Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
(H-6) Gua nggak tau gimana rasanya Resti yang berhenti kerja dan harus ‘dipingit’ di rumah. Sedangkan, gua yang baru sehari libur aja udah merasakan kebosanan yang luar biasa. Bangun siang? udah. Tidur-tiduran sambil main ponsel; udah, makan mie instan pake telor dua; udah, glesotan di lantai di depan TV; udah, Ngerokok sambil ngopi di balkon apartemen; udah. Nelpon Resti; belum.
Guna membunuh rasa bosan, gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Resti. Nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya suara Resti menyambut gua di ujung sana.
“Halo…” Sapa Resti, suaranya terdengar lirih dan parau.
“Kenapa lo?” Tanya gua begitu mendengar suaranya yang nggak seperti biasa.
“Agak demam nih gw…” Jawab Resti pelan.
“Hah, kok bisa?”
“Nggak tau, namanya juga orang sakit…”
“Terus? udah ke dokter?”
“Belum, nggak ah males ke dokter…”
“Yaudah gua kesana ya…” Ucap gua seraya bergegas untuk mengambil kunci mobil. Namun, Resti keburu mencegah gua.
Tiba-tiba suara gaduh terdengar di ujung sana, samar teriakan Resti yang lirih, lalu disusul suara maminya menggantikan suaranya.”Biaan…”
“Eh, iya tan…” Jawab gua tergagap karena masih kaget karena tiba-tiba Maminya mengambil alih obrolan.
“Kasih tau nih anak, suru makan…” Maminya berusaha menjelaskan, sementara terdengar samar suara Resti yang tengah merajuk di belakang suara Maminya.
“Nggak mau makan? kenapa tan?”
“Katanya diet…” Jawab Maminya singkat.
“Yaudah mana sini saya ngomong ke orangnya tan…” Ucap gua pelan.
Kembali terdengar suara gaduh, lalu disusul kembalinya suara Resti menyapa gua; “Halo…”
“Kenapa nggak makan?” Tanya gua pelan, mencoba bicara dengan nada seserius mungkin.
“Kan diet cad… takut baju nikahnya ntar nggak muat…” Ucapnya lirih, suaranya terdengar seperti orang bersalah yang tengah bikin pengakuan.
“Makan, Res…” Ucap gua pelan, namun tetap dengan nada rendah dan gaya bicara yang serius.
“Iya…” Jawabnya pelan
“Gua telpon setengah jam lagi lo udah makan abis itu minum obat ya…” Gua memberikan instruksi.
“...” Resti terdiam, tak ada jawaban.
Gua mengakhiri panggilan. Kemudian masuk ke mode pesan dan mengirimkannya pesan yang sama dengan kalimat terakhir gua di telpon barusan; “Setengah jam lagi gua telpon lo udah makan ya”.
Masih dengan ponsel di genggaman, gua menuju ke kamar, meraih jaket dan kunci mobil; bersiap ke rumah Resti seandainya ia bersikeras untuk tetap diet. Sambil menunggu waktu setengah jam berlalu, gua kembali menuju ke balkon; melanjutkan ritual ngopi dan ngerokok.
Matahari sore terlihat malu-malu menampakan wajahnya. Atau mungkin, awan-awan yang terlalu bersemangat hingga memayungi Jakarta dengan keteduhan. Gua duduk, bersandar pada pintu kaca, dengan kaki gua luruskan hingga ujung jari menyentuh besi railing pengaman balkon. Saat menunggu, waktu terasa berjalan begitu lambat. Berkali-kali gua menatap layar ponsel, hanya untuk mengecek apakah setengah jam sudah berlalu.
25 menit berlalu.
Gua kembali menghubungi Resti. Kali ini nada sambung terdengar berkali-kali, cukup lama, hingga akhirnya suara operator menyapa gua, memberi tahu bahwa pemilik nomor tidak menjawab panggilan. Gua mencoba menghubunginya lagi, kali ini sambil berdiri, meraih jaket dan kunci mobil yang sudah siap di atas meja. Namun, sebelum gua akhirnya benar-benar pergi, suara Resti terdengar dari ujung sana; “Halo…”
“Udah?” Tanya gua begitu mendengar sapaanya.
“Udah…” Jawabnya pelan.
“Mana nyokap lo?”
Terdengar Resti menghela nafas disusul suara Maminya menyambut gua; “Halo.. ya Bi?”
“Dia udah mau makan Tan?” Tanya gua pelan.
“Alhamdulillah, udah bi.. ya walaupun sedikit…” Info maminya.
“Obatnya tan?” Tanya gua lagi.
“Ini baru saja selesai minum obat…” Jawab maminya.
“Nggak ke dokter aja tan? saya perlu kesana nggak?”
“Nggak mau anaknya… Nanti malem kalo belum turun demamnya kamu kesini deh, ajak ke dokter… sama saya nggak mau…”
“Iya tan, Oiya boleh saya ngomong ke Restinya lagi tan…” Ucap gua ke maminya, lalu disusul suara senyap beberapa saat kemudian Resti kembali menyapa.
“Ya…”
“Ntar malem ke dokter sama gua kalo belom turun panasnya…” Ucap gua mengulang informasi dari maminya.
“Iya…” Jawabnya pelan.
Jujur, gua sangat khawatir dengan kondisinya sekarang. Saat ini, Resti yang tengah bicara dengan gua bukanlah Resti yang seperti gua kenal; yang acapkali membantah atau mengajak adu argumen. Sejak tadi ia hanya menuruti apa perkataan gua tanpa sedikitpun mengeluarkan sanggahan, mungkin terlalu tak berdaya untuk memberi ‘perlawanan’.
“Yaudah, istirahat…” Ucap gua kemudian mengakhiri panggilan.
Walaupun mendengarnya sudah mau makan dan minum obat, tapi saat tau ia sedang Sakit dan gua nggak bisa berbuat apa-apa, membuat gua sedikit banyak merasakan frustasi. Rasa nggak nyaman yang sulit digambarkan mulai menyelimuti perasaan. Mungkin anak jaman sekarang menyebutnya; ‘Galau to the bone’.
Apapun sudah gua coba lakukan untuk menghilangkan perasaan ‘aneh’ ini, namun semuanya jauh dari kata berhasil. Nonton film, denger musik, working out; mulai dari push-up, sit-up, skipping hingga lari keliling halaman apartemen sudah gua lakukan, tapi rasa ‘aneh’ ini masih melekat.
Setelah beristirahat sebentar untuk menghilangkan keringat, gua buru-buru mandi, berganti pakaian dan bergegas turun ke basement. ‘I Don’t really care about ‘pingitan’ anymore’ batin gua dalam hati sambil membuka kunci dan masuk ke dalam mobil.
Karena hari Minggu, jalanan cukup bersahabat dan nggak semacet hari-hari biasanya. Nggak butuh waktu lama buat gua hingga akhirnya tiba di rumah Resti.
Memainya menyambut gua dengan ekspresi agak terkejut, mengingat saat ini Resti berada dalam ‘mode’ pingitan, yang mana kedua calon mempelai nggak seharusnya saling bertemu. Namun, buat gua yang nggak begitu peduli dengan hal-hal semacam itu, tentu saja membuat Maminya sedikit maklum, entah bagaimana dengan Papinya yang saat ini sedang berada di luar kota.
Gua mengetuk pintu kamar Resti pelan, sementara Maminya berdiri mengamati di belakang gua.
“Udah masuk aja…” Bisik maminya seraya mendorong tubuh gua.
Perlahan gua memutar knop dan mendorong pintu, kemudian berjingkat masuk kedalam. Terlihat Resti tengah berbaring, membelakangi pintu. Seluruh tubuhnya tertutup selimut, menyisakan ujung kepalanya yang ia tutupi oleh hoodie sweater. Gua membungkuk di lantai, kemudian menyentuh dahinya dengan punggung tangan; panas luar biasa.
Gua menoleh, berpaling ke arah maminya. “Ada termometer tan?” Tanya gua.
Maminya lalu meraih termometer digital yang mirip gagang senjata dari atas meja kecil di sisi ranjang. Dengan sigap, lalu memposisikan ujung termometer tympanic ke telinga Resti. Hanya butuh beberapa detik hingga akhirnya termometer digital tersebut mengeluarkan bunyi ‘beep’ beberapa kali dan memunculkan angka pada layar monochrome yang terletak pada bagian belakang gagang; 39,8 derajat.
‘Buset’ batin gua dalam hati sambil menatap ke arah maminya yang mungkin membatin dengan kata-kata yang sama dengan gua.
Gua buru-buru, menyibak selimut yang menutupi Resti dan mulai membopongnya. Sementara, maminya berjalan cepat di depan gua, menuruni tangga dan berteriak memanggil Pak Sam untuk menyiapkan mobil.
Beberapa menit berikutnya, gua sudah berada didalam mobil dengan Resti terbaring lemah bersandar pada maminya di kursi penumpang bagian belakang.
—
“Dimana?” Tanya Resti begitu membuka mata. Sementara tubuhnya ia sandarkan di bahu gua, saat kami tengah duduk mengantri untuk konsultasi dokter. Maminya terlihat sibuk mondar-mandir di ujung koridor ruang tunggu dengan ponsel di telinganya; sepertinya tengah bicara dengan papinya Resti melalui sambungan telepon.
Gua lalu meraih botol air mineral yang tadi baru saja gua beli begitu tiba di rumah sakit. Setelah membuka tutupnya, gua menyerahkannya ke arah Resti.
“Pengen yang dingin…” Pintanya.
“Oh, nggak sekalian gua turun terus beli bir aja kali ya….” jawab gua, sarkas.
Resti nggak merespon, perlahan ia meminum air yang gua berikan.
Gua menarik nafas dalam-dalam, mencoba membiasakan diri dengan lingkungan rumah sakit yang membuat gua sangat nggak nyaman. Saat berpacaran dengan Larissa dulu, rumah sakit menjadi tempat yang cukup sering gua kunjungi. Harus melihat tubuh Larissa yang kaku, dingin dan tak bernyawa di tempat yang sama dengan tempat dimana saat ini gua duduk, membuat gua nggak nyaman. Ingin rasanya gua buru-buru pergi dan keluar dari sini.
“Resti Rechtina Monday…” Seorang perawat memanggil nama Resti.
Gua berdiri dan memapah Resti, memenuhi panggilan si perawat yang menuntun kami masuk kedalam ruang dokter. Sementara, maminya buru-buru mengakhiri panggilan dan berlari menyusul masuk ke ruangan.
—
“Dirawat ya…” Ucap bu dokter, setelah melakukan beberapa pengecekan kepada Resti.
Mendengar ucapan dokter barusan Resti dan Maminya langsung pasang tampang shock. Resti langsung berlagak bugar, berdiri; “Nggak usah dok, kasih obat aja…” Ucapnya, dengan suara yang sengaja dibuat lantang namun tetap terdengar lirih.
Ucapan Resti lalu di respon oleh Maminya dengan anggukan.
Gua yang berdiri menunggu di belakang mereka berdua lantas mendekat, dan bicara pelan; “Rawat aja dok…”
Resti dan Maminya kompak berpaling dan menoleh menatap gua dengan tampang penuh keheranan.
“Ya kalo Tipes, dirawat aja. Kan masih ada lima hari…” Gua memberi penjelasan.
“Emang mau ada apa?” Tanya bu dokter yang sepertinya penasaran.
“Mereka mau nikah minggu depan dok…” Jawab Maminya Resti.
“Oh… ya mau dirawat di rumah atau disini, sama aja… kalo belom sehat nggak bakal jadi nikah. Mending dirawat disini, bisa istirahat total… Ucap si Bu Dokter seraya menuliskan sesuatu pada lembaran dokumen.
“Tuh… yaudah rawat aja…” Ucap gua, mendukung opini Bu Dokter.
“Tapi dok…” Maminya bersiap melakukan penyanggahan. Namun, dengan cepat bu Dokter kembali mengajukan argumennya.
“Udah dirawat disini aja ya, nanti mudah-mudahan 2-3 hari udah sehat, udah bisa pulang kok…” Jelas Bu Dokter sambil melayangkan senyum.
Mami akhirnya menyerah dan setuju agar Resti dirawat di rumah sakit. Sementara, Resti nggak bisa melakukan perlawanan karena kondisinya yang lemah lunglai tak berdaya, ia hanya menunjukkan kekecewaannya melalui wajahnya.
“Udah gapapa…” Bisik gua pelan kepada Resti, yang lalu dijawab dengan anggukan kepala. Sementara, seorang perawat kemudian masuk dengan membawa kursi roda untuk Resti.
Setelah menyelesaikan proses administrasi, gua menuju ke kamar tempat Resti dirawat. Di dalam kamar terlihat, maminya tengah melipat selimut dan menyimpannya pada lemari kecil di sudut ruangan. Sementara Resti terlihat duduk bersila diatas ranjang seraya menatap keluar melalui jendela yang berada tepat disisinya. Di tangan kanannya sudah terpasang selang transparan yang terhubung ke sebuah tiang dengan botol infus berisi cairan bening pada bagian ujungnya.
“Tante pulang aja, biar saya yang nunggu disini…” Ucap gua kemudian duduk di sofa.
“Iya…” Respon maminya pelan, lalu duduk di atas ranjang tepat disebelah Resti. Dengan lembut, iya membelai kepala putri satu-satunya tersebut.
“Besok bawain HP aku ya Mi…” Pinta Resti kepada Maminya.
“...Kamu mau dibawain baju nggak Bi?” Tambah maminya, kali ini pertanyaan diajukan ke gua.
“Nggak usah tan, besok saya ambil sendiri aja…” Jawab gua.
“Oh yaudah…”
Maminya lalu mengecup kening Resti dan beranjak; “Mami pulang ya, kamu istirahat…” Ucap maminya. Kemudian berpaling ke gua dan bicara; “Titip ya Bi…”
“Iya tan…”
—
Gua duduk bersandar pada sofa di dalam ruangan tempat Resti dirawat. Sementara, ia masih duduk diatas ranjang seraya menatap keluar melalui jendela ruangan. Hening, yang terdengar hanya samar suara roda troli yang wara-wiri di koridor rumah sakit.
“Ada-ada aja deh…” Resti menggumam pelan. Gua lalu berdiri, mendekat ke arahnya.
Perlahan, Resti merebahkan dirinya diatas ranjang.
“You know what? apa hal baik dari sakit lo sekarang?” Tanya gua.
“Emang ada hal baik dari sakitnya orang?” Resti balik bertanya.
“Ada…”
“Apa?”
“Paling nggak lo sekarang nggak harus menjalani pingitan kan, dan kita bisa tetep ketemuan tanpa masalah…” Gua menjelaskan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hari ini, gua melihat Resti tersenyum kemudian memukul pelan tangan gua; “Iya ya…”
“Next time, jangan diet-dietan lagi ya Res…” Ucap gua pelan.
“Iya…” Responnya singkat.
“Udah tidur…” Pinta gua seraya membelai kepalanya.
“Mata gw panas kalo merem, terus mulut pait banget rasanya…” Jawab Resti.
“Ya namanya juga orang sakit…”
Resti menatap gua dengan matanya yang sayu, kemudian bicara; “Mungkin kalo lo cium rasa paitnya ilang cad…” ucapnya pelan, sangat pelan.
Gua tersenyum, kemudian membuang muka ke arah lain. Beberapa saat kemudian, gua meraih dagu dan mengecup bibirnya. Resti merespon kecupan gua, ia melingkarkan tangannya pada leher, membuat selang dan tiang infus sedikit bergeser dan terguncang.
Kami lalu kembali terdiam, tak ada ucapan yang terlontar, hanya saling menatap.
“Tipes nular nggak sih?” Tanya gua sambil tersenyum, sementara tangan Resti masih melingkar di leher gua.
“Nggak, lagian juga kan udah terlanjur…” Jawabnya pelan. Sementara, matanya nggak berani menatap gua dan wajahnya terlihat merah merona; entah karena gugup entah karena demam.
Gua lalu kembali mengecup bibirnya.
—
(H-5) “Gua dateng siang ya hari ini…” Ucap gua ke Wawan melalui sambungan ponsel.
“Kenapa? ngurus pernikahan?” Tanya Wawan.
“Nggak, si Resti sakit…” Jawab gua.
“Oh, yaudah…”
Gua lalu mengakhiri panggilan dan memasukkan ponsel ke dalam saku. Sementara, Resti yang sebelumnya terlihat masih terlelap kini terjaga dan menatap gua.
“Udah sana kerja, gw gapapa…” Ucapnya.
Gua nggak merespon ucapannya barusan hanya melempar senyum dan kembali duduk di sisi ranjangnya.
“Udah sana berangkat…” Resti kembali mengulang ucapannya.
Mendengar jawaban gua, Resti lantas melayangkan pukulannya yang kini terasa lebih menyakitkan ketimbang kemarin. Sebuah tanda jika kondisinya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Nggak lama berselang, pintu kamar rumah sakit terbuka. Maminya muncul dengan sebuah tas besar di tangannya, Papinya menyusul di belakang yang lantas menyeruak masuk dan mendekat ke arah Resti.
“Gapapa kan Res? udah sehat kan? makanya jangan sok-sokan diet…” Ucap Papinya seraya menyentuh dahi putrinya dengan punggung tangan.
“Gapapa pi.. ini udah mendingan…” Jawab Resti.
Kali ini maminya yang mendekat ke arah ranjang Resti dan menyentuh dahinya dengan telapak tangan. Ia lalu tersenyum seraya menggumam; “Udah turun nih demamnya”
“Iya, udah enakan nih…” Ucap Resti, ia lalu menoleh ke arah gua dan mengerlingkan matanya, kemudian bicara; “Udah sana kerja…”
“Eh, makan dulu bi kalo mau kerja…” Maminya menambahkan begitu mendengar bisikan Resti yang sama sekali nggak terdengar seperti bisikan karena diucapkan secara lantang, hanya saja ia lakukan dekat di telinga gua.
“Iya tan, nanti aja di kantor…” Respon gua.
“Makan dulu bi…” Kali ini Papinya ikut angkat bicara, sementara Maminya bergegas mengeluarkan beberapa kotak makan dari dalam bungkusan yang ia bawa, membuka tutupnya dan meletakkannya di atas meja dekat sofa.
“Makan sana…” Resti lalu ikut-ikutan memberi instruksi.
Gua pun akhirnya makan. Sesuatu yang jarang gua lakukan saat pagi hari.
Selesai makan, Resti kembali bicara; “Udah sana kerja…”
“Iya, bawel banget sih…” Jawab gua seraya meraih jaket, kemudian berpamitan kepada papi dan maminya untuk segera berangkat kerja.
Saat tengah membuka pintu kamar, tiba-tiba terdengar teriakan Resti; “Gw kenapa nggak di pamitin!!”
Gua terdiam dan menghentikan langkah dengan tangan sudah berada pada handel pintu. Kemudian berbalik dan menuju ke arahnya; “Gua berangkat ya” Ucap gua kepada Resti. Yang lalu ia jawab dengan anggukan kepala dan sebuah kata-kata singkat; “Ati-ati ya…”
“...”
“...Nanti pulangnya kesini ya…” Tambahnya sambil berteriak saat gua sudah berada di luar kamar.
Gua tersenyum kala mendengar teriakannya barusan, sebuah tanda bahwa Resti sudah mulai kembali ke mode defaultnya.
—
Beautiful Girl - Jose Mari Chan
Beautiful girl, wherever you are
I knew when I saw you, you had opened the door
I knew that I'd love again after a long, long while
I'd love again
You said "hello" and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I'd love again after a long, long while
I'd love again
It was destiny's game
For when love finally came on
I rushed in line only to find
That you were gone
Wherever you are, I fear that I might
Have lost you forever like a song in the night
Now that I've loved again after a long, long while
I've loved again
It was destiny's game
For when love finally came on
I rushed in line only to find
That you were gone
Beautiful girl, I'll search on for you
'Till all of your loveliness in my arms come true
You've made me love again after a long, long while
In love again
And I'm glad that it's you
Hmm, Beautiful Girl