- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#123
gatra 26
Quote:
Sukmo Aji terhuyung-huyung berjalan mendekati sebuah pohon besar yang rebah di tepi jalan Nafas Sukmo Aji semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu tidak terlalu dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir. Lantas pemuda itu duduk dan mengambil bungkusan kecil yang ia simpan di balik lipatan baju.
Mengandalkan cahaya bulan yang mulai menyembul di cakrawala Sukmo Aji mulai membalurkan serbuk obat itu di bagian pundaknya yang terluka. Setelah darah mulai mampat. Sukmo Aji segera duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya yang tadi memburu perlahan mulai mengendur. Aliran darahnya yang tadi mengalir sangat cepat berangsur normal kembali. Sesaat lamanya Sukmo Aji mengembalikan tenaganya. Tenaga dalam mengalir ke sekujur pembuluh darahnya. Mata nya terbuka manakala di kejauhan terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dan terlihat juga titik –titik api dari obor yang dibawa oleh orang –orang berkuda itu.
Suara derap kaki kuda semakin mendekat. Di bawah cahaya rembulan yang pucat terlihat beberapa penunggang kuda sembari membawa beberapa obor di tangan mereka. Orang –orang berkuda itu adalah para pemuda Pucang Kembar yang di pimpin oleh Kertopati. Penunggang kuda yang paling depan lantas turun dari kuda. Diikuti oleh yang lainnya. Sejenak kemudian para pemuda itu pun telah berkumpul mengerumuni Sukmo AJi yang masih duduk bersila.
Kertopati mendekati Sukmo Aji. Sambil berjongkok disebelahnya ia berkata, “Bagaimana dengan keadaan mu Sukmo Aji? Sepertinya bahu mu terluka. Dan apakah penyusup itu dapat ditangkap?”
Sukmo Aji yang masih duduk diatas sebuah batu merenung sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab, “ Terima kasih Kertopati. Aku tidak apa –apa. Luka ini akan segera kering. Tetapi aku minta maaf. Orang –orang itu terbunuh. Termasuk salah seorang yang sudah menyusup ke kademangan. Dan harapan satu- satu orang diantaranya dapat meloloskan diri “
“ Kelabang Ijo ternyata seorang gegedug rampok yang cerdik. Perhitungannya jauh ke depan. Siasatnya jitu mampu membaca keadaan. Sangat berbahaya sekali untuk Pucang Kembar. Apalagi ada Pangestu yang sangat mengenal seluk –beluk kademangan”
Kertopati menarik nafas panjang. Kepalanya tengadah memperhatikan bulat pucat yang belum sempurna bulat itu yang kadangkala tersaput awan tipis.
“ Lantas apa yang akan kita lakukan sekarang Sukmo Aji? Ada baiknya kita kembali dulu ke Pucang Kembar. Kau butuh waktu untuk beristirahat dan merawat luka di pundak mu itu “
“ Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepadamu Kertopati. Tetapi kita tidak boleh berhenti seperti ini. Kita akan meneruskan perjalanan, kita ikuti jejak penyusup yang melarikan diri itu. Aku yakin sarang kelompok Kelabang Ijo tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Sembari menunggu laporan Wisang yang telah melakukan tugas sandi mendahului kita “
“ Baiklah kalau itu pilihan yang terbaik. Kita bersepuluh disini. Agar tidak mencolok dan kita bisa menyusup diam –diam kuda –kuda ini tinggalkan saja di tempat ini “
Sukmo Aji mengangguk. Lantas pemuda itu berdiri dan menyelipkan tombak kecilnya di belakang pinggang. Pemuda –pemuda dari Pucang Kembar dengan cekatan mengikat kuda –kuda tunggangan di belakang pohon rindang tidak jauh dari tempat itu. Kuda –kuda itu nampaknya juga sangat letih. Beberapa ekor kuda itu langsung duduk sembari mengunyah rumput yang tumbuh subur.
Mengandalkan cahaya bulan yang mulai menyembul di cakrawala Sukmo Aji mulai membalurkan serbuk obat itu di bagian pundaknya yang terluka. Setelah darah mulai mampat. Sukmo Aji segera duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya yang tadi memburu perlahan mulai mengendur. Aliran darahnya yang tadi mengalir sangat cepat berangsur normal kembali. Sesaat lamanya Sukmo Aji mengembalikan tenaganya. Tenaga dalam mengalir ke sekujur pembuluh darahnya. Mata nya terbuka manakala di kejauhan terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dan terlihat juga titik –titik api dari obor yang dibawa oleh orang –orang berkuda itu.
Suara derap kaki kuda semakin mendekat. Di bawah cahaya rembulan yang pucat terlihat beberapa penunggang kuda sembari membawa beberapa obor di tangan mereka. Orang –orang berkuda itu adalah para pemuda Pucang Kembar yang di pimpin oleh Kertopati. Penunggang kuda yang paling depan lantas turun dari kuda. Diikuti oleh yang lainnya. Sejenak kemudian para pemuda itu pun telah berkumpul mengerumuni Sukmo AJi yang masih duduk bersila.
Kertopati mendekati Sukmo Aji. Sambil berjongkok disebelahnya ia berkata, “Bagaimana dengan keadaan mu Sukmo Aji? Sepertinya bahu mu terluka. Dan apakah penyusup itu dapat ditangkap?”
Sukmo Aji yang masih duduk diatas sebuah batu merenung sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab, “ Terima kasih Kertopati. Aku tidak apa –apa. Luka ini akan segera kering. Tetapi aku minta maaf. Orang –orang itu terbunuh. Termasuk salah seorang yang sudah menyusup ke kademangan. Dan harapan satu- satu orang diantaranya dapat meloloskan diri “
“ Kelabang Ijo ternyata seorang gegedug rampok yang cerdik. Perhitungannya jauh ke depan. Siasatnya jitu mampu membaca keadaan. Sangat berbahaya sekali untuk Pucang Kembar. Apalagi ada Pangestu yang sangat mengenal seluk –beluk kademangan”
Kertopati menarik nafas panjang. Kepalanya tengadah memperhatikan bulat pucat yang belum sempurna bulat itu yang kadangkala tersaput awan tipis.
“ Lantas apa yang akan kita lakukan sekarang Sukmo Aji? Ada baiknya kita kembali dulu ke Pucang Kembar. Kau butuh waktu untuk beristirahat dan merawat luka di pundak mu itu “
“ Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepadamu Kertopati. Tetapi kita tidak boleh berhenti seperti ini. Kita akan meneruskan perjalanan, kita ikuti jejak penyusup yang melarikan diri itu. Aku yakin sarang kelompok Kelabang Ijo tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Sembari menunggu laporan Wisang yang telah melakukan tugas sandi mendahului kita “
“ Baiklah kalau itu pilihan yang terbaik. Kita bersepuluh disini. Agar tidak mencolok dan kita bisa menyusup diam –diam kuda –kuda ini tinggalkan saja di tempat ini “
Sukmo Aji mengangguk. Lantas pemuda itu berdiri dan menyelipkan tombak kecilnya di belakang pinggang. Pemuda –pemuda dari Pucang Kembar dengan cekatan mengikat kuda –kuda tunggangan di belakang pohon rindang tidak jauh dari tempat itu. Kuda –kuda itu nampaknya juga sangat letih. Beberapa ekor kuda itu langsung duduk sembari mengunyah rumput yang tumbuh subur.
Quote:
Iring –iringan kecil itu menyusuri gelapnya malam.obor –obor telah dipadamkan. Mereka memang tidak menuju ke bukit kecil disebelah hutan itu. Tetapi mereka telah menuju ke lereng yang tidak terlalu dalam, namun jarang sekali di sentuh kaki. Mereka masih mengikuti aliran sebuah sungai yang tidak begitu besar, menembus gerumbul-gerumbul perdu.
Beberapa saat mereka menelusuri tebing sungai. Sukmo Aji memberi isyarat dengan mengangkayt tangannya. Rombongan kecil segera berhenti.
“ Berhati –hatilah. Jaga langkah kalian. Aku mencium bau asap yang sangat santer. Sepertinya di depan sana ada perapian yang masih mengepulkan asap “
“ Kita telusuri jalan setapak itu dengan hati –hati. Persiapkan senjata kalian. Bukan tidak mungkin kita akan mengalami bentrokan dengan kawanan rampok Kelabang Ijo “
Rombongan kecil itu melanjutkan perjalanannya kembali. Kesunyian yang mencekam mengirini langkah –langkah kaki. Sesekali tampak katak melompat menghindari kaki –kaki yang melintas. Akhirnya mereka sampai disebuah perbukitan. Lorong yang sempit berbatu-batu padas. Sekali-sekali memanjat naik, namun kemudian turun tajam.
Disitu ada sebuah sungai dengan batu –batu padas yang bertonjolan. Akhirnya ketika mereka naik ke tanggul, di hamparan hutan perdu, mereka melihat bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari bambu dan ilalang, menebar di sela-sela gerumbul-gerumbul liar.
“ Kalian jangan berbuat sembrono. Aku harus memastikan dulu di barak –barak itu apakah ada Kelabang Ijo dan para anak buahnya “
Sukmo Aji lantas memejamkan matanya. Mulutnya komat –kamit merapal mantra aji Sapta Pangrungon. Ajian yang dapat mendengar suara dari jarak puluhan tombak di depan. Tidak berapa lama ia membuka matanya kembali.
“ Di barak itu sepertinya tidak ada tanda –tanda kehidupan. Aku yakin Kelabang Ijo atau pun Pangestu tidak ada di tempat ini atau jangan –jangan ini jebakan?“
“Kalian tunggu disini” berkata Sukmo Aji kemudian. “Aku akan melihat keadaan lebih dekat.”
Kepada Kertopati Sukmo Aji berkata, “Jangan bergerak sebelum aku kembali. Kau pimpin kawan-kawan yang lain.”
Kertopati mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan menunggu disini sampai kau datang.”
Kesepuluh orang itu pun kemudian telah menebar di padang perdu sempit beberapa puluh patok dari bukit kecil itu. Mereka mencari tempat untuk duduk dan bersandar, karena mereka tahu, bahwa mereka akan berada di tempat itu untuk beberapa lama. Sukmo Aji dengan sangat berhati-hati telah mendekati barak –barak perkemahan itu. Tetapi ia tidak mengikuti lagi lorong sempit itu. Tetapi mereka telah meloncat memasuki padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu.
Sukmo Aji menghentikan langkah kakinya ketika mereka melihat sepercik cahaya obor yang terselip diantara pepohonan di kaki bukit kecil itu.
Bisiknya dalam hati, “Nampaknya mereka telah berusaha untuk menahan cahaya lampu mereka. Tetapi masih juga ada yang memercik keluar.”
“Tetapi tempat ini memang tidak pernah dijamah orang lain kecuali kelompok mereka”
Beberapa saat Sukmo Aji masih menyusup diantara gubug-gubug di bukit kecil itu. Rerumputan, ilalang dan pepohonan perdu akan mampu memberikan perlindungan yang baik baginya. Demikian pula ketika ia berjalan dari satu gubug ke gubug yang lain.
Tetapi Sukmo Aji sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa di tempat itu ada penghuninya. Beberapa saat kemudian, maka Sukmo Aji yang telah keluar dari lingkungan gubug-gubug di bukit itu, telah berlari-lari kecil, meskipun ia harus berhati-hati. Ketika ia sampai kepada -kawan-kawannya, maka ia pun segera menyatakan hasil pengamatannya.
“ Gubuk-gubuk itu kosong. Aku sudah menyisir satu persatu. Sama sekali tidak ada orang di dalamnya. Aku yakin mereka telah meninggalkan tempat ini untuk menyusun rencana lain”
“ Ada baiknya kita tinggalkan tempat ini Kertopati. Kita pulang ke Pucang Kembar untuk bersiap –siap menyambut segala sesuatu yang mungkin saja bisa terjadi.
Kertopati lantas mengangguk, “ Baiklah kita kembali ke Pucang Kembar”
“ Lalu apa yang akan kita lakukan dengan tempat ini? “, salah seorang pemuda bertanya.
“ Ki Sukmo, baiknya kita bakar saja tempat ini. Apa yang telah dilakukan kepada orang –orang Pucang Kembar sudah keterlaluan. Banyak saudara –saudara kami yang terbunuh di malam itu”
Kali ini Tundun berbicara dengan menahan amarah yang menyentak dada. Akhirnya, Sukmo Aji tidak dapat berbuat apa –apa. Lantas Sukmo Aji pun telah memerintahkan orang-orangnya menebar. Demikianlah, maka sekelompok orang Pucang Kembar telah mendekati perkemahan dengan sangat berhati-hati. Beberapa saat kemudian, maka orang –orang Pucang Kembar telah semakin mendekati perkemahan. Beberapa buah barak-barak sederhana berdiri berjajar. Dari dalam barak-barak itu nampak lampu menyala agak redup.
Ketika orang-orang yang mendekati barak-barak perkemahan yang sudah kosong itu, maka dua orang pemuda nampaknya tidak dapat menahan diri lagi. Mereka langsung membuat api dengan titikan dan emput aren. Dengan dimik belerang mereka membuat nyala api. Tundun yang turut serta tidak telaten untuk membakar mulai dari dinding bambunya. Meskipun dinding bambu itu kering dan mudah terbakar. Tetapi Tundun dengan tangkasnya meloncat dan berdiri di pundak kawannya. Dengan dimik belerang, maka Tundun langsung menyulut atap ilalang barak-barak itu. Atap ilalang kering. Karena itu, maka dengan cepat api pun menjalar. Malam yang semula gelap di perbukitan itu berubah menjadi terang benderang.
Beberapa saat mereka menelusuri tebing sungai. Sukmo Aji memberi isyarat dengan mengangkayt tangannya. Rombongan kecil segera berhenti.
“ Berhati –hatilah. Jaga langkah kalian. Aku mencium bau asap yang sangat santer. Sepertinya di depan sana ada perapian yang masih mengepulkan asap “
“ Kita telusuri jalan setapak itu dengan hati –hati. Persiapkan senjata kalian. Bukan tidak mungkin kita akan mengalami bentrokan dengan kawanan rampok Kelabang Ijo “
Rombongan kecil itu melanjutkan perjalanannya kembali. Kesunyian yang mencekam mengirini langkah –langkah kaki. Sesekali tampak katak melompat menghindari kaki –kaki yang melintas. Akhirnya mereka sampai disebuah perbukitan. Lorong yang sempit berbatu-batu padas. Sekali-sekali memanjat naik, namun kemudian turun tajam.
Disitu ada sebuah sungai dengan batu –batu padas yang bertonjolan. Akhirnya ketika mereka naik ke tanggul, di hamparan hutan perdu, mereka melihat bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari bambu dan ilalang, menebar di sela-sela gerumbul-gerumbul liar.
“ Kalian jangan berbuat sembrono. Aku harus memastikan dulu di barak –barak itu apakah ada Kelabang Ijo dan para anak buahnya “
Sukmo Aji lantas memejamkan matanya. Mulutnya komat –kamit merapal mantra aji Sapta Pangrungon. Ajian yang dapat mendengar suara dari jarak puluhan tombak di depan. Tidak berapa lama ia membuka matanya kembali.
“ Di barak itu sepertinya tidak ada tanda –tanda kehidupan. Aku yakin Kelabang Ijo atau pun Pangestu tidak ada di tempat ini atau jangan –jangan ini jebakan?“
“Kalian tunggu disini” berkata Sukmo Aji kemudian. “Aku akan melihat keadaan lebih dekat.”
Kepada Kertopati Sukmo Aji berkata, “Jangan bergerak sebelum aku kembali. Kau pimpin kawan-kawan yang lain.”
Kertopati mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan menunggu disini sampai kau datang.”
Kesepuluh orang itu pun kemudian telah menebar di padang perdu sempit beberapa puluh patok dari bukit kecil itu. Mereka mencari tempat untuk duduk dan bersandar, karena mereka tahu, bahwa mereka akan berada di tempat itu untuk beberapa lama. Sukmo Aji dengan sangat berhati-hati telah mendekati barak –barak perkemahan itu. Tetapi ia tidak mengikuti lagi lorong sempit itu. Tetapi mereka telah meloncat memasuki padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu.
Sukmo Aji menghentikan langkah kakinya ketika mereka melihat sepercik cahaya obor yang terselip diantara pepohonan di kaki bukit kecil itu.
Bisiknya dalam hati, “Nampaknya mereka telah berusaha untuk menahan cahaya lampu mereka. Tetapi masih juga ada yang memercik keluar.”
“Tetapi tempat ini memang tidak pernah dijamah orang lain kecuali kelompok mereka”
Beberapa saat Sukmo Aji masih menyusup diantara gubug-gubug di bukit kecil itu. Rerumputan, ilalang dan pepohonan perdu akan mampu memberikan perlindungan yang baik baginya. Demikian pula ketika ia berjalan dari satu gubug ke gubug yang lain.
Tetapi Sukmo Aji sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa di tempat itu ada penghuninya. Beberapa saat kemudian, maka Sukmo Aji yang telah keluar dari lingkungan gubug-gubug di bukit itu, telah berlari-lari kecil, meskipun ia harus berhati-hati. Ketika ia sampai kepada -kawan-kawannya, maka ia pun segera menyatakan hasil pengamatannya.
“ Gubuk-gubuk itu kosong. Aku sudah menyisir satu persatu. Sama sekali tidak ada orang di dalamnya. Aku yakin mereka telah meninggalkan tempat ini untuk menyusun rencana lain”
“ Ada baiknya kita tinggalkan tempat ini Kertopati. Kita pulang ke Pucang Kembar untuk bersiap –siap menyambut segala sesuatu yang mungkin saja bisa terjadi.
Kertopati lantas mengangguk, “ Baiklah kita kembali ke Pucang Kembar”
“ Lalu apa yang akan kita lakukan dengan tempat ini? “, salah seorang pemuda bertanya.
“ Ki Sukmo, baiknya kita bakar saja tempat ini. Apa yang telah dilakukan kepada orang –orang Pucang Kembar sudah keterlaluan. Banyak saudara –saudara kami yang terbunuh di malam itu”
Kali ini Tundun berbicara dengan menahan amarah yang menyentak dada. Akhirnya, Sukmo Aji tidak dapat berbuat apa –apa. Lantas Sukmo Aji pun telah memerintahkan orang-orangnya menebar. Demikianlah, maka sekelompok orang Pucang Kembar telah mendekati perkemahan dengan sangat berhati-hati. Beberapa saat kemudian, maka orang –orang Pucang Kembar telah semakin mendekati perkemahan. Beberapa buah barak-barak sederhana berdiri berjajar. Dari dalam barak-barak itu nampak lampu menyala agak redup.
Ketika orang-orang yang mendekati barak-barak perkemahan yang sudah kosong itu, maka dua orang pemuda nampaknya tidak dapat menahan diri lagi. Mereka langsung membuat api dengan titikan dan emput aren. Dengan dimik belerang mereka membuat nyala api. Tundun yang turut serta tidak telaten untuk membakar mulai dari dinding bambunya. Meskipun dinding bambu itu kering dan mudah terbakar. Tetapi Tundun dengan tangkasnya meloncat dan berdiri di pundak kawannya. Dengan dimik belerang, maka Tundun langsung menyulut atap ilalang barak-barak itu. Atap ilalang kering. Karena itu, maka dengan cepat api pun menjalar. Malam yang semula gelap di perbukitan itu berubah menjadi terang benderang.
Quote:
Sebuah iring –iringan besar tampak berjalan pelan. Di barisan paling depan sekitar belasan penunggang kuda duduk dengan gagahnya. Di tengah iring –iringan itu nambah beberapa gerobak yang di tarik oleh para lelaki dengan tampang –tampang kasar. Sementara dibagian belakang sendiri puluhan orang berjalan. Demikian mereka meninggalkan perbukitan itu, dan menempuh separo perjalanan, maka mereka telah melihat bayangan api yang mewarnai langit.
“Kebakaran” desis salah seorang pemimpin dari kelompok itu.
“Tentu perkemahan kita” geram seorang kawannya, “tentu orang-orang gila dari Pucang Kembar yang telah membakar perkemahan kita ”
“ Kelabang Ijo apakah kita akan mengejar mereka? “
Seorang lelaki tinggi kekar menarik tali kekang kuda tunggangannya. Lantas iring –iringan itu berhenti.
“ Jangan bodoh. Biarkan saja orang –orang Pucang Kembar itu untuk sementara waktu menikmati kemenangan kecilnya. Sebentar lagi saat mereka lengah kita serbu Pucang Kembar. Alap –alap sudah memberikan pengamatannya. Sangat disayangkan Munggur yang aku susupkan akhirnya kemanungsan dan terbunuh oleh orang –orang Pucang Kembar”
“ Mengenai seluk beluk kademangan itu tentu kau lebih paham. Kau sudah siap Pangestu? “
Orang yang disebut Pangestu itu menyeringai.
“ Aku sudah tidak sabar berhadapan dengan demang tua itu. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Kita kan mencari tempat yang aman dan tidak mencurigakan orang –orang Pucang Kembar”
Rombongan itu kemudian berjalan lagi meneruskan perjalanan menembus pekatnya malam yang semakin larut.
“Kebakaran” desis salah seorang pemimpin dari kelompok itu.
“Tentu perkemahan kita” geram seorang kawannya, “tentu orang-orang gila dari Pucang Kembar yang telah membakar perkemahan kita ”
“ Kelabang Ijo apakah kita akan mengejar mereka? “
Seorang lelaki tinggi kekar menarik tali kekang kuda tunggangannya. Lantas iring –iringan itu berhenti.
“ Jangan bodoh. Biarkan saja orang –orang Pucang Kembar itu untuk sementara waktu menikmati kemenangan kecilnya. Sebentar lagi saat mereka lengah kita serbu Pucang Kembar. Alap –alap sudah memberikan pengamatannya. Sangat disayangkan Munggur yang aku susupkan akhirnya kemanungsan dan terbunuh oleh orang –orang Pucang Kembar”
“ Mengenai seluk beluk kademangan itu tentu kau lebih paham. Kau sudah siap Pangestu? “
Orang yang disebut Pangestu itu menyeringai.
“ Aku sudah tidak sabar berhadapan dengan demang tua itu. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Kita kan mencari tempat yang aman dan tidak mencurigakan orang –orang Pucang Kembar”
Rombongan itu kemudian berjalan lagi meneruskan perjalanan menembus pekatnya malam yang semakin larut.
MFriza85 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas
Tutup