Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua mengetuk pintu kamar hotel tempat Mas Karlan sekeluarga menginap. Cukup lama gua menunggu hingga akhirnya Mas Karlan membukakan pintu untuk gua.
“Kamu baru dateng?” Tanya Mas Karlan menyambut gua.
“Iya…” Jawab gua singkat kemudian menyeruak masuk ke dalam tanpa menunggu dipersilahkan olehnya.
Terlihat Mbak Sri tengah duduk di sofa kecil di sudut kamar hotel sambil menonton TV, sementara anak-anak nya sibuk melompat-lompat diatas ranjang. Gua mengangkat bungkusan besar berisi ayam goreng cepat saji yang tadi gua beli saat perjalanan menuju kesini.
Anak-anak berteriak dan bergegas menghampiri gua. Mbak Sri ikut berdiri, dan gua menyerahkan bungkusan tersebut kepadanya.
“Emang belom pada makan?” Tanya gua ke Mbak Sri.
“Belom…” Jawab Mbak Sri pelan.
“Lho kenapa?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menoleh dan menatap Mas Karlan.
Mas Karlan menggaruk kepalanya; “Mau makan di bawah malu, mau pesen nggak tau caranya…” Jawabnya seraya tersenyum.
“Alah bilang aja takut mahal…” Mba Sri merespon alasan yang barusan di ungkapkan oleh suaminya, sambil menyiapkan ayam goreng pemberian gua kepada anak-anaknya.
Gua lantas menarik lengan Mas Karlan dan membawanya menuju ke arah pesawat telepon yang terletak di sebelah ranjang. Sambil mengangkat gagang telepon gua menekan angka dua lalu dengan cepat kembali meletakan gagang telepon ke tempatnya; “Angkat, pencet angka 2, udah abis itu pesen makanannya…”
“Lah, terus lihat menunya piye?” Tanya Mas Karlan dengan tatapan bingung.
Gua meraih remote TV yang tergeletak di sofa kemudian mengarahkannya ke TV dan menekan tombol angka 2 pada remote. Layar TV langsung berubah, menampilkan menu-menu makanan yang bisa di pesan.
“Oalah, ngono toh…” Ucap Mas Karlan, masih menggaruk kepalanya.
“Wah, mahal-mahal harganya…” Respon Mbak Sri begitu melihat menu makanan beserta harga yang tercantum pada layar TV.
“Gapapa pesen aja, nanti Gua yang bayar…” Jawab gua kemudian kembali memindahkan saluran TV.
“Nggak usah ah, sayang-sayang duite…” Ucap Mas Karlan, lalu mengambil sepotong ayam goreng dan mulai memakannya.
Gua mendekat ke arah anak-anak Mas Karlan yang tengah makan, sambil mengusap kepala mereka satu persatu gua bertanya; “Udah pada berenang belom?”
“Udah, Om!!” Jawab mereka kompak.
“Besok mau berenang lagi nggak?” Tanya gua lagi.
“Mau… Mau.. Om…” Teriak mereka seraya berdiri lalu melompat-lompat kegirangan. Mbak Sri lantas terlihat kerepotan untuk kembali menenangkan mereka.
Ponsel gua berdering, Nama Maminya Resti muncul pada layar. Gua lantas menjauh, mencari sudut yang agak tenang dan mulai menjawab panggilan tersebut.
“Halo…”
“Bi, kamu dimana?” Tanya Mami.
“Di Hotel Tan, eh Mi…”
“Kebawah dong… Mami mau kenalin nih sama saudara-saudara…” Ucap Mami.
“Eh, tapi saya ganti baju dulu ya mi.. Soalnya baru sampe…”
“Oh yaudah, jangan lama-lama ya…”
“Iya, Mi…”
Gua lantas pamit ke Mas Karlan dan Mbak Sri lalu bergegas menuju ke Kamar yang sudah di pesan atas nama gua. Kamar yang berada beberapa lantai dari kamar Mas Karlan dan keluarga menginap.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, gua bergegas turun, menuju ke sebuah restoran yang terletak di lantai dasar hotel. Saat tengah menyusuri koridor hotel yang panjang dan tenang sambil ujung jari meniti ke railing kayu yang tertempel pada dinding, salah satu pintu kamar terbuka; Resti muncul dari dalam kamar.
Ia menatap ke arah gua, kemudian tersenyum. Resti mendekat dengan cepat, lalu melompat dan langsung memeluk gua erat, seakan ini merupakan pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun berlalu.
“Baru mau ngabarin, tapi keburu di telpon mami disuru kebawah…”
“Oh, pantesan wangi banget… Kalo pergi sama kayaknya nggak pernah sewangi ini deh…” Ucap Resti mengajukan komplain.
Resti melangkah mundur, lalu menatap gua dari kepala hingga ujung kaki; “Lo nggak bawa baju lagi?” Tanyanya sambil menggigit bibir bawahnya dan menatap gua.
“Bawa, ya tapi gini semua…” Jawab gua, seraya menunjukkan celana denim panjang dan kaos hitam polos yang tengah gua kenakan.
“Nggak bawa kemeja?” Tanyanya lagi.
“Nggak…Kenapa emang?” Gua balik bertanya.
“Gapapa, dibawah kan restoran mahal, ntar lo nggak boleh masuk lagi…”
“Oh, nggak boleh masuk yaudah… gua balik ke kamar aja…” Jawab gua santai.
“Yaudah deh… yuk…” Resti menjawab, lalu menarik tangan gua menuju ke lobby lift untuk bersama-sama turun ke bawah untuk menemui Mami dan saudara-saudaranya.
“Lah elo ikut juga?” tanya gua.
“Iya…”
“Pake baju gitu?” tanya gua lagi sambil menunjuk ke sweater putih dan celana pendek berbahan denim yang ia kenakan.
“Iya, nemenin lo, biar lo ada temennya pake baju jelek, biar ntar lo nggak kikuk kalo sendirian, diem aja karena susah ngomong, kepala lo pusing, keringet dingin karena tempatnya rame…” ” Jawabnya lagi, kali ini sambil tersenyum dan menatap gua.
Mendengar penjelasan tersebut, gua meraih pundak dan memeluknya. Seraya membatin dalam hati; ‘You know me so well’, Res…’
—
Beberapa menit berikutnya, kami berdua sudah memasuki restoran sambil bergandengan tangan. Tentu saja beberapa mata langsung menatap kami dengan pandangan ‘menyedihkan’ saat melihat pakaian yang kami berdua kenakan, yang mungkin dirasa kurang pantas saat mengunjungi tempat mewah macam restoran tempat kami berdiri sekarang.
Mami melambaikan tangannya dari sudut ruangan, memberi isyarat agar kami menghampirinya. Gua dan Resti berjalan mendekat, melintasi meja-meja bundar berukuran raksasa dengan kursi kayu bersandaran tinggi mengelilinginya. Beberapa meja terlihat dipenuhi orang-orang berbaju necis yang tengah menikmati makan malam sambil berbincang.
Pelayan-pelayan yang bajunya bahkan terlihat lebih rapi dari kami berdua sibuk bergerak lincah kesana kemari dengan nampan berisi makanan. Salah satunya mendekati gua dan Resti dan mengantarkan kami ke meja tempat Mami dan Papi sudah duduk menunggu.
“Lama banget, Bi..” Maminya menyambut gua dengan pertanyaan.
Gua lalu menjawab dengan melirik ke arah Resti, mencoba memfitnahnya sebagai orang yang menyebabkan gua datang terlambat.
Papinya lalu berdiri dan mengajak gua berkeliling untuk memperkenalkan diri. Saking banyak kerabat dan saudaranya, sehingga sebuah meja besar pun tak mampu menampung semuanya. Sementara, Resti alih-alih duduk diam bersama maminya, ia justru mengikuti gua sambil terus menggenggam lengan gua.
Bahkan sempat beberapa kali mewakili gua untuk memperkenalkan diri karena melihat kegugupan gua saat bicara di depan banyak orang.
Butiran keringat mulai mengalir membasahi dahi dan kedua sisi wajah gua. Resti lalu dengan cepat mendorong tubuh Papinya agar mempercepat proses perkenalan.
Nggak lama, proses perkenalan yang cukup menguras mental gua pun berakhir
“Sini duduk…” Ucap Maminya sambil menepuk kursi kosong, sementara Resti langsung duduk di sebelah gua.
Sementara Papinya Resti masih sibuk ngobrol dan berbincang dengan para kerabat di meja sebelah.
Maminya yang mendengar pertanyaan Resti dan melihat respon dari gua lalu menyentuh lembut tangan gua kemudian bicara; “Gapapa, nanti lama-lama juga kenal…”
Gua mengangguk pelan.
“... Itu baru keluarga dari Papi doang lho bi, keluarga Mami belum pada dateng…”
“Hah? masih ada?” Tanya gua kaget.
“Masih… Masih banyak…”
Gua lantas berpaling dan menatap Resti seakan meminta bantuannya. Bantuan untuk mencoba mengingat nama-nama dari anggota keluarga besarnya.
—
Hampir satu jam lamanya gua dan Resti harus terjebak dalam jamuan makan malam ala kerajaan yang begitu formal. Dan hampir satu jam pula gua cukup merasa ‘tersiksa’ berada di kerumunan orang yang tak henti-hentinya mengajak gua bicara.
Begitu acara selesai, Resti langsung menarik lengan gua menuju ke lobby lift. Sebuah cara yang ia upayakan agar gua bisa dengan cepat menghindar dari keramaian.
“Jangan lupa pasang alarm ya, besok kan kita nikah…” Ucap Resti saat kami berdua sudah tiba di depan pintu kamarnya.
“Iya, tenang aja, gua udah setel alarmnya kok…” Jawab gua seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menunjukkannya kepada Resti.
Ia dengan cepat memukul dada gua berkali-kali; “Gw kirain bercanda, lo beneran pasang alarm buat hari pernikahan kita!?” Teriaknya.
Gua hanya mampu tersenyum dan membiarkan tangan mungilnya memukuli gua membabi buta.
“Udah sana istirahat…” Ucap gua pelan.
“Yaah, gw kan masih mau berduaan sama elo…” Balasnya.
“Besok kita kan bisa berduaan sampe puas…”
“Yah, yaudah sana…” Ucapnya sambil pasang tampang kecewa, kemudian membuka pintu kamar dan masuk.
Sebelum benar-benar pergi gua menatapnya sambil bicara; “Kali ini gua nggak perlu ngabari elo kalo udah sampe kan?”
“Iya…” Jawabnya singkat kemudian mulai menutup pintu kamarnya.
Gua tersenyum, walaupun tau bahwa Resti tak bakal melihat senyum gua barusan. Lalu berjalan menyusuri koridor dengan ujung tangan meniti railing kayu yang tertempel pada dinding menuju ke kamar gua.
Baru beberapa langkah gua memasuki kamar, terdengar ketukan di pintu. Gua berbalik, lalu mengintip dari door viewer; terlihat Resti tengah pasang tampang tersenyum dengan dua jari diangkat membentuk simbol piss. Gua bergegas membuka pintu; “Kenapa?”
Resti nggak menjawab, dengan lipatan selimut besar di tangannya, ia menerobos masuk ke dalam kamar. Lalu berjalan cepat, menjatuhkan diri diatas ranjang dan langsung menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut hotel yang ia bawa.
Gua menyusulnya lalu dengan cepat menarik selimut yang menyelubunginya; “Ngapain?” Tanya gua. Sementara, terlihat Resti tengah meringkuk di atas ranjang sambil menutupi kepalanya dengan bantal.
“Ogah…” Ia menjawab dengan suara yang terdengar samar karena kepalanya tertutup bantal.
Gua lantas duduk di tepi ranjang dan menatapnya.
“Kalo nggak ada yang lapor, mami sama papi juga gak bakal tau…” Resti menambahkan. Masih dengan kepala tertutup bantal.
Gua berdiri, menuju ke arah dapur mini yang terletak di sudut ruangan untuk membuat kopi instan. Setelahnya, gua mengeluarkan sebotol bir dari dalam kulkas. Gua menempelkan botol bir dingin ke kaki Resti, barulah ia memindahkan bantal yang menutupi kepalanya dan menatap gua tajam.
“Nih…” Ucap gua seraya menyodorkan botol bir kepadanya.
“Boleh?” Tanyanya.
Gua mengangguk pelan, berjalan menuju ke arah balkon dan membuka jendelanya. Suara riuh jalan raya dan deru angin malam Jakarta langsung menyambut kami. Gua menarik sofa kecil dan duduk menghadap ke luar.
Resti menyusul gua dan duduk di pangkuan dengan sebotol bir tangannya.
“Itu bir terakhir lo…”
“Oke, no problem!” Jawabnya singkat.
Gua menyulut sebatang rokok dan meletakkannya di bibir Resti; “Ini juga rokok terakhir lo…”
“Oke…” Jawabnya seraya menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara.
Gua meraih sebatang lagi dan menyulutnya untuk diri sendiri. Lalu malam itu,dengan Resti duduk dipangkuan, sambil menatap bintang di langit Jakarta yang gelap, ditemani secangkir kopi instan, sebotol bir dan berbatang-batang rokok, kami mulai bercerita, cerita tentang masa lalu dan berangan-angan untuk masa depan.
—
Pagi itu gua duduk disebuah kursi empuk berselimut kain putih sementara kursi di sebelah gua yang seharusnya ditempati Resti, terlihat kosong. Sementara, dihadapan gua terdapat sebuah meja dengan nuansa yang sama dengan kursi yang tengah gua duduki.
Di seberang gua duduk seorang pria berusia setengah baya dengan setelan jas lengkap dengan peci; seorang penghulu. Di hadapannya terdapat beberapa lembar kertas, pena dan dua buah buku kecil yang masing-masing memiliki sampul berwarna hijau dan merah.
Papinya Resti dengan setelan jas berwarna hitam bergaris dilengkapi dengan dasi bernada sama, duduk di sebelah penghulu. Sementara di sisi sebelah kanan meja, Mas Karlan duduk dengan setelan yang serupa dengan yang dikenakan oleh Papinya Resti.
Di sekeliling kami terdapat kursi-kursi yang ditempati oleh hampir 30 sampai 40 orang yang menatap lurus ke arah kami.
Pak Penghulu, melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan. Ia kemudian, memberi isyarat untuk segera memulai acara akad nikah. Nggak lama, salah satu pintu ballroom terbuka, semua mata berpaling menatap ke arah pintu tersebut; seorang perempuan dengan gaun sederhana berwarna putih berjalan pelan menuju ke arah kami; Resti. Ia yang biasa gua lihat mengenakan sweater dan celana jeans terlihat jauh lebih cantik dari Resti yang biasa gua kenal.
Maminya dengan sabar menuntun Resti dan duduk di kursi kosong di sebelah gua.
“Katro lo pake baju ginian…” Bisik gua ke arah Resti begitu ia duduk.
“Bodo…” Jawabnya pelan, tanpa menoleh ke arah gua.
Begitu pak penghulu buka suara melalui pengeras suara, suasana langsung hening seketika. Menghadapi tatapan mata yang terfokus pada gua, butiran keringat mulai membasahi dahi, jantung mulai berdebar cepat, dan telapak tangan terasa basah, Mami dengan sigap langsung menyeka keringat yang membasahi dahi dan sisi wajah gua.
“Saya terima nikahnya Resti Rechtina Monday binti xxxx dengan mas kimpoi segelas air putih dan uang tunai sebesar lima belas ribu rupiah dibayar tunai…”
“Sah? Sah?” Tanya Pak penghulu kepada Mas Karlan dan Om Andika; adik dari papinya Resti, yang bertindak sebagai saksi.
“Sah…” Jawab mereka berdua kompak, lalu disusul gemuruh tepuk tangan para hadirin.
Mereka terdengar girang bukan tanpa alasan, karena sebelumnya gua sudah salah melafalkan akad sebanyak dua kali, dan barusan adalah kali ketiga percobaan gua. Jelas, hadirin yang ikut deg-deg-an jadi heboh.
Begitu gua menyelesaikan akad, Resti lantas meraih segelas air putih yang tersedia di meja dan meneguknya perlahan hingga habis.
Gua memejamkan mata lalu menarik nafas melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut; terasa kelegaan yang luar biasa. Walaupun jantung ini masih berdebar hebat dan telapak tangan masih berkeringat.
Pak penghulu lalu menyodorkan beberapa lembar kertas dan buku nikah untuk kami berdua tanda tangani.
Selepas acara akad nikah, gua dan Resti berdiri di sudut ballroom dengan beberapa kenalan yang tak henti-hentinya mengajak berfoto. Resti buru-buru memanggil salah satu staff wedding organizer untuk segera menyudahi sesi ini, atau paling tidak menyudahi acara ini untuk gua.
Staff wedding organizer menyetujui permintaan Resti dan buru-buru menyelesaikan semua sesi yang berhubungan dengan gua dan Resti; sesi yang kebanyakan merupakan sesi foto-foto. Lalu, ia mempersilahkan kami untuk meninggalkan Ballroom.
—
Jam menunjukkan pukul 10 lewat. Gua duduk di dalam kamar hotel Resti sambil menatap ke arah balkon dengan posisi jendela terbuka. Sementara, Resti terlihat berbaring di ranjang sambil bermain ponsel bersama anak-anak Mas Karlan, di sisi ranjang Maminya duduk seraya berbincang dengan Mbak Sri. Dan mas Karlan dan Papi tengah duduk di ruang tamu kamar hotel sambil ngobrol seru perkara situasi politik dan ekonomi Indonesia.
Sebuah ketukan di pintu menginterupsi kegiatan mereka, semua mata menatap ke arah gua yang terlihat ‘nganggur’. Gua berdiri dan membuka pintu kamar, seorang wanita dengan setelan jas berdiri di ambang pintu sambil membawa lembaran kertas; Staff wedding organizer.
Gua mempersilahkan ia untuk masuk ke kamar.
Menit berikutnya, perempuan tersebut berdiri diantara kami sambil mengulang briefing acara resepsi yang sebelumnya sudah pernah disampaikan.
Berkali-kali Mami merevisi ucapan si staff wedding organizer, karena menurutnya dirasa kurang tepat. Dan semua revisi yang diajukan maminya dibantah oleh Resti yang keukeuh dengan skema resepsi sebelumnya. Tentu saja, Maminya tak sanggup jika harus beradu argumen dengan Resti hingga akhirnya harus menyerah.
Begitu staff wedding organizer selesai menyampaikan briefing, ia pamit dan bergegas keluar dari kamar. Disusul oleh Mami, Papi dan Mas Karlan beserta keluarga, meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
“Sini…” Ucap Resti sambil menepuk ranjang di sebelahnya.
Gua tersenyum dan merebahkan diri di sisinya. Kami berdua berbaring berdua, menatap ke arah langit-langit kamar. Resti mengangkat tangan kirinya ke atas, sambil tersenyum ia menatap cincin pernikahan di jari manisnya.
“Seneng nggak lo?” Tanyanya.
“Seneng” Jawab gua singkat.
“Seneng kok ekspresinya biasa aja?” Tanyanya lagi, sementara matanya masih menatap cincin di jari manisnya.
“Emang gua harus gimana? salto?” Gua balik bertanya.
“Ya muka lo datar aja gw perhatiin daritadi…”
Gua lantas pasang tampang senyum terbaik, berbalik dan menatap ke arahnya; “Coba sekarang lo liat muka gua, gini udah pas belom?”
Resti menoleh, menatap gua dan tersenyum; “Nah gitu, kan cakep…”
“Emang sebelumnya nggak cakep?” Tanya gua.
“Selama ini nggak pernah ada yang bilang ke elo ya, kalo pas senyum tuh lo ganteng banget…”
“Kalo gua lagi nggak senyum gimana? Nggak ganteng?”
“Ya lumayan laah…”
—
2 Become 1 - Spice Girls
Candle light and soul forever
A dream of you and me together
Say you believe it say you believe it
Free your mind of doubt and danger
Be for real don't be a stranger
We can achieve it we can achieve it
Come a little bit closer baby get it on get it on
'Cause tonight is the night when two become one
I need some love like I never needed love before
(wanna make love to ya baby)
I had a little love now I'm back for more
(wanna make love to ya baby)
Set your spirit free
It's the only way to be
Silly games that you were playing
Empty words we both were saying
Let's work it out boy let's work it out boy
Any deal that we endeavour
Boys and girls feel good together
Take it or leave it take it or leave it
Are you as good as I remember baby get it on get it on
'Cause tonight is the night when two become one
I need some love like I never needed love before
(wanna make love to ya baby)
I had a little love now I'm back for more
(wanna make love to ya baby)
Set your spirit free
It's the only way to be
Be a little bit wiser baby put it on put it on
'Cause tonight is the night when two become one
I need some love like I never needed love before
(wanna make love to ya baby)
I had a little love now I'm back for more
(wanna make love to ya baby)
I need some love like I never needed love before
(wanna make love to ya baby)
I had a little love now I'm back for more
(wanna make love to ya baby)
Set your spirit free
It's the only way to be
It's the only way to be
It's the only way to be