- Beranda
- Stories from the Heart
TUMBAL TERAKHIR
...
TS
tyasnitinegoro
TUMBAL TERAKHIR


"Aku ngerti jalur turunmu seko sopo! Aku yo ngerti dunyo seng tok nduweni saiki sumbere seko ngendi! dadi rausah mbok critakne dowo-dowo, Aku tetep gak setuju Nduk Kom tok rabi!" ( aku tau jalur keturunanmu dari siapa! Aku juga tahu harta yang kamu miliki itu sumbernya darimana! Jadi, gak usaj diceritakan panjang lebar, aku tetep tidak setuju kalau anak perempuan ku kamu nikahi)
Tegas dan berat suara dari seorang laki-laki tua berkopiah jaring kepada seorang pemuda tampan yang berada di hadapanya. Pemuda itu sebentar tertunduk, menatapi lantai tanah tak rata sembari tangannya meremas pegangan kursi kayu. Jiwanya bergolak marah, hatinya panas mendidih mendengar penolakan dari lelaki tua berwajah datar yang ia impikan bakal menjadi mertuanya.
Sang pemuda semakin terbakar emosi kala lelaki tua itu kembali berbicara sedikit menerangkan masa lalu dari kakek dan leluhurnya. Kepulan asap kemenyan dari rokok gulungan yang di hembuskan perlahan sang lelaki tua, tak lagi ia hiraukan meski menyesakkan dada.
Ingin rasanya saat itu ia berdiri dan mengumpat terlebih menghantam bibir tebal hitam lelaki di hadapanya, namun ia tahan, sebab ia sadar jika lelaki yang biasa di panggil Mbah Soko, bukanlah orang biasa.
Terbukti dari penolakanya yang begitu berani dengan perkataan kasar tentang keluarganya. Padahal satu Kampung, Desa atau bahkan tingkat Kecamatan tau siapa dirinya dan juga keluarganya.
"Aku ngerti seng tok pikir saiki, Aku yo ngerti nek koe loro ati! nanging koe yo kudu ngerti nek Aku ora bakal lilo ngeculke anakku dadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu nang TANGGAL TELULAS!"
( aku tau yang sekarang kamu pikirkan, aku jg tau kalau kamu sakit hati! Tapi kamu juga harus tau kalau aku tidak bakal ikhlas untuk melepaskan anakku jadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu di TANGGAL TIGABELAS)
Terjingkat, ternganga, sosok pemuda biasa di panggil Jasmoro mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Mbah Soko.
"Mripat abang lan tangan jeger seng ngawal koe tekan kene, wes mulai do gemeruh, mulio sak urunge tak bakar kabeh!" Tegas, lagi-lagi ucapan Mbah Soko yang segera menyadarkan Jasmoro akan keadaan di sekelilingnya terasa panas.
( Mata merah dan tangan jeger yang mengawalmu sudah sampai sini, sudah mulai bergemuruh, sekarang pulanglah sebelum tak bakar semua)
Belum sempat ia berdiri dan menyahut, Mbah Soko terlebih dahulu beranjak masuk kedalam. Jasmoro hanya termangu menatapi liukan kain batik berwarna hijau yang menjadi penutup sekaligus penyekat pandangan antara ruang tamu dan ruang dalam rumah Mbah Soko.
Masih tercium sengak aroma kemenyan menyesak ketika kaki Jasmoro mengayun keluar dari rumah Mbah Soko. Hatinya terasa sakit malam itu. Pikirannya di penuhi selingan amarah dan kecewa setelah dengan jelas niatnya untuk mendapatkan Kom, anak bungsu Mbah Soko terpupus karena statusnya sebagai keluarga Murti Rahmi.
Jasmoro memang mengakui akan status keluarga terkhusus dari Nenek dan kini Ibunya. Ia yang telah mengerti dengan liku dan alur semua kekayaan berasal dari mana, tak menampik semua kebenaran yang di jabarkan Mbah Soko.
Namun hal yang membuatnya sangat kecewa dan marah adalah niatnya yang tulus untuk Kom. Bahkan dalam hatinya ia berjanji tak akan melibatkan Kom untuk urusan hitam pekat dalam lingkup keluarganya. Namun itu tak cukup membuat Mbah Soko merelakan Kom untuk di jadikannya Ratu dalam rumah mewah nan megah milik keluarga MURTI RAHMI.
"Rasah mrino atimu Le, bakal tak dadekne awu canang wong tuek seng jenenge Soko! rasah kuwatir Le, Nduk Kom bakal dadi garwomu nang TANGGAL TELULAS sasi Pitu!"
(Tidak usah berkecil hati nak, bakal aku jadikan awu canang orang tua yang namanya Soko itu! Tidak usah khawatir nak, anak perempuan itu akan menjadi istrimu di tanggal tigabelas bulan tujuh)
Jasmoro terjingkat, kaget, saat baru saja masuk kedalam mobil warna hitamnya, telinganya mendengar suara lirih menyengit. Walaupun ia terbiasa akan hal-hal aneh dan menyeramkan, namun untuk kali ini ia sedikit gemetar. Apalagi ketika ia melihat dari kaca kecil yang terpasang di atas kepalanya, bola matanya seketika melebar.
Mulut Jasmoro terkatup rapat, keringat mulai merembes menembus kemeja polos yang menempel di tubuhnya, kala tatapannya dari kaca beradu dengan bola mata putih rata dari satu sosok perempuan tua yang duduk tepat di belakangnya.
"Iling-ilingo Le, TANGGAL TELULAS!"
Diubah oleh tyasnitinegoro 08-04-2023 04:01
arieaduh dan 32 lainnya memberi reputasi
31
21.8K
160
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tyasnitinegoro
#20
TUMBAL TERAKHIR 2
PART SEBELUMNYA 👇
"Wes ngerti, krungu opo tujuane Jasmoro rene mau, Nduk?"(Sudah tau, dengar apa tujuannya Jasmoro kesini tadi, Nduk?)
Ucap Mbah Soko pada satu sosok gadis berambut sepunggung yang baru saja menutup pintu.
"Wes, Pak. Aku wes krungu nek bapak nolak Mas Jas!"(Sudah, Pak. Aku sudah dengar kalau bapak menolak Mas Jas!)
ketus, sahut sang gadis berwajah ayu namun berbalut kerutan kecewa.
"Lak yo krungu opo alasane bapak nolak lamarane Jas?"( Tapi ya dengar apa alasannya bapak nolak lamarannya Jas?)
ucap Mbah Soko sembari duduk dan meraih korek api di atas meja.
Kepulan asap sebentar kemudian bergumpal-gumpal keluar dari bibir Mbah Soko. Aroma menyan dan kelembak pun seketika merebak memenuhi seantero ruangan tak lebih dari 3x3 meter berdinding papan.
Akan tetapi, hal itu seolah tak membuat sang gadis yang tak lain adalah Komala, putri bungsu Mbah Soko terganggu. Ia kini malah terlihat mendekat dan duduk di samping sang bapak.
"Sebenere aku gak kudu weruh urusan keluargane Mas Jas, Pak. Aku juga gak pingin krungu crito asal usul bondone wet seko simbahe biyen. Aku karo Mas Jas ki podo senenge, podo nrimone. Dadi gak enek masalah,"(Sebenarnya aku tidak harus tau urusan keluarganya Mas Jas, Pak. Aku juga gak ingin dengar cerita asal usul hartanya mulai dari kakek neneknya dulu. Aku sama Mas Jas saling menyukai, sama menerimanya. Jadi gak ada masalah,)
ucap Komala pelan dan sedikit memelas.
"Akeh seng gak mbok ngerteni, Nduk. Dudu masalah bondone, dudu masalah Jasmorone. Tapi masalahe mbisuk bakal dadi dowo meneh, mesakne wong-wong seng gak ngerteni perkoro gede wet di awali jaman mbah e Jasmoro dadi korban. Iku ngunu masalah nyowo Nduk, nyowone wong pirang-pirang!"(Banyak yang tidak bisa kamu mengerti, Nduk. Bukan masalah hartanya, bukan masalah Jasmoronya. Tapi masalahnya kelak akan jadi panjang lagi, kasihan orang-orang yang tak mengerti perkara besar yang di awali jaman kakek neneknya Jasmoro dulu menjadi korban. Ini semua masalah nyawa Nduk, nyawanya orang banyak!)
Sahut Mbah Soko mencoba menerangkan.
"Mas Jas iku wes janji mbek aku, Pak. Bahwa gak bakal arep nglibatke aku nang urusan seng bapak omongke. Aku percoyo Mas Jas Pak, nek dekne gak bakal ingkar janji," (Mas Jas itu sudah janji sama saya, Pak. Bahwa tidak akan mau melibatkan saya dalam urusan yang bapak ucapkan. Saya percaya Mas Jas Pak, kalau dia tak akan ingkar janji,)
Jawab Komala mencoba meyakinkan Mbah Soko.
"Nduk! Bapak nglakoni iki kanggo awakmu! kanggo masyarakat akeh! ora mergo ngge urusane bapak!"( Nduk! bapak melakukan ini untuk dirimu! untuk masyarakat banyak! tidak hanya untuk urusannya bapak!)
Kali ini suara Mbah Soko sedikit keras dan tegas mendengar jawaban sang Anak.
"Terserah Bapak!" Sahut komala yang tak kalah tegas setelah terdiam beberapa saat. Ia kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan Mbah Soko yang masih terpaku dengan sikap anaknya.
Helaan nafas begitu berat terhempas dari dada berbungkus kulit keriput, menandakan bahwa banyak gumpalan beban di dalamnya. Sejenak suasana terasa hening, tak terdengar lagi suara deru motor bersliweran dari jalan desa yang berjarak 100 an meter dari kediaman sederhananya. Di samping waktu yang memang telah larut, malam itu setelah kedatangan Jasmoro, Mbah Soko merasakan hal lain dari mulai hawa di dalam rumah sampai luar sekelilingnya.
Sejenak Mbah Soko terdiam sembari menatap ke arah pintu, sebelum tubuh tuanya bangkit dan melangkah mendekat. Ia terlihat berani, namun saat akan membuka kancing pintu yang terbuat hanya dari paku melintang, ada keraguan tersirat dari wajahnya.
"Opo Rahmi wes melu-melu urusan iki?"(Apa Rahmi sudah ikut-ikut urusan ini?)
Gumam Mbah Soko, sesaat setelah hidungnya membaui sesuatu.
"Ciloko nek pancen Rahmi wes ngrungsek perkoro iki!"(Celaka kalau memang Rahmi sudah turun tangan urusan ini!)
seru lirih Mbah Soko kembali pada dirinya sendiri.
"Kletek ... kriettt...." Akhirnya pun Mbah Soko dengan keberanian dan rasa penasaran membuka pintu.
Tapi tak lama, wajah tua miliknya yang awal tegang, terlihat memucat kala menatap ke halaman tak seberapa luas depan rumahnya, di sambut sebuah tandu berwarna hitam dengan empat lelaki kekar bertelanjang dada yang memanggulnya.
Semilir angin seharusnya sejuk nan dingin, di rasa panas menyapu seluruh kulit Mbah Soko. Apalagi, saat sehelai kain hitam penutup depan tandu terbuka, siutan angin kencang di barengi aroma busuk bercampur amis menyengat, langsung membuat tubuh Mbah Soko goyah mundur masuk kembali ke dalam.
Tak lama, Mbah Soko merasakan tubuhnya kaku, darahnya seakan terhenti mengalir, kala melihat satu sosok wanita renta berbola mata putih rata dengan helaian rambut memanjang seakan tanpa ujung turun dari tandu.
Sosok wanita tua itu melangkah perlahan. Tak terdengar suara langkah kakinya, hanya suara gesekan rambut sumber bau busuk yang menyapu tanah halaman sedikit berpasir.
Sosok itu terus mendekat ke arah tempat Mbah Soko berdiri. bola mata putihnya menatap nyalang penuh makna, seolah menguraikan amarah yang bergemuruh terhadap diri Mbah Soko.
"Aku wes ngampuni bapakmu biyen, Soko! malahan tak kei kesempatan kanggo turune podo urep normal! Tapi saiki koe kewanen nampek putuku! Lawang garbo pitu wes kebuka, tanggal telulas sasi pitu kudu enek tetalen. Koe wani arep medot!? sak lembar nyowo tuomu kui ra bakal cukup nggo mbayar!"(Aku sudah mengampuni bapakmu dulu, Soko! Malah saya beri kesempatan buat keturunannya bisa hidup normal! Tapi sekarang kamu terlalu berani nolak cucuku! Pintu garba tujuh sudah terbuka, tanggal tiga belas bulan ke tujuh harus ada pengikat. Kamu berani ingin memutusnya? Satu lembar nyawa tuamu itu gak akan cukup untuk membayar!)
Nyaring dan lirih suara sosok tua itu membisik di telinga kanan Mbah Soko. Namun, lain dirasa oleh gendang telinganya. Dirinya merasakan seperti tertusuk besi panas yang masuk paksa ke dalam. Membuat matanya melotot seakan merasakan sakit luar biasa.
Tak cukup sampai di situ, Mbah Soko pun merasakan indra penciumannya tiba-tiba panas dan seperti ada sesuatu yang mengalir keluar. Dirinya pun akhirnya menyadari jika sesuatu itu adalah darah segar dari dua lubang hidungnya. Ia tau jika aroma busuk dari helaian rambut sosok tua itu, tak kuat ia cium sehingga menyebabkan darahnya menetes.
"Koe tetep tak ampuni saiki, mergo aku butuh koe nang sasi pitu tanggal telulas. Iki dadi peringatan kanggo koe, nyadarne koe, yen keturunanmu kudu dadi tali pengiket lawang garbo seng tak gawe. Wani polah, ra bakal slamet!"(Kamu tetap saya ampuni sekarang, karena aku butuh kamu pada bulan tujuh tanggal tiga belas. Ini jadi peringatan untuk kamu, menyadarkan kamu, kalau keturunanmu harus jadi penyambung pintu garba yang telah saya buat. Berani macam-macam, tidak akan selamat!)
Lagi, suara sosok wanita tua itu membisik lirih tapi terdengar melengking di telinga Mbah Soko. Membuat tubuhnya semakin kaku tak berdaya.
Hal itu di rasakan Mbah Soko cukup lama. Hingga sampai saat sosok tua itu melangkah masuk ke dalam kamar milik Komala, barulah Mbah Soko mulai mampu menggerakkan tubuhnya. Namun itu semua bukan malah membuat rasa takut dan cemasnya mereda, tapi malah semakin membuncah.
Mbah Soko menyadari jika sosok wanita tua itu masuk ke dalam kamar anak bungsunya, maka malapetaka yang dirinya takutkan akan terjadi. Mbah Soko pun segera memaksa tubuh lemahnya bergerak mengikuti arah sosok wanita tua itu. Ia kemudian mendekati pintu kayu kamar Komala, namun baru saja ia berhasil membuka pintu itu, lagi-lagi kakinya hanya bisa terpaku.
"Nyi Rahmi, tolong ojo anakku! tak ganti nyowoku, tolong Nyi...."(Nyai Rahmi, tolong jangan anakku! saya ganti nyawaku, tolong Nyai....)
Kali ini, meski tubuhnya mengalami hal sama seperti semula, namun mulut Mbah Soko mampu berucap. Akan tetapi, sedikitpun tak ada reaksi dari sosok wanita tua yang kini sudah berbaring tepat di samping anak bungsunya.
Anehnya, Mbah Soko jelas masih mencium pekat bau busuk bercampur amis dari sosok Nyi Rahmi, namun hal itu seperti tak berpengaruh pada diri Komala.
Matanya masih terpejam pulas walau tangan berjari hitam legam milik Nyi Rahmi tengah memebelai lembut rambutnya.
Mbah Soko terus meratap, memohon lirih di iringi tangisan. Mengharap iba dari sosok yang ia dengar kengerian dan kebengisannya semasa hidup. Sosok yang ia tau dari orang tuannya adalah pemuja iblis di salah satu hutan demi sebuah kekayaan. Meski telah meninggal beberapa puluh tahun silam, tapi wujud wanita itu masih ada. Sebab ia tak di terima sebagai manusia kembali.
Sosok Rahmi akan terus menjelma selagi keturunannya menyambung tetalen dengan makhluk junjungan yang telah berikat. Ia akan hilang dan menjadi abdi abadi sang Iblis setelah tujuh tali canang garbo telah terpenuhi sesuai kesepakatan yang pernah ia buat.
Semua hal itu Mbah Soko ketahui dari orang tuanya dulu. Bahkan, dari sedikit belajarnya ia dalam hal kebatinan, Mbah Soko tau semua ritual penyambungan tetalen antara keturunan Rahmi dengan sang Iblis. Namun dirinya tak menyangka jika kini, calon penyambung tetalen itu adalah anak bungsunya sendiri.
"Brakkkkk...."
Satu suara benturan lumayan keras di iringi lenguhan menahan rasa sakit datang dari mulut Mbah Soko. Dirinya yang mencoba mendekat ke arah ranjang tempat sosok Nyi Rahmi masih berbaring di samping putrinya, tiba-tiba saja terhempas ke belakang menghantam dinding papan.
Mbah Soko sadar akan kekuatan yang di milikinya tak sepadan dengan sosok berambut panjang Nyi Rahmi. Namun demi sang Anak, ia memberanikan diri untuk melawan.
Berkali-kali Mbah Soko bangkit dan mencoba mendekat, tapi kembali ia terhempas. Sampai akhirnya sebuah lengkingan tawa ngikik dari sosok Nyi Rahmi, membuat tubuh renta berbalut kulit keriput Mbah Soko tak mampu lagi untuk sekedar berdiri.
"Tengeran iki wes dadi wujudte anakmu dadi wadah tetalenku! ra keno di guwak, ra keno di owah, mergo sambung karo nyowone. Tanggal telulas koe yo tak enteni Soko! nek pingin anak turunmu seng liane langgeng!"(Tanda ini sudah jadi wujud anakmu menjadi tempat penyambungku! tidak bisa di buang, tak bisa di rubah, karena menyatu dengan nyawanya. Tanggal tiga belas kamu juga saya tunggu Soko! kalau ingin anak keturunanmu yang lain selamat!)
Sentakan suara dari sosok Nyi Rahmi tak mampu lagi Mbah Soko jawab. Hanya sorot mata sayunya mengiring kepergian sosok Nyi Rahmi yang seolah melayang menembus dinding papan rumahnya menuju ke arah depan. Tiga kali suara pukulan gamelan Gong, menjadi akhir kejadian mengerikan bagi Mbah Soko.
Perlahan tubuhnya mulai bangkit, memaksa kakinya yang masih terasa berat berayun mendekati Komala. Hatinya pedih, kecemasan, kekhawatiran dan rasa putus asa, memaksa buliran bening mengalir dari dua bola matanya. Mbah Soko tersengguk saat menatap tubuh anak bungsunya yang terbalut selimut kain batik. Ia merasa usaha dan harapannya sia-sia. Namun, ketika satu memori kenangan masa lalu antara dirinya dan orang tuanya melintas di pikiran, Mbah Soko bangkit. Ia seperrti mengingat sesuatu yang kembali membangkitkan secercah harapan untuk keselamatan keluarganya, terkhusus Komala.
Penerangan lima Watt dalam kamar ukuran 3x3, membantu pandangan Mbah Soko dalam mencari sesuatu. Sesuatu yang saat ini ia butuhkan guna menyelamatkan banyak nyawa, termasuk nyawa anak dan dirinya sendiri.
Satu persatu tempat itu ia periksa dengan tangan sedikit gemetar. Hingga, sampai pada satu bungkusan dalam lemari kayu terlihat sudah lapuk, jari Mbah Soko menarik dan mengangkat sebuah bungkusan kecil.
Bungkusan dari kain hitam itu kemudian ia bawa ke dalam kamar pribadinya. Sesampainya, perlahan ia membuka satu persatu ikatan pada kain. Hingga saat bungkusan itu terbuka, wajah Mbah Soko menegang. Urat lehernya menonjol, bibirnya tergetar melihat satu kilatan isi dalam bungkusan itu.
"Di sepuro kulo Pak, kepekso Jengger Cakut niki kulo gunakke. Dudu niate mateni, nanging kanggo ngrampungke lan nylametke putumu!" lirih gumam Mbah Soko saat tangannya mengangkat sebuah boneka kecil berjengger, yang seperti terbuat dari tanah liat berwarna kuning yang mengeras.
Tak hanya berupa boneka kecil, Mbah Soko juga mengambil sebuah keris berukuran sebesar jari kelingking yang terletak tepat di bawah boneka itu. Kemudian kedua benda yang tiba-tiba menebar bau wangi itu dirinya bawa ke arah belakang rumah.
Langkah kaki Mbah Soko terhenti ketika sampai di bagian halaman belakang, tepatnya tiga langkah dari pintu papan penutup rumah yang juga berfungsi sebagai dapur. Mbah Soko terdiam sejenak, menunduk seraya menggerakan bibirnya, seperti tengah membaca sesuatu.
Hitungan sembilan puluh detik kemudian, Mbah Soko duduk bersila beralaskan tanah. Ia tak perduli dengan hawa dingin dari hembusan angin malam yang sesekali kencang menerpa wajah tuanya.
Mbah Soko masih tertunduk, menatapi dua benda yang telah ia letakkan di tanah. Dada kurusnya bergemuruh, nafasnya tersengal dan sesekali terputus seolah menahan satu beban, hingga sampai pada tiga tarikan nafas, tiba-tiba suasana di sekitar tempat itu berubah.
Angin dini hari mulai bergemuruh beriring sesekali kilatan. Taluh-taluh mulai terdengar menyahuti suara tawa ramai anak-anak kecil yang entah dari mana asalnya. Namun hal itu tak membuat Mbah Soko bergeming, bahkan ia terlihat semringah kala satu tawa panjang menggema di antara suara tawa anak-anak itu.
Tangan Mbah Soko cepat-cepat meraih keris kecil berwarna hitam saat suara tawa itu masih terdengar. Tanpa ragu ia segera menggoreskan ujung keris pada lengan keriputnya yang berakibat luka kecil dan melehkan darah merah.
Tak membuang waktu, Mbah Soko segera melumuri keris dan boneka berjengger itu dengan darahnya sendiri sembari mulutnya menyebut sebuah nama dan kalimat mantra yang di ulang-ulang.
Setelah semua bagian terlumuri darah, Mbah Soko kembali diam menunduk. Sama halnya dengan suara tawa yang mereda. Namun tak berapa lama, wajah Mbah Soko mendongak, menatap lurus ke depan, pada sepasang kaki hitam yang telah ada di hadapannya.
"Tak jogone kabeh seng ono nggok kene, mergo koe wes nangekne aku lan anak-anakku! tapi koe kudu ngerti yen aku karo anak-anakku butuh mangan!"(Saya akan lindungi semua yang ada di sekitar sini, karena kamu sudah membangunkan aku dan anak-anakku! tapi kamu harus tau kalau aku dan anak-anakku butuh makan!)
Satu suara cempreng terbata, sedikit mengejutkan Mbah Soko. Sesaat ia pun mendongakkan wajahnya ke atas, melihat ke arah sumber suara yang juga sang pemilik kaki kurus hitam berbulu di depannya.
Sungguh, meskipun dengan melotot dan menajamkan bola matanya, tapi Mbah Soko tetap tak dapat melihat wajah dari wujud mahluk itu. Yang ia tangkap dari pandangannya hanya beberapa wujud anak kecil bergelantungan pada kedua tangan hitam sosok itu. Anak-anak itu tampak riang sembari tertawa, berlompatan dari tangan kanan ke tangan kiri.
Tubuh mereka sama kurus dan panjang, wajah mereka nyaris tak berindra. Hanya terdapat satu lobang di bagian mulut dan dua lobang pada indra penglihatan namun tak berbola. Tak bertelinga, dan tak ada sehelai rambut yang menempel tapi terdapat gumpalan-gumpalan sebesar ibu jari kaki seperti jengger.
Mbah Soko tau siapa-siapa mahluk itu. Akan tetapi, itu baru sebatas cerita dari orang tuanya. Dan kini, demi melindungi keluarganya ia harus berurusan dengan mahluk yang telah di tidurkan oleh orang tuanya puluhan tahun.
"Kulo ngertos Buyut...."(Saya tau Eyang buyut....)
sahut Mbah Soko pelan, yang di sambut tawa dari sosok-sosok itu.
Mbah Soko cepat-cepat menggali tanah berpasir di hadapannya setelah suara tawa dari mahluk itu mereda pun dengan wujudnya yang sudah menghilang.
Dua jengkal lobang tak seberapa lebar yang hanya cukup untuk boneka dan keris bertumpangan, akhirnya telah selesai. Mbah Soko lalu mengubur dua benda itu dan setelahnya ia kembali ke dalam. Tanpa menyadari jika ada sepasang mata bening yang menatapi dirinya dari seberang pekarangan batas, berpagar anyaman bambu.
Pemilik dari sepasang bola mata itu tampak marah. Kilatan dari wajah tegasnya mengurat penuh dendam. Tangannya mengepal kuat, mencerminkan kesiapan dalam kekerasan.
"Tuo A*u!!! ra keno di apik i, malah njalok perang alus!"(Tua Anj*ng!!! tidak bisa di ajak baik-baik, malah minta perang halus!)
Umpat sang lelaki yang masih menatap ke arah halaman belakang rumah Mbah Soko dari celah pagar bambu.
Setelah puas dengan umpatan dan cacian, lelaki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan pekarangan milik warga yang berbatasan dengan tanah Mbah Soko. Ia berjalan menembus gelapnya malam khas pedesaan.
Sesampainya di depan gerbang masuk desa, lelaki itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang telah terdapat seorang sopir di dalamnya. Tak lama mobil itu pun melaju, berputar arah menuju barat Desa melewati jalanan tanah berlubang dengan hamparan sawah-sawah di kanan kiri.
Tak sampai empat puluh menit, mobil itu berbelok dan masuk ke sebuah gapura berukir, bersayap pagar tembok setinggi dua meter keliling membentuk persegi.
Sampai dua ratusan meter mobil itu melaju pelan dan berhenti di sebuah garasi. Tak hanya satu, ada beberapa mobil lain yang terparkir di garasi itu, menandakan jika sang pemilik bukanlah orang sembarangan. Mengingat dari deretan mobil dan rumah besar nan megah berpagar tembok rapat keliling.
Lelaki yang tak lain adalah Jasmoro, berjalan cepat masuk ke dalam rumah berpintu kayu jati mengkilat setelah turun dari mobil pribadinya. Wajahnya masih terlihat merah dengan kilatan api kemarahan pada sorot matanya. Ia terus melangkah menyusur lantai rumah milik orang tuanya yang beralaskan marmer motif batu alam pecah mengkilap.
Sunyi, hening, seolah tak berpenghuni rumah besar nan megah itu. Hanya terdengar langkah Jasmoro bersahut detikan jam dinding berbungkus kayu di sudut ruang tamu utama. Sampai akhirnya, langkah Jasmoro memelan saat menginjak di sebuah ruangan bercahaya remang. Jasmoro kemudian berhenti sejenak dan terdiam, ia seperti ragu untuk lebih mendekat ke arah pintu berwarna coklat tua. Namun, mengingat kembali apa yang sudah ia lihat tentang ritual Mbah Soko, Jasmoro akhirnya meneruskan langkahnya.
"Mlebu o Le, Ibu wes nunggu wet mau."(Masuk lah Nak, Ibu sudah menunggu dari tadi.)
Belum sempat Jasmoro menyentuh handle pintu, satu suara lembut dari dalam memantapkan langkahnya.
"Ibu...." ucap Jasmoro setelah membuka pintu dan berdiri dua langkah dari sesosok perempuan yang tengah duduk di atas kursi goyang dengan posisi membelakangi.
"Ibu wes ngerti, tapi ojo kuwater le, Ibu karo eyangmu gak bakal meneng wae! saiki awakmu mlebuo nang pendopo limo, istirahato sewengi iki, wes wayahe awakmu ketemu eyangmu. Mergo awakmu bakal dadi peneruse."(Ibu sudah tau, tapi jangan khawatir, Ibu sama Eyangmu tak akan tinggal diam! sekarang kamu masuklah ke pendopo lima, istirahatlah semalam ini, sudah saatnya kamu bertemu eyangmu. Karena kamu akan menjadi penerusnya.)
Pelan dan penuh wibawa suara dari sosok perempuan dengan masih pada posisi membelakangi Jasmoro.
Tanpa menunggu kedua kali, Jasmoro segera menunduk dan pergi meninggalkan kamar itu. Ia kembali berjalan menyusuri ruang demi ruang sampai pada ruang terakhir belakang. Jasmoro pun terus melangkah keluar tanpa memperdulikan apapun. Ia baru berhenti ketika sampai pada sebuah bangunan cukup besar berdinding papan kayu berukir dari mulai tiang-tiang penyangga hingga atap. Meski tak ada penerangan langsung di sekeliling tempat itu, namun dari sorotan cahaya lampu pagar, tampak ruangan itu begitu terawat.
Jasmoro segera melangkah menaiki tiga tangga kayu menuju pintu. Tangannya segera mendorong pelan daun pintu sisi kanan sebelum tubuhnya hilang masuk ke dalam ruangan yang bila di lihat secara batin, terang benderang dengan kilauan cahaya berpendar perak keemasan serta terdengar alunan gamelan pengiring tembang-tembang Jawa halus....
Diubah oleh tyasnitinegoro 20-03-2022 13:34
sulkhan1981 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup