Quote:
"Kriyeeetttt...!!!" Suara derit pintu yang dibuka perlahan membuat Ajeng yang sudah nyaris terlelap kembali terjaga. Matanya nanar menatap ke arah asal suara itu. Bias cahaya remang remang dari ruangan sebelah menampakkan siluet dua bayangan manusia yang sepertinya sedikit ragu untuk memasuki ruangan dimana ia sedang disekap sekarang. Samar juga, Ajeng mendengar kedua sosok itu saling berbisik, seperti sedang mendebatkan sesuatu.
"Lebih baik kau saja yang melakukannya Yud! Bapak ndak tega!" Bisik salah satu diantaranya.
"Tapi Pak..," sosok yang lain menjawab tertahan.
"Dia hampir seumuran denganmu kan? Tentu lebih mudah kalau kau yang melakukan daripada bapak yang sudah tua bangka ini," bisik si sosok pertama lagi.
"Bagaimana dengan bapak?"
"Itu soal gampang! Bapak akan berjaga di luar, siapa tau ada yang memata matai kita. Nanti kalau giliranmu sudah selesai, kasih kode ke bapak, biar gantian bapak yang melakukan bagian bapak."
"Bagaimana kalau ternyata gadis itu memberontak atau melawan Pak?"
"Lakukan dengan hati hati dan penuh perasaaan. Perempuan itu makhluk yang lemah lembut, jadi jangan main paksa."
"Baiklah kalau begitu Pak."
Salah satu sosok itu lalu pergi. Sedang sosok yang satunya lagi, menghampiri Ajeng dengan langkah perlahan setelah menutup pintu rapat rapat.
"Matilah aku!" Rutuk Ajeng dalam hati. Matanya tak lepas mengikuti gerak gerik sosok yang semakin mendekat itu. Meski suasana begitu gelap, namun Ajeng masih bisa mengenali sosok itu sebagai pemuda bernama Yudi yang siang tadi ikut meringkusnya.
"Ap..., apa yang akan kau lakukan?" Rintih Ajeng begitu sosok itu berjongkok di hadapannya.
"Makanlah!" Jawab sosok itu singkat, sambil meletakkan piring kaleng berisi makanan di hadapan Ajeng yang duduk mengelesot dengan tangan terikat pada tiang.
"Ma...kan?" Ajeng bertanya heran. Gadis itu tak menyangka kalau orang itu datang membawakan makanan untuknya. Ia memang merasa sudah sangat kelaparan. Namun mengingat nasib buruk yang akan segera dialaminya, nafsu makannya entah telah hilang kemana.
"Ya! Makan! Makan yang banyak! Karena setelah ini kau akan butuh banyak tenaga!" Jawab orang itu.
"Ap...a? Apa yang akan kau lakukan terhadapku heh?" Tanya Ajeng lagi, tergagap.
"Nanti kau juga akan tau! Sekarang makanlah!"
"Tidak! Untuk apa aku makan kalau setelahnya kalian hanya akan menghabisiku?"
"Jangan banyak protes!" Sentak orang itu. "Makan saja! Dan turuti semua kemauanku kalau kau mau selamat!"
"Tolong! Jangan apa apakan aku! Jangan sakiti aku! Apa kau masih tega hendak menodai gadis lemah yang sebentar lagi akan mati ini? Apa kau sudah tak punya hati nurani lagi? Kau juga manusia kan? Pasti kau juga punya perasaan! Bagaimana kalau..."
"Hehehe...," Yudi, pemuda seumuran Galih itu terkekeh. "Jadi kau percaya kalau aku dan bapakku itu mau..., emmph, mau menodaimu ya?"
"Eh, apa maksudmu?" Ajeng melengak.
"Ah, ndak papa. Kalau kau percaya, berarti sandiwara yang dibuat bapakku benar benar sempurna."
"San..., diwara?"
"Sttttt...! Jangan keras keras! Mungkin kita sedang diawasi! Jadi pelankan suaramu.!"
"Aku ...,"
"Ajeng! Itu namamu kan?"
"Eh, darimana kau tau namaku?"
"Tentu saja aku tau. Aku dan Galih kakakmu itu, dulu teman sepermainan di desa. Jadi nggak mungkin kalau aku sampai nggak tau namamu."
"Tunggu! Kau tau namaku, dan kau juga kenal kakakku? Siapa sebenarnya kalian ini?"
"Ah, sepertinya kau memang sudah tak ingat lagi dengan kami. Tapi tak apa, karena saat itu kau memang masih sangat kecil. Biar kujelaskan. Kami adalah..." Yudi lalu menceritakan siapa sebenarnya dia dan orang orang yang tinggal di desa tersembunyi ini. Ajeng mendengarkannya dengan sangat seksama. Dan gadis itupun terkaget kaget dibuatnya, setelah tau bahwa orang orang itu ternyata adalah pelarian dari Margopuro yang dulu lari ke gunung saat ada penggerebekan.
"Astaga! Jadi kalian..."
"Ya. Kita masih tetangga satu desa Jeng. Tapi sayang, Kang Karyadi itu, dia masih memendam dendam kesumat kepada warga Margopuro karena dianggap tak peduli kepada nasib kami disini. Karena itu ia merencanakan penculikan ini. Aku dan bapakku, sebenarnya tidak setuju dengan rencana itu. Tapi untuk membantah secara terang terangan, jelas kami tak berani, karena Kang Karyadi itu, selain bersenjata juga sangat kejam. Karena itulah akhirnya bapakku merencanakan sandiwara ini. Bapak sengaja membawamu kemari, agar malam ini bisa membawamu lari sebelum besok pagi mereka benar benar akan menghabisimu."
"Jadi begitu ya," Ajeng berusaha mencerna semua ucapan Yudi itu. Gadis itu tak mau percaya begitu saja. Apalagi jelas jelas siang tadi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bapak si Yudi ini ikut menganiaya Anjar di puncak Kambengan.
"Percayalah, kami, aku dan bapakku itu tak sejahat yang kamu kira. Sekarang makanlah, karena setelah ini aku akan membawamu lari kembali ke desa. Kau butuh banyak tenaga untuk itu." Ujar Yudi lagi.
"Bagaimana dengan Mbak Anjar? Aku melihat sendiri siang tadi bapakmu juga ikut menganiaya Mbak Anjar."
"Mbak Anjarmu itu juga baik baik saja. Percayalah. Itu semua juga bagian dari sandiwara bapakku. Bapak sengaja melumpuhkan Anjar, karena kalau tidak, Yu Warsihlah yang akan menghabisi Mbak Anjarmu itu dengan senapannya."
"Apakah aku benar benar bisa mempercayaimu?"
"Kau mau percaya atau tidak, itu terserah kamu. Sekarang, aku akan melepaskan ikatanmu. Tapi tolong, jangan mencoba kabur atau membuat keributan, atau rencana bapakku untuk menyelamatkanmu jadi berantakan. Ingat, Kang Karyadi pasti sudah menyuruh orang untuk mengawasi kita. Jadi kalau kau bertindak macam macam, bukan hanya kau yang celaka, tapi juga aku dan bapakku. Kau paham kan?"
Ajeng mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. Toh tak ada salahnya juga ia memanfaatkan segala situasi dan kondisi disaat sedang dalam situasi terjepit seperti sekarang ini.
Yudi lalu dengan cekatan melepaskan ikatan pada tangan gadis itu. Kini Ajeng merasa bisa sedikit bebas. Sempat terbersit dalam hatinya untuk memanfaatkan kesempatan itu. Namun ucapan Yudi barusan menyadarkannya, bahwa keadaan diluar sana belum tentu sebaik didalam gubuk ini. Bisa saja benar benar ada musuh yang sedang mengintai di luar sana. Apalagi saat ini sepertinya malam hari. Dan ia sama sekali tak mengenali medan di gunung ini. Ingat akan hal itu, Ajengpun mengurungkan niatnya untuk kabur.
"Maaf kalau aku dan bapakku terpaksa harus mengikatmu seperti ini. Sekarang makanlah. Makan yang banyak, agar nanti kau punya tenaga untuk lari ke desa," bisik Yudi sambil kembali duduk di hadapan Ajeng.
Ajengpun dengan sedikit meraba raba meraih piring kaleng berisi makanan di hadapannya itu. Sempat gadis itu mengendusnya, dan ia mengenali aroma makanan itu. Bulgur, makanan sederhana yang yang dulu pernah ia cicipi saat pertama kali tiba di desa.
"Maaf, hanya itu yang kami punya. Dan percayalah, tak ada racun di makanan itu. Kalau kau tak percaya, aku bersedia kok untuk mencicipinya terlebih dahulu," ujar Yudi seolah tau apa yang sedang dipikirkan oleh Ajeng.
"Eh, maaf," kata Ajeng saat sadar bahwa perbuatannya mengendus makanan itu sedikit menyinggung perasaan Yudi. "Dan terimakasih, Mas Yudi. Ini sudah lebih dari cukup. Aku memang sudah sangat lapar, jadi, ini aku makan ya."
Yudi tersenyum melihat gadis itu makan dengan sangat lahap. Sepertinya ia memang sudah sangat kelaparan.
"Pelan pelan makannya," bisik Yudi sambil menyodorkan gelas berisi air minum. "Tak perlu buru buru, kita masih punya banyak waktu."
"Emmm, iya Mas. Maaf." Ajeng tersipu mendapat perlakuan yang begitu perhatian dari pemuda bernama Yudi itu. Sifat pemuda itu mengingatkannya kepada sang kakak yang Ajeng yakin saat ini pasti sedang mencari carinya.
Selesai Ajeng makan, Yudipun segera melaksanakan rencana yang dibuat oleh sang bapak. Setelah mendengar kode dari sang bapak yang berjaga di luar bahwa suasana aman, pemuda itu lalu mencongkel bilah bilah kulit kayu yang menjadi dinding dari gubuk itu. Cukup mudah sebenarnya. Namun karena suasana gelap dan ia harus melakukannya dengan sangat hati hati agar tak menimbulkan suara berisik, pekerjaan itu cukup memakan waktu.
"Sepertinya ini cukup," Yudi menerobos keluar melalui lubang yang dibuatnya itu, lalu mengulurkan tangannya dan membimbing Ajeng yang sepertinya sedikit kesulitan melangkah dalam gelap itu.
"Bagaimana? Kau sudah siap?" Bisik Yudi.
"Aku..., aku takut Mas," desis Ajeng dengan suara gemetar. Sejauh mata memandang, Ajeng hanya bisa melihat kegelapan dan lebatnya hutan belantara.
"Kuatkan dirimu Jeng! Ini semua demi keselamatanmu. Kita harus bergegas sebelum orang orang itu menyadari bahwa kita telah kabur. Ayo! Lewat sini!" Yudi terus menggandeng tangan Ajeng dan membimbing gadis itu menerobos lebatnya hutan.
"Bagaimana dengan ayahmu Mas? Kalau orang orang itu tau kita kabur, apa ayahmu..."
"Tenang saja. Bapak sudah punya rencana sendiri untuk mengatasi hal itu," jawab Yudi sambil terus berjalan.
Ajeng nampak kesulitan mengimbangi langkah pemuda yang begitu lincah meski berjalan dalam kegelapan itu. Beberapa kali gadis itu nyaris tergelincir dan jatuh akibat medan yang begitu terjal dan licin akibat hukan deras sore tadi. Yudipun dengan sabar terus membimbing gadis itu. Sampai akhirnya, setelah melalui perjuangan yang berat dan melelahkan, sampailah mereka di puncak Kambengan. Sengaja Yudi memilih jalur memutar, menjauh dari area watu pundung, karena ia yakin Karyadi dan antek anteknya pasti sudah bersiaga disana.
"Kita sudah di puncak Jeng. Kau lihat cahaya berkerlap kerlip di kejauhan itu?" Yudi menunjuk ke arah kaki gunung, dimana nampak cahaya berkerlap kerlip dari lampu tingyang dipasang oleh warga.
"Ya. Aku melihatnya Mas. Apakah itu desa Margopuro?" Tanya Ajeng.
"Ya. Itu desamu Jeng. Desa kita. Seharusnya aku mengantarmu cukup sampai disini. Tapi aku tak yakin kamu bisa sampai di desa sendirian. Lagipula sudah cukup lama juga aku merindukan desa itu. Jadi tak ada salahnya kalau sekarang aku ikut kembali kesana. Karena itu, ayo, kuantar kau sampai ke desa sana," kata Yudi sambil tetap menggandeng tangan Ajeng.
"Ah, terimakasih banyak Mas. Aku berhutang nyawa padamu. Entah apa jadinya kalau...."
"Sudah. Tak perlu kaupikirkan itu. Yang penting kita selamat dulu sampai di desa. Soal yang lain lain bisa kita pikirkan nanti."
Yudi lalu kembali membimbing Ajeng menuruni tebing yang terjal itu. Sesekali pemuda itu harus menyibak ranting ranting semak yang menghalangi langkah mereka, karena jalur yang mereka lalui memang dipenuhi oleh semak berduri yang begitu lebat. Meski Yudi sudah cukup berpengalaman dalam menjelajah hutan, namun tak urung duri duri yang tajam dari semak semak itu sempat menggores dan merobek kulitnya, Yudi tak begitu memperdulikannya. Berbeda dengan Ajeng yang sesekali mendesis dan merintih saat kulit mulusnya tergores oleh duri duri itu.
"Bertahanlah Jeng, luka tergores duri tak ada apa apanya jika dibandingkan dengan keselamatan nyawamu," ujar Yudi memberi semangat.
"Iya Mas. Aku justru mengkhawatirkanmu. Kau bertelanjang baju begitu, pasti lebih banyak lagi luka yang kau dapatkan. Aku jadi..."
"Tunggu!" Tiba tiba Yudi menghentikan langkahnya. Ajeng yang berjalan di belakangnya mau tak mau juga ikut berhenti.
"Ada apa Mas?" Bisik Ajeng.
"Gawat! Sepertinya kita ...."
"Bocah tengik! Mau kau bawa lari kemana tawananku heh?!"
Yudi tercekat! Ajeng terkesiap! Manakala dari balik kegelapan muncul Yu Warsih yang menodongkan senjatanya ke arah mereka.
"Matilah kita Jeng!"
bersambung