Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Eh, lo dimana?” Tanya Resti melalui sambungan ponsel. Suaranya terdengar setengah berbisik, seakan nggak ingin ada yang mendengar bicaranya.
“Masih di kerjaan…” Jawab gua singkat.
“Jam segini?”
“Iya, tapi bentar lagi balik nih… ada apaan?” Tanya gua.
“Ada Mas Karlan sekeluarga nih, dirumah…” Jawab Resti.
“Eh, ngapain mereka?”
“Nggak tau, papi kali yang ngundang…” Jawab Resti, ragu.
“Kok lo bisa nggak tau, bukannya lo miss ‘segala tau’?” Tanya gua lagi.
“Kalo gw tau ngapain nelpon lo…” Jawabnya ketus.
“...”
“...Lo nggak pengen nyusul kesini?” Ia lalu menambahkan. Kali ini suaranya tak lagi pelan, sepertinya ia sudah berada di tempat yang ‘aman’, mungkin di kamarnya.
“Nggak ah…” Gua menjawab singkat.
“Nggak mau ketemu gw?”
“Nggak…”
“Yakin?”
Gua sengaja nggak langsung menjawab, mencoba meledeknya.
“Halo, Cad?” Resti memanggil, memastikan panggilan masih tersambung.
“Ya…”
“Ih, nyebelin banget sumpah…”
“Ya, gua kesana…” Ucap gua santai, seraya membereskan barang-barang di atas meja kerja.
“Ati-ati ya…”
“Ya….” Ucap gua kemudian mengakhiri panggilan.
Mendekati hari pernikahan, biasanya para pasangan akan dihadapkan pada sebuah keraguan. Keraguan ‘kecil’ yang mungkin memiliki dampak depresif dan cukup meresahkan. ‘Apakah keputusan yang gua ambil benar?’, ‘Apakah dia benar-benar orang yang tepat?’.
Untungnya, sepertinya hal tersebut nggak menimpa gua. Atau, gua yang nggak menyadari hadirnya keraguan tersebut? Entahlah.
Lalu, bagaimana dengan Resti? apa dia sempat merasakan keraguan ‘kecil’ untuk menikah dengan gua?
Haruskah hal ini dicari tau? Atau apa perlu gua mengetahui hal ini?
—
Gua duduk di teras rumah Resti, berlama-lama membuka sepatu seraya menghabiskan sebatang rokok yang baru saja gua sulut saat tiba disini tadi.
Mas Karlan, Mbak Sri dan anak-anak keluar dari pintu utama, sementara Papi dan Maminya Resti berjalan bersisian menemani mereka.
“Lah, ini Bian… Baru sampe bi?” Tanya Maminya Resti begitu melihat gua.
“Eh, iya tan… baru…” Gua menjawab, kemudian langsung pasang tampang pura-pura terkejut saat melihat Mas Karlan dan Mbak Sri.
“Tadi saya ajak Karlan kesini, buat ngobrol-ngobrol…” Papinya Resti buka suara begitu melihat ekspresi kaget yang gua buat-buat.
“Oh, iya Om…” jawab gua singkat. Kemudian berpaling ke Mas Karlan; “Udah mau balik mas?”
“Iya…” Jawab Mas Karlan sambil tersenyum.
“Udah kamu disini aja, biar Karlan dianter si Sam…” Papinya Resti memberi mandat sambil menunjuk ke arah Pak Sam yang sudah bersiap di sisi mobil.
“Iya, Om…”
Setelah cukup lama berbasa-basi dan berpamitan, akhirnya Mas Karlan dan keluarga pulang dengan diantar oleh Pak Sam. Sementara, Maminya Resti langsung menarik tangan gua masuk ke dalam; menuju ke ruang makan.
“Makan dulu, Bi…” Ucap Maminya.
“Makasih tan, tapi saya mau…” Belum selesai gua bicara Resti tiba-tiba datang dan ‘merebut’ tangan gua dari genggaman maminya.
“Kita mau makan di luar, mi…” Ucap Resti.
Dari outfit yang ia kenakan, Resti memang sudah terlihat sudah siap untuk pergi. Padahal, kami berdua belum ‘sepakat’ mengenai rencana ‘makan diluar’ yang baru saja ia katakan kepada Maminya.
“Ih, ngapain makan di luar, disini banyak makanan…” Bantah Maminya, seraya menunjuk ke arah ruang makan.
“Bosen…” Jawab Resti. Ia lalu kembali menarik tangan gua menuju ke luar.
“Mau kemana?” Tanya gua, Seraya mengenakan kembali sepatu yang sepertinya belum lama gua lepas.
“Makan…” Jawab Resti.
“Yah, gua udah makan lagi tadi di kantor…”
“Yaudah lo liatin gw makan aja…” Ucapnya seraya melangkah menuju ke arah mobilnya.
“Naik motor mau?” Tanya gua sambil menatapnya.
Mendengar pertanyaan gua, Resti menghentikan langkahnya kemudian berpaling, membalas tatapan gua. Cukup lama ia terdiam, sebelum akhirnya mengangguk sambil tersenyum.
Kali ini giliran gua yang menarik tangannya, menuju ke depan pagar, tempat dimana sepeda motor gua terparkir.
Tak seperti sebelumnya, Walau wajahnya masih terlihat pucat penuh keraguan, namun kali ini Resti nggak pake ‘drama-drama’ begitu duduk di boncengan sepeda motor. Tak ada lagi kalimat-kalimat sepele seperti sebelumnya; “Pelan-pelan aja ya cad”, “Nggak usah ngebut ya Cad”, “Helmnya aman kan Cad?”
Ia hanya duduk, menyandarkan tubuhnya di punggung gua sambil memeluk gua erat.
Pelan, gua menarik gas sepeda motor dan mulai melaju. Semakin lama, gua mencoba menambah kecepatan. Dan seiring kecepatan bertambah, semakin erat pula cengkraman tangannya di pinggang gua. Sementara kepalanya ia tundukkan, seperti nggak punya ‘nyali’ untuk memandang lurus kedepan.
“Kenapa berenti?” Tanya Resti, kepalanya masih menunduk dan matanya terpejam.
“Ya kalo jalan, ditangkep polisi…” Jawab gua.
“Emang kenapa?”
“Lampu Merah…”
“Oh…”
“Mau makan dimana?” Tanya gua seraya membelai punggung tangannya yang masih mencengkram pinggang gua.
“Nggak tau, terserah lo aja…” Jawabnya pelan.
“Kan tadi lo yang ngajak…”
“Terserah lo aja…” Ia mengulang jawabannya.
Saat traffic light berubah hijau, gua langsung memacu sepeda motor. Kali ini cukup kencang untuk ukuran Resti. Cengkraman tangannya di pinggang gua semakin erat, kemudian terasa sengatan yang luar biasa di punggung gua; “Auw…” Teriak gua, kemudian spontan melambatkan laju sepeda motor.
“Kan udah gw bilang jangan ngebut…” Teriaknya dari boncengan.
“Ya tapi jangan di gigit lah…” Ucap gua, seraya meringis menahan rasa sakit akibat gigitannya.
Sejak kejadian tersebut, ia tak lagi menundukkan kepalanya. Hanya sibuk ngomel sambel berteriak, sementara tangannya sesekali mencubit pinggang gua; ‘Amarah mengalahkan rasa takutnya’.
Gua melirik melalui kaca spion, terlihat Resti kali ini menatap ke depan, membiarkan semilir angin malam menerpa wajahnya. Perlahan, ia mulai memberanikan diri mengendurkan pelukannya di pinggang gua.
Sementara, beberapa tempat makan di sisi jalan kami lewati. Tiap kali gua menunjuk salah satu tempat, ia hanya menggeleng dan mengajukan banyak alasan; ‘Nggak ah rame’, ‘Nggak ah, tempatnya kayaknya kotor’, ‘Nggak ah, males makan yang kuah-kuah, ‘Nggak ah bosen makan ayam’ dan banyak alasan lainnya.
Tanpa sadar, kami berdua sudah berada jauh dari lokasi rumah Resti. Ini bahkan terlalu jauh untuk ukuran ‘mencari makan’ atau sekedar malam mingguan.
Kali ini gua nggak lagi meminta pendapat Resti tentang tujuan tempat makan. ‘Tempat makan apapun yang pertama gua temui, maka gua akan berhenti disana’ batin gua dalam hati. Gua melambatkan laju sepeda motor, menepi dan mematikan mesin.
“Kok berenti?” Tanya Resti.
“Ya makan lah…” Jawab gua santai.
“Dimana?”
“Disini…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah plang bertuliskan ‘Bubur Ayam Kang Umar’.
“Eh….” Resti menatap tempat yang barusan gua tunjuk, ekspresinya terlihat cukup terkejut namun sebuah senyuman muncul setelahnya.
Gua berjalan masuk ke dalam ‘ruangan sederhana’ yang dikelilingi kain tipis dengan atap berlapis terpal, sementara Resti berjalan mengikuti gua dari belakang.
“Kenapa?” Tanya gua begitu duduk diatas kursi plastik dan mendapati Resti tak henti-hentinya tersenyum.
“Lo bisa tau tempat ini dari mana?” Tanyanya, masih sambil tersenyum.
Gua mengangkat bahu; “Nggak tau, asal berenti aja…”
“Oh…”
“Kenapa emang?” Tanya gua lagi, penasaran.
Resti meraih tangan gua dan menggenggamnya. Lalu mulai bercerita; “Waktu gw dapet luka ini…” Ucapnya seraya menyentuh bekas luka di dahinya dengan tangan kiri.
“...”
“... Gw abis makan bubur disini juga…” Tambahnya.
“Sama si cowok berandal itu?” Tanya gua.
“Iya…” Jawabnya pelan.
“Ooo… Yaudah kalo lo mau pindah…” Ucap gua seraya bergegas untuk berdiri. Namun, Resti dengan cepat mencegah gua. Ia menarik lengan dan memaksa gua untuk kembali duduk.
“Gapapa, cad…”
“Bener?” Tanya gua memastikan.
“Iya bener gapapa, justru harusnya gw yang nanya ke elo.. elo gapapa kalo kita makan disini?”
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaan balasan darinya; “Kenapa emang?”
“Lo nggak pernah cemburu ya?” Tanyanya lagi.
“What? cemburu sama siapa? sama cowok itu?”
“Iya… atau sama cowok lain yang mungkin pernah deket sama gw?”
“Nggak sih…” Respon gua singkat.
“Kok terdengar aneh ya. Ada cowok yang nggak cemburuan…” Ucap Resti.
“Tadinya sih iya, sempet ada rasa cemburu.. Tapi setelah dipikir-pikir, ngapain gua harus cemburu. Cemburu itu kan cuma buat orang yang merasa dirinya nggak lebih baik dari orang yang dicemburui…” Gua menjelaskan.
“Oh, gitu toh…”
Ditengah obrolan kami berdua, seorang pelayan datang menghampiri dan menanyakan pesanan. ”Elo satu porsi apa setengah porsi, Cad?” Tanya Resti, seakan mewakili si pelayan.
“Setengah porsi itu semana?” Gua balik bertanya, namun kali ini berpaling ke arah si Mas pelayan.
“Segitu mas…” Jawab si Mas pelayan, sambil menunjuk mangkok bubur berukuran normal. Layaknya, mangkok rumah tangga pada umumnya.
“Yaudah, yang setengah aja kalo gitu…” Jawab gua mantab. Sementara, Resti ikut mengangguk, setuju dengan pesanan gua.
“Lo nggak penasaran yang satu porsinya itu sebanyak apa?” Tanya Resti begitu si Mas Pelayan pergi.
“Nggak…” Jawab gua singkat.
“Ih kok bisa sih. Biasanya orang yang gw ajak kesini pertama pasti mesen satu porsi abis itu nggak abis…”
“Pertama, gua udah liat ukuran setengah porsinya segitu…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah mangkok ‘normal’ berisi bubur milik pelanggan lain.
“...”
“... Berarti kalo satu porsi, tinggal di kali dua aja…” Gua menambahkan.
“...”
“... Kedua, tadi kan gua udah makan di kantor. Jadi apapun pilihannya, gua pasti milih porsi paling sedikit…”
“Hmmm…”
Ditengah obrolan kami berdua, tiba-tiba Resti menghentikan bicaranya, matanya menatap kosong ke arah belakang gua. Sontak gua menoleh, terlihat sosok cowok berandal yang berdiri sambil menggandeng tangan perempuan di sebelahnya. Tentu saja, perhatian gua langsung tertuju ke sosok perempuan tersebut. Perempuan yang pernah membuat gua ‘mencret-mencret’ seharian.
“Res…”
“Hi Bon, Hi Nes…” Sapa Resti seraya melambaikan tangannya. Sementara, cowok yang disapa terlihat salah tingkah, kemudian duduk di kursi plastik terjauh dari posisi kami berdua.
“Sini aja sih…” Ucap Resti sambil menunjuk kursi plastik kosong yang berada tepat diseberang kami.
Mereka berdua lalu berpindah posisi dan duduk ditempat yang sebelumnya ditunjuk oleh Resti.
Cowok tersebut menatap gua cukup lama sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya ke si abang pelayan yang datang menanyakan pesanan.
“Kenalin, ini Icad…” Ucap Resti seraya menunjuk ke arah gua.
“Oh, Hi… Boni..” Ucap Cowok ‘berandal’ tadi sambil menjabat tangan gua.
“Icad…” Jawab gua.
Gua lalu mengarahkan tangan ke arah perempuan di sebelahnya; “Icad…”
“Hi, Ines…” Jawab perempuan tadi.
“Gw kayak pernah liat lo dimana ya?” Tanya Ines, sambil mengernyitkan dahi menatap gua.
Gua tersenyum kemudian menjawab; “Di kios siomay, gang samping kampus…”
“Oh.. iya… Lo bayarin siomay gw kan?” Balas Ines.
“Iya…”
Mendengar percakapan diagonal antara kami berdua Boni menatap kami berdua bergantian; nggak mengerti arah pembicaraan kami. Ines yang langsung tahu makna tatapan Boni segera memberi penjelasan.
“Anak lo mana? nggak diajak?” Tanya Resti
“Kalo lagi disini, dia pilih maen sama kakeknya daripada sama gw…” Jawab Ines santai.
“Owh…”
Pesanan bubur milik gua dan Resti datang lebih dulu. Gua bersiap untuk menyantapnya, namun Resti buru-buru mencubit kaki gua, lalu mengedipkan mata seraya berbisik; “Ntar, tunggu”
Namun, sepertinya suara bisikannya terlalu keras hingga terdengar oleh Boni dan Ines. Mereka berdua tersenyum kemudian mempersilahkan gua untuk makan lebih dulu tanpa perlu menunggu mereka; “Gapapa duluan aja…” Ucap Boni santai.
Gua bersiap makan, namun melihat pandangan mata Resti yang tajam membuat gua kembali meletakan sendok dan mengurungkan niat.
“Gua kayak pernah liat lo dimana ya?” Tanya Boni, seraya memicingkan mata, memandang ke arah gua. Sementara tangannya sibuk mengambil sebatang rokok dari bungkusan.
“Ya, itu waktu di tukang siomay samping kampus kamu lho…” Ines bicara sambil menepuk pelan pundak Boni.
“Nggak-nggak, bukan… Gua pernah liat lo tapi bukan di tukang siomay. Lo tinggal dimana?” Tanya Boni lagi.
“Oh, gua dulu sempet tinggal di xxxxxx…” Jawab gua menyebutkan nama komplek tempat dulu gua tinggal.
“Lah deket itu dari rumah nyokap gua…” Ucap Boni.
“Jangan-jangan lo berdua pernah maen bola bareng kali?” Ines kembali nimbrung.
“Nggak, dari kecil dia nggak pernah maen dan nggak punya temen…” Resti menjawab, mewakili gua.
Saat percakapan dan misteri tentang dimana Boni pernah melihat gua semakin seru, pesanan bubur milik Boni dan Ines tiba. Percakapan kami lalu terinterupsi sebentar, karena masing-masing sibuk menambahkan topping cakwe, sate, kecap, sambal maupun kerupuk ke atas porsi bubur. Lalu, kami mulai makan.
Boni selesai makan dengan cepat. Ia kembali meraih sebatang rokok dari bungkusan, menyulutnya dan menghembuskan asap rokok ke arah yang berlawanan dari Ines. Ia lalu kembali menatap gua sambil memicingkan mata, masih penasaran rupanya; “SMA lo dulu dimana?”
Mendengar pertanyaannya, gua mengernyitkan dahi, balas menatapnya lalu mulai menjawab dengan menyebutkan nama Sekolah gua dulu.
—
Kosong sama Kosong - Slank
Emosi lama masih terbawa saat pertama
Masa lalu membuat saling tak percaya
Frustrasi mendorong alam bawah sadar kita
'Tuk lakukan hal gila yang tak terduga
Dekat-dekatlah dariku
Menangislah di pelukku
Kubersihkan muntahmu dan kubilas dengan air
Kukecup senyummu yang mengandung sesuatu
Kau belai marahku dengan berikan kelembutan
Dan kau sadari ceritaku penuh dendam
Jangan jauh-jauh dariku
Menangislah di pelukku
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, samakah dengan dadaku?
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, samakah dengan dadaku?
Jangan kau pergi dariku
Menangislah bersamaku
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, samakah dengan dadaku?
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, samakah dengan dadaku?
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, yeah, samakah dengan jiwaku?
Tatapmu yang kosong, samakah dengan mataku?
Jiwamu yang kosong, samakah dengan dadaku?