Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
Hidden Story - Sisi Lainku [sekuel - Istri Kedua]
Hidden Story - Sisi Lainku [sekuel - Istri Kedua]

Patah hati

Patah hati adalah berkah Tuhan. Itu adalah cara Tuhan menyelamatkanmu dari orang yang salah.

-Anonymous

 
Sebuah motor butut terparkir di garasi. Entah apa tujuan Ayah membeli motor itu. Yang pasti, berkat motor itu, aku tidak perlu lagi tinggal di rumah Teh Heera. Dengan  motor itu, aku bisa menghemat ongkos ojek hanya dengan membeli 1 liter bensin untuk aku pakai semala 1 minggu. Selain butut, motor itu juga bodong. Jadi, aku hanya bisa pakai motor itu sampai rumah Teh Heera, kemudian lanjut dengan angkot untuk ke sekolah. Sementara motor itu aku titip di rumah Teh Heera sampai aku kembali dari sekolah.
Sebetulnya Teh Heera sangat baik. Tapi, tetap saja aku tidak nyaman. Bukan hanya karena Teh Heera anaknya Ibu Suri, rumahnya juga bersebrangan persis dengan rumah Ibu Suri. Rumah yang selalu membangkitkan kenangan buruk. Bagaimana bisa, aku nyaman disana.
Aku putuskan untuk kembali ke rumah Ibu. Aku tidak lagi peduli dengan sikap Ayah yang dingin dan sikap Ibu yang selalu membela Ayah. Setidaknya di rumah Ibu, aku bisa tidur di kasur yang layak. Tidak seperti di rumah Ibu Nani, yang membuat aku seperti tidur dalam kuburan. Atau dirumah Teh Heera, yang terpaksa tiap malam aku tidur di lantai, hanya beralaskan tikar tipis. Teh Heera mau menampung dan memberiku makan aja udah sukur. Aku tau, sebagai anak Ibu Suri, Teh Heera pasti merasa ayahnya telah di rebut. Walaupun nyatanya, tidak sama sekali. Ibu Suri, Teh Heera, Catra dan Dewa selalu jadi prioritas Ayah. Sementara aku, Ibu, Bima dan Daffa, kami hanya kacung.
Rutinitasku kembali seperti sebelum aku memutuskan tinggal di rumah Ibu Nani. Aku kembali membantu Ibu di warung. Tapi, sekarang warung Ibu sudah gak seramai dulu. Warung Ibu terasa lebih sepi. Barang-barang yang ibu jual sudah gak sekomplit dulu. Entah apa yang terjadi. Aku rasa, Ayah lah di balik semua ini. Aku tau persis dan yakin, warung Ibu menurun karena Ayah. Aku yakin, karena dulu aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, hampir setiap belanja, Ayah akan mampir untuk memberikan uang kepada Ibu Suri yang dia ambil dari uang belanjaan warung. Aku yakin sampai saat ini, Ayah masih seperti itu. Tapi, kali ini aku tidak mau peduli. Sebagaimana Ibu juga tidak pernah peduli, padahal aku udah sering cerita hal ini. Sepertinya Ibu memang suka dan rela bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan Ayah juga Ibu Suri.
 
***

 
“Memandangmu, walau selalu, tak akan pernah  beri jemu di hatiku.”Aku bersenandung, mencoba menghalau sepi akibat suasana menjelang Maghrib dan mendung.
“Meyapamu, walau selalu, masih terasa merdu, bagai di awal jumpa.” Lisa tiba-tiba menimpali.
“Mencari, apa yang aku cari, merangkai rindunya hatiku.” Tanpa di komando, kami lanjut bernyanyi bersama. Lagu ‘Memandangmu’ yang di populerkan oleh Ikke Nurjanah dan Aldi tahun 1998 itu, berkumandang menghalau sepi perjalananku untuk mengantar Lisa pulang setelah seharian main di rumahku.
“Bulan bawa bintang menari,” Aku dan Lisa semakin meresapi lagu.
 “Iringi langkahku.” Aku membiarkan Lisa menyanyikan bagian yang di nyanyikan oleh Ikke Nurjanah, sendirian.
“Malam hadir bawa diriku,” aku semakin semangat menyanyi.
“Berjumpa denganmu.” Tidak kalah semangat, Lisa terlihat sangat menikmati lagu.
“Dua hati satu tujuan,”
“Melangkah bersama.”
“Cinta hadir bawa diriku,”
“Menyentuh indahnya.” Lisa tertawa mengakhiri duet kami sore itu. “Sampe sini aja, Teh. Gak apa-apa. Aku berani kalo dari sini.” Kata-kata Lisa menyadarkanku. Ternyata kami sudah sampai di depan gang menuju rumah Lisa.
“Yaudah,” kataku singkat.
“Dah…” Lisa melambaikan tangan sebelum akhirnya berbalik dan berjalan cepat menuju rumahnya yang tidak jauh dari pintu gang. 
Selain rutinitasku di warung yang kembali, rutinitas yang lainpun ikut kembali. Aku kembali dekat dengan Lisa. Hampir setiap hari kami bertemu. Kalau bukan Lisa yang main kerumahku, aku yang akan datang kerumahnya. Sebetulnya kedekatanku dengan Lisa biasa-biasa saja, tidak ada hal yang istimewa. Kadang kita hanya ngobrol, kadang kita hanya main ps, kadang kita hanya nonton film. Tapi, apapun kegiatannya, selama itu dengan Lisa, aku bahagia.
Aku menatap Lisa yang menghilang masuk ke gerbang rumahnya. Moment kami bernyanyi tadi, terasa sangat mengganjal. Ada rasa bahagia sekaligus hawatir. Aku sangat sayang Lisa, aku tidak ingin Lisa merasakan penderitaan yang sama sepertiku. Aku tau pasti seperti apa tersiksanya memiliki hati yang korslet. Aku tidak ingin Lisa merasakan itu.
Tiba-tiba memory-ku merangkai beberapa kejadian. Kartu ucapan hari valentine, dengan tulisan kaligrafi indah yang di khususkannya untukku. Kartu ucapan ulang tahun beserta hadiah kecil sebuah gantungan, sepasang boneka yang terlihat manis sekaligus romantis. Bunga mawar yang sudah mengering, yang dia selipkan kedalam buku diary-nya.
Saat itu tanpa sengaja aku melihat buku diary Lisa, saat Lisa menyuruhku menunggu di kamar, sementara dia mandi. Di meja belajarnya, sebuah buku diary terbuka. Setangkai mawar yang sudah mengering terselip disana. Aku yakin, itu bunga mawar dariku. Yang aku berikan saat Lisa main kerumah dan kebetulan saat itu aku sedang merawat bunga mawar milik Ibu.
“Astaghfirullah…” ucapku lirih diantara Adzan Maghrib yang kini berkumandang bersahutan.
Sepanjang jalan aku kembali ke rumah, wajah Nenek yang sedang bercerita tentang kisah para Nabi, tergambar jelas. Aku ingat betul dengan kisah Nabi Luth yang pernah Nenek ceritakan.
“Astaghfirullah…” ucapku lagi. Mataku mulai bersaput dan terasa panas. Aku berhenti sejenak untuk sekedar menghapus air mata yang sudah tak terbendung.
 
***

 
Warung yang sudah sepi, semakin sepi karena Ayah sedang di rumah Ibu Suri dan Ibu sedang memeriksa kolam yang di gunakan untuk budidaya ikan. Aku masih mengemas terigu di temani Lisa yang terlihat masih betah menontoniku.
“Lisa, Teteh mau ngomong sesuatu…” hari ini, aku tekadkan untuk menjaga Lisa, walaupun dengan begitu aku sendiri akan sangat sedih dan pasti kehilangan dia.
“Apa, Teh?” Lisa menatapku tidak sabar.
“Kayaknya, kita jangan sering-sering bertemu, deh. Kalau bisa kita jangan bertemu dulu,” kataku, setenang mungkin.
“Lho, kenapa?” Tanya Lisa. Jelas sekali dia kaget.
“Sepertinya, Teteh...” aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan. “Teteh suka kamu lebih dari sekedar teman, lebih dari sekedar kakak ke adiknya,” aku menelan ludah, karena tiba-tiba tenggorokanku terasa kering.
“Maksudnya gimana, Teh? Aku gak ngerti, Aku
“Iya, kamu emang gak akan ngerti Lisa. Maaf, ini demi kebaikan kita, terutama Teteh. Kalau kita tetap bertemu, Teteh hawatir, perasaan Teteh makin gak beres.”
“Terus, Teteh maunya apa? Aku harus gimana?”
“Lisa, tolong pulang, ya. Sementara jangan temuin Teteh dulu. Lebih baik, kamu cari pacar, cari cowok yang baik. Kalo Lisa udah punya cowok, baru deh kita main bareng lagi,” seolah mencerna kalimatku yang panjang, Lisa menatapku dalam. Aku menunduk, menghindari tatapannya. Hatiku terasa perih. Tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit dan mataku mulai bersaput. Aku yakin, ini yang terbaik untuk aku dan Lisa. Batinku.
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Lisa beranjak dan pergi tanpa berkata apapaun lagi dan  tanpa melihat ke arahku lagi. Selepas Lisa pergi, aku bergegas ke washtafel. Aku coba membasuh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Tidak ada yang spesial antara aku dan Lisa, tapi kenapa kepergiannya terasa sangat menyakitkan. Sepertinya aku sedang merasakan apa yang orang bilang sebagai ‘patah hati’. “Ya Allah, kenapa rasanya sakit sekali.” Ucapku lirih sambil mengelus-ngelus dada berharap sakitnya sedikit berkurang.
 
***


Note :

Buat kalian yang tertarik membaca cerita ini dari awal, bisa di cek di link di bawah :


mr.nanonano
In3m
marwangroove920
marwangroove920 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.6K
36
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
#17
Hidden Story - Sisi Lainku [Sekuel - Istri Kedua] Nikah adalah misi terakhirku
Hidden Story - Sisi Lainku [sekuel - Istri Kedua]

Nikah adalah misi terakhirku
Jangan paksa orang untuk mencintaimu. Tagihlah dirimu untuk mencintai siapapun.
-Emha Ainun Nadjib

Beberapa bulan terlewati bersama Ikhsan. Untuk sesaat, aku merasa bahagia. Bersamanya, keberadaanku terasa diterima. Aku bukan lagi anomali. Bersamanya aku mengenal dunia baru. Dunia yang penuh semangat dan mimpi. Dunia masa depan.

Ikhsan itu supel dan pintar. Dia tidak perlu tampang yang keren untuk sekedar menarik perhatian perempuan. Kemampuannya dalam bidang komputer jaringan sudah cukup membuat dia digandrungi banyak perempuan.

Seperti hari ini. Aku duduk disebuah bangku yang memanjang sepanjang koridor kampus. Dari tempatku, aku bisa melihat jelas keberadaan Ikhsan yang sedang dikerumuni banyak mahasiswi. Jelas sekali, mahasiswi-mahasiswi itu terpukau dengan kemahiran Ikhsan menjelajahi dunia internet.

Disela-sela kesibukannya itu, sesekali Ikhsan melihatku sekedar untuk tersenyum dan memastikan aku masih setia menunggunya.

“Aru?” panggilan seseorang membuyarkan perhatianku pada Ikhsan-pacarku yang tengah disibukan oleh banyak perempuan lain. “Ngapain kamu disni, Aru? Kuliah disini juga?” Akhirnya ada seseorang yang aku kenal. Dheara berjalan mendekat ke arahku. Dia terlihat menawan dalam setelan kuliahnya.

Dheara selalu tampak berbeda disetiap setelan yang dipakainya, seolah apa yang dia pakai turut merubah kepribadiannya. Saat pertama kali bertemu, dia berdandan seperti vocalis band Kotak, gotik banget dengan cat kuku warna hitam.

Pertemuan kedua, saat Dheara pertama kalinya berkunjung kerumah Bunda. Dia mengenakan short dresswarna putih, lengkap dengan heels yang berwarna senada dengan tas kecil di tangannya.

Dan hari ini dia memadukan celana jeans hitam dengan turtleneck pendek silver yang terlihat sangat pas di badannya. Dia membawa tas jinjing yang mempercantik penampilannya.
Ritme hak sepatunya yang berjalan kearahku, terdengar berwibawa. Dia terlihat seperti wanita eksekutif, casual tapi tetap memberi kesan feminim.

“Hai Dhe, seneng bisa ketemu kamu disini. Kamu kuliah disini juga?” tanyaku. Aku berdiri menyambut kedatangannya.

“Enggak. Aku dosen disini,” Dheara terkekeh sambil menatap jahil sebelum akhirnya menggandeng tanganku dan kembali membawaku duduk di bangku. Jelas sekali dia bercanda, karena sebuah almamater terlihat menyembul, tidak muat di tas jinjingnya.

Sesaat dia melihat kedalam kelas dimana Ikhsan masih terlihat sibuk dengan beberapa mahasiswi. “Eh, kamu belum jawab pertanyaanku, tadi. Kamu kuliah disini? Kok, kita gak pernah ketemu.”

“Aku gak kuliah. Aku nganter Ikhsan,” jawabku sambil melirik kedalam kelas dimana Ikhsan berada. Seakan mendengar namanya disebut, Ikhsan melihatku, tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Dheara melepas gandengan tangannya di lenganku dan membalas lambaian tangan Ikhsan sambil tersenyum ramah.

“Kamu kenal Ikhsan?” tanyaku yang dibalas gelengan pelan oleh Dheara. “Terus, kenapa kaya orang kenal, balesin dadah-dadah ke Ikhsan?”

Dheara terkekeh, tangannya meremas pelan pahaku. “Karena kamu gak membalas lamabaian tangan dia.” Dheara beranjak berdiri. “Aru, aku tinggal dulu ya. Bentar lagi, aku ada kelas.”

Satu, dua sampai tiga ketukan suara sepatunya yang beranjak pergi, tiba-tiba Dheara berhenti. Dia menatapku beberapa saat. “Manis juga pacar kamu. Kalau mau di buang, kabarin aku, ya.” Dheara terkekeh dengan tatapan yang jahil cenderung nakal.

Wanita itu, selalu begitu. Dia mempesona sekaligus mengerikan. Tingkahnya kali ini membuat aku ragu dengan pengakuannya di awal pertemuan kami. Aku rasa, dia tidak sama denganku.

***


Untuk seorang introvert sepertiku, menyesuaikan hidup dengan Ikhsan sangatlah menyita waktu, menyita tenaga. Sangat melelahkan.

Ikhsan si supel yang memiliki banyak teman bahkan memiliki satu komunitas besar dan dia cukup populer di komunitasnya. Dan aku, si introvert yang minderan, gak gaul gak punya teman. Selepas lulus sekolah, aku hanya dekat dengan Freya. Itupun kini berakhir. Sungguh tragis.

Setelah kalah debat minggu lalu, terpaksa hari ini aku menemani Ikhsan touring bersama komunitasnya. Di balik sikap ramah dan supelnya, ternyata Ikhsan memiliki sisi perfeksionis. Dia sangat suka ngatur. Aku harus begini, pakai baju ini, gak boleh gini, gak boleh gitu dan bla bla bla banyak sekali. Seandainya July yang mengalami ini, aku yakin dia akan sering teriak “Menyebalkan!!!”

Satu hari yang melelahkan. Sungguh aku tak terbiasa berkumpul dengan banyak orang. Ternyata aku masih anomali.

“Kamu capek, ya?” tanya Ikhsan yang masih betah dan memilih duduk di teras rumah Bunda.

“Lumayan capek, sih. Tapi gak apa-apa, sesekali, kan.” Jawabku sambil mantengin hp, memantau group Mig33 yang baru dibentuk oleh Dheara.

“Menurut kamu, kalau aku ambil kuliah lagi di jurusan Ekonomi, bisa gak?” Setelah seharian ini dia menyita waktuku, sepertinya Ikhsan serius ingin menyita perhatianku malam ini.

Aku meletakan hp, menyodorkan teh yang sejak tadi tak kunjung di minum oleh Ikhsan. Aku sendiri menyeruput teh ku yang sudah mulai dingin.

“Kenapa kamu ingin bahas soal ini dengan aku? Kamu tau kan, aku gak kuliah. Kayaknya, gak tepat kalau kamu bahas soal ini dengan aku.” Kataku sambil menatap Ikhsan se-intens mungkin, membuat dia hampir tersedak oleh air teh.

Ikhsan berdehem beberapa kali. “Jawaban kamu yang seperti ini, yang membuat aku selalu betah ngobrol sama kamu,” katanya membuat aku bingung. “Kalau cewek lain pasti akan langsung jawab ‘Wow, kamu keren. Mau ambil kuliah tambahan, ambil aja biar nanti kamu bisa kerja di tempat bagus dan cepet kaya’” lanjutnya sambil terkekeh pendek sebelum kembali meminum teh nya.

“Owh… Berarti lain kali aku akan jawab ‘Ih, kamu keren banget, pinter banget, bangga deh jadi pacar kamu’” kataku sambil meniru gaya Jinny saat manja di depan Bagas.

Ikhsan terbahak sampai hampir memuncratkan Teh nya ke wajahku.

“Kalau menurut aku, lakukan apa yang mau kamu lakukan selama kamu sanggup menjalaninya. Tapi kalau dirasa berat, jangan di paksakan. Menurut kamu sendiri gimana? Kamu yakin, bisa ngejalanin 2 perkuliahan? Dengan 2 jurusan yang jauh beda, lagi.” Ikhsan tersenyum mendengar masukanku.

“Aku yakin.” Ikhsan mengangguk, mantap. “Jadi, karena aku ada rencana ini, kamu jangan minta di nikahin cepet-cepet, ya!” lanjutnya. Kali ini aku yang hampir tersedak air teh.

Setelah berhasil menelan air teh, aku sudah tak tahan lagi menahan rasa geli yang tiba-tiba saja terasa menggelitik perut. Aku tertawa lumayan kencang, sampai Ikhsan harus membekap mulutku untuk membuat aku berhenti tertawa. “Ssssttt… udah malem, entar ganggu Bunda, lho.” Katanya, membuat aku segera menarik napas panjang untuk mereda tawa.

“Yaudah, aku pulang dulu.” Katanya setelah tawaku bener-benar reda.

“Kamu tenang aja, nikah adalah misi terakhirku. Itu masih sangat jauuuuuhhhh. Kamu santai aja,” kataku sambil beranjak mengikutinya keluar gerbang rumah Bunda.

Aku menunggu Ikhsan sampai dia siap melajukan motornya. Seperti biasa, menjelang jalan, Ikhsan akan melakukan kiss byeseperti balita. Kebiasaan yang aneh, tapi aku tidak pernah mencegahnya, tidak juga meladeninya. “Hati-hati di jalan, kabarin kalau udah sampe.” Kataku sambil melambaikan tangan.

Motor Ikhsan melaju perlahan, menyisakan rasa lelah yang luar biasa di tubuhku. Aku bingung dengan diriku. Aku selalu merasa kelelahan setiap kali bersama Ikhsan. Padahal dia tidak pernah mengajakku melakukan hal-hal berat. Dan, yang lebih aneh, saat bersamanya waktu berlalu terasa sangat lambat sekali.

Apakah Ikhsan merasakan apa yang aku rasakan?

***


ginger00
ginger00 memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.