Quote:
Galih berjalan tersaruk saruk ditengah kegelapan, mengikuti langkah kaki mungil si gadis cilik yang berjalan di depannya itu. Kekhawatiran yang sempat ia rasakan, ternyata tak menjadi kenyataan. Dan itu membuat Galih menjadi sedikit lega.
Awalnya, Galih sempat mengira kalau perjalanannya kali ini akan sedikit merepotkan. Mendaki gunung dengan mengajak seorang anak perempuan berusia sembilan tahun, tentu bukanlah hal yang menyenangkan.
Namun dugaannya salah. Sudah hampir setengah perjalanan, namun si gadis cilik itu masih nampak begitu tenang. Tak ada rengek kelelahan. Tak ada keluh kecapekan. Bahkan beberapa makanan kecil jajanan khas anak anak dan sebotol minuman yang Galih bawa, masih tersimpan utuh didalam tas ransel kecil yang disandangnya. Gadis cilik itu, sepertinya sama sekali tak merasakan lelah, haus, ataupun lapar sama sekali. Bahkan gadis itu sepertinya juga tak merasakan takut, meski berada di tempat asing yang suasananya begitu menyeramkan, dan bersama orang asing yang baru beberapa jam dikenalnya.
"Benar benar anak yang aneh," batin Galih sambil terus berjalan mengikuti langkah si gadis cilik. Matanya tak lepas mengamati setiap gerak langkah sepasang kaki mungil itu, takut kalau kalau sampai salah melangkah dan terperosok kedalam lubang jurang atau tersandung bebatuan yang banyak bertebaran di jalur yang sedang mereka tempuh itu. Beruntung, senter yang dipinjamkan oleh Pakdhe Margono tadi, cukup membantu menerangi perjalananan mereka.
Tanpa sadar Galih nampak beberapa kali tersenyum melihat gadis kecil di depannya itu. Semakin diperhatikan, anak bernama Ratih itu mengingatkannya kepada Ajeng diwaktu kecil dulu. Perawakannya hampir mirip kalau dilihat dari belakang. Tubuhnya yang kecil ramping, rambutnya yang lurus panjang, serta cara berjalannya yang begitu lincah dan energic, dan ....
Astaga! Baru kini Galih menyadari, bahwa sepasang kaki mungil anak itu nampak berjalan dengan begitu ringannya. Padahal jalur yang mereka tempuh lumayan terjal mendaki. Namun anak itu berjalan seolah tanpa beban. Bahkan sesekali Galih merasa kalau kedua kaki mungil anak itu seolah melayang tak menapak di permukaan tanah saat sedang berjalan.
Galih lalu iseng mengarahkan sorot senternya ke arah kedua kaki mungil itu, untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya barusan adalah benar. Namun tindakannya itu sepertinya disadari oleh si gadis, karena tiba tiba gadis itu berhenti dan berbalik menghadap ke arahnya.
"Mas Galih sudah lelah?" Itu suara pertama yang keluar dari bibir mungil anak itu, semenjak mereka berangkat dari desa sore tadi. Anak itu, sepertinya memang sangat pendiam dan pemalu, hingga jarang sekali bersuara kalau tidak sedang ditanya.
"Eh...?" Galih buru buru mengalihkan sorot senternya ke arah lain.
"Kalau Mas Galih sudah lelah, lebih baik kita istirahat dulu. Toh letak makam kembar itu sudah tak begitu jauh lagi, dan waktu tengah malam juga masih lama," ujar anak itu lagi. Suaranya terdengar begitu merdu dan tenang, namun cukup membuat bulu kuduk Galih merinding. Bagaimana tidak! Gadis cilik itu, seolah sudah tau pasti dimana letak makam kembar yang sedang mereka tuju. Bahkan, ia sepertinya sudah sangat hafal dengan seluk beluk dan lika liku gunung ini. Padahal Galih yakin, baru sekali ini anak itu datang ke gunung ini.
"Eh, enggak kok, Mas Galih belum lelah dik. Mas justru khawatir kalau dik Ratih yang kecapekan. Kalau lelah bilang ya dik, nanti biar Mas gendong, atau kita bisa istirahat dulu," jawab Galih sedikit gugup. Tatapan mata anak itu, entah kenapa membuatnya tiba tiba merasa tak nyaman.
"Ratih juga belum lelah Mas. Kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan kita," ujar anak itu sambil berbalik dan kembali berjalan.
"Dan tolong Mas, jangan memikirkan hal hal yang tak penting. Fokus saja untuk memikirkan apa yang akan kita lakukan," kata anak itu tanpa menoleh.
"Eh, i..., iya dik Ratih," Galih menjawab sambil garuk garuk kepala. Cara bicara anak itu yang sudah mirip cara bicara orang dewasa, benar benar membuat pemuda itu jadi salah tingkah.
Keduanya lalu kembali berjalan. Mereka melangkah dalam kebisuan, karena sepanjang perjalanan anak itu sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun. Sementara Galih juga merasa enggan untuk sekedar melontarkan pertanyaan. Anak kecil itu, sepertinya dia benar benar tidak ingin diganggu.
Semakin keatas, perjalanan terasa semakin berat, karena jalur yang mereka tempuh juga semakin sulit dan terjal. Namun gadis cilik itu nampak masih begitu tenang dengan langkahnya yang juga terlihat masih begitu ringan.
Galih sendiri, perhatiannya sedikit terpecah kini. Entah kenapa, semakin keatas, perasaannya semakin terasa tak nyaman. Beberapa kali ia celingak celinguk, melihat kekiri dan ke kanan, saat merasakan seolah olah ada sesuatu yang memperhatikan mereka dari balik kegelapan.
Namun saat ditoleh, sesuatu itu tak nampak kelihatan. Tanpa terasa bulu kuduk Galih kembali merinding. Sesuatu itu, Galih yakin kalau itu bukanlah sekedar halusinasinya saja. Ekor matanya sempat beberapa kali menangkap sekelebat bayangan diantara lebatnya pepohonan. Namun saat diperhatikan dengan seksama, bayangan itu seolah menghilang ditelan kegelapan.
Tanpa sadar Galih mulai berkomat kamit, membaca doa doa semampu yang dia bisa. Sesuatu itu, entah hantu atau manusia, Galih tak begitu yakin. Namun yang Galih rasa, sesuatu itu bukan sedang memperhatikan dirinya, melainkan memperhatikan anak yang sedang berjalan di depannya itu.
Galih semakin mempercepat langkahnya. Bahkan kini ia berjalan disisi si gadis kecil itu, sambil matanya terus mengawasi suasana di sekitarnya. Semakin keatas, sesuatu yang Galih rasakan sedang mengawasi mereka itu terasa semakin banyak, membuat Galih semakin merasa tak nyaman. Bulu bulu halus disekujur tubuhnya semakin merinding. Keringat dingin mulai bercucuran, membanjir membasahi pakaian yang dikenakannya. Bahkan kedua lututnya mulai terasa goyah gemetaran.
Si gadis kecil sempat melirik dan tersenyum kecil ke arah Galih, membuat Galih merutuk di dalam hati, karena merasa kalau gadis itu sedang mentertawakan ketakutan yang sedang ia rasakan. Hingga saat mereka benar benar telah sampai di makam kembar....
"Astaghfirullahhaladzieeemmm...!!!" Galih tak kuasa menahan rasa ketakutannya, manakala ia melihat bahwa area di sekitar makam kembar itu dipenuhi oleh sosok sosok aneh yang menatap tajam ke arah mereka, seolah telah siap untuk menyambut kedatangan mereka.
Sesosok makhluk tinggi besar berbulu lebat kehitaman dengan mata merah menyala, nampak berjongkok di sisi area makam itu. Lalu sesosok perempuan berdaster putih kumal dengan rambut panjang yang tergerai menutupi wajahnya, nampak duduk ongkang ongkang kaki diatas dahan pohon. Dua anak kecil bertelanjang dada dan berkepala plontos dengan wajah aneh berlarian berkejar kejaran mengelilingi makam.
Di sudut lain, sosok terbungkus kain putih kusam dengan kuncung diatas kepalanya, berdiri bersandar pada batang pohon sambil memamerkan wajah gosongnya. Sementara diatas sana, beberapa sosok dengan jubah putih berkibar kibar berterbangan mengelilingi area makam itu.
"Wedhus! Apa apaan ini?" Galih mendesis, saat mendapati masih banyak lagi sosok sosok aneh yang sedang mengawasi mereka. Sosok hewan berkepala manusia, sosok manusia berkepala binatang, sosok kerangka manusia yang saat bergerak memperdengarkan suara berkelotekan dari sendi sendinya yang saling bergesekan, sosok tinggi besar berjubah hitam dengan tongkat panjang berujung melengkung seperti sabit yang berkilat kilat tajam tertimpa sinar rembulan, dan masih banyak lagi sosok sosok aneh yang lainnya.
Namun dari sekian banyak sosok aneh dan menyeramkan itu, ada dua sosok yang benar benar membuat Galih nyaris pingsan. Sosok laki laki tua berjubah putih dan bersorban, dengan janggut putih panjang yang menjuntai sampai ke pertengahan dada, nampak berdiri tepat diatas salah satu gundukan makam itu. Sementara diatas gundukan makam yang satu lagi, sosok laki laki yang lebih muda yang juga mengenakan sorban dan jubah putih panjang, nampak berdiri diam menatap tajam ke arahnya. Aura kedua sosok itu, benar benar terasa sangat mengintimidasi. Jelas kalau mereka tak menyukai kehadiran Galih dan Ratih di tempat ini.
"Jangan pedulikan mereka Mas," ucapan Ratih yang tiba tiba, sukses membuat Galih berjingkat kaget. Sepertinya gadis cilik itu juga bisa melihat kehadiran sosok sosok aneh itu. Namun berbeda dengan Galih, Ratih sama sekali tak menampakkan rona ketakutan sedikitpun. Bahkan dengan santainya gadis cilik itu duduk bersimpuh di salah satu sisi makam yang diatasnya masih berdiri sosok si kakek tua bersorban putih itu.
"Mereka hanya penasaran. Tapi percayalah, mereka tak akan pernah berani mengganggu. Jadi, duduklah," Ratih menepuk nepuk permukaan tanah berumput disebelah tempatnya duduk. Mau tak mau Galihpun ikut duduk disebelah Ratih, dengan mata masih jelalatan memperhatikan makhluk makhluk aneh di sekeliling mereka itu.
"Makhluk makhluk apa sebenarnya mereka itu dik Ratih? Kenapa mereka ngelihatin kita seperti itu?" Bisik Galih dengan suara gemetar.
"Bukan apa apa! Mereka cuma hantu! Abaikan saja Mas." Jawab Ratih santai.
Wedhus! Bocah macam apa sebenarnya si Ratih ini? Dengan santainya ia menyebut kata hantu tepat didepan para hantu itu tanpa ada rasa takut sama sekali. Padahal Galih yang sudah dewasa saja sudah nyaris pingsan melihat penampakan para hantu yang sangat tak nyaman untuk dilihat itu.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang dik?" Tanya Galih memecah kesunyian, setelah beberapa saat mereka hanya duduk diam di sisi gundukan makam itu.
"Menunggu!" Jawab Ratih singkat sambil menengadah, menatap bulan yang bersinar terang diatas sana.
"Menunggu?" Galih ikut menengadah. Tak seperti biasanya, cuaca malam itu cukup cerah. Tak ada sehelai awanpun yang nampak diatas sana, membuat sang rembulan yang kebetulan malam itu memang sedang purnama, dengan leluasa memancarkan sinar teduhnya menerangi bumi.
"Ya! Menunggu sampai bulan purnama itu tepat berada di tengah tengah cakrawala," jawab Ratih singkat.
Hufth! Galih menghela nafas. Masih cukup lama sepertinya, menunggu sampai rembulan itu benar benar berada ditengah tengah cakrawala. Dan mereka harus menunggu ditengah tengah tatapan makhluk makhluk aneh menyeramkan yang terus saja memperhatikan mereka, membuat kesabaran Galih benar benar diuji.
Detik berganti detik, menitpun berlalu. Pelan namun pasti waktu terus berjalan. Dan kedua insan anak manusia itu masih terus menunggu dan menunggu. Bosan, Galih lalu membuka dan mengeluarkan isi ransel yang dibawanya, lalu menawarkannya kepada Ratih. Anak itu menggeleng. Terpaksa Galih menyantap jajanan anak anak itu sendirian, sekedar untuk mengusir rasa bosan yang ia rasakan.
"Sudah waktunya," tiba tiba Ratih mendesis. Galih kembali mendongak keatas. Benar saja. Sang purnama kini tepat berada diatas kepala mereka.
"Lalu?" Galih menatap wajah gadis cilik itu.
Ratih tak menjawab. Gadis cilik itu sedikit merubah posisi duduknya, lebih mendekat lagi ke arah gundukan makam dihadapannya, lalu menempelkan sebelah telapak tangannya diatas gundukan tanah makam itu. Kedua matanya ia pejamkan rapat rapat, sementara bibir mungilnya nampak komat kamit mengucapkan kata kata yang tak begitu terdengar oleh telinga Galih.
Angin tiba tiba berkesiur lembut, menyibak rambut panjang si gadis yang kini dibiarkan tergerai itu. Bias sinar purnama yang pucat menerangi ujung kepala gadis itu, nampak berkilauan diantara helai helai rambut si gadis yang hitam legam berkilat kilat.
Suasana alam tiba tiba menjadi hening dan senyap. Suara suara binatang malam yang sejak tadi terdengar, seolah kini dibungkam oleh sebuah kekuatan tak kasat mata. Hanya suara desau angin yang terdengar lembut. Makhluk makhluk aneh yang semenjak tadi memperhatikan mereka, satu persatu mulai menghilang entah kemana.
Galih terpaku dalam duduknya, manakala pelan namun pasti ia melihat pancaran cahaya redup yang memancar dari balik pakaian yang dikenakan oleh gadis cilik itu. Pancaran cahaya aneh yang membentuk guratan guratan yang juga aneh di bagian punggung gadis itu.
"Ijinkan dia pulang! Cucu cucunya masih membutuhkannya!" Tiba tiba Ratih bergumam, dengan mata masih terpejam dan telapak tangan masih menempel diatas gundukan tanah makam.
Hening sejenak. Tak ada suara yang terdengar selain suara desau angin.
"Aku memohon," guman Ratih lagi, lembut.
Hening kembali.
"Aku meminta!" Lagi lagi Ratih menggumam. Kali ini dengan nada yang agak tegas, diiringi desauan angin yang juga sedikit menguat.
Lagi lagi hening untuk sesaat.
"AKU MEMAKSA!" Ratih membentak, sambil menepuk keras permukaan tanah makam itu dengan telapak tangannya.
Galih sampai terlonjak saat mendengar suara Ratih yang tiba tiba bernada keras itu. Dan tiupan angin yang semakin kencang, sukses membuat Galih gemetar ketakutan.
"Bagus!" kembali Ratih menggumam. Nada suaranya kembali melunak, seiring dengan desau angin yang juga kembali melembut.
Ratih berdiri. Desau angin terhenti. Suasana alampun normal kembali. Suara nyanyian binatang malam terdengar kembali. Dan guratan guratan cahaya aneh di punggung gadis cilik itupun tak terlihat kembali.
"Sudah Mas. Ayo kita pulang," ajak gadis cilik itu.
"Pulang?" Tanya Galih heran. "Bagaimana dengan...."
"Neneknya Mbak Anjar itu, sudah pulang sekarang. Jadi, mau ngapain lagi kita disini? Atau Mas Galih masih mau bermain main dengan mereka?" Ratih melirik ke arah makhluk makhluk aneh yang tiba tiba muncul kembali mengelilingi mereka.
"Hiiiiiiiii...!!! Nggak ah! Nggak mau! Ayo kita pulang saja dik Ratih!" Galih bergidik ngeri, sambil buru buru menarik lengan mungil Ratih untuk menjauh dari tempat itu.
*****
Pagi harinya, saat Galih dan Ratih sampai kembali di rumah Anjar, wajah wajah cemas menyambut kedatangan kedua orang itu. Mbah Pariyem memang sudah kembali. Tapi wajah wajah penuh kekhawatiran yang ditunjukkan oleh orang orang yang berada di rumah itu, seolah menjadi pertanda bahwa tugas si Ratih kecil belumlah selesai sampai disitu!
bersambung