Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua meraih ponsel dan mengecek pesan balasan dari Wawan; “Ribet!, Makanya gw bilang cuti aja!”
“Ni gua berangkat” Balas gua.
Lalu masuk ke menu panggilan terakhir, dan mulai menghubungi Resti.
“Halo…” Sapa Resti dari ujung sana.
“Kok nggak ngasih tau, kalo mami mau kesini?” Tanya gua tanpa membalas sapaannya.
“Hah, kapan? kemana? ke Apartemen?” Resti balik bertanya, nada suaranya terdengar terkejut setengah mati.
“Iya ke apartemen…” Jawab gua seraya mengunci pintu apartemen dengan menggesek kartu pada handle pintu, kemudian bergegas menuju ke koridor lift.
“Ngapain??” Tanyanya lagi.
“Ya nengokin calon menantunya kali…” Jawab gua asal. Enggan menjelaskan kronologi kejadian barusan kepada Resti melalui sambungan telepon. Nanti, jika bertemu baru akan gua ceritakan. Ya walaupun pertemuan gua dan Resti nanti mungkin adalah hari pernikahan kami.
“Ih, buruan ceritain, ngapain Mami kesana…” Resti mendesak gua.
“Nanti gua ceritain kalo ketemu…” Jawab gua.
“Yaah, bikin penasaran aja deh…”
“Ya sabar… Oiya Ini gua masuk lift kalo sinyalnya ilang gua matiin ya…” Ucap gua, seraya masuk kedalam lift dan segera menekan tombol ‘tutup’.
“Yaudah, ntar kalo udah di lobby telpon gw lagi ya…”
“Ya…” Jawab gua singkat, berbarengan dengan pintu lift yang menutup.
Segera setelah keluar dari lift gua langsung kembali menghubungi Resti sesuai dengan permintaannya. Yang jika tak dilaksanakan, gua yakin ini akan menjadi bahan perdebatan kami selanjutnya; ‘kenapa nggak langsung telpon’, ‘apa susahnya sih tinggal telpon doang’, dan mungkin masih banyak database kalimat omelan lainnya.
Nada sambung nggak sampai terdengar lama, baru beberapa detik suara Resti sudah kembali menggema di telinga melalui ponsel.
“Gimana tadi, mami ngapain? nanya apa dia? trus lo kasih minum nggak?” Tanyanya bertubi-tubi.
Mau nggak mau, gua akhirnya menceritakan kronologi kehadiran maminya ke apartemen tadi, tentu saja secara singkat dan cepat.
“Iya… btw lo jalan kaki ya ke kantor?” Tanya Resti.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Yaudah, gw temenin ngobrol ya, sampe lo di kantor. Biar lo nggak bete jalan sendirian…”
“Iya, tapi gua lagi males banget ngomong…”
“Yaudah dengerin gw nyanyi ya…”
“Ok bentar, gua pasang headset dulu..” Gua lalu meraih headset dari saku kecil di sisi tas, memasangnya di telinga.
“Udah?” Tanyanya.
“Udah, eh bisa request lagu kan?” Gua balik bertanya.
“Nggak, nggak… lagunya gw yang pilih..”
“Yah…”
“Udah gratis, tinggal dengerin aja bawel…” Bentak Resti.
Sempat hening sebentar, kemudian terdengar suara Resti berdehem, disusul suaranya instrumen musik Ordinary World-nya Duran-duran versi karaoke. Nggak lama, Resti mulai bernyanyi.
Begitu mendengar Resti bernyanyi, gua susah payah menutup mulut, mencoba menahan tawa agar tak terdengar olehnya.
Hampir 3 lagu didendangkan oleh Resti dengan suaranya yang ‘merdu’. Saking merdunya mungkin jika ia ikut ajang pencarian bakat, ia akan tereliminasi saat antri mengambil nomor peserta. Dan selama itu pula gua menutup mulut, mencoba menahan tawa.
“Gua udah mau sampe kantor…” Sela gua ditengah nyanyian Resti yang tengah membawakan ‘Show Me The Meaning-nya Backstreet Boys bait terakhir.
Tiba-tiba, ia berhenti dan berteriak; “Rese lo… kan tanggung…”
“Ya nanti gua lanjutin kalo udah selesai kerja ya…” Rayu gua, yang lalu direspon oleh Resti dengan nada penuh kekecewaan; “Yaaah…”
Gua lalu mengakhiri panggilan.
Siapa sangka, panggilan telepon barusan adalah panggilan telepon terakhir kami berdua, sebagai pasangan kekasih. Siapa yang sangka, besok kami berdua akan menikah. Dua orang dengan kepribadian saling berlawanan, dua orang dengan latar belakang yang jauh berbeda, usia yang berbeda, dengan sangat sedikit kesamaan akhirnya akan disatukan sebuah pernikahan. Gua sendiri masih nggak percaya, karena merasa kebahagiaan hanya angan-angan yang jauh dari harapan.
—
“Ngapain dateng? Percuma nggak bakal gua kasih kerjaan…” Sambut Wawan begitu gua membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
Gua nggak menggubris ucapannya, lalu bergegas mengeluarkan laptop dari dalam tas dan menjatuhkan diri di kursi. Gua yakin, orang kayak Wawan nggak mungkin bisa menahan diri untuk nggak memberikan perintah saat gua hanya nganggur, duduk manis sambil menonton video.
Tebakan gua nyatanya cukup tepat, walaupun nggak langsung terjadi. Awalnya Wawan meng-handle semua request troubleshoot sendirian. Ia wara-wiri keluar masuk ruangan, kadang ia kembali hanya untuk mengambil LAN tester, sesekali ia keluar sambil membawa laptop saat tiba-tiba dipanggil untuk meeting dadakan.
“Server di ruang creative mati…” Ucapnya sambil berlalu.
Lagi-lagi, gua nggak menggubrisnya, hanya duduk terdiam, pura-pura nggak mendengar seraya melanjutkan menonton video di laptop.
Ia lalu kembali, dan berbisik; “Server di ruang creative mati, TOLONG YA…” Ucapnya pelan dan memberi penekanan pada kata ‘Tolong’.
“Ok” Gua merespon singkat, kemudian berdiri dan bergegas menuju ke ruang creative.
Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan masalah server di ruang creative. Gua berjalan menyusuri koridor ruang creative saat tiba-tiba suara Feli terdengar memecah kesunyian di seantero ruangan. “Kak…”
Gua berpaling dan menoleh ke arah asal suara, terlihat Feli berlari menghampiri gua. Seperti biasa, sesuatu yang tengah ia bawa terjatuh, kali ini sebuah sketch book yang sebelumnya ia genggam.
“Kok belum libur sih? kan besok mau nikah?” Tanyanya dengan volume suara yang menggelegar. Akibatnya, hampir seluruh karyawan yang berada di dalam ruangan menoleh dan menatap ke arah kami berdua.
Demi menyelamatkan harga diri, gua buru-buru menarik lengan Feli keluar dan menjauh dari ruang creative.
“Nggak sekalian aja lu umumin via email ke semua karyawan…” Ucap gua pelan kepada Feli.
“Eh maap kak, emang nggak ada yang tau ya kakak mau nikah?” Tanya Feli, kali ini suaranya sengaja di pelankan, bahkan terdengar seperti berbisik.
“Iya…” Jawab gua singkat, yang lalu dijawab dengan anggukan kepala olehnya.
“Emang kenapa nggak ngasih tau yang lain?” Tanya Feli.
“Menurut lo, di kantor ini selain elo sama Wawan, siapa lagi yang kenal sama gua?” Gua belik bertanya.
“Banyak kok, di creative aja ada 3 cewek yang kalo makan siang ngomongin kakak mulu…” Balas Feli.
“Ya, bukan kenal dalam hal kayak gitu. Maksud gua tuh yang saling mengenal…” Gua menjelaskan.
“Ooh… iya ya, kakak kurang bergaul sih…”
Mendengar ucapannya barusan, gua lantas menyentil dahinya kemudian bergegas pergi. Sebelum benar-benar pergi, gua menoleh ke arahnya dan mengajukan pertanyaan; “Mau makan siang bareng nggak?”
Tepat saat menjelang makan siang, pintu ruangan gua terbuka, Feli mengintip dari balik pintu dan melambaikan tangannya; “Ayoo…” Ajaknya.
“Bentar…” Jawab gua, seraya menutup layar laptop, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dan bergegas keluar.
“Lo mau ikut nggak, Wan?” Tanya gua ke Wawan yang masih terlihat sibuk menatap layar laptopnya, berlagak sibuk bekerja, padahal sibuk menonton serial drama.
“Nggak…” Jawabnya singkat tandap menatap gua.
Beberapa saat berikutnya, gua dan Feli sudah berada di salah satu warung makan yang terletak di belakang gedung. Bukan tanpa alasan pada akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di warung ini, warung yang merupakan pilihan terakhir bagi para karyawan untuk makan siang. Karena terkenal dengan makanannya yang nggak begitu enak dan harganya yang lumayan mahal untuk ukuran sebuah ‘warung’. Ya, alasan apalagi selain, karena tempat makan lain yang penuh.
Setelah sama-sama memesan menu yang sama, gua dan Feli duduk diatas bangku kayu panjang menatap ke arah etalase kaca yang menampilkan deretan lauk serta sayur yang bisa kami pesan kapanpun.
Feli menyisakan hampir setengah porsi makanan yang ia pesan, setelah menyeruput es teh manis di hadapannya, ia mendekat dan berbisik; “Bener kata orang-orang; nggak enak”
Gua mengangguk, setuju, seraya menyendok suapan terakhir masuk kedalam mulut. Lalu buru-buru menenggak es teh manis.
Sambil menyulut sebatang rokok, gua menyenggol lengan Feli; “Gua yang traktir, lo kalo mau nambah gapapa…”
Feli kembali mendekat dan berbisik; “Giliran makan disini, mau traktir..”
Selanjutnya, tak ada bahasan seputar pernikahan, gua dan Feli hanya ngobrol ngalor-ngidul membahas tentang sosok pria yang sama-sama kami kenal; Boni. Begitu gua menyebut namanya, ekspresi Feli langsung berubah antusias. Ia lalu berkali-kali mengajukan pertanyaan klise; “Kok bisa sih?”
Dan berkali-kali juga gua menjawab dengan jawaban yang sama; “Ya bisa lah”
“Kak, kenapa belum cuti?” Tanyanya. Entah sudah berapa kali ia menanyakan hal ini ke gua hampir seminggu terakhir ini.
“Bingung dirumah mau ngapain..” Jawab gua.
“Ya istirahat, kumpul sama keluarga. Biasanya kan kalo mau nikah keluarga banyak yang dateng…”
“Waah, lo kayaknya harus banyak cari tau tentang gua deh…”
“Ya gimana, baru mau nyari tau, kakak udah keburu mau nikah…”
“Besok udah tau mau dateng sama siapa?” Tanya gua, berusaha mengalihkan topik obrolan.
“Sendiri…” Jawabnya singkat seraya mengelus dahi.
“Sip!” Respon gua sambil mengacungkan ibu jari ke arahnya.
Feli terdiam sejenak, kemudian mendongak dan menatap gua; “Ntar kalo gw nangis disana gimana?”
“Ya bawa tisu yang banyak, pake makeup yang waterproof…” Balas gua, berkelakar.
“Ah kakak mah…” Keluhnya seraya menghentakan kakinya ke lantai dan menatap gua tajam.
Gua lalu melayangkan senyum ke arahnya, kemudian bicara pelan; “Kalo terlalu berat buat lo untuk dateng, jangan…” Ucap gua seraya menepuk lembut kepalanya.
—
Selepas makan siang, hingga saat ini, saat jam tangan gua menunjukkan angka 3 sore, tak ada lagi delegasi pekerjaan dari Wawan ke gua.
“Udah balik sana…” Titah Wawan.
“Kenapa sih, Wan? Nggak pengen banget gua kerja…”
“Besok kan lo mau nikah, Kalo nggak istirahat besok darahnya banyak lho…” Ujarnya, berkelakar namun dengan nada dan tampang yang serius.
“Besok gua mau nikah, bukan mau sunat…” Jawab gua, kemudian mematikan laptop, memasukkannya kedalam tas, meraih jaket dan bergegas keluar dari ruangan.
Sebelum benar-benar pergi dari kantor, gua menyempatkan diri menuju ke ruang creative untuk pamit ke Feli. Gua menghampiri Feli di tempat duduknya, ia terlihat tengah sibuk menatap layar laptop dihadapannya, sementara tangannya memainkan magic mouse maju dan mundur, kekiri dan kekanan.
“Ssst…”
Feli menoleh, dan terlihat cukup terkejut begitu melihat gua yang tengah membungkuk tepat di belakangnya.
Ia menatap gua dari ujung kaki ke ujung kepala; “Mau kemana?”
“Pulang…” Jawab gua singkat.
“Oh, yaudah istirahat…” Ucapnya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
Gua lalu menatap matanya yang sembap, lalu berbisik; “Besok dateng ya, kalo lo nggak dateng ntar gua yang nangis…”
Feli melayangkan senyum, kemudian mengangguk cepat.
“Good girl…”
“...”
“... Yaudah gua balik ya…”
“Iya, ati-ati ya kak…”
“Ya…”
—
Jam dinding di apartemen menunjukkan pukul 4 sore. Dan akhirnya, gua mengalami sindrom seperti yang dialami Resti sebelumnya. Gelisah, gugup, senang, dan bosan bercampur menjadi satu. Gua menatap tas olahraga besar berisi pakaian-pakaian gua di atas ranjang, kemudian meraih ponsel dan menghubungi Mas Karlan.
“Halo…” Sapa Mas Karlan di ujung sana.
“Mas, udah pada siap-siap, jemput sekarang buat ke hotel ya?” Tanya gua, begitu mendengar suara Mas Karlan.
“Ora sah, ini kita di hotel kok. Anak-anak malah lagi pada berenang tuh…” Jawab Mas Karlan.
“Hah, ke Hotel sama siapa?” Tanya gua.
“Tadi dijemput sama Mas Sam…”
“Kok nggak nungguin gua jemput…”
“Ah, ngenteni kowe kesorean, anak-anak ra iso renang…” Mas Karlan mengemukakan alasan. Alasan yang nggak pernah gua perhitungkan sebelumnya.
“Oh, yaudah… Nanti agak maleman gua mampir deh…”
“Ya, Ati-ati…” Jawab Mas Karlan, lalu mengakhiri panggilan.
Gua lantas meraih tas olahraga besar yang berisi pakaian gua dari atas ranjang. Kemudian berkeliling semua ruangan apartemen untuk memastikan semua colokan listrik, air dan gas sudah dalam kondisi tak tersambung. Lalu bergegas pergi meninggalkan apartemen untuk menuju ke hotel.
Tempat pernikahan gua dan Resti nanti bakal terbagi menjadi dua venue dan dua waktu yang berbeda. Akad nikah akan diadakan pada jam 8 pagi di ballroom sebuah hotel mewah di bilangan Jakarta Pusat, sementara Resepsi pernikahan akan diadakan pada jam 11 siang di sebuah plenary hall yang terletak nggak begitu jauh dari hotel kami menginap. Iya, Resti sengaja memesan beberapa kamar hotel untuk kami dan beberapa keluarga dekat untuk memudahkan akomodasi menuju ke tempat resepsi.
—
Bidadari - Andre Hehanussa
Secepat itu hatiku tergoda
Semudah itu diriku terpana
Ke dalam suatu asa yang berbeda
Seiring sejalan irama asmara
Dapatkah kusejenak menghampiri
Dapatkah kusejenak mengagungkan
Rasa rindu yang kini menggangguku
Dirimu parasmu dan semua tentangmu
Kuingin ada di hatimu
Menggapai mahligai nan biru
Sebiru cintaku
Usah kau ragu, genggam tanganku, kita menyatu di belaian
Asmara asmara yang indah dalam pesona ketulusanmu
Bidadari bidadari
Kau putih seputih hatimu
Bidadari bidadari