nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Senja di Pelupuk Matamu


Pagi ini, langit kota sedikit muram. Mentari tertutup awan kelam, angin bertiup dingin, rintik hujan membasahi jalanan dengan aroma yang khas. Biasanya jalanan cukup ramai; mobil, sepeda motor, kendaraan umum, dari pagi sudah sibuk berlalu-lalang. Tak lupa, pejalan kaki hampir berdesakkan menyisir trotoar. Namun pagi ini, setelah sekian lama tanah kota mengering, kini tersiram gemercik air dari langit yang sendu. Jalanan lengang, kendaraan yang melintas dapat dihitung jari. Trotoar lengang, hanya satu dua orang yang berjalan tertunduk dengan payungnya, termasuk aku. Beberapa memutuskan untuk berteduh di depan toko-toko dengan pintu kaca yang terkena cipratan air hujan.

Aku berjalan tertunduk memandangi sepasang kakiku yang mengenakan flat shoesberwarna coklat. Permukaan sepatuku basah, kulit kakiku pun memucat. Sepasang kaki yang  melangkah menyusuri jalanan basah, menciptakan cipratan air dari genangan yang terjebak di trotoar. Ditemani irama hujan yang mengetuk-ngetuk payung merahku, aku terus berjalan menempuh minggu pagi yang baru saja dimulai.

Dari kejauhan, aku melihat kafe yang menarik perhatian. Bangunannya kecil tetapi tampak hangat. Temboknya hanya bercat putih polos dengan sedikit warna coklat tua di bagian sisi-sisinya. Tak hanya itu, terdapat dua jendela tinggi nan lebar yang menghimpit pintu kecil yang juga bercat coklat. Kulihat ada kursi yang masih kosong di dekat jendela kaca itu. Tanpa berpikir panjang, aku memasuki kafe tersebut.

Satu langkah masuk, kehangatan seketika menyelimuti tubuh yang sedari tadi terkena hujan. Aroma kopi pun tak kalah menyambutku dan semerbaknya memenuhi hidung. Pandanganku langsung tertuju ke arah kursi yang sedari tadi sudah kuincar. Tanpa basa-basi, aku mendudukinya. Di sinilah aku, memulai minggu pagi yang berhujan, memandangi jalanan yang basah, menikmati alunan musik lembut disertai suara langkah kaki di luar jendela, dan ...

“Boleh aku duduk di sini?”

Aku menengadah, terkejut dengan suara yang tak asing, “Bian?”

Dia tersenyum. Tanpa menunggu persetujuan dariku, dia langsung duduk di kursi kosong yang ada di hadapanku.

“Selamat pagi, Nara,” ucapnya tanpa basa-basi.

Abian, teman sekantorku. Meja kerja kami berhadapan, tapi tak pernah saling menyapa. Dia seniorku, bekerja dua tahun lebih dulu daripada aku. Saat pertama masuk kerja, sesekali aku menyapanya atau sebatas melempar senyum. Namun nihil, hanya segaris senyum kecut yang kudapat atau bahkan tak ada goresan senyum sama sekali. Oleh karena itu, aku bertekad untuk tidak pernah menganggap keberadaannya.

Dia tampan, bahkan sangat tampan. Banyak perempuan yang mengincarnya, tergila-gila dengan parasnya yang seolah tak ada cacat barang segores. Kulitnya cerah, bibir merah, mata kecil yang tajam dengan bulu mata yang indah, rambut kecoklatan nan sedikit ikal, dan tubuh yang semampai. Menurut yang lain, dia adalah laki-laki yang tampan dan cool. Cool? Menurutku angkuh.

“Pagi,” jawabku menghargai.

Dia membetulkan posisi duduknya, kedua tangannya tertumpu di atas meja, “Bolehkah aku sarapan bersamamu?”

Aku menatapnya, “Lagipula kau sudah mendudukinya.”

“Menduduki ....”

“Kursi di hadapanku.”

Dia tertawa, “Ah, maaf. Aku ingin ada teman mengobrol di pagi yang berhujan ini.”

Aku tersenyum, “Di luar kantor, ternyata kau seperti ini, ya.”

Dia menatapku bingung, “Seperti apa?”

Aku menghela napas, “Kita bahkan tak saling menyapa sebelumnya.”

“Namun ... bisakah kita tak perlu membahasnya kali ini?” Dia terdiam sejenak, “Maukah kau menghabiskan hari minggu ini bersamaku?”

Aku mengangkat alis, “Maksudmu?”

Dia bersandar di sandaran kursi yang bercat putih, “Ya ... kita memesan sarapan di sini,” dia bangkit dari sandarannya dan kembali menumpukan tangannya ke atas meja dengan bahan kaca, “Setelah ini, kita mengelilingi kota. Bagaimana?”

“Bukankah kita tak sedekat itu?”

Dia tersenyum, “Hari ini, kita akan menjadi dekat.”

Wajahku tertekuk, “Kau yakin?”

Aliasnya terangkat, “Tentu saja.”

Dia memanggil pelayan untuk memesan makanan.  Kami memesan secangkir kopi manis dan roti panggang. Roti miliknya ditambahi selai kacang sedangkan aku selai coklat.

“Kau seorang laki-laki, kenapa kau suka kopi dengan gula?”

“Apakah harus menjadi perempuan untuk menyukai sesuatu yang manis?”

Aku menggelengkan kepala, “Tidak.”

Mentari  malu-malu mulai memancarkan cahayanya. Kaca jendela perlahan mengering, suara gemercik hujan semakin menghilang, menyisakan gerimis yang tak akan membuat rambut basah. Di masing-masing piring, roti panggang hanya tinggal sebagian kecil. Uap kopi telah lenyap, menyisakan dua cangkir yang isinya hampir tandas.

“Kau mau memulainya sekarang?” Tanyanya tiba-tiba.

Aku menatapnya, “Memulai ... apa?”

“Hemm, sekarang sudah beranjak siang. Kita langsung saja, mari habiskan hari minggu bersama.”

              

Hari minggu ini, aku tak pernah menyangka bisa melewatinya bersama Bian, teman kantorku yang bahkan tak pernah kuanggap sebagai teman. Setelah kami sarapan di kafe itu, kami mengunjungi beberapa tempat. Kami pergi ke pusat perbelanjaan, saling  memilihkan baju yang cocok kemudian membelinya dengan hati yang senang. Setelah puas berbelanja, kami makan siang, lalu menonton film hantu. Benar, aku selalu ingin menonton film hantu bersama seorang laki-laki. Hari ini, tanpa disangka, bahagiaku sangat mudah terukir begitu saja, tanpa usaha.

***

 Dia menatapku, “Indah, bukan?”

“Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?” Mataku terpaku dengan kilawan air yang tercipta dari biasan jingga.

“Tentu saja aku tahu dan kau tak perlu tahu alasannya,” tuturnya dengan senyum yang tersungging miring.

Kami berdiri di atas jembatan yang membentang di atas aliran sungai yang jernih. Aku tak pernah tahu bahwa di kota ini ada tempat yang tenang seperti ini. Karena jauh dari jalanan besar, di sini, aku hanya mendengar gemericik air, kicauan burung yang tengah kembali dari peraduannya, dan suara serangga. Di pinggiran sungai, ada beberapa rumah warga yang jumlahnya bisa dihitung jari.

Aliran sungai menuju ke arah barat, setia mengantarkan kepulangan mentari di setiap penghujung hari. Ya, senja dan pelukan jingga yang erat. Semburatnya menciptakan kilauan bercahaya di permukaan air.

Aku dan Bian berdiri berdampingan dengan tangan tertumpu di besi pegangan jembatan. Kami terkesima tanpa kata, memandangi aliran sungai menuju senja yang kian terbenam. Aku memandangnya, angin sore menerpa rambutnya yang sedikit ikal.

“Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?” Tanyaku tiba-tiba.

Matanya masih memandangi apa yang tersuguh di hadapannya. “Di akhir pertemuan ini, aku ingin kita menyaksikan akhir dari hari ini, senja,” lalu dia mengalihkan pandangannya ke arahku.

Aku balas menatapnya, “Kau mulai menyukaiku?”

Matanya terbelalak, “Kau mengharapkan itu?”

Aku menggeleng, “Tidak. Aku hanya bertanya.”

Dia tersenyum, “Hari ini adalah hari yang tak akan kulupakan.”

“Setelah ini, apa yang akan terjadi?”

Dia mengehmbuskan napas panjang, kembali menatap sungai yang tak berhenti mengalir, “Kau tahu, sesuatu yang dengan mudah kau dapatkan, akan mudah pula kau kehilangannya.”


“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Kau tak bertanya maksud dari kalimatku?”


Aku tersenyum kecut, “Aku cukup pintar untuk memahaminya. Tak ada pertanyaan.”


Matahari hampir sempurna terbenam, langit kini berwarna biru gelap. Aku termenung, merasakan desah angin yang menelusup ke dalam pori-pori kulitku. Aku mengerti, ya, mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan olehnya. Aku tak perlu bertanya, aku paham dengan maksud ucapannya.

Abian membalikkan posisi tubuhnya, bersandar di pegangan jembatan. “Kau mengharapkan apa setelah pertemuan ini?”

Aku mengangkat bahu, “Mungkin, mulai dari sekarang, kita akan bertegur sapa saat di kantor?”

Dia tersenyum, “Apa kau menyukaiku?”

Pipiku terasa panas, ada getaran ringan yang mencampuri degup jantungku. “Aku sangat mudah menyukai seseorang.”

Dia menatapku, “Jadi, kau menyukaiku?”

Aku menghembuskan napas, “Ayo kita pulang. Hari sudah gelap.”

***

Keesokan harinya, saat matahari kembali menjejaki hamparan langit yang sama seperti kemarin dan hari-hari sebelum kemarin, duniaku tak ada yang berubah.

Aku sudah berada di meja kerjaku dan mulai menyalakan komputer yang ada di hadapanku. Terdengar suara derap langkah dari belakang, seolah hendak menghampiriku yang menahan diri untuk menoleh. Tetap saja, aku tak cukup tegar untuk tidak membalikkan pandanganku ke belakang. Dan benar, Abian.

Aku menyunggingkan senyumku dengan semangat saat mata kami saling bertemu. Namun, apa yang kudapat? Dia hanya menatapku, bibirnya tertutup rapat seolah rahangnya menegang. Tak ada senyuman barang seulas.

Aku kembali membalikkan badan dan menatap komputerku dengan pandangan kosong. Jantungku berdegup cepat meski sisa senyum yang kusunggingkan masih terpaku di air wajahku. Benar, apa yang dikatakannya benar. Sesuatu yang dengan mudah kau dapatkan, akan mudah pula kau kehilangannya.

Dari pertemuan singkat kemarin, hanya satu yang mungkin akan membekas di pelupuk hati. Kala memandang matanya, aku akan selalu mengingat senja yang lembayungnya memisahkan kami.  

***


Ada kalanya, di dunia ini, kita tak perlu bertanya “kenapa” atas hal-hal yang secara khusus disuguhkan semesta. Tidak semuanya pertanyaan membutuhkan jawaban. Seringkali sang waktu membuat kita mengerti tanpa harus bertanya.


~TAMAT~

Diubah oleh nanitriani 13-02-2022 13:51
delia.adel
towi76
sihamulgiozii
sihamulgiozii dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.2K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Tampilkan semua post
mr.nanonanoAvatar border
mr.nanonano
#2
Kalimat2nya indah banget sis, rapi dan pilihan katanya oke.
Gw baca ceritanya dpt bgt feelnya. Nice..
2 poin penting yg gw dpt disini.
Quote:

Karena cara kita memperlakukan apa yg kita dapat sangat bergantung bagaimana cara mendapatkannya. Pasti beda dah rasanya.

Quote:


Dan ini juga closing yang keren abis.
nanitriani
delia.adel
delia.adel dan nanitriani memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.