- Beranda
- Stories from the Heart
Ku Kejar Cintamu Sampai Garis Finish
...
TS
congyang.jus
Ku Kejar Cintamu Sampai Garis Finish

Tuhan tidak selalu memberi kita jalan lurus untuk mencapai suatu tujuan. Terkadang dia memberi kita jalan memutar, bahkan seringkali kita tidak bisa mencapai tujuan yg sudah kita rencanakan diawal. Bukan karena tuhan tidak memberi yg kita inginkan, tetapi untuk memberi kita yg terbaik. Percayalah, rencana Tuhan jauh lebih indah.
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 13 suara
Siapa yang akan menjadi pemaisuri Raja?
Olivia
31%
Bunga
8%
Diana
15%
Zahra
15%
Okta
8%
Shinta
23%
Diubah oleh congyang.jus 04-03-2022 10:27
JabLai cOY dan 37 lainnya memberi reputasi
38
165.6K
793
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
congyang.jus
#711
Part 92 - Paris Van Java
Mobil yang gua kendarai sudah sampai di cirebon, gua menepikan mobil sejenak di rest area tol kanci untuk beristirahat.
Zahra masih tertidur pulas di kursi penumpang. Sempat ia terbangun saat di perjalanan dan menanyakan "udah sampai mana?" Yang hanya gua respon dengan menyuruhnya untuk kembali tidur.
Gua mengambil telepon genggam di saku celana, lalu mengabari Mamah bahwa gua dan Zahra tidak akan pulang beberapa hari ini.
Atau bisa saja gua tak akan kembali ke rumah lagi dalam waktu yang lama.
Kepala gua berpikir keras kemana akan membawa Zahra pergi.
Opsi pertama, gua akan pergi ke Bandar Lampung. Di sana banyak orang-orang transmigran yang tentunya tak akan membuat gua sulit beradaptasi di lingkungan yang baru. Tapi, apa yang harus gua lakukan di sana untuk bertahan hidup? Gua bahkan tak memiliki sanak saudara maupun kerabat di sana.
Opsi kedua, Jakarta. Seperti banyak orang dari berbagai sudut belahan negeri, gua akan melakukan judi bertahan hidup di sana. Ada beberapa kerabat yang bisa gua mintai tolong seandainya kemungkinan terburuk datang. Tapi kerjaan apa yang gua dapat dengan pendidikan SLTA? Bahkan ijazah gua pun belum ada!
Deghh! Tiba-tiba gua teringat Okta.
Mungkin pilihan terbaik saat ini gua bisa membawa Zahra untuk pergi ke rumah Okta selama beberapa hari, sekaligus meminta sedikit bantuan di sana.
"Mas, sampe mana?" Ia meregangkan badan yang agak pegal
Gua tak menjawab, langsung mengajak Okta untuk pergi ke salah satu lapak penjual makanan di sana.
Dua cup pop mie milik kami habis berbarengan dengan selesainya penjelasan gua kenapa saat ini kami berada di cirebon.
Gua menjelaskan ke Zahra bahwa kami akan meneruskan liburan ke Bandung. Menyembunyikan fakta bahwa gua justru membawanya kabur dari keluarga.
Ia pun setuju dengan ide gua. Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang gua duga. Gua sendiri mengira bahwa Zahra akan marah ketika gua membawanya ke Bandung tanpa berunding terlebih dahulu
"Tapi kita ngga bawa baju ganti" ucapnya
"Nanti beli baju di sana"
Sejam berikutnya kami melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
Zahra sempat mengirim pesan ke Okta bahwa kami akan datang ke rumahnya dan meminta share loc, namun gua pikir Okta sudah tidur sehingga tidak sempat membalas pesan Zahra.
Gua yang pernah ke sana pun masih mengingat nama perumahan tempat tinggalnya, jadi kami langsung menuju ke sana berbekal google maps.
Sekitar pukul enam pagi, kami tiba di main gate megah perumahan tujuan. Setelah konfirmasi ke security depan, ia mengantar kami menuju rumah milik keluarga Okta.
Security tadi tak lantas meninggalkan kami ketika tiba di depan gerbang, ia juga menemani kami sampai si tuan rumah muncul.
Mamah Okta muncul dari balik gerbang besar setelah beberapa kali bapak security memencet bel.
Ekspresi wajahnya terkejut melihat gua, sambil berusaha mengingat-ingat paras dua remaja di depannya ini.
"Raja? Zahra?" Telunjuknya diangkat ke atas setelah mengingat kami.
"Wah tante masak lupa sama saya" gua dan Zahra bergantian mencium tangannya.
"Tante ngga nyangka aja, kalian sampe sini. Ayo masuk" kami dipersilahkan masuk. Hampir tak ada yang berubah dengan tempat ini dibandingkan saat setahun yang lalu. Hanya beberapa tanaman hias depan teras yang diatur agak berbeda.
Gua dan Zahra mengekor dibelakang Mamah Okta melewati ruang tamu sampai ke ruang tengah. Ruang yang dulunya menjadi titik kumpul keluarga besar Okta ketika malam natal. Mamah Okta meninggalkan kami sejenak sementara ia memanggil Okta yang masih berada di kamar.
Di ujung tangga, sosoknya melihat kami seperti tak percaya. Masih menggunakan baju tidur, dengan rambut yang belum disisir.
"Rajaaaa!" Okta menuruni tangga sambil setengah berteriak. Tak ada adegan pelukan rindu kali ini, hanya cipika-cipiki.
"Kalian kok ke sini ngga kabar-kabar?" Dengan bergantian Okta melirik ke gua, lalu ke Zahra.
Gua dan Zahra pun hanya saling menatap tanpa tau apa yang harus kami jelaskan.
--
".... Jadi gitu, Ta" jelas gua panjang lebar.
Zahra masih berada di dapur membantu menyiapkan sarapan pagi. Sementara Gua dan Okta duduk di halaman belakang, tepat di depan kolam kecil berdinding batu alam yang berisi banyak ikan-ikan hias ukuran kecil sampai sedang.
Okta mendengarkan penjelasan panjang gua tentang bagaimana kami bisa sampai ke Bandung pagi-pagi.
"Menurut mu gimana?" Gua menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara secara perlahan.
"Mereka kan masih tunangan, kamu jelasin ke abah aja hubungan antara kamu sama Zahra. Terlepas gimana hasilnya, seenggaknya kamu udah ngomong"
Pendapat Okta berlawanan dengan apa yang diucapkan Mamah. Gua jadi bingung sendiri mau ikut omongan siapa.
Sedikit cerita tentang kabar Okta. Sekarang dia menjadi mahasiswi di salah satu universitas katolik di Bandung.
Setahun berpisah dengan gua, ia sudah menemukan pujaan hati yang mampu menyembuhkan hatinya.
"Keren mana sama aku?" Tanya gua iseng
"Keren dia lah. Kamu mah berantem mulu, ngga keren" jawabnya yang diiringi tawa kami berdua.
Kini rasa antara kami berdua pun tak lagi sama. Jadi pertemuan kali ini tak akan lagi membuka luka lama.
Tentang hubungan antara gua dan Zahra, ia sudah lama mengetahuinya lewat postingan Zahra. Seperti teman-teman gua yang lain, awalnya Okta pun kaget ketika Zahra mengkonfirmasi hubungan kami berdua. Siapa juga yang ngga terkejut dua orang sebagai sepupu menjalin kisah asmara.
--
Malam hari tiba, gua masih berada di rumah Okta. Kami bertiga berbincang-bincang di kamar tuan rumah yang mempunyai dekorasi bertemakan cewek banget.
Obrolan antara Zahra dan Okta begitu seru sampai gua tak diberi kesempatan berbicara.
Berjam-jam di kamar dari sore membuat mulut gua menjadi asam. Kemudian gua memutuskan keluar menuju balkon.
"Kemana?" Tanya mereka berdua hampir serentak
"Ngerokok" jawab gua
Sesampainya di sana, gua bakar sebatang rokok sambil menyandarkan siku ke railing balkon. Dari atas sini, terlihat view jalan depan perumahan dengan sangat jelas. Pos pak security terlihat paling terang cahayanya dibanding bangunan-bangunan lain. Karena memang biasanya cahaya exterior bangunan rumah tinggal dibuat lebih redup daripada interiornya.
Zahra menyusul gua ke balkon membawa kopi dan teh hangat. "Ini kopinya lain daripada yang di rumah, ampasnya ini lebih gede-gede" ucapnya
Gua ngga tahu lidah orang-orang elite dalam merasakan kopi. Kenapa mereka suka kopi americano, arabica yang rasanya pahit doang, beda dengan kopi asia tenggara yang cenderung ada rasa asam saat tak diberi gula.
"Rasa kopinya aneh" gua tertawa setelah menyeruputnya
"Ngga enak ya? Maaf, aku ngga tau takaran kopi ginian" Zahra merasa tak enak hati setelah melihat respon gua terhadap kopi buatannya.
Gua mengelus kepalanya, kemudian menjelaskan bahwa kopi buatannya selalu enak. Hanya saja, lidah gua memang tak terbiasa dengan kopi jenis ini.
Tak lama berselang, gantian Okta yang datang ke balkon. Sebuah teko kecil dari kaca berisi minuman dingin ia genggam di tangan kanannya, sedangkan tangan satunya lagi menggenggam sebuah gelas kecil.
Tebakan gua, vodka atau iceland.
Perbincangan yang sempat terputus antara Okta dan Zahra berlanjut, lagi-lagi gua hanya menjadi pemeran figuran dalam gosip hangat yang mereka lontarkan.
Tanpa sepengetahuan Zahra, gua diam-diam ikut menemani Okta menenggak minuman dari teko tadi. Sempat Okta melotot memberi kode bahwa minuman yang dibawanya adalah alkohol. Gua mengedipkan mata memberi isyarat balik bahwa gua tau apa isi teko tersebut.
Malam itu pertama dan terakhir kalinya gua menenggak alkohol semasa gua hidup. Entah berapa takaran gua minum, hingga kepala gua mulai terasa berat.
Kalau dibilang hilang kesadaran sih engga, gua masih sadar sepenuhnya. Namun kepala gua yang berat seakan mengajak gua untuk berbaring ke alam bawah sadar.
Akhirnya gua putuskan untuk kembali ke kamar mendahului mereka berdua yang masih asyik ngobrol.
Zahra masih tertidur pulas di kursi penumpang. Sempat ia terbangun saat di perjalanan dan menanyakan "udah sampai mana?" Yang hanya gua respon dengan menyuruhnya untuk kembali tidur.
Gua mengambil telepon genggam di saku celana, lalu mengabari Mamah bahwa gua dan Zahra tidak akan pulang beberapa hari ini.
Atau bisa saja gua tak akan kembali ke rumah lagi dalam waktu yang lama.
Kepala gua berpikir keras kemana akan membawa Zahra pergi.
Opsi pertama, gua akan pergi ke Bandar Lampung. Di sana banyak orang-orang transmigran yang tentunya tak akan membuat gua sulit beradaptasi di lingkungan yang baru. Tapi, apa yang harus gua lakukan di sana untuk bertahan hidup? Gua bahkan tak memiliki sanak saudara maupun kerabat di sana.
Opsi kedua, Jakarta. Seperti banyak orang dari berbagai sudut belahan negeri, gua akan melakukan judi bertahan hidup di sana. Ada beberapa kerabat yang bisa gua mintai tolong seandainya kemungkinan terburuk datang. Tapi kerjaan apa yang gua dapat dengan pendidikan SLTA? Bahkan ijazah gua pun belum ada!
Deghh! Tiba-tiba gua teringat Okta.
Mungkin pilihan terbaik saat ini gua bisa membawa Zahra untuk pergi ke rumah Okta selama beberapa hari, sekaligus meminta sedikit bantuan di sana.
"Mas, sampe mana?" Ia meregangkan badan yang agak pegal
Gua tak menjawab, langsung mengajak Okta untuk pergi ke salah satu lapak penjual makanan di sana.
Dua cup pop mie milik kami habis berbarengan dengan selesainya penjelasan gua kenapa saat ini kami berada di cirebon.
Gua menjelaskan ke Zahra bahwa kami akan meneruskan liburan ke Bandung. Menyembunyikan fakta bahwa gua justru membawanya kabur dari keluarga.
Ia pun setuju dengan ide gua. Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang gua duga. Gua sendiri mengira bahwa Zahra akan marah ketika gua membawanya ke Bandung tanpa berunding terlebih dahulu
"Tapi kita ngga bawa baju ganti" ucapnya
"Nanti beli baju di sana"
Sejam berikutnya kami melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
Zahra sempat mengirim pesan ke Okta bahwa kami akan datang ke rumahnya dan meminta share loc, namun gua pikir Okta sudah tidur sehingga tidak sempat membalas pesan Zahra.
Gua yang pernah ke sana pun masih mengingat nama perumahan tempat tinggalnya, jadi kami langsung menuju ke sana berbekal google maps.
Sekitar pukul enam pagi, kami tiba di main gate megah perumahan tujuan. Setelah konfirmasi ke security depan, ia mengantar kami menuju rumah milik keluarga Okta.
Security tadi tak lantas meninggalkan kami ketika tiba di depan gerbang, ia juga menemani kami sampai si tuan rumah muncul.
Mamah Okta muncul dari balik gerbang besar setelah beberapa kali bapak security memencet bel.
Ekspresi wajahnya terkejut melihat gua, sambil berusaha mengingat-ingat paras dua remaja di depannya ini.
"Raja? Zahra?" Telunjuknya diangkat ke atas setelah mengingat kami.
"Wah tante masak lupa sama saya" gua dan Zahra bergantian mencium tangannya.
"Tante ngga nyangka aja, kalian sampe sini. Ayo masuk" kami dipersilahkan masuk. Hampir tak ada yang berubah dengan tempat ini dibandingkan saat setahun yang lalu. Hanya beberapa tanaman hias depan teras yang diatur agak berbeda.
Gua dan Zahra mengekor dibelakang Mamah Okta melewati ruang tamu sampai ke ruang tengah. Ruang yang dulunya menjadi titik kumpul keluarga besar Okta ketika malam natal. Mamah Okta meninggalkan kami sejenak sementara ia memanggil Okta yang masih berada di kamar.
Di ujung tangga, sosoknya melihat kami seperti tak percaya. Masih menggunakan baju tidur, dengan rambut yang belum disisir.
"Rajaaaa!" Okta menuruni tangga sambil setengah berteriak. Tak ada adegan pelukan rindu kali ini, hanya cipika-cipiki.
"Kalian kok ke sini ngga kabar-kabar?" Dengan bergantian Okta melirik ke gua, lalu ke Zahra.
Gua dan Zahra pun hanya saling menatap tanpa tau apa yang harus kami jelaskan.
--
".... Jadi gitu, Ta" jelas gua panjang lebar.
Zahra masih berada di dapur membantu menyiapkan sarapan pagi. Sementara Gua dan Okta duduk di halaman belakang, tepat di depan kolam kecil berdinding batu alam yang berisi banyak ikan-ikan hias ukuran kecil sampai sedang.
Okta mendengarkan penjelasan panjang gua tentang bagaimana kami bisa sampai ke Bandung pagi-pagi.
"Menurut mu gimana?" Gua menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara secara perlahan.
"Mereka kan masih tunangan, kamu jelasin ke abah aja hubungan antara kamu sama Zahra. Terlepas gimana hasilnya, seenggaknya kamu udah ngomong"
Pendapat Okta berlawanan dengan apa yang diucapkan Mamah. Gua jadi bingung sendiri mau ikut omongan siapa.
Sedikit cerita tentang kabar Okta. Sekarang dia menjadi mahasiswi di salah satu universitas katolik di Bandung.
Setahun berpisah dengan gua, ia sudah menemukan pujaan hati yang mampu menyembuhkan hatinya.
"Keren mana sama aku?" Tanya gua iseng
"Keren dia lah. Kamu mah berantem mulu, ngga keren" jawabnya yang diiringi tawa kami berdua.
Kini rasa antara kami berdua pun tak lagi sama. Jadi pertemuan kali ini tak akan lagi membuka luka lama.
Tentang hubungan antara gua dan Zahra, ia sudah lama mengetahuinya lewat postingan Zahra. Seperti teman-teman gua yang lain, awalnya Okta pun kaget ketika Zahra mengkonfirmasi hubungan kami berdua. Siapa juga yang ngga terkejut dua orang sebagai sepupu menjalin kisah asmara.
--
Malam hari tiba, gua masih berada di rumah Okta. Kami bertiga berbincang-bincang di kamar tuan rumah yang mempunyai dekorasi bertemakan cewek banget.
Obrolan antara Zahra dan Okta begitu seru sampai gua tak diberi kesempatan berbicara.
Berjam-jam di kamar dari sore membuat mulut gua menjadi asam. Kemudian gua memutuskan keluar menuju balkon.
"Kemana?" Tanya mereka berdua hampir serentak
"Ngerokok" jawab gua
Sesampainya di sana, gua bakar sebatang rokok sambil menyandarkan siku ke railing balkon. Dari atas sini, terlihat view jalan depan perumahan dengan sangat jelas. Pos pak security terlihat paling terang cahayanya dibanding bangunan-bangunan lain. Karena memang biasanya cahaya exterior bangunan rumah tinggal dibuat lebih redup daripada interiornya.
Zahra menyusul gua ke balkon membawa kopi dan teh hangat. "Ini kopinya lain daripada yang di rumah, ampasnya ini lebih gede-gede" ucapnya
Gua ngga tahu lidah orang-orang elite dalam merasakan kopi. Kenapa mereka suka kopi americano, arabica yang rasanya pahit doang, beda dengan kopi asia tenggara yang cenderung ada rasa asam saat tak diberi gula.
"Rasa kopinya aneh" gua tertawa setelah menyeruputnya
"Ngga enak ya? Maaf, aku ngga tau takaran kopi ginian" Zahra merasa tak enak hati setelah melihat respon gua terhadap kopi buatannya.
Gua mengelus kepalanya, kemudian menjelaskan bahwa kopi buatannya selalu enak. Hanya saja, lidah gua memang tak terbiasa dengan kopi jenis ini.
Tak lama berselang, gantian Okta yang datang ke balkon. Sebuah teko kecil dari kaca berisi minuman dingin ia genggam di tangan kanannya, sedangkan tangan satunya lagi menggenggam sebuah gelas kecil.
Tebakan gua, vodka atau iceland.
Perbincangan yang sempat terputus antara Okta dan Zahra berlanjut, lagi-lagi gua hanya menjadi pemeran figuran dalam gosip hangat yang mereka lontarkan.
Tanpa sepengetahuan Zahra, gua diam-diam ikut menemani Okta menenggak minuman dari teko tadi. Sempat Okta melotot memberi kode bahwa minuman yang dibawanya adalah alkohol. Gua mengedipkan mata memberi isyarat balik bahwa gua tau apa isi teko tersebut.
Malam itu pertama dan terakhir kalinya gua menenggak alkohol semasa gua hidup. Entah berapa takaran gua minum, hingga kepala gua mulai terasa berat.
Kalau dibilang hilang kesadaran sih engga, gua masih sadar sepenuhnya. Namun kepala gua yang berat seakan mengajak gua untuk berbaring ke alam bawah sadar.
Akhirnya gua putuskan untuk kembali ke kamar mendahului mereka berdua yang masih asyik ngobrol.
mirzazmee dan 17 lainnya memberi reputasi
18