Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tyasnitinegoroAvatar border
TS
tyasnitinegoro
TUMBAL TERAKHIR


















"Aku ngerti jalur turunmu seko sopo! Aku yo ngerti dunyo seng tok nduweni saiki sumbere seko ngendi! dadi rausah mbok critakne dowo-dowo, Aku tetep gak setuju Nduk Kom tok rabi!" ( aku tau jalur keturunanmu dari siapa! Aku juga tahu harta yang kamu miliki itu sumbernya darimana! Jadi, gak usaj diceritakan panjang lebar, aku tetep tidak setuju kalau anak perempuan ku kamu nikahi)

Tegas dan berat suara dari seorang laki-laki tua berkopiah jaring kepada seorang pemuda tampan yang berada di hadapanya. Pemuda itu sebentar tertunduk, menatapi lantai tanah tak rata sembari tangannya meremas pegangan kursi kayu. Jiwanya bergolak marah, hatinya panas mendidih mendengar penolakan dari lelaki tua berwajah datar yang ia impikan bakal menjadi mertuanya.

Sang pemuda semakin terbakar emosi kala lelaki tua itu kembali berbicara sedikit menerangkan masa lalu dari kakek dan leluhurnya. Kepulan asap kemenyan dari rokok gulungan yang di hembuskan perlahan sang lelaki tua, tak lagi ia hiraukan meski menyesakkan dada.
Ingin rasanya saat itu ia berdiri dan mengumpat terlebih menghantam bibir tebal hitam lelaki di hadapanya, namun ia tahan, sebab ia sadar jika lelaki yang biasa di panggil Mbah Soko, bukanlah orang biasa.

Terbukti dari penolakanya yang begitu berani dengan perkataan kasar tentang keluarganya. Padahal satu Kampung, Desa atau bahkan tingkat Kecamatan tau siapa dirinya dan juga keluarganya.

"Aku ngerti seng tok pikir saiki, Aku yo ngerti nek koe loro ati! nanging koe yo kudu ngerti nek Aku ora bakal lilo ngeculke anakku dadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu nang TANGGAL TELULAS!"
( aku tau yang sekarang kamu pikirkan, aku jg tau kalau kamu sakit hati! Tapi kamu juga harus tau kalau aku tidak bakal ikhlas untuk melepaskan anakku jadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu di TANGGAL TIGABELAS)

Terjingkat, ternganga, sosok pemuda biasa di panggil Jasmoro mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Mbah Soko.

"Mripat abang lan tangan jeger seng ngawal koe tekan kene, wes mulai do gemeruh, mulio sak urunge tak bakar kabeh!" Tegas, lagi-lagi ucapan Mbah Soko yang segera menyadarkan Jasmoro akan keadaan di sekelilingnya terasa panas.
( Mata merah dan tangan jeger yang mengawalmu sudah sampai sini, sudah mulai bergemuruh, sekarang pulanglah sebelum tak bakar semua)

Belum sempat ia berdiri dan menyahut, Mbah Soko terlebih dahulu beranjak masuk kedalam. Jasmoro hanya termangu menatapi liukan kain batik berwarna hijau yang menjadi penutup sekaligus penyekat pandangan antara ruang tamu dan ruang dalam rumah Mbah Soko.

Masih tercium sengak aroma kemenyan menyesak ketika kaki Jasmoro mengayun keluar dari rumah Mbah Soko. Hatinya terasa sakit malam itu. Pikirannya di penuhi selingan amarah dan kecewa setelah dengan jelas niatnya untuk mendapatkan Kom, anak bungsu Mbah Soko terpupus karena statusnya sebagai keluarga Murti Rahmi.

Jasmoro memang mengakui akan status keluarga terkhusus dari Nenek dan kini Ibunya. Ia yang telah mengerti dengan liku dan alur semua kekayaan berasal dari mana, tak menampik semua kebenaran yang di jabarkan Mbah Soko.

Namun hal yang membuatnya sangat kecewa dan marah adalah niatnya yang tulus untuk Kom. Bahkan dalam hatinya ia berjanji tak akan melibatkan Kom untuk urusan hitam pekat dalam lingkup keluarganya. Namun itu tak cukup membuat Mbah Soko merelakan Kom untuk di jadikannya Ratu dalam rumah mewah nan megah milik keluarga MURTI RAHMI.

"Rasah mrino atimu Le, bakal tak dadekne awu canang wong tuek seng jenenge Soko! rasah kuwatir Le, Nduk Kom bakal dadi garwomu nang TANGGAL TELULAS sasi Pitu!"
(Tidak usah berkecil hati nak, bakal aku jadikan awu canang orang tua yang namanya Soko itu! Tidak usah khawatir nak, anak perempuan itu akan menjadi istrimu di tanggal tigabelas bulan tujuh)

Jasmoro terjingkat, kaget, saat baru saja masuk kedalam mobil warna hitamnya, telinganya mendengar suara lirih menyengit. Walaupun ia terbiasa akan hal-hal aneh dan menyeramkan, namun untuk kali ini ia sedikit gemetar. Apalagi ketika ia melihat dari kaca kecil yang terpasang di atas kepalanya, bola matanya seketika melebar.

Mulut Jasmoro terkatup rapat, keringat mulai merembes menembus kemeja polos yang menempel di tubuhnya, kala tatapannya dari kaca beradu dengan bola mata putih rata dari satu sosok perempuan tua yang duduk tepat di belakangnya.

"Iling-ilingo Le, TANGGAL TELULAS!"
Diubah oleh tyasnitinegoro 07-04-2023 21:01
mmuji1575
j4k4pntura
arieaduh
arieaduh dan 32 lainnya memberi reputasi
31
21.5K
160
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Tampilkan semua post
tyasnitinegoroAvatar border
TS
tyasnitinegoro
#29
CERITA TUMBAL TERAKHIR
HALO GANSIS
Cerita Tumbal Terakhir juga bisa di baca duluan di KARYAKARSA lho.
kalau disini lagi di BAGIAN 1 PART 1-2
kalau di KARYAKARSA sudah sampai BAGIAN 4 PART 10-11-12




Jadi yang mau baca duluan bisa dimari gansis emoticon-Jempol
download eBOOK dimari


TUMBAL TERAKHIR 3

TRAH MURTI RAHMI


Nyaringbersahutan suara kokok ayam mengawali pagi setelah lantunan Adzan subuh dari tiap-tiap Masjid selesai, menjadi penanda bagi para penduduk Desa guna memulai beraktifitas di dapur maupun di dalam rumah.

Hal yang sama biasa di lakukan oleh Mbah Soko dan Komala. Mereka yang hanya berdua setelah kakak Komala memilih merantau bersama sang Istri, selalu berbagi tugas dalam kegiatan sebelum Sang Surya terbit.

Tapi pagi itu hal berbeda dan tak biasa di rasakan oleh Mbah Soko. Dirinya yang telah terbangun tak mendapati anak gadisnya yang biasa duduk menanak nasi di depan tungku. Mbah Soko segera bergegas menuju kamar sang anak, demi memastikan setelah beberapa tempat ia datangi namun tetap tak mendapati sosok Komala.

Semenit kemudian nafas Mbah Soko nampak lega. Raut wajahnya pun terlihat tenang, saat melihat tubuh sang anak masih terbaring lengkap dengan selimut kain batik.
Mbah Soko akhirnya mengalah menggantikan tugas yang biasa di lakukan Komala. Dirinya menduga jika Komala masih marah atas penolakan lamaran Jasmoro sehingga tak mau melakukan tugas rutinnya.

Tak ada rasa lelah yang di tampakkan dari tubuh tuanya, semua tugas ia lakukan dengan cekatan meski malam itu dirinya hanya beristirahat tak lebih dari dua jam.
Bola besar ciptaan Tuhan akhirnya muncul bersamaan dengan selesainya semua pekerjaan rumah, yang di kerjakan sendir Mbah Soko. Sebentar kemudian, ia kembali bergegas membangunkan sang anak. Namun, tak ada reaksi apapun yang di tampakan Komala, meski kedua matanya telah terbuka. Wajahnya datar, tatapannya nanar dan tak menggubris panggilan serta ajakan dari Mbah Soko.

Mbah Soko yang menyadari ada keanehan dalam diri Komala, memilih untuk meninggalkan kamar sang anak. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu, saat wujud dari Rahmi mendatangi Komala. Dirinya juga mengingat kalimat terakhir yang di ucapkan sosok Rahmi, sebelum wujudnya menghilang.

Ada kekhawatiran yang muncul dalam benak Mbah Soko, meski ia telah memagari sekeliling kediaman rumahnya dengan salah satu peninggalan orang tua yang ia tau mempunyai kekuatan. Tetapi, mengingat yang tengah ia hadapi adalah perwujudan dari sesosok Iblis haus darah dan nyawa, rasa was-was pun tak dapat lepas dari benaknya.

Hari itu di lalui Mbah Soko dengan perasaan tak menentu, di samping sikap Komala yang membisu tanpa bicara sedikitpun, perasaan adanya banyak mata mengawasi di sekeliling rumahnya bila masuk waktu Mahgrib membuat ketidaknyamanan Mbah Soko. Dirinya tau jika puluhan pasang mata itu dari sosok-sosok pelindung Rahmi. Walau tak dapat masuk apalagi menyentuh ke dalam rumahnya, Mbah Soko tetap saja selalu terjaga sepanjang malam.
Hari kedua masih dengan keadaan yang sama. Sikap dari Komala dan suasana luar rumah Mbah Soko tetap tak berubah.

Memasuki hari ketiga, saat fajar mulai meredup, seperti biasa Mbah Soko berkutat dengan berbagai macam hewan peliharaannya. Ia yang memang sangat menyukai dalam beternak, selalu meluangkan waktu untuk mengurus sendiri. Tapi di sore itu, dirinya yang baru saja mulai memasukan hewan ternak miliknya ke dalam kandang, tiba-tiba merasakan hal berbeda.
Mbah Soko mencoba menepis dan tak memperdulikannya. Ia tetap merampungkan memasukan semua hewan peliharaannya hingga lantunan Tarhim berkumandang dari Masjid Desa. Namun baru saja Mbah Soko akan beranjak dari kandang sederhana buatannya, satu suara sedikit mengejutkan juga membuatnya semringah.

"Pak, enek seng golek i,"(Pak, ada yang mencari,)

"Sopo, Nduk?"(Siapa, Nduk?)Jawab Mbah Soko sembari tersenyum saat tau Komala anaknya yang sudah dua hari hanya diam akhirnya mau berbicara.

"Kang Roji, kae saiki nunggu nang ngarep."(Kang Roji, itu sekarang nunggu di depan)
Sahut Komala sembari memutar tubuhnya kembali masuk.

Mbah Soko pun segera bergegas mengikuti dari belakang. Kakinya langsung mengayun ke ruang depan dan menemui seorang lelaki 40an yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Mlebu Ji."(Masuk Ji)
Sapa Mbah Soko pada lelaki satu RT dengannya.

"Mpon, Mbah. Mriki Mawon. Karangane wektune mpon peteng. Niki kulo di kengken Pak Rudin, mangke njenengan di suwuni tulung kangge nderek acara slametan ba'da Isya wonten ndaleme."(Sudah, Mbah. Di sini saja. Berhubung waktunya sudah gelap. Ini saya di suruh Pak Rudin nanti Mbah Soko di minta tolong untuk ikut acara selamatan setelah Isya di rumahnya.)
Ucap lelaki bernama Rozi, menyampaikan maksud kedatangannya.

"Oh ... iyo Ji. Insya Allah engko tak mangkat. Maturnuwon Ji wes nyampekne."(Oh ... Iya Ji. Insya Allah nanti berangkat. Terima kasih Ji sudah menyampaikan.)

"Njeh, Mbah. Sami-sami."(Iya, Mbah. Sama-sama.)

lelaki bernama Roji pun segera berlalu pergi setelah mendengar jawaban Mbah Soko dan tak lupa berpamita.

Sedang Mbah Soko, kembali masuk dan menutup pintu, kala pandanganya sudah tak melihat tubuh Roji. Kakinya kembali melangkah ke arah belakang berniat untuk memastikan keadaan seluruh rumahnya. Namun, saat akan melewati kamar Komala, langkah Mbah Soko terhenti. Kulit wajahnya yang keriput terlihat semakin mengkerut, ketika satu suara merdu berdendang lagu macapat dari arah dalam kamar anaknya.Rasa heran dan penasaran segera bergelanyut dalam diri Mbah Soko. Ia tau anaknya tak pernah sebelumnya belajar atau pun menghafal lagu jawa halus yang jarang orang tau, apalagi bagi orang-orang seumuran Komala.

Suara itu semakin lirih namun semakin nyaring dan jelas layaknya seorang sinden. Membuat Mbah Soko tak dapat menahan lagi keingin tauannya. Tak ada yang aneh saat mata Mbah Soko mengitari seluruh ruang kamar Komala. Semua tampak seperti biasa. Hanya, ketika pandangannya beradu tatap dengan mata Komala, Mbah Soko terperanjat. Jelas bagi Mbah Soko jika bola mata itu bukan milik anakknya. Dirinya tau betul bila Komala tak pernah menatap tajam apalagi sinis meski dalam keadaan marah sekalipun.

"Nduk ... Awakmu gak opo-opo?"(Nduk ... Kamu tidak apa-apa?)

Tak ada sahutan, tak ada reaksi apapun dari Komala, membuat Mbah Soko semakin bingung.

"Nduk, awakmu mau nembang opo? seko ngendi belajar tembang kui mau?"(Nduk, kamu tadi nembang apa? dari mana belajar tembang tadi itu?)
Lagi, Mbah Soko mencoba berbicara dengan Komala sembari mendekat dan duduk di tepi ranjang persis di samping Komala.

"Tembang opo Pak? aku wet mau ki lempet-lempet ngene, gak nembang opo-opo. Salah rungon bapak mungkin. "(Tembang apa Pak? aku dari tadi tu beres-beres pakaian gini, tidak nembang apa-apa. Salah dengar bapak mungkin.)
Satu ucapan akhirnya keluar dari mulut Komala menjawab ucapan bapaknya. Namun mendengar jawaban itu, Mbah Soko semakin termangu. Pikirannya segera melayang jauh, meraba tentang apa yang sebenarnya ia alami.

"Tenan Nduk, awakmu gak nyanyi, nembang?"(Benar Nduk, kamu tidak bernyayi, nembang?)
Tanya Mbah Soko mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Wes to Pak, aku ki tenan ra nyanyi opo meneh kok nembang!"(Sudah lah Pak, aku beneran gak nyanyi apa lagi kok nembang!) Sahut Komala sedikit mulai ketus.

"Yo wes nek pancen awakmu ora. Ki Bapak arep kenduren gone Pak Rudin, ojo metu-metu seko omah karo ojo tok bukakke lawang misal ono wong ketok-ketok sak durunge bapak muleh. Di gatekne tenan pesene bapak iki Nduk!"(Ya sudah kalau benar kamu tidak. Ini bapak mau acara selamatan tempat Pak Rudin, jangan keluar-keluar dari rumah sama jangan kamu bukain pintu misalkan ada orang ketuk-ketuk sebelum bapak pulang. Di jaga benar pesan bapak ini Nduk!)
Pesan Mbah Soko sebelum ia berpamitan dan melangkah keluar dari kamar Komala.
Komala sendiri tak menjawab. Ia hanya menatap punggung bapaknya saat pergi dengan tatapan datar tak berexpresi.

Mbah Soko akhirnya berangkat untuk menghadiri undangan dari Pak Rudin. Ia berjalan sendiri dengan bermodalkan senter berbatre 2. Sarung motif kotak-kotak dan kemeja putih lusuh serta kopiah jaring menjadi ciri khasnya dalam menghadiri tiap acara apapun di Desa tempatnya tinggal.

Jalanan berlubang ia lalui dengan berat hati. Bukan persoalan jalan yang selama hidupnya tak tersentuh kata Aspal, tapi perasaannya yang harus meninggalkan Komala sendiri, di saat keadaan penuh bahaya.

Riuh dan hampir telah di penuhi warga yang di undang, kala Mbah Soko sampai di kediaman Pak Rudin. Ia yang sedikit banyak di hormati sebagai sesepuh Desa, mendapat tempat tak jauh dari sang pemilik rumah. Obrolan dan candaan sementara dari para warga sebelum acara di mulai, mencerminkan keakraban antar sesama tanpa membedakan status, meski mereka mayoritas hidup dalam taraf menengah ke bawah.

Lima belas menit kemudian acara pun akhirnya di mulai. Mereka dengan khusuk mendengarkan kalimat demi kalimat tentang tujuan bapak Rudin yang di sampaikan oleh seorang Ustad muda. Setelah selesai, acara inti pun di mulai dengan di pimpin seorang Kiay sedikit lebih muda dari Mbah Soko.

Acara demi acara itu pun berjalan lancar, sampai pada acara penutup yang kembali di sampaikan Ustad muda setelah puluhan Bait Doa selesai di baca dengan khusuk oleh Sang Kiay, satu persatu para warga pun berpamitan.

Dengan meneteng bungkusan kantung plastic yang berisi Sodaqoh berupa makanan khas sebuah acara, para warga bersuka cita masih dengan candaan di sepanjang perjalanan pulang. Namun tidak untuk Mbah Soko.

Ia yang memang di kenal sedikit pendiam memilih untuk menjadi pendengar obrolan dari warga lain yang kebetulan satu arah di jalan pusat Desa. Sekitar sepuluh menit berjalan, kini hanya tinggal Mbah Soko dengan seorang tetangga yang berjarak seratusan meter rumah keduanya. Dan tak lama, setelah sang tetangga sampai di rumahnya, Mbah Soko mempercepat ayunan langkah kakinya. Mbah Soko yang sedari berangkat merasakan batinnya tak enak, di rasanya semakin besar ketidaknyamanan itu. Satu dua ketukan di pintu papan rumahnya, tak jawaban. Mbah Soko pun memilih mendorong pintu yang tak terkunci dan melangkah masuk masih sembari memanggil nama Komala.

Sunyi, suasana rumah Mbah Soko. Meski sebenarnya hal itu terjadi setiap malam, namun malam itu, Mbah Soko merasakan kesunyian lain dari malam biasanya. Mbah Soko segera beranjak menuju kamar Komala setelah meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa dari rumah Pak Rudin di atas meja papan lapuk, biasa untuk tempatnya bersantap sambil meneguk segelas teh tubruk. Suara gemerasak pertama terdengar di telinga Mbah Soko dari arah kamar Komala, saat ia mulai mendekat. Sebentar Mbah Soko terdiam, mengernyitkan kening, memastikan dan meraba tentang suara itu. Lima tarikan nafas kemudian Mbah Soko memutuskan masuk. Tak ada apapun, tak ada siapapun di dalam kamar Komala. Akan tetapi satu hal yang membuatnya terperanjat disertai dada bergemuruh.

"Nduk! Nduk Kom!" panggil Mbah Soko sembari berjalan keluar.

Satu dua panggilan Mbah Soko tak ada sahutan. Ia masih terus memanggil dan mencari sampai ke arah belakang. Dan tepat ketika dirinya akan melewati pintu, Mbah Soko berpapasan dengan Komala yang hendak masuk.

"Seko ndi awakmu, Nduk!?"(Dari mana kamu, Nduk!?)

"Adus, Pak."(Mandi, Pak.)

"Jawab jujur! enek opo iki mau?"(Jawab jujur! ada apa ini tadi?)

Seolah tau akan sesuatu yang terjadi, Mbah Soko mulai mendesak Komala dengan tegas.
Komala sedikit terperanjat mendengar pertanyaan bapaknya yang sedikit keras. Wajahnya mulai menegang, namun ia mencoba tetap tenang.

Komala tak menjawab lagi pertanyaan bapaknya, ia memilih berjalan masuk ke dalam kamar ingin mengganti pakaian. Belum sempat ia melepas kain sarung dan handuk yang menempel di tubuhnya, Mbah Soko sudah kembali berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah mulai memerah.

"Jawab, Nduk! enek opo iki mau!?"(Jawab, Nduk! ada apa ini tadi!?)
Lagi, Mbah Soko mengulang pertanyaan yang sama, berharap akan jawaban dari Komala. Namun sekali lagi Komala hanya diam. Ia duduk membelakangi sang bapak dan hanya tertunduk.

"Awakmu wes wani nglanggar tatanan adab, Nduk! sopo ... Karo sopo awakmu le nglakoni! jawab Nduk!"(Kamu sudah berani melanggar aturan beradab, Nduk! siapa ... Dengan siapa kamu melakukannya! jawab Nduk!)

Kali ini suara Mbah Soko menggelegar. Dirinya benar-benar yakin dengan sikap diamnya Komala, bahwa dugaannya di iyakan.

Mbah Soko cepat melangkah mendekat ke arah jendela tanpa teralis kamar anaknya yang masih terbuka. Sebentar ia melongokkan kepalanya keluar dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi, hening, hanya hembusan angin malam yang Mbah Soko dapatkan.
Setelah tak menemukan apa-apa, Mbah Soko menutup rapat jendela dan menguncinya. Wajahnya yang sudah memerah, mendekati Komala yang masih tertunduk menyandar. Tangan Mbah Soko seketika mencengkram lengan Komala sembari menanyakan hal yang sama. Awal sikap Komala masih sama, diam dan menunduk. Sampai akhirnya dengan iringan sesenggukan Komala mengakui dan menyebut sebuah nama.

"Iyo, Pak. Aku wes ngelakoni. Aku nglakoni kerono seneng podo seneng karo Mas Jas."(Iya, Pak. Aku sudah melakukannya. Aku melakukan karena suka sama suka dengan Mas Jas.)

"Brukkk...."

Luruh tubuh tua Mbah Soko mendengar jawaban Komala. Ia tersandar di dinding papan, menatap nanar ke depan tanpa ada expresi.

"Iku artine awakmu wes mbungkar opo seng bapak tandur nang mburi omah!?"(Itu artinya kamu sudah membungkar apa yang sudah bapak tanam di belakang rumah!?) Tanya Mbah Soko setelah beberapa saat terdiam menahan letupan amarah.

Komala hanya mengangguk tanpa berani menatap wajah bapaknya. Sedangkan Mbah Soko, seketika bangkit melihat anggukan kepala Komala. Wajah Mbah Soko langsung memucat, keringat dingin mengucur kala sampai di halaman belakang rumah, mendapati dua benda peninggalan orang tuanya yang ia andalkan untuk menjaga rumah dan keselamatan keluarganya telah lenyap. Hanya menyisakan lobang kecil sedalam dua jengkal.
Sesaat Mbah Soko diam menatapi lobang, sebelum membalikan badan menghampiri Komala yang masih terduduk di kamar.

"Sopo seng ngandani awakmu kon njikok barang peninggalane Mbahmu?"(Siapa yang memberitahumu untuk mengambil barang peninggalane Eyangmu?) tanya Mbah Soko.

"Mas Jas, Pak. Supoyo bapak ngrestui aku karo Mas Jas."(Mas Jas, Pak. Supaya bapak merestui saya dan Mas Jas.) jawab Komala sedikit berani mendongakkan kepalanya.

"Keliru awakmu Nduk! awakmu wes di apusi. Opo ngerti akibat seko gaweanmu seng gak ngregani omongane wong tuo!? saiki tak weruhno, ayo meluo, delok nganggo mripatmu dewe!"(Salah kamu Nduk! Kamu sudah di tipu. Apa kamu tau akibat dari perbuatanmu yang tak menuruti ucapan orang tua!? sekarang bapak perlihatkan, ayo ikut, lihat dengan mata kamu sendiri!)

Tanpa menunggu jawaban dari Komala, Mbah Soko langsung menarik tangan anaknya. Membawanya menuju belakang rumah di mana pintunya masih terbuka.
Sedetik dua detik tak ada apa-apa. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba saja Komala Cumiik ketakutan. Tubuhnya menggigil dingin, wajahnya memucat serta bibirnya bergetar.

"Iki Nduk akibate, iki seng bapak wedeni, iki seng bakal dadi hiasan urepmu sabendinone! kuat ra kuat, sanggup ra sanggup awakmu kudu siap ngadepi."(Ini Nduk akibatnya, ini yang bapak takutkan, ini yang akan jadi hiasan hidupmu setiap hari! kuat tidak kuat, sanggup tidak sanggup kamu harus siap hadapi.)

"Op....Opo maksudte, Pak?" tanya Komala dengan suara bergetar, menyiratkan ketakutan yang sangat.

"Demit-demit kui kabeh bakal ngetutke awakmu, njogo awakmu, nandi wae awakmu lungo. Mergo awakmu wes di anggep ndorone wet bar awakmu mbungkar Jengger Wilak lan wes dadi garwo batine Jasmoro."(Mahluk-mahluk itu semua akan mengikuti kamu, jaga kamu, dimanapun kamu berada. Karena kamu sudah di anggap tuannya sedari kamu membungkar Jengger Wilak dan melakukan hubungan batin dengan Jasmoro.)

Serak, parau, penuh keputus asaan suara Mbah Soko menjelaskan kepada Komala.
Sementara Komala masih menggigil ketakutan. Dirinya yang berdiri di belakang bapaknya, tak berani mengangkat muka, hanya sesekali melirik ke arah puluhan sosok wanita bergaun putih, berkebaya dengan rambut menjuntai sampai mata kaki, berwajah putih,berhias alis hitam pekat selaras dengan bibir yang sama hitamnya. Tak hanya itu, sosok-sosok itu melayang bergantian berkeliling dan memutari sekitaran tempat itu, sambil terus menatap ke arah mereka, dengan bola mata putih rata dan celong masuk kedalam.


Diubah oleh tyasnitinegoro 22-03-2022 16:22
mbahramil
simounlebon
sulkhan1981
sulkhan1981 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.