Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Malam itu, sepulangnya dari rumah Mas Karlan, jalan terlihat lengang. Tak seperti biasanya, kali ini Resti nggak memacu mobilnya dengan cepat. Ia mengemudi pelan dengan pandangan ke depan. Beberapa kali gua mendapati, tatapannya kosong. Seperti tengah memikirkan sesuatu.
“Oi…” Gua memanggil sambil menyentuh bahunya.
“Eh.. Apa?” Respon Resti, terkejut dengan sentuhan gua barusan.
“Minggir…” Ucap gua pelan.
“Apa?”
“Pinggirin mobilnya…” Gua kembali mengulang ucapan sebelumnya.
“Oh…” Resti memperlambat laju mobil, sambil mencari sisi jalan yang cukup luas untuk menepi.
Begitu mobil menepi, Resti memindahkan persneling ke posisi netral kemudian menatap gua sambil tersenyum; “Kenapa?” Tanyanya.
“Turun, sini gua yang nyetir…” Jawab gua, seraya membuka pintu mobil.
“Emang kenapa? Tangan lo gimana?” Tanya Resti. Sementara, gua nggak lagi bisa mendengar ucapannya karena sudah berada di luar, mengitari mobil dan membuka pintu bagian pengemudi.
“Pindah sana…” Ucap gua begitu pintu terbuka.
“Emang tangan lo gapapa buat nyetir…” Tanya Resti sambil memandang ke arah lengan gua.
“Bisa…” Jawab gua singkat, sementara Resti bergegas pindah ke kursi penumpang di sebelahnya.
“Kenapa sih, udah sih gw aja…” Ucap Resti begitu kami sudah bertukar posisi. Sementara gua mulai memindahkan persneling dan mulai mengemudi. Dengan mobil mahal seperti milik Resti ini, mengemudi dengan satu tangan bukanlah hal yang sulit, Power stering pada kemudinya betul-betul presisi sehingga kemudi terasa ringan. Apalagi sistem transmisinya yang sudah otomatis, tentu saja bakal mengurangi kerja kedua kaki dan tangan.
“Lo nyetir, sambil ngelamun…” Respon gua.
“...”
“... Mikirin apa?” Tambah gua.
“Mikirin elo…” Jawabnya singkat, sementara matanya menatap kosong ke depan, tatapan yang sama seperti saat ia menyetir tadi.
“Hah, gua? Gua Kenapa?” Tanya gua.
“Sebelum kita bener-bener nikah. Gw punya satu permintaan…”
“Apa?”
“Gw mau selalu jadi prioritas utama dalam hidup lo…” Ucapnya pelan.
“...”
“... Nggak bukan! Gw ralat, Gw mau jadi satu-satunya prioritas dalam hidup lo…” Tambahnya.
“Emang selama ini lo nggak ngerasa selalu gua jadiin prioritas?”
“Nggak tau.. Mungkin selama ini ada hal lain yang lo kejar selain gw” Jawabnya pelan.
“Selama hidup, gua sama sekali nggak pernah punya tujuan apa-apa. Dulu, gua pernah punya cita-cita pengen hidup bahagia. Padahal, arti bahagia aja gua nggak tau. Tapi, sekarang paling nggak gua punya elo… Kalo arti bahagia di hidup gua itu elo, ya berarti gua udah nggak butuh apa-apa lagi…”
“...”
“...Ya saat ini emang elo satu-satunya prioritas hidup gua…”
“Nggak, gw nggak nerima kata ‘saat ini’...” Balasnya.
“Damn! Padahal itu kata-kata udah gua latih buat nanti pas nikah…”
“Ya nanti bilang aja lagi pas nikah… Gitu aja repot. Udah sini gw yang nyetir lagi, gemes gw ngeliat lo nyupir pelan banget…”
“Udah diem jangan bawel…”
“Ih…”
Ponsel milik Resti berdering, ia menatap layar pada ponsel kemudian menggumam pelan; “Papi…” sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.
Terdengar, Resti hanya menjawab “Ya..”, “Hooh” dan “Ok” saat bicara dengan Papi-nya melalui sambungan telepon. Begitu selesai bicara, ia menunjuk ke arah jalan dan mulai memberi perintah; “Puter balik!”.
“Hah, kenapa?” Tanya gua.
“Diajak makan sama Papi…”
“Siapa? Gua?” Tanya gua lagi.
“Ya elo lah, masa gw… Gw kan anaknya, ngapain dia pake basa-basi ngajakin gw makan…”
Gua melirik ke arahnya sambil tersenyum. Menyadari betapa gua begitu menyukai semangat hidupnya, sampai-sampai menjawab pertanyaan macam itu aja dia nge-gas. Sementara, dalam hati kecil gua merasa deg-degan. Karena ini untuk pertama kalinya, Bokapnya Resti mengundang gua makan dengan formal. Biasanya, kami makan bersama secara kebetulan, saat gua tengah berkunjung kesana.
Beberapa saat berikutnya, kami sudah berada tepat di depan rumah Resti. Ia buru-buru keluar dan bergegas masuk kedalam rumah melalui pintu utama. Sementara, gua masih duduk terdiam dibalik kemudi; terbesit bayangan masa lalu terkait dengan apa yang namanya Restu. Apakah, malam ini gua akan kembali menerima ‘penolakan’?
Sebuah ketukan di jendela mengagetkan gua; Pak Sam.
“Bengong aja mas, mana sini saya parkirin…” Ucap Pak Sam.
Gua lalu mengangguk, dan keluar dari mobil. Setelah mengucapkan terima kasih kepadanya, gua bergegas menyusul Resti masuk kedalam. Walau sudah sering mengunjungi rumah ini, baru sekarang gua merasakan aura yang berbeda dari biasanya; ‘mencekam’.
“Ya ampun, kok ampe kayak gitu sih Bi?” Tanya Maminya Resti begitu melihat kehadiran gua di ruang makan. Ia lalu memeriksa bekas memar di wajah gua, sementara Papinya, langsung berdiri dan menyambut gua. Justru, Resti yang tak terlihat ada disana.
“Iya, tadi dari rumah Mas Karlan…” Jawab gua.
“Resti mana?” Tanya Papinya.
“Mmm… Tadi sih masuk duluan om…”
“Langsung ke kamar kali ya…” Maminya yang menjawab.
“Duduk, sini Bi…” Ucap Papinya sambil menarik salah satu kursi kosong di meja makan. Ia lalu meraih gelas kosong, meletakkannya tepat di depan gua, kemudian dengan sigap menuangkan air putih dari teko besar yang berada di atas meja.
“Makasih Om…”
“Mau ngopi, Bi…” Tanya Maminya.
“Nggak jangan-jangan, Ngopinya nanti aja abis makan ya bi…” Kali ini Papinya yang menjawab. Sementara, gua hanya bisa tersenyum sambil manggut-manggut.
Menit berikutnya, Maminya dan salah satu asisten rumah tangga mulai menyiapkan menu makanan di atas meja, beserta dengan piring dan peralatan makan lainnya. “Sorry ya, Bi… kamu sih datengnya kecepetan, jadi baru di siap-siapin nih…” Ucap Maminya sementara tangannya masih sibuk menata piring di atas meja.
Saat semua siap dan terlihat sempurna; mirip seperti tatanan meja makan yang acap kali gua lihat di televisi. Resti belum juga menunjukkan batang hidungnya.
“Mbak, tolong panggil Resti dong…” Ucap Maminya kepada salah satu Asisten rumah tangga. Si Mbak lalu mengangguk dan bergegas pergi untuk memanggil resti.
Menit berikutnya, terdengar suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong menuju ke ruang makan. Suaranya terdengar cepat, pemilik langkah sepertinya berlari. Resti lalu muncul sambil tersenyum; “Halo guys”
Ia terlihat telah mengganti bajunya, kali ini ia mengenakan kaos oversize berwarna hitam yang hampir menutupi celana denim pendek berwarna biru. Resti lalu duduk tepat disamping gua. Begitu ia duduk, secara resmi dimulailah sesi makan malam yang buat gua terasa begitu menegangkan.
“Kamu nggak mandi ya Res?” Tanya Maminya sambil mengambilkan nasi untuk masing-masing dari kami.
“Nggak, tadi pagi kan udah mandi…” Jawab Resti santai.
“Jorok ih, nggak malu sama Bian…”
“Alah, dia juga mandinya sehari sekali…”
“Kalo dingin…” Respon gua pelan.
“Ih sarupa tapi teu sarua eta mah…” Gumam Maminya pelan.
Makan malam berlangsung dalam diam. Yang terdengar hanya denting sendok, garpu yang beradu dengan piring. Ya tentu saja, sendok dan garpu milik gua, karena nggak terbiasa makan dengan gaya seperti ini. Nyatanya, saat makan malam justru nggak ada pembicaraan yang serius. Atau, mungkin gua yang salah tangkap; ini cuma makan malam biasa aja?
Begitu selesai makan malam, Papinya Resti berdiri dan berjalan menuju ke halaman belakang. “Mi, bikinin kopi ya… Dua…” Ucapnya. Ia lalu menoleh ke arah gua dan melambaikan tangannya, memberikan kode agar gua segera mengikutinya.
Kami lalu duduk di kursi santai di tepi kolam renang, sebuah meja kayu kecil memisahkan kami berdua. Papinya Resti menyodorkan bungkusan rokok ke gua, yang lalu gua tolak.
"Kamu ngerokok kan?” Tanyanya.
“Iya om…”
“Mana? Bakar…” Titahnya.
Gua lalu mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celana dan mulai menyulut sebatang. Sementara, terlihat Papinya Resti menghembuskan asap rokok ke udara seraya menaikkan salah satu kakinya ke atas kursi.
“Kamu nanti mau nikah tanggal berapa?” Tanyanya tanpa menoleh ke arah gua.
“Mmm… Belom tau om..”
“Kok bisa belum tau…”
“Iya, belum ngobrol lagi sama Resti…”
“Jangan akhir tahun ya Bi. Soalnya kalo akhir tahun saya sibuk luar biasa…”
“Iya om…”
“Terus nanti kalo udah nikah mau tinggal dimana?”
“Mmm… Rencananya saya mau kredit rumah om…”
“Hah, kredit? Kenapa nggak beli cash?”
“Kalo cash, uangnya nggak ada Om..”
“Saya denger dari Resti, katanya rumah yang dulu kamu tempatin di kasih ke orang, bener?”
“Iya Om…” jawab gua singkat.
“Kenapa, sementara kamu aja masih nge-kos kan?”
“...” Saat gua hendak mulai menjawab, Bokapnya Resti sudah lebih dulu menebak jawaban gua.
“Jangan bilang kalo dia lebih butuh rumah itu daripada kamu?”
“Iya, Om… Mas Karlan, Orang yang saya kasih rumah, punya istri dan dua orang anak, sebelumnya tinggal di rumah kontrakan sempit yang kurang layak.. Sementara rumah itu terlalu besar buat saya tinggalin sendirian…”
“Kan bisa dikontrakin, kamu tetep bisa kos tapi masih dapet income?” Tanyanya lagi.
“Ah, Rumah di kontrakin paling juga uangnya nggak seberapa Om, selain itu Mas Karlan juga udah banyak bantu saya dulu…”
“Kalo gitu nanti saya kasih rumah mau?”
“Nggak usah om…”
“Anggap aja buat ganti rumah yang kamu kasih, daripada kredit?”
“Jangan Om… saya kredit sendiri aja nanti”
“Yaudah saya subsidi deh, nanti saya bayar DP nya, kamu tinggal bayar cicilannya”
“Gimana ya Om…” Ucap gua pelan sambil menggaruk-garuk kepala yang sebetulnya nggak gatal. Gua benar-benar nggak mau kalau sampai Bokapnya Resti membantu terlalu banyak dalam hal seperti ini. Tapi, walau bagaimanapun disisi lain, ia tetap calon mertua gua, bapaknya calon istri gua, yang tentu saja nggak ingin anak perempuan satu-satunya hidup sengsara gara-gara gaji gua habis buat nyicil rumah.
“Gini aja… Kalo kamu nggak mau, nggak usah nikah sama Resti. Gimana? Tanyanya sambil tersenyum. Senyuman paling aneh yang selama ini baru gua lihat.
“Hah?!”
“Bercanda, hahahaha….” Ucapnya berkelakar.
“Atau tinggal disini aja. Rumah segede gini cuma saya sama maminya doang…”
“Gimana ya Om… Saya mau beliin Resti rumah, walaupun kecil dan dicicil tapi pake uang saya sendiri…”
“Hmmm….”
“...”
“Bian…” Papinya menyebut nama gua, kali ini suaranya yang berat terdengar serius, begitu pula ekspresi wajahnya.
“Ya Om…”
“Sekarang, Resti anak saya satu-satunya… Saya banyak banget ketemu anak seusia kamu yang jauuuuh lebih sukses dan jauh lebih mapan..”
“...”
“... Setelah dipikir-pikir Resti sejak kecil nggak pernah kekurangan apapun. Lalu, kalau nanti nikah sama kamu, apa dia bisa tetep dapet apa yang biasanya di dapet?...”
“Ya, kalo urusannya perkara uang sih, jelas Resti nggak mungkin bisa dapet dari saya om..” Jawab gua.
“Terus yang bisa kamu kasih apa?” Tanyanya lagi.
“Saya” Jawab gua singkat.
“Kamu?”
“Iya, saya… Kayak yang Om bilang tadi; Resti sejak kecil nggak pernah kekurangan apapun, kecuali saya…”
“Hmmm…”
“Agak retoris ya Om kalo saya jawab bakal memberikan cinta… Cinta tanpa uang juga nggak ada artinya, begitu juga sebaliknya… Saat nanti Resti butuh apapun selain uang, ya saya jawabannya…”
“Nah, kalo dia butuh uang, gimana?” Tanyanya.
“Kan ada Om…” Jawab gua, tentu saja bercanda. Namun, sepertinya ia cukup senang mendengar jawaban tersebut dari gua.
“Nah, ini… Ini jawaban yang paling masuk akal…” Responnya seraya tertawa dan menunjuk ke arah gua.
Ditengah perbincangan kami berdua, Maminya Resti lalu muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Ia lalu meletakkan cangkir kopi tersebut diatas meja kayu di antara gua dan Papinya Resti. Sambil memeluk nampan, Maminya duduk disebelah Papinya.
“Mi.. Si Bian, katanya abis nikah mau nyicil rumah…” Papinya menyampaikan ucapan gua sebelumnya kepada Maminya.
“Ih, kenapa nggak tinggal disini aja sih, Bi…” Ucap Maminya.
Gua lalu tersenyum, kemudian menjawab dengan kalimat yang sama dengan sebelumnya; “Anu tan, Saya mau beliin Resti rumah, walaupun kecil dan dicicil tapi pake uang saya sendiri…”
Nggak lama Resti hadir dan bergabung dengan kami bertiga. Ia duduk di sebelah gua, sibuk menikmati semangkuk ice cream di tangannya.
“Eh, Apa nggak Bian suru kerja di salah satu kantor papi aja…” Maminya Resti tiba-tiba mengajukan usul, yang lalu di respon dengan anggukan kepala Papinya.
“Dia udah kerja di ‘salah satu’ kantor papi, mi…” Jawab Resti, kali ini ia terlihat sibuk menjilati sisa ice cream di sendoknya.
“Hah, dimana?” Tanya Papinya.
Resti lalu menyebutkan nama perusahaan tempat gua bekerja. Sementara gua, hanya bisa menoleh ke kiri dan kanan seperti tengah menyaksikan pertandingan ping pong yang sengit. Sama sekali nggak ‘mudeng’ dengan apa yang tengah mereka bicarakan.
Gua lantas menoleh ke arah Resti. Seraya menatapnya dengan pandangan penuh pertanyaan. “Elo nggak pernah cerita?” Tanya gua sambil berbisik kepadanya.
“Elo nggak pernah nanya” Jawabnya santai.
Jadi, selama ini gua kerja di sebuah perusahaan dimana Papinya Resti jadi salah satu investor-nya. Entah selama ini Resti sengaja menyembunyikan hal ini dari gua atau ia sekedar nggak ingin bercerita aja, seperti pengakuannya. Well, gua sebenarnya nggak ada masalah juga dengan bekerja di tempat yang pendanaannya didukung oleh Papinya. Tapi, ya masa sih gua tau setelah ingin menikah.
“Res…” Papinya memanggil Resti, yang lalu di respon dengan longokan kepala.
“Ya…”
“Pas nikah mau kado Rumah apa Mobil?…” Tanya Papinya seraya menghabiskan kopi.
“Nggak usah dua-duanya…” Jawab Resti santai.
“Eh, Tumben…” Respon Maminya sambil tersenyum.
Maminya lalu mendekat ke arah Papinya, kemudian mulai bicara, saling berbisik yang disusul pecahnya gelak tawa mereka. Sementara, gua dan Resti hanya bisa menatap tingkah kekanak-kanakan mereka sambil kemudian saling pandang.
Beberapa saat kemudian, Papi dan Maminya berdiri; pamit dan bergegas masuk kedalam rumah. Meninggalkan gua dan Resti yang duduk berdua di tepi kolam.
“Nanya apa aja tadi Papi?” Tanya Resti sambil bersandar di bahu gua.
“Aow…” Keluh gua saat kepalanya persisi ia jatuhkan tepat di bahu gua yang sebelumnya mengalami dislokasi.
“Eh, Maap-maap… yang sebelah situ sakit nggak?” Tanyanya, sambil menunjuk bahu sebelah kiri gua.
“Nggak…”
Ia lalu berdiri, pindah posisi ke sebelah kiri gua dan kembali menyandarkan kepalanya di bahu.
“Nanya apa aja tadi Papi?” Ia mengulang pertanyaan sebelumnya.
“Banyak…”
“Yaudah ceritain satu-satu…” Pintanya.
Gua menoleh, menatap ke arahnya kemudian melayangkan polesan lembut tepat di dahinya; “Lo dulu yang cerita. Gimana caranya selama ini lo nggak pernah ngasih tau kalo gua kerja di tempat yang di investasi bokap lo…”
“Oh… itu…”
“Itu bukan settingan lo kan? Biar gua bisa kerja ‘di tempat’ bokap lo?” Tanya gua.
“Ih, Bukanlah…Ngapain amat…”
Resti lalu mulai bercerita. Tak hanya bercerita tentang bagaimana bokapnya bisa menjadi salah satu investor di perusahaan tempat gua bekerja. Ia juga menceritakan latar belakang bokapnya, sejak jadi petinggi militer, hingga pensiun, kemudian mulai merintis berbagai jenis usaha multinasional. Saat ini, bokapnya total memiliki lebih dari 4 perusahaan yang bergerak di dunia sekuritas, distributor pupuk dan pakan ternak, furniture hingga teknologi. Tak hanya itu, bokapnya juga memiliki beberapa aset seperti rumah, tanah dan apartemen yang Resti sendiri lupa dimana letaknya.
“Waaah… lo udah tajir dari lahir yah…” Ucap gua berlagak sok kagum, padahal sengaja ingin meledeknya.
“Iya dong…” Jawabnya.
—
3 Doors Down - Kryptonite
Well, I took a walk around the world to ease my troubled mind
I left my body lying somewhere in the sands of time
But I watched the world float to the dark side of the moon
I feel there's nothing I can do, yeah
I watched the world float to the dark side of the moon
After all I knew, it had to be something to do with you
I really don't mind what happens now and then
As long as you'll be my friend at the end
If I go crazy then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there and holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite
You called me strong, you called me weak
But still your secrets I will keep
You took for granted all the times I never let you down
You stumbled in and bumped your head
If not for me then you'd be dead
I picked you up and put you back on solid ground
If I go crazy then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there and holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite
If I go crazy then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite, yeah
If I go crazy then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there and holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite