salafusshalihAvatar border
TS
salafusshalih
Perkembangan Islam Liberal di Indonesia
Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu dikenal dan diperhatikan orang di Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya amat kecil, dapat dihitung dengan jari. Istilah itu justru menjadi amat populer setelah dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonsia (MUI) pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalisme adalah sesat dan menganut faham itu adalah haram hukumnya. Jadi, terlepas dari perdebatan tentang keabsahan fatwa itu, istilah Islam liberal di Indonesia justru dipopulerkan oleh pihak penentangnya. Memang terkadang suara merekapun nyaring bunyinya.

Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard Binder, seorang guru besar UCLA, ketika menulis buku berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberinya arti "Islamic political liberalism" dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin di luar dugaan sebagian orang, buku itu selain menyajikan pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal karena tidak melihat adanya konsep atau anjuran negara Islam, tetapi juga membahas pikiran Maududi (Pakistan) yang tentu saja lebih tepat disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.

Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia(Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) istilah "Islamic liberalism" nampaknya cukup jelas. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi itu ia mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam penelitian yang mengcover periode 1968-1980 itu, Barton membatasi diri pada pemikiran empat orang tokoh dari kaum neo-modernis, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.

Seperti diketahui, istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan yang terakhir menjadi Guru Besar studi keislaman di Universitas Chicago. Fazlur Rahman,sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam, neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam.

Dengan revivalisme Islam dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahhabiyyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir. Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang terkenal, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya empat orang yang disebutkan di atas.

Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahami Al Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid.

Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)

Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.

Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.

Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.

Sedangkan neo modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.

Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).

Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi)

Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis (islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL.

Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of communityyang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.

Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkimpoian Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.

Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan gaya narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam pengamatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil.

Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ‘id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq(logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.

Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.

Profil Beberapa Kelompok Islam Liberal Di Indonesia
Jaringan Islam Liberal di Jakarta

Nong Darol Mahmada dan Burhanuddin dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Afiah (2005: 301-351) menjelaskan, JIL terbentuk pada tangal 9 Maret 2001. Tanggal tersebut merujuk pada awal diluncurkannya milis islamliberal@yahoogroups.com yang pada awalnya beranggotakan puluhan aktivis intelektual muda dari berbagai kelompok muslim moderat.
JIL berdiri antara lain karena kondisi sosial keagamaan pasca Orde Baru yang menurut para pendiri JIL dirasakan semakin menunjukkan wajah Islam yang tidak ramah dan cenderung menampilkan konservatisme.

Dalam pandangan para tokoh JIL, publik saat itu diwarnai dengan pemahaman masalah sosial keagamaan yang radikal dan anti-pluralisme. Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa aktivis muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.
Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka beberapa tokoh muda Islam mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan cikal bakal berdirinya JIL. Beberapa nama yang terlibat untuk membentuk Komunitas Utan Kayu itu dan kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada, Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani, dan Luthfi Assaukanie.
Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.

Nama Islam liberal, menurut para pendiri JIL, adalah menggambarkan komunitas Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik yang ada. Menurut para aktivis JIL, Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: 1) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi; 2) Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks; 3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural; 4) Memihak pada yang minoritas dan tertindas; 5) Meyakini kebebasan beragama; 6) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. Islam liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.

Secara umum, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk: 1) Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender; 2) Membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia; 3) Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.

Sebagaimana sebuah pemikiran baru, selalu menimbulkan pro dan kontra. Demikian juga dengan JIL. Sikap pro-kontra terhadap JIL dapat dipetakan menjadi dua yaitu dalam bentuk fisik dan intelektual. Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari terbitnya berbagai buku baik yang menghujat maupun menanggapi secara positif. Beberapa penulis yang menentang JIL yang dibukukan antara lain Adian Husaini, Adnin Armas,Yudhi R. Haryono, Hartono Ahmad Jaiz, dan Fauzan al-Anshari.

Sementara itu ada juga yang mencoba berpikir obyektif ilmiah, menjadikan JIL sebagai fokus bahasan untuk menyusun skripsi, tesis, maupun disertasi. Sementara itu, sebagian kelompok masyarakat Islam menganggap bahwa pemikiran JIL dianggap dapat merusak aqidah umat Islam. Oleh karena itu mereka menentangnya dalam bentuk kekerasan fisik. Hal itu antara lain dalam bentuk demontrasi oleh Front Pembela Islam (FPI).

Beberapa kali milis yang dikelola JIL juga mendapat serangan spam dan dibajak oleh hacker-hacker. Sementara itu Forum Ulama Umat Islam (FUUI) di Bandung mengeluarkan fatwa mati kepada Ulil sebagai ketua JIL. Institusi JIL juga semakin diributkan setelah keluar fatwa MUI yang mengharamkan faham liberalisme, sekularisme dan pluralisme.

yoseful
yoseful memberi reputasi
1
1.4K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Tampilkan semua post
sutanjugaAvatar border
sutanjuga
#2
Eee... Agama baru buatan manusia.
Memang manusia suka membuat agama agama jenis baru, dengan sedikit modifikasi.
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.