Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Nyaris
Nyaris


Lembayung dan Gulita pernah saling percaya bahwa mereka akan berjumpa. Namun, semuanya hanya nyaris saja. Di setiap penghujung hari, Lembayung selalu menantikan Gulita sampai peluh membasahi tubuhnya. Setelah lelah menunggu, akhirnya dia menenggelamkan wujudnya dan pulang entah kemana. Tepat setelah lembayung pulang, Gulita muncul dengan tujuan yang sama, bertemu dengan Lembayung. Selalu seperti itu.
***


"Untuk apa kau terus menantinya?" Tanya Mentari kepada Lembayung di suatu sore.

"Karena dia menyuruhku," jawab lembayung tanpa berpikir panjang.

"Itu saja?"

Lembayung mengangguk pelan.

"Bahkan kau belum pernah melihatnya, bukan?" Tanya Mentari semakin ingin tahu.

"Kau benar. Maka dari itu, aku ingin bertemu dengannya," jawab Lembayung lagi.

Mentari menghembuskan napas berat, "Lalu, dari mana kau tahu bahwa Gulita ingin bertemu denganmu?"

"Kenapa kau bertanya?"

Mentari terdiam sejenak, "Emm ... Aku hanya ingin tahu," jawabnya ragu.

Lembayung tersenyum, "Hanya itu?"

Sekali lagi Mentari termangu sejenak, "Emm, ya, kurasa. Lalu ..."

"Ah, ya, aku mendapat pesan dari Gulita yang disampaikan oleh Angin," Lembayung menyela.

"Begitu, kah?" Tanya Mentari kehabisan kata-kata.

"Ya, benar," Lembayung mendesah pelan, "Waktunya aku pulang, aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mungkin besok kami bisa bertemu."

Mentari menatapnya heran, "Aku pun bahkan tak pernah melihat sosok Gulita yang kau dambakan itu."

Mereka berdua terus bercakap-cakap sambil berlalu. Tepat setelah itu, Gulita datang.
***


"Dan lagi, tidak untuk kali ini."

Gulita mendongak, mencari asal suara, "Langit! Kau mengejutkanku," ucap Gulita kepada Langit yang sedang membentangkan luasnya.

Langit hanya tersenyum masam.

"Ngomong-ngomong, apa maksud perkataanmu tadi?"

Langit tersenyum, "Ya, lagi-lagi Lembayung sudah pulang."

Gulita mendesah, "Lagi?"

Langit mengangguk, "Ya, sesaat sebelum kau datang, dia pergi."

"Kau selalu melihatnya?" Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, mengatur kesabaran, "Lalu, kenapa kau tak berkata kepadanya untuk menungguku?"

Langit terkekeh, "Kau terlalu memaksakan kehendak," dia terdiam, "Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin bertemu dengannya?"

Gulita termenung untuk beberapa saat, "Kudengar, dia sangat menakjubkan."

"Menakjubkan?"

Gulita mengangguk pelan, "Benar," Sekali lagi ia mendongak ke arah langit dengan tatapan serius, "Kau tahu, katanya, dia memiliki paras yang rupawan. Banyak orang yang rela berdiam diri hanya untuk memandanganya dengan takjub. Lalu ...." Kata-kata Gulita terhenti.

"Lalu?" Langit meminta kelanjutan kalimat dari Gulita.

"Mungkin dia bisa menerangi sosokku," tuturnya pelan.

Langit tersenyum, "Dengar, kau terlalu sibuk mencari sesuatu yang tak bisa kau lihat dan melupakan sosok yang sudah jelas ada di dekatmu."

Gulita memandang Langit penuh tanya, "Di dekatku?"

Langit mengangguk, "Bulan? Bintang? Bukankah mereka selalu membersamaimu dan tentunya menerangimu?"

Gulita menunduk, "Benar. Tapi ...."

"Terkadang, sekeras apapun kau berusaha, hasilnya hanya nyaris saja," tutur Langit seolah melanjutkan kalimat Gulita.

"Langit ...."

"Dan, ada sebuah pembatas yang tak terbentang luas, tipis saja. Namun, kau tak bisa melakukan apa-apa selain menerima," Langit terus berbicara, seolah tak memedulikan jawaban dari lawan bicaranya.

Gulita hanya termangu di dalam malam yang menjadi tempat kekalnya. Dia hanya terdiam, mengerti dengan apa yang diucapkan Langit. Mungkin semua ini salahnya, terlalu mengagumi sosok yang sudah jelas berbeda tempat dengannya. Dia selalu berandai-andai, jika saja ada suatu perbatasan antara penghujung siang dan awal malam, mungkin Lembayung dan Gulita bisa bertemu meski hanya saling melempar senyum dan berlalu. Nihil saja, kenyataannya, siang dan malam tak akan pernah menyatu.

Gulita segera beranjak dan menghentikan sosok Angin yang setiap saat berlalu, tak pernah mematung, "Angin, aku ingin menitipkan pesan kepada Lembayung."

Angin berhenti berhembus sejenak, "Silakan," jawab Angin singkat, seolah dikejar Waktu. Meski nyatanya, Waktu hanya berjalan, tak pernah mengejar, tak pula menunggu.

Gulita menahan napas dan menghembuskannya perlahan, "Sampaikan padanya bahwa dia tak perlu menungguku lagi," dia terdiam sejenak, "bahkan saat sesekali Hujan terjatuh dari pelukan Awan hanya untuk mengecup Tanah, aku dan Lembayung tak mungkin berjumpa."

Angin mengangguk, memahami apa yang harus dilakukannya.
***


Untuk kesekian sore, Lembayung mendekap penantian yang tak pernah berbuah temu.

"Aku kembali menerima pesan dari Gulita," ucap Angin tiba-tiba.

Lembayung menoleh dan tersenyum riang. Sekadar mendengar namanya saja, berhasil membuat Lembayung gembira. "Katakan," seru Lembayung tak sabar.

"Dia berkata bahwa kau tak usah menunggunya lagi," tutur Angin sambil berlalu.

Garis senyum masih tertinggal di wajah Lembayung, belum sempat memudar. Dia mematung untuk beberapa saat, membalikkan tubuhnya, kemudian berlalu. Mungkin untuk sore selanjutnya, meski dia tetap berpijak di tempat yang sama, tak akan ada penantian lagi. Tepat setelah Lembayung pergi, Gulita kembali muncul. Sebenarnya, tak perlu saling menunggu, saat Lembayung pergi, Gulita menapaki jejak Lembayung. Hanya seperti itu.

Ada sebuah kenyataan pahit dari sebuah penantian panjang mereka. Baik Lembayung maupun Gulita, tidak saling menyadari dan tak akan saling menyadari. Hanya Langit yang menjadi saksi bahwa di setiap penghujung hari, Gulita memusnahkan cahaya dari Lembayung untuk menciptakan lelap bagi siapa saja yang lelah. Tidak ada yang menyakiti dan tersakiti. Hanya seperti itu saja, sesuatu yang tak bisa diusahakan untuk berubah.

Dan lagi-lagi Langit, dia hanya bisa tersenyum geli melihat mereka yang nyaris saja bertemu. Hanya sedekat ujung hari dan awal malam. Nyaris saja mereka bertemu, tapi tak akan pernah bisa. Ya, semuanya hanya nyaris saja. Sebenarnya untuk apa kata "nyaris" tertulis? Dia hanya "lebih dari kurang" dan "kurang dari cukup." Benar, sudah sering terjadi, "Nyaris saja bertemu" jauh lebih menyakitkan daripada "Tidak bertemu".


~TAMAT~




Diubah oleh nanitriani 21-03-2022 15:37
bukhorigan
dan.13l
dan.13l dan bukhorigan memberi reputasi
2
551
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
mr..drAvatar border
mr..dr
#1
aku nyaris lupa padamu
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.