! Aku akan menikahimu!"
"Plaakkk...!!!"
"Hey! Kenapa kau masih menamparku juga?"
"Aku nggak mau kalau kau menikahiku hanya karena terpaksa!"
"Apa maksudmu?!"
"Jangan pura pura tak tahu!"
"Astaga! Pakdheeee....!!!"
"Hahaha...!" Pakdhe Margono dan Paklik Harno hanya tertawa melihat kekonyolan kedua keponakan mereka itu.
"Bagaimana sih keponakan kita itu Mas?" Ujar Paklik Harno disela tawanya.
"Biarkan saja No. Biarkan mereka yang muda menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kita yang tua tua ini, lebih baik kita ngopi ngopi saja di teras sana!" Pakdhe Margono menjawab, juga masih sambil tertawa.
"Asem!" Galih mendengus kesal, karena satu tamparan lagi sukses mendarat di pipinya.
****
Beberapa minggu kemudian....
- bersambung