Quote:
Pagi menjelang. Warga Margopuro yang tengah melakukan pencarian, akhirnya menemukan Galih dan Prapto di makam kembar, setelah melihat fenomena alam aneh yang terjadi hanya dalam sekejap mata itu. Anjarpun juga telah sampai di tempat itu. Disusul kemudian oleh Ajeng yang datang bersama Kang Marno dan Yudi.
Setelah mendengar sekilas apa yang sebenarnya telah terjadi, Paklik Harno kemudian memutuskan untuk mengajak mereka kembali ke desa terlebih dahulu, dan melaporkan kejadian ini kepada Pakdhe Margono.
"Jika benar orang orang itu adalah para pelarian dari Margopuro yang dulu menjadi buronan itu, ini sudah bukan masalah main main lagi. Apalagi mereka telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap kalian. Lebih baik kita kembali ke desa dulu dan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Biar mereka nanti yang akan mengusutnya," ujar Paklik Harno.
"Bagaimana dengan simbah?" Anjar bertanya di sela isak tangisnya.
"Soal Mbah Pariyem, Paklik yakin Nduk, simbahmu itu akan baik baik saja. Biar nanti aparat juga yang mencarinya," jawab Paklik Harno lembut, sambil mengelus bahu gadis itu.
"Benar Njar, biar nanti aparat yang mencari simbahmu. Terlalu berbahaya kalau kita nekat untuk mencarinya. Orang orang itu, mereka bersenjata, dan..."
"Kalian!" Anjar tiba tiba bangkit dan menatap tajam ke arah orang orang tengah mengerumuninya itu. "Manusia macam apa kalian ini hah?! Setelah simbahku berjuang mati matian untuk menyelamatkan kalian, dan kalian kini bisa berkumpul kembali, kalian tega membiarkan simbahku berjuang sendirian menghadapi orang orang itu?! Tidak! Aku tak akan pulang ke desa sebelum menemukan simbahku! Kalian orang orang tak tau diuntung, kalau mau kembali ke desa, silahkan! Biar kucari sendiri simbahku itu!"
"Anjar! Dengarkan aku!" Galih yang sedikit banyak merasa bersalah karena telah melibatkan adik sepupunya itu dalam masalah ini, mencoba menenangkan Anjar. ”Aku minta maaf kalau masalah ini sampai melibatkan dirimu dan nenekmu. Tapi benar kata Paklik Harno. Terlalu berbahaya kalau kita nekat menyusul nenekmu. Bukannya kami tak tau berterimakasih atas semua bantuanmu dan nenekmu, tapi, biar nanti Pakdhe Margono yang mencari nenekmu. Aku yakin..."
"Tidak Galih! Kau pikir butuh waktu berapa lama sampai para tentara itu datang kesini? Disaat itu simbahku mungkin sudah mati! Aku akan tetap mencarinya! Sekarang! Dengan atau tanpa kalian!"
"Tapi Njar...."
"Cukup! Tak perlu kaupedulikan aku dan simbahku Galih! Urus saja adikmu itu!" Anjar berseru tegas, sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang berusaha mencegahnya, ia acuhkan begitu saja. Bahkan tangisan Ajengpun tak lagi dipedulikan oleh gadis itu.
"Benar benar keras kepala!" Galih bersungut sambil bermaksud mengejar gadis itu. Namun niatnya itu ditahan oleh Yudi.
"Biar aku dan bapakku yang menemani gadis itu. Kau, lebih baik temani saja adikmu kembali ke desa. Kasihan, dia sudah cukup syok dengan semua kejadian yang dialaminya ini," kata Yudi.
"Tapi..."
"Percayalah! Aku dan bapakku lebih mengenal medan di gunung ini daripada kalian. Lagipula di hutan sana masih ada Lik Gagu yang mungkin bisa membantu. Aku berjanji, secepatnya aku akan berusaha untuk membujuk gadis keras kepala itu kembali ke desa!" tegas Yudi.
”Ah, aku percaya padamu Yud. Dan terimakasih, aku banyak berhutang budi padamu. Kau telah selamatkan adikku, dan..."
"Lupakan soal itu Galih! Kita teman sejak kecil dulu. Anggap saja ini sebuah hadiah pertemuan setelah sekian lama kita berpisah. Lebih baik kalian sekarang segera kembali ke desa dan secepatnya menghubungi pihak yang berwajib. Semakin cepat semakin baik!"
"Ya! Akan segera kuusahakan Yud! Dan soal si Anjar itu, kupercayakan dia kepadamu!"
Merekapun berpisah. Yudi dan Kang Marno segera menyusul Anjar, sementara Galih dan warga yang lain bergegas kembali ke desa.
Tanpa membuang waktu, Paklik Harno lalu segera melaporkan kejadian itu kepada aparat di kota kecamatan. Ia juga langsung mengirim telegram ke kantor Pakdhe Margono di kota S. Dan hanya dalam hitungan jam, desa Margopuro kini telah dipenuhi oleh tentara berseragam loreng.
Semua bergerak cepat. Setelah mendengar semua penjelasan dari Paklik Harno, Pakdhe Margono segera berkoordinasi dengan pihak berwajib yang bertanggungjawab di kota ini. Pencarian besar besaranpun dilakukan. Gunung Kambengan yang sebelumnya jarang dijamah manusia itu, kini diserbu oleh pasukan berseragam lengkap dengan senjata di tangan.
Seharusnya ini menjadi pencarian yang mudah, karena gunung Kambengan sebenarnya hanyalah sebuah bukit kecil, dan para tentara yang sebagian besar adalah mantan pejuang yang dulu sering ikut bergerilya itu sudah cukup terlatih dan berpengalaman. Namun tidak dengan kenyataannya.
Hari pertama pencarian, mereka hanya menemukan tiga orang perempuan di desa tersembunyi itu. Mereka adalah istri istri dari Kang Sardi, Kang Mitro, dan Mbah Mijan. Ketiganya diamankan tanpa perlawanan di gubuk mereka masing masing di desa tersembunyi. Sebuah penemuan besar bagi para tentara itu, karena mereka sama sekali tak menyangka kalau masih ada sisa sisa gerombolan yang selamat dan membangun perkampungan di puncak Kambengan.
Segala sesuatu yang dianggap penting yang ditemukan di desa tersembunyi itu lalu dibawa turun ke desa. Sementara gubuk gubuk yang kini sudah tak berpenghuni itu dirobohkan hingga rata dengan tanah. Sayangnya, tak banyak keterangan yang bisa didapat dari ketiga perempuan itu, karena sepertinya mereka memang tak tau apa apa.
Di hari kedua, lagi lagi mereka, para tentara itu, hanya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Mereka hanya menemukan Bayan Mardi dan Sarto yang sudah sekarat ditemani oleh si Gagu dan istrinya. Beruntung, kedua orang itu akhirnya bisa dievakuasi dan diselamatkan.
Di hari ketiga, giliran Bejo yang ditemukan di dasar jurang yang lain, yang kondisinya jauh lebih parah daripada Bayan Mardi. Laki laki itu benar benar telah sekarat, tergeletak dengan sebelah kaki patah tanpa ada seorangpun yang menemani. Dari si Gagu dan Bejo inilah akhirnya aparat bisa sedikit mendapat keterangan tentang apa apa saja yang mereka rencanakan. Ditambah keterangan dari Kang Marno dan Yudi, akhirnya para tentara tau tempat tempat mana saja yang sekiranya bisa dijadikan tempat persembunyian para gerombolan itu.
Hingga pada hari keempat, para tentara itu berhasil menemukan Karyadi cs di lereng selatan. Tepatnya di sebuah ceruk semacam goa yang letaknya memang sangat tersembunyi. Kondisi keempat orang itu jauh lebih parah lagi. Memang tak ada luka atau cidera serius yang dialami oleh keempat orang itu. Namun mereka diketemukan dalam kondisi linglung. Awalnya, para tentara mengira mereka hanya pura pura linglung untuk menghindari cercaan pertanyaan dari para petugas. Namun setelah dilakukan pengusutan lebih lanjut, ternyata keempat orang itu memang terbukti telah kehilangan akal sehat mereka. Ya! Keempat orang itu, entah bagaimana ceritanya tiba tiba menjadi gila. Benar benar gila, hingga sampai jauh hari setelahnya, sampai akhir hayat mereka, keempat orang itu tak pernah mendapatkan lagi kewarasan mereka. Beruntung istri istri mereka masih setia merawat dan mendampingi keempat orang itu sampai ajal menjemput mereka.
Ada yang janggal saat keempat orang itu diinterogasi oleh aparat. Mereka nampak seolah ketakutan akan sesuatu, dan terus terusan menceracau, menyebut nyebut makhluk makhluk aneh yang mengejar ngejar mereka dan menyesatkan mereka hingga tak mampu menemukan jalan untuk turun dari gunung itu.
Benar atau tidaknya pengakuan keempat orang itu, aparat tak begitu memperdulikannya. Mereka kini fokus untuk mencari keberadaan Mbah Pariyem. Biar bagaimanapun perempuan tua itu juga harus segera diketemukan dan dibawa kembali ke desa.
Namun usaha itu sepertinya sia sia. Sampai tujuh hari pencarian dilakukan, namun sosok nenek tua itu tak kunjung juga diketemukan. Aparat mau tak mau harus menghentikan aksi pencarian itu. Tinggal Pakdhe Margono yang masih ada hubungan kerabat dengan Mbah Pariyem yang masih tinggal. Laki laki itu terpaksa mengambil cuti dan membantu warga setempat untuk terus mencari Mbah Pariyem.
Anjar sendiri, gadis itu jelas tak kenal kata menyerah untuk mencari neneknya. Seperti dulu neneknya yang terus mencarinya saat ia hilang di gunung, kini Anjar setiap hari naik turun gunung, menyusuri setiap jengkal hutan belantara di puncak Kambengan hanya demi untuk menemukan nenek tercintanya.
Kondisi gadis itu sangat mengenaskan kini. Baru beberapa hari ia kehilangan sang nenek, namun tubuh gadis itu sudah terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Penampilannya juga terlihat semakin tak terurus. Dekil dan acak acakan. Entah sudah berapa hari gadis itu tak mandi. Entah sudah berapa hari juga gadis itu tak makan. Anjar seolah sudah tak peduli lagi dengan kondisi tubuhnya sendiri. Satu yang ada di pikiran gadis itu hanyalah segera menemukan sang nenek dan mengajaknya kembali pulang, karena hanya sang neneklah satu satunya keluarga yang ia miliki.
"Njar, aku tau seberapa besar rasa kehilangan yang kaurasakan saat ini," ujar Galih saat suatu malam datang mengunjungi gadis itu di gubuknya bersama Prapto. "Tapi tak seharusnya kau menyiksa dirimu sendiri seperti ini. Ini, makanlah barang sedikit, agar kau tak sampai jatuh sakit."
Anjar hanya duduk diam laksana patung batu di tempatnya. Bahkan rantang berisi makanan yang sengaja dibawa oleh Galih untuknya itu, sama sekali tak diliriknya. Kedua mata gadis itu hanya fokus menatap ke arah ranjang reot tempat biasa sang nenek tidur yang kini telah kosong tanpa penghuni itu.
"Njar...," kembali suara Galih memecah keheningan. "Aku minta maaf, karena selama ini aku telah berburuk sangka kepadamu dan juga nenekmu. Aku juga minta maaf, karena akulah semua masalah ini sampai terjadi. Andai dari awal aku mau mendengarkan semua perkataanmu dan juga nenekmu, tentu..."
"Pergilah! Dan biarkan aku sendiri disini!" ketus Anjar menukas ucapan Galih.
"Anjar! Janganlah seperti itu," Prapto yang sejak tadi diam, kini ikut bicara. "Kita ini saudara Njar. Kau dan Galih itu masih satu keluarga. Jadi janganlah kausimpan deritamu ini seorang diri. Kami juga peduli padamu Njar. Kami juga merasa ikut kehilangan atas..."
"Tau apa kalian soal kehilangan?" Anjar kembali menukas, masih dengan suara datar tanpa ekspresi. Bahkan sama sekali tanpa menoleh ke arah kedua pemuda itu. "Nenekku itu, dia satu satunya keluarga yang kumiliki. Dan kini beliau entah dimana dan bagaimana nasibnya. Dan aku masih kalian suruh untuk tenang dan bersabar? Kau tak tau apa apa soal apa yang aku rasakan Galih! Kemarin itu, diatas gunung, aku sempat berharap, aku masih bisa menemukan kedua orang tuaku diantara orang orang itu! Tapi alih alih menemukan kedua orang tuaku, aku justru kehilangan nenekku! Kau tau, betapa hancurnya hatiku saat itu Galih?"
"Yach, aku tau apa yang kamu rasakan Njar," Galih mendesah. "Tapi mau bagaimana lagi. Sampai sore tadi aku juga masih terus melakukan pencarian bersama warga yang lain. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Dan soal orang tuamu...., aku tak begitu tau pasti. Tapi percayalah Njar, nenekmu pasti saat ini masih baik baik saja. Aku sangat yakin, karena aku tau nenekmu itu orang hebat. Gunung itu, sudah seperti rumah kedua baginya. Dan aku juga yakin, cepat atau lambat pasti nenekmu itu akan kembali dengan sendirinya, karena aku tau dia sangat menyayangimu."
"Kau!" kali ini Anjar menoleh ke arah Galih dan menatap pemuda itu dengan mata berkilat kilat tajam. "Ucapanmu itu, seolah olah kau menganggap hilangnya nenekku itu bukanlah masalah yang serius! Apa kau sudah mulai merasa lelah membantuku mencari simbah Galih?! Atau justru kepedulian yang kau tunjukkan selama ini hanyalah kepura puraan belaka?"
"Eh, kenapa kau sampai berpikir seperti itu Njar?" ujar Galih. "Sedikitpun aku tak punya pikiran seperti itu. Justru sebaliknya, rasa peduliku padamu dan juga nenekmu itu sangatlah tulus. Kita ini keluarga Anjar, deritamu adalah deritaku juga. Apa...."
"Cih! Keluarga macam apa yang tega membiarkan saudaranya sendiri menderita seperti ini?"
"Membiarkan katamu? Apa usahaku selama ini untuk membantumu mencari Mbah Pariyem belum cukup? Sampai kau bisa bilang kalau aku membiarkanmu menderita seorang diri?"
"Kau menyarankan aku agar menghentikan pencarian dan menunggu sampai simbah pulang dengan sendirinya! Apa itu bukan berarti kau mau membiarkan simbah menderita lebih lama diatas gunung sana?"
"Bukan begitu maksudku Anjar. Aku hanya..."
"Hanya apa?!"
"Aku hanya tak mau kalau kau sampai kenapa kenapa karena terlalu memikirkan simbahmu tanpa memperdulikan keadaan dirimu sendiri."
"Kenapa kau begitu peduli dengan diriku?"
"Karena kita saudara Njar. Kita satu keluarga."
"Dan simbah?"
Galih tercekat. Ia sadar kalau ia sudah salah ucap. Dan gadis keras kepala ini sangat sulit untuk diajak berdebat.
"Kau menganggap aku sebagai saudara dan bagian dari keluargamu! Sampai kau sebegitu pedulinya terhadapku! Tapi bagaimana dengan nenekku? Kau sama sekali tak peduli pada nenekku Galih! Aku tau pasti itu. Dan aku tau pikiran seperti apa yang ada di otakmu itu!"
"Bukan begitu Anjar! Kau jangan salah paham seperti itu. Aku juga peduli kok sama nenekmu. Karena nenekmu juga adalah nenekku juga. Aku juga peduli sama Mbah Pariyem. Cuma..."
"Cuma apa?!"
"Cuma..." Galih menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pemuda itu benar benar telah kehabisan kata kata untuk mendebat semua ucapan Anjar.
"Kau tak bisa menjawab Kan?" ucap Anjar lagi sinis.
"Cuma..., aku cuma mengkhawatirkanmu Anjar. Kau tak sekuat nenekmu. Kalau kau terus terusan seperti ini, aku takut kalau kau justru nanti sakit atau..."
"Kau khawatir aku sakit? Tapi kau tak khawatir kalau simbah sampai celaka diatas gunung sana. Begitu kan? Saudara macam apa yang seperti itu? Keluarga macam apa yang...."
"Anjar!" nada suara Galih sedikit meninggi kini. "Apa perlu aku menikahimu dulu agar kau benar benar bisa merasa bahwa kau adalah bagian dari kelurgaku?!"
"Plaaakkkk...!!!"
Sebuah tamparan keras sukses mendarat di pipi Galih, membuat pemuda itu meringis dan mengusap usap pipinya yang terasa sangat panas itu.
"Sudah kuduga!" ketus Anjar kembali berucap. "Kau peduli kepadaku semata mata karena kau ada rasa denganku!"
"Eh, bukan begitu maksudku Njar. Yang tadi itu..."
"Pergi! Cari dan temukan nenekku kalau kau memang benar benar menganggap aku sebagai saudaramu Galih! Dan jangan pernah berani kembali kesini lagi sebelum kau menemukan nenekku!"
"Tapi..."
"Kubilang pergi! Atau perlu aku mengusirmu heh?"
Anjar sontak berdiri, membuat Galih dan Prapto segera bangkit dan lari terbirit birit keluar dari gubuk itu.
"Wedhus! Kau lihat saja nanti Njar! Akan kutemukan nenekmu dan kubawa ke hadapanmu! Agar kau benar benar yakin bahwa aku peduli padamu!" Teriak Galih begitu sampai diluar gubuk.
"Buktikan dengan perbuatan! Bukan dengan ucapan!" Anjar balas berteriak tak kalah keras.
"Bruaaakkkk...!" Gadis itu lalu membanting pintu dengan sangat keras. Rasa kesal yang benar benar telah menggunung, ia lampiaskan dengan menyambar rantang yang tadi dibawa oleh Galih, lalu melahap isinya dengan sangat rakus.
****
"Wedhus wedok tenan!"Galih terus menggerutu sepanjang perjalanan pulang dari rumah Anjar. Sementara Prapto justru mentertawakan kesialan sahabatnya itu.
"Makanya itu Galih, kurang kurangilah sifat keras kepalamu itu," ujar Prapto.
"Aku kan hanya ingin menunjukkan rasa peduliku terhadap gadis itu Prap. Lha kok malah seperti itu tanggapannya," sungut Galih sambil menendang sepotong ranting yang tergeletak di tengah jalan.
"Itulah! Makanya kubilang kurang kurangilah sifat keras kepalamu itu. Kamu itu, kalau punya pendapat, selalu merasa bahwa pendapatmu itulah yang paling benar," ujar Prapto lagi.
"Eh, kenapa kau malah menyalahkan aku Prap?"
"Lha kan kenyataannya seperti itu. Dari awal kamu datang ke desa ini, kau sudah tak mengacuhkan peringatan dari Mbah Pariyem. Dan kemarin itu, kau ngotot bahwa Anjar dan Mbah Pariyem itu terlibat dalam penculikan adikmu. Dan sekarang, kau tau sendiri kan kenyataannya seperti apa? Mereka justru menjadi malaikat penyelamat bagimu. Dan yang tadi itu, aku juga bakalan ngamuk kalau jadi Anjar! Kata katamu tadi kepada Anjar, kamu sadar nggak sih kalau itu sudah menyakiti perasaan gadis itu?"
"Aku kan hanya mencoba peduli Prap!"
"Nah, itu! Itu sifat burukmu Galih. Kau masih saja merasa benar dan tak mau disalahkan! Dan sekarang kau jadi susah sendiri kan? Anjar sudah memberi tantangan seperti itu. Kalau aku jadi kamu sih, sebagai seorang laki laki akan malu kalau sampai tak bisa menerima tantangan itu."
"Menemukan Mbah Pariyem maksudmu?"
"Iyalah! Apalagi kalau bukan soal itu."
"Yach, aku bukannya tak berani menerima tantangan itu Prap. Tapi kau tau sendiri kan, sudah lebih dari seminggu kita melakukan pencarian, tapi hasilnya tetap nihil. Mbah Pariyem seolah hilang ditelan bumi diatas gunung itu. Aku justru khawatir kalau..."
"Tenang saja Galih. Seperti yang kau bilang kepada Anjar tadi, Mbah Pariyem itu orang hebat. Pasti ia masih baik baik saja sampai saat ini. Tinggal bagaimana kita mencari cara untuk menemukannya. Dan sebagai sahabatmu, tentu aku juga tak akan tinggal diam begitu saja."
"Kau punya cara lain untuk menemukan Mbah Pariyem Prap?"
"Ya. Tapi aku tak yakin kau akan menyetujuinya."
"Cara apa itu?"
"Sini, aku kasih tau," Prapto membisikkan sesuatu ke telinga Galih. Pemuda itu nampak serius mendengarkan, sampai beberapa saat kemudian, pemuda itu melengak sambil berseru lantang.
"Edan...!!!"
bersambung