Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Setelah hampir setengah jam ia habiskan untuk ‘menyiksa’ gua, Resti duduk dan berbaring telentang; kelelahan. Matanya terpejam, sementara nafasnya memburu.
“Sasa tau nggak?” Tanyanya, masih dengan mata yang terpejam.
“Nggak…” Jawab gua singkat, seraya mengelus lengan, leher, kepala dan pinggang yang tadi jadi sasaran murkanya Resti.
Pelan-pelan, gua merangkak diatas kasur hendak turun untuk mandi.
“Mau kemana?” Tanyanya.
Gua menghentikan gerakan. Kemudian menjawab pelan; “Mandi” tanpa menoleh ke arahnya.
“Gua laper…” Tambahnya.
“Ya, nanti abis mandi gua beli makan…” Balas gua, kemudian buru-buru turun dari ranjang dan berlari ke arah kamar mandi.
Beberapa menit berikutnya, setelah selesai mandi, gua membuka pintu kamar dan mengintip kedalam; “Mau makan apa?” Tanya gua pelan. Terlihat Resti masih di posisi yang sama seperti saat gua tinggalkan. Namun, kali ini ia terlihat sibuk dengan ponselnya.
“Terserah…” Jawabnya, tanpa memalingkan wajah dari layar ponselnya.
“Nasi padang ya?”
“Iya…”
Gua lalu kembali menutup pintu dan berjalan menuju keluar. Baru beberapa langkah gua pergi, Ponsel gua berdering, nama Resti muncul di layarnya. Gua menghela nafas, kemudian kembali menuju ke kamar.
“Apa?” Tanya gua, seraya menolak panggilan teleponnya.
“Kalo nasi padang, satu berdua aja yah… gw diet soalnya…”
“Ya…”
“Lauknya rendang ya, jangan ayam atau ikan, ribet makannya”
“Ya…”
“Eh, nasinya jangan di kuahin ya…” Tambahnya.
“Ya…”
“Sama, kalo bisa sambel nya di pisah…”
“Ya…”
“Terus…” Belum selesai ia melanjutkan kalimatnya. Gua mendekat dan duduk disebelahnya; “Udah lo ikut aja… makan disana aja”
“Tapi kan gw capek Cad, abis mukulin lo…”Jawabnya santai.
“Ya salah sendiri, kenapa pake mukulin gua…”
“Abisnya gw kesel…”
“Kesel kenapa?”
“Menurut Lo!? Duh udah sana deh, keburu gw kesel lagi nih, udah nggak punya tenaga buat ngehajar lo lagi…”
Gua menghela nafas dalam-dalam, menyentil dahinya kemudian kabur keluar dari kamar. Saat tengah keluar, terdengar teriakan Resti dari dalam kamar; “Icad, Sakit tau…”
—
Resti berbaring di atas sofa ruang tamu dengan posisi yang aneh. Kepalanya berada di bawah, sementara kakinya naik ke atas, digoyang-goyangkan pada sandaran sofa. Gua meraih piring dari konter di dapur dan datang menghampirinya.
‘Plak’ Gua menepuk kakinya yang menjulur ke atas kemudian duduk dilantai, di sebelahnya seraya membuka bungkusan dan meletakkannya di atas piring.
Resti bangun dan menatap ke arah dua bungkus nasi padang yang kini sudah terhidang diatas meja di hadapan kami.
“Kok dua?” Tanyanya.
“Gua pengen ayam bakar…” Jawab, kemudian meraih porsi nasi padang milik gua dan menggeser porsi milik Resti ke arahnya.
“Ih kok sambelnya dicampur sih, icad…” Protesnya begitu melihat porsi nasi padang miliknya yang sudah tercampur sambel ijo khas masakan padang.
“Yah…” Ia kembali bersandar pada sofa, memainkan ponselnya dan nampak kecewa.
Gua berhenti makan. Beranjak ke dapur, mengambil piring kecil dan sendok, kemudian kembali duduk di sebelahnya. Berhati-hati gua memisahkan sambal yang sudah bercampur dengan nasi dan lauk di porsi nasi padang milik Resti dan memindahkannya ke atas piring kecil.
Begitu selesai, gua kembali menyodorkan porsi miliknya; “Nih…”
Resti berpaling dari layar ponsel dan melirik ke arah piring miliknya.
“Gua udah pisahin sambelnya…” Ucap gua pelan, sambil melanjutkan makan.
Ia tersenyum kemudian, beringsut pindah duduk di lantai dan mulai makan.
Baru beberapa suap makan, tiba-tiba ia berhenti dan menggeser piring menjauh. Ia berdiri, menuju ke dapur dan mencuci tangan.
“Kenapa nggak diabisin?” Tanya gua melirik ke arah porsi miliknya yang masih tersisa banyak.
“Lo aja yang ngabisin… Gw diet..” Ucapnya dari arah dapur.
“Ngapain diet segala, badan udah kecil kaya gitu…” Gua menjawab.
“Ntar takut baju nikahnya nggak muat…” Ia beralasan.
Selesai dari dapur, ia duduk diatas sofa, sementara gua berada dibawahnya, duduk di lantai seraya makan. Ia meletakkan dagunya tepat di kepala gua, sementara tangannya sibuk dengan ponselnya.
“Si Felay mau nganter undangan nih, anter kesini aja kali ya?” Tanyanya seraya menunjukkan pesan dari Feli.
“Ke rumah lo aja…” Jawab gua.
“Ok baiklah…” Resti merespon, dan dengan segera kembali mengetik pesan di ponselnya.
Usai menyelesaikan makan, gua meraih piring berisi porsi milik Resti yang masih tersisa cukup banyak. Bukan, bukan untuk memakannya. Namun, untuk memaksa Resti menghabiskannya.
Gua menyendok dan mulai menyuapinya. Awalnya ia sempat memalingkan wajah, menghindar. Namun, gua keukeuh dan terus memaksa hingga akhirnya ia menyerah dan mulai membuka mulutnya.
Setelah makan, gua membuka pintu besar yang menuju ke balkon. Cuaca cukup panas dan terik, gua membatalkan rencana untuk merokok di balkon dan kembali kedalam. Gua meraih remote AC, mematikannya, duduk di sofa dan mulai menyulut sebatang rokok, sementara Resti masih sibuk duduk sambil menatap layar ponsel miliknya.
Sesekali ia menatap gua.
“Mau?” Tanya gua seraya menyodorkan bungkusan rokok ke arahnya. Ia tersenyum lalu bertanya; “Emang masih boleh?”
Gua mengangguk pelan sambil membalas senyumnya.
Ia lalu menggeser duduknya mendekat ke gua, meraih sebatang rokok dari bungkusan dan mulai menyulutnya. “Bir gw yang di kulkas masih ada nggak?” Tanyanya.
“Udah gua kasih satpam…”
“Semuanya?”
“Iya, semuanya…”
“Yah… padahal enak banget nih ngerokok sambil ngebir dingin, pas panas-panas gini…” Ucapnya.
“Kopi aja mau? kalo mau gua bikinin…” Gua memberikan solusi yang lebih ‘sehat’.
“Mau deh, tapi satu berdua aja ya…” Jawabnya.
“Ya..” Ucap gua kemudian bergegas menuju ke dapur.
Beberapa saat berikutnya, Resti bersandar di pelukan gua, duduk diatas sofa, dengan sebatang rokok di tangan masing-masing, seraya menonton I Could Not Ask For More-nya Edwin McCain yang sengaja diputar oleh Resti di TV.
Resti ikut bernyanyi mengikuti suara Edwin McCain yang berkumandang di TV seraya menatap gua dengan matanya yang teduh.
“...I could not ask for more than this time together
I could not ask for more than this time with you
And every prayer has been answered
And every dream has come true
Yeah, right here in this moment
Is right where I'm meant to be
Oh, here with you, here with me, oh…”
Sisi romantisme perlahan mulai terbangun; duduk berdua dengan lagu cinta, dan saling menatap erat. Ah, apalagi yang bisa diharapkan selain sebuah ciuman mesra nan hangat. Perlahan, Resti memejamkan kedua matanya, sementara wajah kami mendekat dan siap untuk berciuman. Namun, tiba-tiba ‘Plak!’
Alih-alih kecupan di bibir, sebuah tamparan mendarat pulus di pipi kiri gua.
“Lah, apa lagi salah gua?” Tanya gua sambil mengelus pipi kiri bekas telapak tangannya.
“Gapapa, kesel aja kalo inget bibir lo itu udah nyium banyak cewek…” Ucapnya ketus, kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke arah gua.
‘Masa iya sih, gua harus menanggung ‘kesalahan’ ini sepanjang hidup?” batin gua dalam hati, masih sambil mengelus pipi kiri yang kini terasa panas.
—
Gua duduk menatap ke arah Resti beserta Mami dan Papinya yang terlihat sibuk dengan lembar catatan yang berisi daftar nama untuk undangan pernikahan. Papinya lalu melirik ke arah gua, sambil menurunkan kaca mata baca yang ia kenakan.
Baru gua ingin menjawab, namun Resti keburu bicara mewakili gua; “30 juga kebanyakan dia mah…”
“Hah?” Mami dan Papinya kompak; kaget.
“Dikit banget…”
Gua menatap ke arah langit-langit dan mencoba menghitung orang-orang yang kemungkinan bakal gua undang ke acara pernikahan; Mas Boby Cs, Rio, Tile, Dita, Sekar, Edi, Wawan, Feli dan
dan..
dan siapa lagi
Tentu saja Mas Karlan nggak masuk hitungan karena dia bakal jadi wali gua di acara resepsinya nanti.
“Saya butuh 8 aja om…” Ucap gua pelan.
Mendengar jawaban gua, Resti langsung terlihat membuka jemari tangannya dan mulai menghitung.
“6 Aja…” Teriak Resti.
“Kok tambah dikit?” Tanya Mami-nya sambil menoleh bergantian ke arah kami berdua.
“Dita sama Sekar jangan diundang” Resti lalu menambahkan.
“Hee… ula kitu atuh eneng, masak Dita sama Sekar nggak diundang sih…” Maminya memberikan pembelaan. Tentu saja, karena si Mami belum tau ada masalah apa diantara kami. Kalau seandainya Maminya tau, tentu saja ia bakal setuju dengan pendapat putrinya.
Resti menghela nafas panjang kemudian menyisihkan setumpuk kartu undangan yang mungkin berisi 20 sampai 30 lembar.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Belum kering bibir maminya bicara tentang Dita dan Sekar, ponsel milik Resti berbunyi. Ia memalingkan perhatiannya dari lembar daftar tamu undangan ke arah layar ponselnya yang ia letakkan diatas meja. Dengan ekspresi terkejut, ia meraih ponsel dan langsung berlari mendekat ke arah gua.
Layar ponsel yang menampilkan nama Sekar ia tunjukkan ke arah gua.
“Gimana nih?” Tanyanya, bingung.
“Angkat…” Jawab gua singkat.
Resti nggak langsung melakukan apa yang gua sarankan. Ia menatap kosong ke depan sambil menggigit bibir bawahnya; tengah memikirkan sesuatu. Menit berikutnya, ia menjawab panggilan dari Sekar seraya melangkah keluar, menuju ke halaman belakang.
Nggak sampai 5 menit, Resti kembali menghampiri dan duduk di sebelah gua.
“Gawat…” Ucapnya seraya menggaruk kepalanya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Sekar ngajak ketemuan nih…” Tambahnya.
“Yaudah sana…”
“Temenin ya, ntar kalo dia ngajak berdebat gimana?”
“Ya lo kan raja debat…”
“Ih elo mah, ya temenin ya…”
Gua menghela nafas panjang kemudian mengangguk, menyanggupi permintaan darinya.
“Kapan?” Tanya gua.
“Ntar sore…” Jawabnya singkat, kemudian beralih ke ponselnya. Mungkin mengetik pesan, memberi jawaban kepada Sekar.
—
Hampir 10 menit kami berdua duduk diam di dalam mobil yang terparkir di basement sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan. Resti duduk di kursi penumpang di sebelah gua, matanya menatap kosong ke arah kartu undangan yang tengah ia genggam; Kartu undangan pernikahan kami berdua, dengan nama Sekar tercantum pada tujuannya.
Gua menurunkan jendela, meraih sebatang rokok dan mulai menyulutnya. Membiarkan Resti menghabiskan waktu sebanyak yang ia butuhkan sebelum akhirnya turun dan bersiap untuk bertemu dengan Sekar. Buat gua sendiri, pertemuan ini bukanlah sesuatu yang cukup penting. Sekar, sudah tak lagi punya peran dalam kehidupan gua. Tentu saja beserta dengan kenangan yang hidup bersamanya.
Resti meraih sweater miliknya dari kursi penumpang bagian belakang kemudian membuka pintu dan bergegas turun. Gua buru-buru mematikan mesin mobil, dan menyusulnya.
“Jangan macem-macem ya Res…” Gua berpesan kepada Resti sebelum kami berdua memasuki kafe tempat mereka membuat janji.
“Nggak ngaca lo? yang mukulin orang sampe di opname siapa?” Ucap Resti, menyindir gua.
“Ya…”
Kami memasuki kafe, Resti memandang berkeliling dan menemukan Sekar yang tengah duduk sendirian di sudut ruangan. Melihat Sekar yang datang sendirian, gua meraih tangan Resti dan berbisik kepadanya; “Gua tunggu di luar ya..”
“Hmmm… Iya deh, tapi jangan ilang dari pandangan gw ya…” Jawab Resti sambil tersenyum.
Gua lantas berbalik dan keluar dari kafe. Sementara, Resti melanjutkan langkah menuju ke arah Sekar yang baru saja menyadari kehadirannya.
Sambil bersandar pada dinding luar kafe gua memasang headset di telinga dan mulai mendengarkan musik yang diputar melalui ponsel, sambil sesekali memandang ke arah Resti dan Sekar yang terlihat tengah berbincang serius. Sampai saat ini tak ada tanda-tanda hadirnya ‘chaos’ pada pertemuan ini.
Tak lama, sebuah tepukan mengalihkan perhatian gua dari musik yang diputar melalui ponsel.
“Yuk…” Ucap Resti yang kini sudah berdiri di sebelah gua bersama dengan Sekar.
Gua melepas headset dari telinga.
“Udah?”
“Udah…” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Hi Bi…” Sapa Sekar seraya melambaikan tangan ke arah gua.
“Hi…” Jawab gua singkat.
Dengan cepat Resti meraih tangan dan menarik gua menjauh. Sementara, Sekar terlihat berdiri mematung menatap kepergian kami berdua dengan selembar kartu undangan pernikahan di genggamannya.
Gua menoleh kebelakang, menatap Sekar. Dengan cepat Resti meraih dagu dan membuat pandangan gua kembali ke depan. “Udah gak usah nengok-nengok segala, ntar jatuh hati lagi…” Ucapnya ketus.
“Nggak bakal…” Balas gua sambil mendengus.
Di mobil, Resti lalu mulai bercerita tentang pertemuannya barusan dengan Sekar. Tak banyak yang dibicarakan, Sekar hanya meminta maaf atas ucapannya kepada Resti dulu dan tanpa banyak berpikir ia langsung menerima maafnya. Tapi, bukan Resti namanya kalau ia tak menyisakan dendam.
“Berarti udah clear ya, udah nggak ada hard feeling lagi kan?” Tanya gua.
“Maaf udah diberikan, tapi kesel masih tersisa ya…” Jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena kesalahan Sekar terlalu banyak untuk sekedar Maaf…” Tambahnya seraya menatap gua tajam.
“Jadi orang kok dendaman banget…” Gua menggumam pelan.
Mendengar gumaman gua barusan, Resti melotot dan mendekatkan wajahnya ke arah gua; “Gw tuh masih kesel kalo inget lo pernah pacaran sama dia, bahkan nyium dia…”
“Ya itu kan masa lalu… lagian that was only a kiss…” Jawab gua santai.
“Only a kiss?”
“Iya…”
Resti menggelengkan kepalanya, seakan nggak percaya dengan jawaban dari gua.
“Gua nggak masalah kalo di masa lalu lo pernah ciuman sama orang…” Ucap gua memberikan pembelaan.
“Ya tapi gw nggak pernah nyium siapapun sebelumnya…” balas Resti.
“What? Terus siapa ciuman pertama lo?” Tanya gua.
Resti meraih kotak tisu yang berada di dashboard mobil, melemparkannya dan tepat mengenai kepala gua. “Ya elo lah…” Teriaknya.
—
Cuma Untukmu Anuku
Cuma gandengan tangan
Nggak pake peluk-pelukan
Cuma cium-cium di pipi
Nggak pake cipok-baik
Cuma janji berkencan
Nggak ada niat pacaran
Aku sudah tahu
Anuku hanya untuk dirimu
Aku pun tahu
Begitu harus tunggu resmi dulu
Percayalah jangan cemburu
Cuma jalan-jalan di keramaian
Bukannya mojok berduan
Cuma pergi ke twenty one
Bukan nonton film begituan
Cuma duduk-duduk di sofa
Bukan tidur-tiduran diranjang
Aku sudah tahu
Anuku hanya untuk dirimu
Aku pun tahu
Begitu harus sampai diresmiin penghulu
Cuma santai-santai dipantai
Sambil menatap bintang
Kita cuma ngobrol curhat-curhatan
Sambil tukar pikiran
Aku sudah tahu
Anuku hanya untuk dirimu
Aku pun tahu
Begitu harus tunggu resmi dulu
Aku sudah tahu
Anuku anuku hanya untuk dirimu
Aku pun tahu
Begitu tunggu sampai diresmiin penghulu
Aku pun tahu
Anuku hanya kuberikan untukmu
Aku pun tahu
Begitu harus resmi dulu