- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#146
gatra 35
Quote:
TUBUH SUKMO AJI bermandikan peluh. Hampir terloncat dari amben pemuda itu bangun dari tidurnya pada suatu pagi yang cerah.
“ Mimpi buruk “
Sukmo Aji lantas duduk di bibir pembaringan. Diraihnya sebuah kendi yang berada di atas meja tidak jauh dari amben. Diteguknya air yang berada di kendi itu dengan sedikit tergesa –gesa. Sehingga tidak sedikit air yang berlelehan jatuh hingga menambah basah pakaian yang dikenakannya.
Cahaya matahari sudah mulai merembes masuk ke dalam biliknya. Sayup –sayup ia mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke pendapa. Ketika Sukmo Aji melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia merasa ada yang tidak mapan manakala melihat wajah itu. Ada yang aneh di balik wajah itu. Kembali pintu gandok itu ditutup. Kemudian Sukmo Aji melemparkan dirinya di atas amben bambu yang panjang di sisi ruang tempat tidurnya.
“Besok pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke Kedung Tuban. Aku akan membawa Arya Gading ke Pajang. Aku sudah terlalu lama di kademangan ini. Waktu dua pekan yang diberikan oleh Ki Juru Mertani semakin susut “
Sebentar kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari jauh. Terdengarlah kemudian suara Demang Pucang Kembar dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke pringgitan.
Ketika mereka semua sudah masuk, Sukmo Aji berdiri, lalu dengan gontai pergi keluar ke samping gandok. Dilayangkannya pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung sebuah bukit yang menjulang di selatan Pucang Kembar.
Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan tali.
Di bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Tiba-tiba Sukmo Aji mendengar langkah kaki dari samping gandok kamarnya. Sukmo Aji memalingkan mukanya dengan agak segan-segan.
“Gadis itu….,” desis Sukmo Aji.
Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang gadis berwajah cantik memakai kain kebaya berwarna kuning gading dan jarik berwarna cokelat. Membawa nampan berisikan makanan dan segelas air panas yang masih mengepulkan asap. Santer bau harum sereh dan gula aren. Ketika gadis itu melihat Sukmo Aji, cepat-cepat ia melemparkan seulas senyum.
“Selamat pagi kakang,” sapanya sambil menunduk.
“Janganlah terlalu memanjakan ku Miranti. Aku nanti dapat mengambilnya sendiri di dapur ” , berkata Sukmo Aji kepada anak gadis Ki Demang Pucang Kembar itu.
Miranti itu tidak segera menjawab, tetapi diletakkannya nampan berisi makanan dan minuman itu disebuah meja kecil yang berada di depan pintu gandok.
“ Tidak apa kakang. Ini sudah menjadi tugasku. Kakang Sukmo juga telah banyak membantu kademangan ini. Bahkan,menyelamatkan nyawaku “
Sukmo Aji tersenyum. Katanya, “ Terimakasih Miranti”
Gadis itu lantas duduk di lincak panjang yang berada di sisi gandok. Bisiknya, “ Apakah benar, kakang besok akan pergi meninggalkan Pucang Kembar ? “
Sukmo Aji diam termangu. Pemuda itu sama sekali tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari gadis yang tengah duduk di hadapannya.
Kemudian jawabnya, “ Iya Miranti, besok pagi –pagi benar aku akan melanjutkan perjalanan ke Kedungtuban.”
Miranti menarik nafas berat. Seperti ada yang mengganjal di dada anak gadis demang Pucang Kembar itu.
“ Tidak bisakah Kakang disini barang satu atau dua pekan lagi? “
Sukmo Aji menggeleng. Lantas berkata, “ Waktu yang diberikan oleh pimpinanku di Pajang sudah hampir selesai Miranti. Aku tidak dapat meninggalkan kewajibanku sebagai seorang abdi dalem”
Sukmo Aji tersenyum, katanya lagi, “ Kelak kalau aku ada waktu. Atau kebetulan tugasku tidak jauh dari Pucang Kembar aku akan datang menyambangi mu “
“ Kakang aku hampir lupa. Bapa menyuruh kakang setelah selesai sarapan pagi untuk segera menghadap di pringgitan. Ada uwa dari jauh datang ke kademangan ini “
Tanpa menunggu Sukmo Aji menjawab, gadis itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Sepeninggal Miranti Sukmo Aji lantas menikmati makanan yang baru saja disediakan untuknya. Tidak lama kemudian dengan langkah-langkah segan Sukmo Aji pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah Ki Demang Pucang Kembar, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan kerabat jauh demang Pucang Kembar itu. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia menolak.
Maka setelah Sukmo Aji selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke pringgitan untuk menemui Kiai Sosro Bahu.
Melihat kehadiran Sukmo Aji, segera Demang Pucang Kembar memperkenalkannya kepada Kiai Sosro Bahu, katanya, “ Adi ini adalah Sukmo Aji, orang yang sangat berjasa untuk Pucang Kembar, katanya. Lalu kemudian kepada Sukmo Aji berkata, “ Anak Mas Sukmo Aji…, Adi Sosro Bahu ini adalah adikku yang sekarang tinggal di Bang Wetan tepatnya di Situbondo. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan.”
Ternyata memang Kiai Sosro Bahu seorang yang sombong. Ketika Sukmo Aji membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang Sukmo Aji dengan pandangan yang merendahkan.
Kemudian ia bertanya, “Anak muda, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Pucang Kembar?”
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Sukmo Aji adalah tamu yang sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidak-senangannya. Maka jawabnya, “Kiai, aku tidak sengaja mampir di kademangan ini. Dan memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya.”
Kiai Sosro Bahu menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Sukmo Aji. Tetapi ia tidak menjawab, sebab segera Demang Pucang Kembar yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke hal-hal yang tak berarti. Namun bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Sukmo Aji, bahwa Kiai Sosro Bahu bukanlah seorang yang baik hati. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki paruh baya itu.
Setelah Sukmo Aji merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Kiai Sosro Bahu, segera ia minta diri untuk pergi sekedar berjalan-jalan, melihat-lihat kademangan Pucang Kembar. Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Kiai Sosro Bahu, yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang amat kuat menahan hati.
“ Mimpi buruk “
Sukmo Aji lantas duduk di bibir pembaringan. Diraihnya sebuah kendi yang berada di atas meja tidak jauh dari amben. Diteguknya air yang berada di kendi itu dengan sedikit tergesa –gesa. Sehingga tidak sedikit air yang berlelehan jatuh hingga menambah basah pakaian yang dikenakannya.
Cahaya matahari sudah mulai merembes masuk ke dalam biliknya. Sayup –sayup ia mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke pendapa. Ketika Sukmo Aji melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia merasa ada yang tidak mapan manakala melihat wajah itu. Ada yang aneh di balik wajah itu. Kembali pintu gandok itu ditutup. Kemudian Sukmo Aji melemparkan dirinya di atas amben bambu yang panjang di sisi ruang tempat tidurnya.
“Besok pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke Kedung Tuban. Aku akan membawa Arya Gading ke Pajang. Aku sudah terlalu lama di kademangan ini. Waktu dua pekan yang diberikan oleh Ki Juru Mertani semakin susut “
Sebentar kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari jauh. Terdengarlah kemudian suara Demang Pucang Kembar dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke pringgitan.
Ketika mereka semua sudah masuk, Sukmo Aji berdiri, lalu dengan gontai pergi keluar ke samping gandok. Dilayangkannya pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung sebuah bukit yang menjulang di selatan Pucang Kembar.
Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan tali.
Di bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Tiba-tiba Sukmo Aji mendengar langkah kaki dari samping gandok kamarnya. Sukmo Aji memalingkan mukanya dengan agak segan-segan.
“Gadis itu….,” desis Sukmo Aji.
Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang gadis berwajah cantik memakai kain kebaya berwarna kuning gading dan jarik berwarna cokelat. Membawa nampan berisikan makanan dan segelas air panas yang masih mengepulkan asap. Santer bau harum sereh dan gula aren. Ketika gadis itu melihat Sukmo Aji, cepat-cepat ia melemparkan seulas senyum.
“Selamat pagi kakang,” sapanya sambil menunduk.
“Janganlah terlalu memanjakan ku Miranti. Aku nanti dapat mengambilnya sendiri di dapur ” , berkata Sukmo Aji kepada anak gadis Ki Demang Pucang Kembar itu.
Miranti itu tidak segera menjawab, tetapi diletakkannya nampan berisi makanan dan minuman itu disebuah meja kecil yang berada di depan pintu gandok.
“ Tidak apa kakang. Ini sudah menjadi tugasku. Kakang Sukmo juga telah banyak membantu kademangan ini. Bahkan,menyelamatkan nyawaku “
Sukmo Aji tersenyum. Katanya, “ Terimakasih Miranti”
Gadis itu lantas duduk di lincak panjang yang berada di sisi gandok. Bisiknya, “ Apakah benar, kakang besok akan pergi meninggalkan Pucang Kembar ? “
Sukmo Aji diam termangu. Pemuda itu sama sekali tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari gadis yang tengah duduk di hadapannya.
Kemudian jawabnya, “ Iya Miranti, besok pagi –pagi benar aku akan melanjutkan perjalanan ke Kedungtuban.”
Miranti menarik nafas berat. Seperti ada yang mengganjal di dada anak gadis demang Pucang Kembar itu.
“ Tidak bisakah Kakang disini barang satu atau dua pekan lagi? “
Sukmo Aji menggeleng. Lantas berkata, “ Waktu yang diberikan oleh pimpinanku di Pajang sudah hampir selesai Miranti. Aku tidak dapat meninggalkan kewajibanku sebagai seorang abdi dalem”
Sukmo Aji tersenyum, katanya lagi, “ Kelak kalau aku ada waktu. Atau kebetulan tugasku tidak jauh dari Pucang Kembar aku akan datang menyambangi mu “
“ Kakang aku hampir lupa. Bapa menyuruh kakang setelah selesai sarapan pagi untuk segera menghadap di pringgitan. Ada uwa dari jauh datang ke kademangan ini “
Tanpa menunggu Sukmo Aji menjawab, gadis itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Sepeninggal Miranti Sukmo Aji lantas menikmati makanan yang baru saja disediakan untuknya. Tidak lama kemudian dengan langkah-langkah segan Sukmo Aji pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah Ki Demang Pucang Kembar, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan kerabat jauh demang Pucang Kembar itu. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia menolak.
Maka setelah Sukmo Aji selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke pringgitan untuk menemui Kiai Sosro Bahu.
Melihat kehadiran Sukmo Aji, segera Demang Pucang Kembar memperkenalkannya kepada Kiai Sosro Bahu, katanya, “ Adi ini adalah Sukmo Aji, orang yang sangat berjasa untuk Pucang Kembar, katanya. Lalu kemudian kepada Sukmo Aji berkata, “ Anak Mas Sukmo Aji…, Adi Sosro Bahu ini adalah adikku yang sekarang tinggal di Bang Wetan tepatnya di Situbondo. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan.”
Ternyata memang Kiai Sosro Bahu seorang yang sombong. Ketika Sukmo Aji membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang Sukmo Aji dengan pandangan yang merendahkan.
Kemudian ia bertanya, “Anak muda, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Pucang Kembar?”
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Sukmo Aji adalah tamu yang sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidak-senangannya. Maka jawabnya, “Kiai, aku tidak sengaja mampir di kademangan ini. Dan memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya.”
Kiai Sosro Bahu menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Sukmo Aji. Tetapi ia tidak menjawab, sebab segera Demang Pucang Kembar yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke hal-hal yang tak berarti. Namun bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Sukmo Aji, bahwa Kiai Sosro Bahu bukanlah seorang yang baik hati. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki paruh baya itu.
Setelah Sukmo Aji merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Kiai Sosro Bahu, segera ia minta diri untuk pergi sekedar berjalan-jalan, melihat-lihat kademangan Pucang Kembar. Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Kiai Sosro Bahu, yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang amat kuat menahan hati.
Quote:
MAKA SETELAH ia mendapat izin dari tuan rumah, segera ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali tidak mempunyai tujuan kecuali sekadar menuruti langkah kakinya. Tetapi demikian ia keluar halaman, dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum pernah dikenalnya. Beberapa orang Pucang Kembar yang dekat dengan Kertopati sudah hampir dikenal seluruhnya. Melihat Sukmo Aji keluar, segera orang itu memutar tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi gerbang. Sukmo Aji menjadi agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di siang hari, dimana sinar matahari yang mulai terik ini membakar seluruh halaman?
Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Sukmo Aji untuk mengetahui maksud orang itu. Maka segera Sukmo Aji pun berjalan mengikutinya dari jarak kira-kira lima puluh langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat langkahnya.
Tetapi tiba-tiba Sukmo Aji terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang diikutinya. Ia menjadi bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Miranti yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Sukmo Aji itu. Ternyata orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan tumitnya.
Miranti, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat mundur. Demikian kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Miranti segera meloncat sambil menghantam dada orang itu.
Tetapi bagaimanapun Miranti adalah seorang anak perempuan yang hanya menguasai kanuragan dalam tataran dasar dan belum sepenuhnya sembuh dari sakitnya. Apalagi lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Miranti meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu dipilinnya. Tetapi Miranti ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia menendangnya. Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun lepas.
Rupanya orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju menghantam Miranti. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Miranti tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah menangkis pukulan itu. Tetapi, bagaimanapun kuatnya, Miranti adalah seorang gadis yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Sukmo Aji dengan cepatnya meloncat dan menangkap Miranti.
Miranti berdesis menahan sakit. Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Sukmo Aji, sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu.
“Lepaskan…, lepaskan aku kakang,” teriaknya.
Orang yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah, katanya, “Lepaskan gadis itu, biar aku pecahkan kepalanya.”
“Tunggu dulu Miranti…”
Sukmo Aji bertanya -tanya perlahan-lahan, “Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?”
“Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai kademangan. Aku juga melihat orang ini bertanya –tanya pada orang di pasar tentang keadaan kademangan ini. Mungkin ia seorang penjahat komplotan Kelabang Ijo yang akan memasuki kademangan ini,” jawabnya.
“Tutup mulutmu!” hardik orang itu.
“Tutup sendiri mulutmu,” balas Miranti.
“Selama ini, di kademangan ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Dan lagi kami orang –orang Pucang Kembar masih dalam suasana waspada. Kami tidak ingin kecolongan lagi gerombolan rampok Kelabang Ijo yang berhasil meloloskan diri membuat kericuhan di kademangan ini. Dan kau, aku kira bukan orang Pucang Kembar. Aku hampir kenal semua orang disini bahkan di pedukuhan –pedukuhan kecil di sekeliling Pucang Kembar.”
Mendengar makian Miranti, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Miranti. Tetapi Miranti sudah berada di tangan Sukmo Aji. Karena itu sudah pasti kalau Sukmo Aji tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu sudah terayun, Sukmo Aji memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Sukmo Aji.
Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Sukmo Aji untuk mengetahui maksud orang itu. Maka segera Sukmo Aji pun berjalan mengikutinya dari jarak kira-kira lima puluh langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat langkahnya.
Tetapi tiba-tiba Sukmo Aji terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang diikutinya. Ia menjadi bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Miranti yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Sukmo Aji itu. Ternyata orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan tumitnya.
Miranti, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat mundur. Demikian kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Miranti segera meloncat sambil menghantam dada orang itu.
Tetapi bagaimanapun Miranti adalah seorang anak perempuan yang hanya menguasai kanuragan dalam tataran dasar dan belum sepenuhnya sembuh dari sakitnya. Apalagi lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Miranti meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu dipilinnya. Tetapi Miranti ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia menendangnya. Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun lepas.
Rupanya orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju menghantam Miranti. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Miranti tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah menangkis pukulan itu. Tetapi, bagaimanapun kuatnya, Miranti adalah seorang gadis yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Sukmo Aji dengan cepatnya meloncat dan menangkap Miranti.
Miranti berdesis menahan sakit. Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Sukmo Aji, sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu.
“Lepaskan…, lepaskan aku kakang,” teriaknya.
Orang yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah, katanya, “Lepaskan gadis itu, biar aku pecahkan kepalanya.”
“Tunggu dulu Miranti…”
Sukmo Aji bertanya -tanya perlahan-lahan, “Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?”
“Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai kademangan. Aku juga melihat orang ini bertanya –tanya pada orang di pasar tentang keadaan kademangan ini. Mungkin ia seorang penjahat komplotan Kelabang Ijo yang akan memasuki kademangan ini,” jawabnya.
“Tutup mulutmu!” hardik orang itu.
“Tutup sendiri mulutmu,” balas Miranti.
“Selama ini, di kademangan ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Dan lagi kami orang –orang Pucang Kembar masih dalam suasana waspada. Kami tidak ingin kecolongan lagi gerombolan rampok Kelabang Ijo yang berhasil meloloskan diri membuat kericuhan di kademangan ini. Dan kau, aku kira bukan orang Pucang Kembar. Aku hampir kenal semua orang disini bahkan di pedukuhan –pedukuhan kecil di sekeliling Pucang Kembar.”
Mendengar makian Miranti, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Miranti. Tetapi Miranti sudah berada di tangan Sukmo Aji. Karena itu sudah pasti kalau Sukmo Aji tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu sudah terayun, Sukmo Aji memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Sukmo Aji.
Diubah oleh breaking182 13-03-2022 21:36
adriantz dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas
Tutup