Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Lo mau laporin gua ke polisi nggak?” Tanya gua ke Sekar melalui sambungan telepon.
Di ujung sana Sekar nggak menjawab, yang terdengar hanya isak tangisnya. Gua lalu mengulang pertanyaan yang sama; “Lo mau laporin gua ke polisi nggak?”
Kembali tak ada jawaban darinya.
Setelah hening beberapa saat, Suara Bokapnya Sekar menyambut gua. Kali ini ia bicara, tak hanya diam seperti sebelumnya. Nada suara Bokapnya Sekar terdengar pelan namun tetap menunjukkan rasa marah yang luar biasa dan gua sangat amat memaklumi hal tersebut. Siapa yang nggak marah, tau-tau ada orang bikin rusuh tepat di depan rumahnya.
“Ok Om, bilang sama polisinya nggak usah repot-repot nyari saya. Sekarang saya langsung ke kantor polisi…” Ucap gua setelah mendengar penjelasan perihal kejadian tadi yang sudah dilaporkan ke polisi oleh Bokapnya Sekar.
Gua mengakhiri panggilan dan bergegas menuju ke polsek terdekat dari rumah Sekar. Sambil menyetir, gua sempatkan untuk kembali menghubungi Mas Karlan. Memberinya informasi bahwa saat ini gua sedang menuju ke kantor polisi. Dengan sedikit menggerutu, Mas Karlan mengiyakan permintaan gua, dan bergegas menuju ke tempat yang sama.
—
Beberapa menit berikutnya, gua sudah duduk di salah satu kursi lipat di salah satu ruang pemeriksaan polsek. Bokapnya Sekar duduk tepat di sebelah gua, tengah memberikan keterangan kepada petugas polisi berpakaian bebas yang terlihat mendengarkan dengan seksama seraya mengetik pada papan keyboard komputer.
Mas Karlan datang, kemudian duduk di kursi kayu panjang yang terletak persis di belakang kami. Gua menoleh sebentar ke arahnya, ia tersenyum kemudian menganggukan kepala dan mulai sibuk dengan ponselnya.
Sejatinya, proses menerima keterangan oleh polisi bisa sangat cepat dilakukan asal petugas polisi yang membuat Berita Acara Pemeriksaan handal mengoperasikan komputer atau setidaknya mahir mengetik cepat. Sejauh ini, kendala pemeriksaan justru bukan dari sumber pemberi informasi atau calon tersangka, melainkan lama-nya si petugas mencari huruf demi huruf untuk melengkapi dokumen pemeriksaan di komputer.
Setelah hampir lewat tengah malam, berulah informasi lengkap dari Bokapnya Sekar diterima. Dan kali ini giliran gua.
Petugas yang sama menepuk pundak gua beberapa kali; mencoba membangunkan gua.
“Hah, ya pak?”
“Kamu ini, di kantor polisi malah tidur…”
“Maap pak” Jawab gua singkat, lalu mulai menjawab dengan detail pertanyaan-pertanyaan darinya.
Sementara, Bokapnya Sekar sudah diperbolehkan untuk pulang.
—
Jam di sudut kantor polisi menunjukkan pukul 3 dini hari. Dan proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) baru saja selesai. Di ujung lembaran BAP yang baru saja dicetak oleh petugas polisi tersirat kalimat; ‘tersangka’ dengan nama lengkap gua di bawahnya. Petugas lalu menyodorkan lembaran BAP tersebut untuk gua tanda tangani.
Sebelum membubuhkan tanda tangan, gua menoleh sebentar ke arah Mas Karlan. Ia yang sudah paham betul dengan situasi seperti ini lalu menganggukkan kepalanya; memberi kode agar gua bisa membubuhkan tanda tangan di atas lembaran BAP tersebut.
“Nah, kamu nginep dulu berarti disini” Ucap si petugas polisi setelah menerima lembaran BAP yang sudah ditandatangani.
“Ok” Jawab gua.
Beberapa saat berikutnya, seorang pria kurus dengan kumis lebat terlihat memasuki ruangan. Begitu pria tersebut masuk ke dalam ruangan, si petugas yang memeriksa gua langsung berdiri dan memberi hormat.
Pria kurus berkumis itu lalu mendekati Mas Karlan dan mulai saling bicara sambil berbisik.
“Mana BAP nya?” Ucap Pria kecil berkumis yang baru saja selesai bicara dengan Mas Karlam.
“Siap, Ini ndan…” Jawab si petugas sambil menyerahkan lembaran BAP.
“Ini 351 kan?” Tanyanya lagi; menyebutkan salah satu pasal KUHP, sambil mengenakan kacamata baca dan mulai menatap lembaran BAP dengan seksama.
“Siap, Iya betul ndan…”
“Korbannya Lapor?”
“Siap, Karena bukan delik aduan, nggak perlu laporan korban, tetap bisa di proses..”
“Ok.. Ini bisa di mediasi dulu ke korban ya, BAP nya nggak usah di proses dulu…” Ucap si pria kurus berkumis tadi, kemudian merobek lembaran BAP di tangannya.
“Siap ndan…”
‘Mampus lu, udah capek-capek ngetik semaleman tau-tau di sobek’ batin gua dalam hati, begitu melihat raut wajah kecewa yang mendalam ketika melihat lembaran BAP buatannya di sobek.
Mas Karlan lalu terlihat kembali bicara dengan Pria Kurus berkumis tadi. Beberapa saat kemudian ia memberikan Kode agar gua dan Mas Karlan segera meninggalkan kantor polisi. Setelah, mengucapkan terima kasih, Gua dan Mas Karlan bergegas pergi.
“Apa katanya mas?” Tanya gua ke Mas Karlan, begitu kami sudah berada di halaman parkir kantor polisi.
“Kata Pak Sugeng, dia mau mediasi dulu ke keluarga korban… udah kamu tenang aja, pokoknya beres…” Jelas Mas Karlan sambil menepuk pelan pundak gua.
“Makasih ya Mas…”
“Ho oh… tapi, uwis yo cad… ojo nggaploki wong eneh… Capek aku urusan karo polisi…” Ucapnya.
“Iya mas. Ini terakhir…”
“Alah, dulu pas mukulin mandor bangunan di proyek juga bilang gitu…”
Gua lalu terkenang saat dulu masih bekerja bersama dengan Mas Karlan Cs. Kala itu, terjadi konflik antar dua tim yang tengah sama-sama mengerjakan proyek sebuah gedung bangunan baru di daerah Kelapa Gading; Tim Sipil dan Tim Kelistrikannya Mas Karlan.
Sejatinya itu merupakan perkara remeh yang (mungkin) bisa diselesaikan dengan saling kompromi tanpa ‘narik otot’. Diawali gara-gara, Tim Sipil lupa untuk membuat lubang jalur stop kontak yang sesuai dengan blueprint. Tim Mas Karlan lalu berinisiatif untuk membuat sendiri jalur listrik untuk stop kontak, tentu saja agar sesuai dengan keinginan klien, tanpa mengganggu pekerjaan Tim Sipil.
Namun, yang terjadi selanjutnya adalah; Tim Sipil marah-marah, karena merasa dinding yang seharusnya sudah selesai malah kembali dirusak oleh Tim Mas Karlan. Mandor Tim Sipil lalu ‘mencak-mencak’, ngamuk. Sambil berteriak ia melemparkan bor ke Mas Karlan dan tepat mengenai dadanya.
Gua tengah berada di lantai atas; sedang melakukan instalasi kabel saat mendengar suara ribut-ribut dari lantai bawah. Buru-buru gua bergegas turun, saat gua tiba, Mas Karlan sudah terduduk di lantai, sambil meringis dan memegangi bagian dadanya. Sampai disini, emosi gua belum benar-benar tersulut; Mas Bobi menghampiri si mandor dan memintanya untuk meminta maaf dan segera membawa Mas Karlan ke Puskesmas. Perkara dinding yang kami rusak sebelumnya, akan segera kita bereskan.
Yang terjadi berikutnya sungguh diluar dugaan; Si Mandor mengambil palu yang tergantung di pinggangnya dan mulai mengayunkan palu tersebut ke arah Mas Bobi. Mas Bobi dengan cepat menghindar namun sedikit terlambat; ujung palu terlanjur mengenai lengan Mas Bobi yang ia gunakan sebagai tameng.
Gua berlari dan menerjang ke arah si Mandor sambil melayangkan sebuah tendangan. ‘Buk!’ Tepat mengenai ulu hatinya. Kami berdua lalu saling bergumul, bergantian melayangkan pukulan. Di saat seperti ini, kala menemukan lawan yang nggak punya basic bela diri apapun tapi punya nyali segede gunung dan perawakan macam Hercules, kemampuan Taekwondo yang gua miliki nggak banyak berguna. Kami berdua hanya saling memukul tanpa mempedulikan teknik; yang penting kena!
Ujung-ujungnya jelas, kami berdua harus digelandang ke kantor polisi.
But, hey… tunggu dulu! itu bukanlah kejadian pertama gua harus berurusan dengan polisi akibat adu jotos. Beberapa bulan setelahnya, gua kembali harus berurusan dengan aparat karena memukuli seorang pengamen yang dengan sengaja ‘menyenggol’ Sekar. Then, Sekar supposed to know how far it would be.
Dan kedua kasus tersebut, Mas Karlan selalu jadi ‘penyelamat’ gua. Tentu saja lewat Oknum anggota berperawakan kurus dengan kumis tebal yang tadi baru kami temui di kantor polisi.
Kalau mau ditarik benang merah dari kejadian-kejadian di atas, tentu saja emosi gua berasal dari perilaku nggak mengenakan yang diterima orang-orang terdekat. Gua bahkan nggak begitu peduli, jika ada yang bicara kasar, memukul, bahkan menginjak-injak harga diri. Asalkan semua itu ditujukan ke gua, bukan ke orang yang gua sayangi.
—
Sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh yang bersahutan, saat gua membuka pintu apartemen dengan perlahan. Ruangan di dalam terlihat gelap, layaknya maling, gua melangkah mengendap-endap menuju ke wastafel yang berada di dapur. Gua melepas sweater yang sobek dan penuh darah, kemudian melemparnya ke tempat sampah.
Pelan-pelan, gua membuka kran wastafel dan mulai membasuh tangan yang dipenuhi darah dan luka lecet pada kepalan akibat memukul terlalu keras. Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkan gua; “Ngapain?”
Gua hampir melompat saking kagetnya, kemudian menoleh pelan ke arah asal suara. Bayangan Resti terlihat berdiri dalam gelap, tepat di belakang gua. Ia berdiri, sambil berkacak pinggang, menatap gua tajam.
“Eh, tumben udah bangun?” Tanya gua sambil terus mencuci tangan, berlagak nggak terjadi apa-apa.
“Bukan ‘udah bangun’, tapi emang belom tidur…” Jawabnya ketus.
Ia lalu menyalakan semua lampu di ruangan, mendekat dan meraih tangan gua.
“Ck…” Ia menggumam pelan, lalu menarik gua menuju ke ruang tamu dan duduk di sofa. Di atas meja kaca sudah terdapat kotak P3K yang entah sejak kapan ia siapkan.
“Lo emang nggak mikir panjang ya…” Tambahnya sambil membersihkan tangan gua dengan kapas dan alkohol.
“...”
“... Lo emang nggak takut di penjara?” Tanyanya.
“Nggak” Jawab gua. Toh, gua melakukan ini semua buat orang yang gua sayang; Resti. Kira-kira begitulah yang gua pikirkan dalam hati.
“Terus kalo lo di penjara gimana?”
“So be it…” Jawab gua santai.
“Lah, gw gimana?” Tanyanya setengah berteriak.
“...”
“... Kalo lo nggak ada gw gimanaaaaa?” Teriaknya, mengulang pertanyaan sebelumnya.
Deg! Dada gua terasa sesak, seperti sesuatu memenuhi rongga-rongga kosong di seluruh tubuh. Selama ini gua nggak pernah memikirkan akibat perbuatan gua buat orang lain.
Gua selalu punya excuse bahwa semua hal ‘kasar’ yang gua lakukan adalah demi kebahagiaan orang lain. Yang tanpa gua tau bagaimana perasaan orang tersebut. Gimana perasaan Mas Karlan yang selalu ‘nyebokin’ kelakuan gua. Dan, saat ini gimana nasib Resti seandainya gua di penjara; ia bakal sendirian. Lagi!
Masih membersihkan tangan gua, Resti terlihat menangis. Kali ini bukan akibat kata-kata kasar Sekar, melainkan karena ulah gua. Iya; Gua!
Gua menjatuhkan diri dan berlutut di lantai. Sambil menatap, gua menggenggam tangannya; “Sorry Res… Sorry…”
Resti melepas genggaman tangan gua, seraya menggelengkan kepala.
“Ini terakhir lo berbuat gini ya cad…” Ucapnya pelan.
“...”
“... Besok-besok gw nggak mau denger lo mukulin orang lain lagi, apapun alasannya…”
“...”
“...Mulai sekarang, lo nggak cuma mikirin diri lo sendiri. Lo juga harus mikirin gw..” Tambanya.
“Iya…” Jawab gua pelan sambil menundukkan kepala.
“Tadi Mas Karlan telpon dan jelasin semua ke gw. Dan gw langsung telpon Papi sambil nangis-nangis, minta tolong biar lo nggak sampe di penjara…”
“...”
“... Mikirin lo sendirian di kantor polisi aja udah bikin gw deg-degan setengah mati cad…” Tambahnya, kali ini tangisnya semakin keras.
“Sorry, Res…”
“Daripada lo mukulin orang gara-gara gw dan harus di penjara, lebih baik gw yang nerima seribu kata-kata makian dari Sekar. Atau dari siapapun itu…”
Gua lalu berdiri dan mulai memeluknya. “Sorry Res…” Ucap gua pelan. Entah sudah berapa kali maaf yang gua lontarkan. Karena memang hanya itu yang gua miliki saat ini; permintaan maaf.
Resti belas memeluk gua, sementara tangisnya mulai mereda. “Janji ya jangan gini lagi? bikin gw deg-degan..” Ucapnya sambil menatap gua.
“Iya…”
“Udah mandi sana.. bau keringet…”
“Emang iya?” Tanya gua sambil mengendus baju yang gua kenakan.
Gua lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Baru beberapa langkah berjalan, Resti kembali memanggil gua; “Cad…”
“Ya…”
“Semua udah di urus sama Papi… sementara ini lo jangan kemana-mana dulu. Jadi kalo ada apa-apa bisa langsung di urus…” Ucapnya.
“Jangan kemana-mana itu termasuk pergi kerja?” Tanya gua memastikan.
Resti lalu terlihat berpikir sejenak, matanya menatap kosong ke arah langit-langit sambil menggigit bibir bawahnya. Kemudian kembali bicara; “Kerja gapapa kali… tapi kalo gw telpon langsung angkat ya”
“Ok” Jawab gua singkat sambil mengacungkan ibu jari, kemudian kembali bergegas menuju ke kamar mandi.
—
Rasa kantuk yang luar biasa menyerang gua saat berada di tengah-tengah pekerjaan. Entah sudah berapa kali gua mondar-mandir ke toilet hanya untuk mencuci muka agar rasa kantuk menghilang. Namun, sekeras apapun gua mencoba menahan, pada akhirnya gua pun terlelap, di meja kerja.
“Cad… Cad…” Wawan membangunkan gua dengan memukul pundak menggunakan gulungan kertas.
“Hah..” Jawab gua pelan, sementara mata masih terpejam dan kepala masih lunglai pada sandaran kursi.
“Ronda semalem?” Tanyanya.
“Server Finance trouble tuh…”
“Ya bentar, 5 menit lagi…” Respon gua, meminta ‘perpanjangan waktu’ untuk tidur.
Tak ada jawaban dari Wawan. Hanya terdengar samar, langkah kakinya keluar dari ruangan kerja.
Beberapa saat kemudian, ia kembali membangunkan gua dengan cara yang sama seperti sebelumnya; menepuk pundak gua dengan gulungan kertas; “Udah 5 menit… eh 8 menit malah… buruan”
“Hah…”
“Hah hoh hah hoh dari tadi… Server Finance trouble… buruan” Wawan berteriak persis di telinga gua.
“Astaga, wan… 5 menit lagi sih…” Keluh gua.
“8 menit yang lalu lo bilang 5 menit…” Jawabnya.
Gua membuka mata yang masih lengket, meraih kartu akses yang tergeletak di meja kemudian bergegas keluar dari ruangan dan menuju ke kamar mandi; cuci muka.
Ponsel gua berdering begitu gua keluar dari kamar mandi dan tengah menuju ke ruang finance; Resti.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, lemes banget? Ngantuk ya?” Tanya Resti dari ujung sana.
“Iya…”
“Kacian… eh, gw ada dua kabar, kabar baik dan kabar buruk. Lo mau denger yang mana dulu…”
“Kasih tau gua kabar baik aja, kabar buruknya nanti aja pas udah selesai kerja…” Jawab gua.
“Ok.. Kabar baiknya adalah, Papi udah urus semua dan sekarang udah clear…”
“Kok bisa?” Tanya gua.
“Lo mau gw jelasin teknisnya gimana nih?” Ia balik bertanya.
“Nggak deh, ntar gua pusing…”
“Nah, yaudah… ntar kabar buruknya pas pulang kerja gw kasih tau ya…”
“Iya…”
“Bye then, jangan lupa makan ya…”
“Iya, lo juga…” Jawab gua singkat kemudian mengakhiri panggilan.
Tepat selesai menelpon, gua tiba di depan ruangan finance. Berbeda dengan ruangan lain di kantor ini yang menggunakan kaca sebagai penutupnya, ruang finance benar-benar tertutup rapat. Hampir tak ada akses untuk sekedar mengintip apa yang ada di dalam ruangan.
Di dalam ruangan terdapat sebuah ruangan kecil yang terletak di sudut; Ruang Server Finance. Semua data yang diolah oleh tim finance tak ada yang tersimpan di local drive masing-masing perangkat, melainkan langsung disetor ke database yang ada di server ini. Dan yang memiliki akses untuk masuk ke ruang server ini hanya Head of Finance
“Duh, lama deh mas Icad…” Ucap Bu Tanti, Head of Design yang langsung berdiri dan membukakan akses ruang server begitu melihat kehadiran gua.
‘Hoam’ Gua menguap.
“Iya sorry bu, tadi masih ngerjain yang lain…” Jawab gua, seraya menutup mulut dengan tangan.
“Duh, ngantuk bener kayaknya…”
Gua merespon dengan senyuman lalu bergegas masuk kedalam.
Hampir nggak ada kendala berarti yang gua temui saat memeriksa kondisi server. Seperti kebanyakan troubleshoot pada perangkat elektronik lain. Langkah awal setelah mendiagnosa masalah adalah; Restart.
Hampir 60-70% troubleshoot perangkat yang gua temui teratasi dengan cara simple tersebut; Restart. Pengecualian buat perangkat yang memang mengalami kerusakan fisik pada spare partnya, yang tentu saja harus diganti.
Hal ini tentu membuat para staff IT Support seperti gua jadi naik pamornya; “Wuih hebat”, “Jago loh”, “Cuma sebentar udah kelar”, “Mas Icad ganteng deh”, cuma gara-gara Restart.
—
Lenka - Trouble Is A Friend
Trouble he will find you
No matter where you go
Oh oh
No matter if you're fast
No matter if you're slow
Oh oh
The eye of the storm
Or the cry in the morn
Oh oh
You're fine for a while
But you start to lose control
He's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the wings
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine
Trouble is a friend
But trouble is a foe
Oh oh
And no matter what I feed him
He always seems to grow
Oh oh
He sees what I see
And he knows what I know
Oh oh
So don't forget
As you ease on down the road
He's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the wings
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine
So don't be alarmed
If he takes you by the arm
I won't let him win
But I'm a sucker for his charm
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine
How I hate the way he makes me feel
And how I try to make him leave
I try oh oh I try
But he's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the wings
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine
So don't be alarmed
If he takes you by the arm
I won't let him win
But I'm a sucker for his charm
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine