“Oi… Molor mulu…” Teriak Wawan persis di telinga gua.
“Hah?”
“Pulang sana…” Tambahnya.
“Hah, Bener boleh?” Tanya gua sambil mengucek mata.
“Ya boleh lah, orang udah jam 6” Ucapnya seraya memasukan laptop miliknya kedalam tas.
“What!?” Seru gua sambil melirik jam tangan yang menunjukan pukul 6 lewat 10 menit. Kemudian buru-buru membereskan meja dan bergegas untuk pulang.
Gua mengecek ponsel, terdapat beberapa pesan dari Resti hampir satu jam yang lalu; “Nitip nasi goreng dongs

” begitu isi pesannya. Gua yang sudah hampir setengah jalan menuju arah apartemen akhirnya harus kembali lagi ke gang belakang kantor untuk membeli nasi goreng.
Satu jam berikutnya, gua sudah berada di apartemen dengan plastik berisi bungkusan nasi goreng di genggaman.
“Lama, gw udah laper…” Sambut Resti begitu gua tiba.
“Antri…” Jawab gua mencari alasan yang masuk akal. Sebenarnya tadi gua mampir dulu sebentar untuk ngopi dan merokok untuk menghilangkan kantuk.
Resti bangkit dari duduknya di sofa, menghampiri gua lalu meraih plastik bungkusan nasi goreng dari genggaman. Menit berikutnya ia sudah kembali duduk di sofa dengan sepiring nasi goreng dihadapannya.
Gua duduk di sebelahnya, menatapnya kemudian bicara; “Apa kabar buruknya?”
“Hmm.. ?” Ia menoleh ke arah gua dengan sendok masih di mulutnya.
“Apa kabar buruknya?” Gua mengulang pertanyaan, merefer ke pembicaraan kami melalui sambungan telepon tadi siang. Tentang kabar baik dan kabar buruk yang ingin ia sampaikan.
“Ooh… iya… kabar buruknya adalah… Lo tau nggak sih kalo pas nikah tuh harus ada wali mempelai pria dan wanita?”
“Iya tau…” Jawab gua.
“Wali gw kan jelas Papi sama Mami, yang bakal nemenin kita pas di pelaminan. Nah, yang bakal nemenin lo siapa?” Tanyanya, masih sambil menikmati nasi goreng pesanannya.
“Eh…” Gua tertegun, seraya berpikir.
“...”
“... Emang harus ada ya?” Tanya gua.
“Ya, nggak juga sih. Tapi, masa ntar di pelaminan cuma ada Kita sama Papi dan Mami…”
“Hmmm…. Jadi ini kabar buruk yang mau lo sampaikan?”
“Iya..” Jawabnya singkat sambil mengangguk.
“...”
“... Kenapa? nggak buruk-buruk amat ya?”
“Iya”
Gua lalu menyandarkan diri di sofa sambil menatap ke langit-langit. Mencoba mengingat-ingat beberapa resepsi pernikahan yang pernah gua hadiri. Tapi, sekeras apapun gua mencoba mengingatnya, tak ada yang muncul di kepala. Iya, emang gua belum pernah sekalipun menghadiri resepsi pernikahan siapapun. Mungkin karena, gua nggak punya teman yang sudah menikah, atau teman gua terlalu sedikit?
Seakan bisa menebak isi pikiran gua, Resti menyerahkan ponselnya ke gua. Layar pada ponselnya menunjukkan foto-foto resepsi dari beberapa orang yang berbeda. Pada setiap foto terlihat sepasang pengantin yang berdiri di apit oleh dua pasang orang tua mereka. Tak ada satupun dari foto-foto yang ia tunjukkan menampilkan hanya satu pasang orang tua dan sepasang pengantin.
Gua mengembalikan ponsel ke Resti dan bergegas ke kamar untuk ganti baju.
“Mau kemana?” Tanya Resti saat melihat gua keluar dari kamar dan terlihat lebih rapi dari biasanya.
“Ke rumah sakit” Jawab gua singkat.
“Ngapain?”
“Nengokin orang yang gua pukulin, sekalian minta maaf…” Respon gua.
“Eh, tunggu… Papi udah urus semua, lo nggak usah kesana ntar malah ribut lagi deh…” Resti berusaha mencegah gua.
Gua duduk di sandaran sofa tepat di sebelahnya; “Gua mukulin tuh orang, gara-gara mau maksa Sekar minta maaf ke elo… Terus sekarang gua nggak minta maaf ke dia. Apa bedanya gua sama Sekar” Ucap gua pelan sambil mengelus kepalanya.
“Yaudah gw ikut kalo gitu…” Jawab Resti seraya bangkit dari sofa, meraih ponsel dan tas jinjing kecil miliknya kemudian menyusul gua.
“Minum dulu sana…”
“Oh iya…”
—
Selama perjalanan Resti tak henti-hentinya memperingati gua agar nggak terlalu banyak bicara. “Nanti gw aja yang ngomong, lo diem aja…” Ucapnya, sambil menyetir.
“Iya…” Jawab gua seraya berusaha untuk kembali tidur.
Bener kata orang-orang; Utang Tidur nggak bisa dibayar! Saat begadang dan nggak tidur semalaman, selama apapun kalian tidur esoknya, rasa kantuk tak akan pernah hilang.
“Wew… ngantuk amat, nguap sampe kaya kuda nil…” Gumam Resti saat melihat gua berkali-kali menguap.
“...”
“... Mau beli kopi dulu?” Tambahnya.
“Nggak…” Jawab gua singkat.
Beberapa saat kemudian kami berdua sudah tiba di rumah sakit tempat si cowok pacar Sekar dirawat. Begitu tiba di lobby rumah sakit, Bokap Resti terlihat duduk memainkan ponsel. Ia terlihat bersama dengan dua orang bertubuh tegap lengkap dengan kacamata hitam dan kaos polo shirt.
“Eh, kok ada bokap lo?” Tanya gua sambil berbisik ke Resti begitu melihat Bokapnya.
“Iya, tadi gw telpon. Takut lo diapa-apain ntar…” Jawabnya, juga sambil berbisik.
Gua menghela nafas, kemudian langsung pasang senyum ramah, mendekat ke arah Bokapnya Resti dan memberi salam.
“Malam Om, makasih ya om udah repot-repot bantuin…” Ucap gua.
“Iya gapapa, santai aja…” Jawabnya sambil tersenyum dan menepuk lembut pundak gua.
Kami lalu berjalan mengikuti Bokapnya Resti yang sepertinya sudah tahu dimana ruangan si cowok pacar Sekar dirawat. Maksud dari Resti bahwa Bokapnya sudah ‘mengurus’ semuanya untuk gua mungkin termasuk dalam hal ini; kompensasi perawatan rumah sakit.
Sesaat gua langsung merasa menjadi orang paling nggak tau diri sedunia. Semuanya, jadi kerepotan dan harus menanggung beban atas perbuatan yang gua lakukan. Dan yang paling parah terkena imbasnya adalah cowok yang beberapa saat lagi akan kami temui. Ia cuma berada di tempat dan waktu yang salah!
“Papi tunggu sini aja…” Ucap Resti begitu kami tiba tepat di depan ruang perawatan.
“Ya…” Jawab Papinya, sementara salah satu pria tegap yang sejak tadi berjalan mengiringi bokapnya Resti membukakan pintu untuk kami.
Gua melangkah pelan memasuki ruangan. Di dalam terlihat beberapa orang tengah mengelilingi pasien, salah satunya Sekar yang duduk tepat di sebelah pasien sambil menggenggam tangannya. Hampir semua yang berada di ruangan tersebut, berpaling dan menatap gua.
Saat ini, mungkin diantara mereka semua belum ada yang tahu bahwa gua adalah orang yang membuat cowok tersebut terbaring tak berdaya di ranjang pasien, kecuali Sekar.
Gua berjalan mendekat, sementara Resti melangkah pelan di belakang gua sambil menggenggam ujung kemeja flanel yang gua kenakan.
“Ngapain?” Tanya Sekar sambil berdiri dan menatap gua.
Perlahan, gua menurunkan tubuh dan berlutut serta menundukan kepala. Seperti instruksi yang Resti bilang sebelumnya, gua sama sekali nggak bicara sepatah kata pun. Namun, tatapan Sekar dan gelagat gua sepertinya mampu menggambarkan semuanya.
Orang-orang yang berada di sana langsung mengubah pandangannya. Salah satu pria yang mungkin ayah korban bicara pelan ke Sekar, kemudian berjalan menghampiri gua, tanpa aba-aba ia melayangkan pukulan tepat di wajah gua.
Sontak Resti langsung berpindah persis ke depan gua, menjadikan dirinya sebagai tameng.
Seakan nggak cukup dengan sebuah pukulan, pria yang terlihat lebih muda bergerak cepat dari arah samping kemudian menerjang gua dengan tendangan. Resti yang merasa kecolongan mulai terlihat panik dan berusaha memeluk gua namun gagal.
Situasi mulai tak terkontrol, dua pria tadi beberapa kali melayangkan pukulan dan tendangan tanpa satupun yang meleset. Sementara, gua hanya terdiam menerima penghakiman seperti ini.
Semua berhenti saat Resti mulai berteriak. Pintu ruangan terbuka, Bokap dan dua pengawalnya langsung menghambur ke dalam ruang perawatan. Resti membantu gua berdiri dan segera menarik gua untuk keluar dari ruangan tersebut. Namun, gua bergeming. Gua kembali mendekat dan mulai bicara; “Maaf…” Ucap gua pelan.
—
“Sana anter Bian ke UGD dulu…” Ucap Bokapnya ke Resti.
“Yuk…” Resti lalu menarik lengan dan mulai menuntun gua.
Ditengah perjalanan menuju ke UGD rumah sakit, gua menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya; “Balik aja Res…” Ucap gua pelan.
“Ih, elo mah… Cek dulu di UGD, sebentar aja…”
“...”
“... Mau yah? Please…” Resti menambahkan setengah memohon.
“Nggak deh, pulang aja… Gua gapapa…”
“Hah.. elo mah…” Keluh Resti sambil merengut dan melepas genggaman tangannya kemudian pergi meninggalkan gua.
Perlahan gua berjalan mengikutinya dari belakang, sementara banyak mata di sekitar rumah sakit mulai menatap aneh ke gua. Mungkin mereka belum pernah melihat orang dipukuli sebelumnya.
Resti keluar dari lobby rumah sakit dan berdiri diam tepat didepan pintu kaca otomatis, sementara gua berbelok ke kanan, menuju ke arah UGD, menuruti permintaannya barusan. Terlihat, Resti menyunggingkan senyum lalu berlari menyusul gua.
“Nah, gitu dong… nurut kalo dibilangin…” Ucapnya, seraya meraih kembali tangan gua dalam genggamannya.
Beberapa saat berikutnya, gua sudah duduk diatas ranjang di ruang UGD, sementara seorang perawat tengah berusaha mengompres dan membersihkan luka-luka di wajah gua. Di sisi lain, seorang dokter wanita tengah menjahit luka di lengan gua. Resti terlihat khawatir dan berkali-kali bertanya; “Sakit nggak?”
Saking, mengganggu-nya Resti dengan pertanyaan-pertanyaan sepelenya tersebut, si perawat sampai harus mengusir dan meminta Resti untuk menunggu di luar ruangan.
“Bawel sih lo…” Gua menggumam pelan, sementara Resti merespon dengan menjulurkan lidahnya keluar seraya pergi.
Tak ada luka yang cukup serius yang gua terima, hanya beberapa luka memar di pipi, pelipis, bibir pecah, dan lebam di bagian lengan, pinggang, luka sobek di pundak, Dislokasi pada bahu kanan dan pergelangan tangan yang terkilir.
“Ini CT scan dulu ya…” Ucap si Dokter, kemudian menuliskan surat pengantar dan menyerahkannya ke gua.
Begitu selesai melakukan CT Scan, gua dan Resti kembali ke ruang UGD, menemui dokter untuk membaca hasilnya. Sesuai dengan apa yang gua rasakan sebelumnya, tak ada yang cukup serius mengenai luka-luka yang gua terima. Dokter hanya menyarankan agar gua beristirahat yang cukup.
Begitu keluar dari ruangan UGD, Resti dan Bokapnya terlihat berdiri menunggu gua. Lagi, gua memberi salam kepadanya dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Respon dari Bokapnya Resti masih sama; Tersenyum sambil menepuk pundak gua. Bedanya kali ini, tepukan-nya tepat mendarat di bekas luka yang baru saja selesai di jahit.
“Auw!”
—
“Gimana, udah lega sekarang?” Tanya Resti sambil menatap gua, sementara kedua tangannya berada di kemudi.
“Iya…”
“Udah abis ini jangan cari perkara macem-macem lagi ya…”
“Iya, Res…”
“...”
“... anyway, makasih ya Res udah mau nemenin gua…”
Resti menoleh dan kembali menatap gua, ia tersenyum kemudian menjawab; “Kayak ama siapa aja.. santai aja kali…” ucapnya sambil menepuk pundak gua. Bagian yang sama yang sebelumnya di tepuk oleh Bokapnya.
“Auw!...” Teriak gua.
“Eh, Ya ampun maaf ya… aduduh.. sakit ya, kacian…”
“Turunin gua di lobby aja, Res… lo pulang aja”
“Ya, mau gw bersihin luka-nya dulu nggak?” Tanyanya.
“Nggak usah, besok aja…”
“Yaudah besok pagi-pagi sebelum kerja gw mampir ya”
“Iya…”
Sebelum turun dari mobil begitu tiba di teras lobby apartemen, Resti kembali menatap gua; “Can i get a kiss?” Tanyanya sambil menundukkan kepala.
Gua tersenyum lalu meraih kepala dan mengecup kening, tepat di bekas lukanya.
“Thank you…” Tambahnya sambil tersenyum.
“By the way, kalo besok lo nggak sibuk mau anterin gua nggak?”
“Kemana?”
“Someplace..”
“Ok…”
—
Siang itu, gua berdiri persis di sebelah tukang ketoprak, di gang belakang gedung, menunggu Wawan yang tak kunjung turun. Beberapa saat kemudian terlihat, ia berjalan cepat sambil sesekali melirik jam tangan yang ia kenakan.
“Apaan sih… eh buset, kenapa lo, berantem?” Ucapnya begitu melihat bekas luka di wajah gua.
Gua mengeluarkan amplop berisi surat keterangan sakit dari dokter di UGD kemarin dan menyerahkannya ke Wawan; “Nih, gua ijin 3 hari…”
“Kenapa? berantem?” Tanyanya lagi seraya meraih amplop yang gua serahkan.
“Jatoh” Jawab gua berbohong, enggan menjelaskan kronologi kejadian sebenarnya kepada Wawan.
“Yaudah, gua langsung naik ya. Ada meeting lagi soalnya…” Ucapnya kemudian pergi.
“Ya…”
Gua berjalan menuju ke tepi jalan raya, tempat dimana Resti sudah menunggu gua.
“Kemana?” Tanyanya begitu gua masuk dan duduk di kursi mobil bagian penumpang.
“Ke tempat Mas Karlan…”
“Mau ngapain?” Tanyanya.
“Menindaklanjuti kabar buruk yang kemarin lo kasih tau ke gua. Kalo gua nggak punya orang buat dipajang pas resepsi pernikahan…”
“Oh… Lo mau minta Mas Karlan…”
“Iya, abisnya siapa lagi yang gua punya?”
“Baiklah, nanti kalo Mas Karlan dan Mbak Sri mau, langsung ajak fitting baju ya…” Ucap Resti.
“Iya…” jawab gua singkat.
Resti lalu merespon dengan senyuman, mulai menyalakan mesin dan bergegas berangkat.
Hampir satu jam berikutnya, kami sudah tiba di rumah Mas Karlan yang kebetulan hari ini libur kerja. Seperti biasa; terlihat Mas Karlan tengah duduk di teras sambil membersihkan kipas angin.
“Sebenarnya ada berapa kipas angin di rumah ini?” Tanya gua begitu masuk ke dalam.
“Eh, Cad… Lho, kenapa? gelut?” Ia balik bertanya begitu melihat bekas luka di wajah gua.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Kok ya ra kapok-kapok, cah iki…” Keluhnya, kemudian menghentikan kegiatannya dan mengajak gua dan Resti masuk ke dalam.
Pertanyaan yang sama dilayangkan Mbak Sri, begitu melihat bekas luka di wajah gua. Dan mirip seperti sebelumnya, gua memberikan jawaban yang sama dengan jawaban yang gua berikan kepada Mas Karlan. And you know what? Mbak Sri juga ternyata memiliki respon yang sama dengan suaminya; “Kok ya ra kapok-kapok, bocah iki…”
“Kok tumben, enek opo?” Tanya Mas Karlan seraya duduk dan mempersilahkan kami untuk minum Teh hangat yang baru saja disajikan oleh Mbak Sri.
“Begini Mas…” Gua mencoba memulai pembicaraan.
“...”
“... Saya mau minta tolong…”
“...”
“... Mau nggak jadi saksi nikah saya. Sekalian nanti ‘dipajang’ pas resepsi?” Gua mengungkapkan permintaan kepadanya.
“Wueehhh… Nikah? Karo Resti?” Ia balik bertanya sambil pasang tampang kaget dan menunjuk ke arah Resti. Sementara, Mbak Sri yang tak sengaja mendengar ucapan Mas Karlan barusan langsung berlari dari dapur menuju ke ruang tamu, dimana kami tengah bicara.
“Bener cad?” Tanya Mbak Sri.
“Iya… Mau kan Mas Karlan, Mbak Sri?” Tanya gua lagi.
Tak butuh waktu lama buat Mas Karlan untuk mengiyakan permintaan gua. Dengan cepat ia mengangguk dan menjawab; “Ok!”
—