Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“... Kalo iya, berarti lo seneng dong pas Sasa meninggal?” Sekar kembali mengajukan pertanyaan. Namun kali ini, pertanyaannya benar-benar kelewatan.
“Kar!” Gua menegurnya pelan, kemudian berpaling ke Resti yang terlihat terdiam sambil menggenggam kedua tangannya; menahan emosinya yang sepertinya sebentar lagi akan pecah.
Gua berdiri dan menarik lengan Resti. Awalnya Resti bergeming, namun akhirnya menyerah dan mengikuti gua berdiri. Baru saja kami berdua hendak pergi, Sekar kembali angkat bicara; “Gimana rasanya macarin pacar adik lo yang udah meninggal?”
Mendengar perkataan Sekar barusan, Resti sepertinya sudah tak lagi mampu menahan emosinya. Ia meraih gelas berisi jus jeruk milik gua dari atas meja dan bersiap melempar gelas tersebut ke arah Sekar.
Dengan cepat gua meraih lengan Resti dan meraih gelas berisi minuman dari genggamannya. Sementara, matanya mulai memerah, giginya bergemeretak dan kedua tangannya ia kepalkan. Gua meletakkan kembali gelas ke atas meja, merangkul Resti untuk pergi keluar. Saat berjalan keluar, Resti masih tak bisa berpaling menatap tajam ke arah Sekar.
“Stop!” Ucap Resti begitu kami berdua berada tepat di luar Restoran.
“...”
“...Kenapa lo nggak biarin gw lempar tuh cewek pake gelas?” Ucap Resti, suaranya pelan dan bergetar.
“...”
“... Apa lo nggak marah denger kata-katanya tadi, hah?” Tanyanya lagi.
“Marah… banget. Tapi kan nggak harus di lempar pake gelas, Res…” Gua menjawab sambil membimbingnya menuju ke mobil.
Begitu tiba di mobil, gua membiarkannya masuk dan duduk di dalam bangku penumpang. Sementara, gua berencana untuk kembali ke dalam restoran untuk bicara dengan Sekar.
“Lo mau kemana?” Tanya Resti.
“Mau ngomong sama Sekar…” Jawab gua.
“Nggak usah, nggak ada yang perlu di omongin lagi kayaknya…” Ucapnya sambil menggenggam pergelangan tangan gua.
Gua menggeleng; “Lo pikir, gua cuma bisa diem aja denger omongan dia tadi” Gua bicara seraya melepas genggaman tangannya.
“...”
“... Lo diem tunggu disini” Gua menambahkan kemudian, sambil memberi penekanan pada kata ‘tunggu’ dan bergegas kembali ke dalam.
—
Saat gua kembali ke meja restoran, mereka semua terdiam. Seakan tenggelam dalam kegugupan dan situasi pelik yang disebabkan oleh Sekar. Gua duduk tepat di sebelah Sekar yang tengah menikmati steak seperti tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Lo kenapa?” Tanya gua sambil menatap ke arahnya.
Sekar berhenti menyuap. Lalu menoleh ke gua; “Apanya yang kenapa?” Ia balik bertanya.
“Apa perlu lo ngomong kayak gitu ke Resti?”
“Gua ngomong apa yang perlu gua omongin, semua yang ada disini juga punya pertanyaan yang sama kayak gua. Tapi mereka nggak punya nyali yang cukup aja buat nanya hal itu ke Resti…” Sekar menjelaskan sambil menunjuk satu persatu diantara Dita, Rio dan Tile.
“Terus, lo merasa berhak mewakili mereka?” Tanya gua lagi.
“Kenapa nggak?” Jawabnya singkat lalu kembali menikmati steak di hadapannya.
Gua meraih piring berisi steak yang tengah ia makan dan menggesernya menjauh. “Lo masih punya masalah yang belum selesai sama gua?”
“Well, kayaknya iya…” Jawab Sekar.
“Yaudah selesaikan aja sekarang, dan abis itu udah nggak usah ganggu Resti lagi…”
“Ya tapi nggak segampang itu kali…”
“Terus, harus seperti apa?”
“Lo mungkin nggak tau seberapa sedihnya kita pas kehilangan Sasa… dan tau-tau lo macarin kakaknya… lo nggak merasa berkhianat?”
“Elah Bullshit! Terus hubungan kita dulu apa? lo nggak merasa berkhianat? Ini bukan alasan lo sebenernya kan?… Lo tuh cuma cemburu aja sama Resti..” Ucap gua sambil mengepalkan tangan mencoba menahan emosi yang nyaris naik ke ubun-ubun.
Rio dan Dita lalu berdiri, mencoba menengahi kami berdua. Dita mencoba menenangkan Sekar, sementara Rio duduk di sebelah sambil menepuk pelan pundak gua.
“Iya… iya emang gua cemburu sama Resti. Terus kenapa? nggak boleh? Kenapa elo harus sama dia? emang nggak ada cewek lain?” Sekar bicara, kali ini matanya mulai berlinang.
Gua lalu berdiri; “Iya, nggak ada cewek lain dan emang harus dia. And from now on, just go away from us…” ucap gua pelan kemudian bergegas pergi, baru beberapa langkah, gua memutuskan kembali lagi ke Sekar; “... And I Hate you so much!”
“Le, bayar dulu… ntar gua ganti” Bisik gua ke Tile sebelum akhirnya benar-benar pergi.
—
Saat hendak kembali menuju ke mobil di parkiran, terlihat Resti tengah berjalan ke arah pintu masuk restoran. Ia membawa bongkahan batu besar di tangannya. Gua menghela nafas, dan dengan cepat menghampirinya dan merebut bongkahan batu tersebut dari tangannya, takut keburu melukai orang lain.
“Mau buat apa?” Tanya gua.
Resti nggak menjawab, ia hanya menatap gua tajam sementara nafasnya terdengar menderu.
“... Udah yuk, pulang…” Ajak gua sambil menggandeng tangannya menuju ke mobil.
“Pengen gw sobek aja mulutnya tuh anak…” Gumam Resti seraya berusaha melepas genggaman tangan gua. Seandainya, gua melepas tangan yang menggenggamnya, niscaya Sekar akan berakhir di rumah sakit, dan Resti ke kantor polisi.
“Ssstt.. udah… yuk” Ucap gua membujuknya, kemudian membuka pintu mobil untuknya dan membiarkannya masuk.
Di mobil, tak henti-hentinya Resti menggerutu tentang Sekar dan kejadian di restoran tadi. Sesekali gua menoleh ke arahnya tanpa berkata apapun, terlihat matanya kini berlinang dan kedua pipinya sudah basah.
Ponsel gua berdering, nama Tile muncul pada layarnya.
“Halo…” Sapa gua.
“Gila lo yak, Lo pesen steak daging apaan, harganya ampe semahal itu? Udah mahal, nggak bisa makan dengan tenang lagi…”
“Iya berapa? ntar gua transfer”
“Nih, abis ini gua fotoin bill-nya…”
“Iya, Thankyou…”
“Eh, gimana Resti? udah kalem?” Tanya Tile.
Sebelum menjawab, gua menoleh ke arahnya yang kini terlihat tengah memandang kosong ke luar melalui jendela mobil.
“Kalem apaan. Lo nggak tau, tadi dia mau balik lagi, udah bawa batu gede…”
“Ebuset… Coba lo diemin aja, kan seru…” Ucap Tile berkelakar.
“Seru pala lo… Yaudah gua lagi nyetir nih, ntar lo kirimin aja totalnya sama nomer rekening lo…”
“Ok sip, bye” Jawab Tile, kemudian mengakhiri panggilan.
Gua meletakkan ponsel di box dekat perseneling, sementara mata gua masih tertuju ke Resti yang kini terlihat memainkan ponselnya.
“Siapa yang telpon?” Tanyanya pelan.
“Tile” Jawab gua singkat.
“Ooh…”
“...”
“... Ke apartemen aja Cad, jangan balik ke rumah…” Ucap Resti lirih.
“Ok…”
—
Begitu tiba di apartemen, tanpa banyak bicara Resti langsung masuk ke dalam kamar dan terdengar suara ia menjatuhkan diri di atas ranjang. Sementara, gua buru-buru melepas seragam laknat ini dan menggantinya dengan kaos.
Tak ada jawaban. Perlahan gua membuka pintu dan mendapati Resti tengah berbaring tengkurap di atas ranjang, kepalanya ia tutupi dengan tumpukan bantal. Sementara, pakaiannya belum diganti, masih dengan seragam SMA putih abu-abu, Ia bahkan tak melepas kaos kaki dan sepatunya.
“Res.. Res…” Gua kembali memanggil namanya, kali ini sambil menepuk ujung kakinya.
Masih tak ada respon.
Dengan hati-hati gua memindahkan tumpukan bantal yang menutupi kepalanya, terlihat ia sudah terlelap. Gua tersenyum dan melepas sepatu beserta kaos kaki yang ia kenakan, kemudian memindahkannya ke posisi yang lebih baik di atas ranjang.
Gua lalu duduk di lantai sambil bersandar pada tepian ranjang, menatap kosong ke arah pantulan diri gua di cermin besar di hadapan gua. Masih jelas terngiang di telinga gua ucapan Sekar tadi; “... Kalo iya, berarti lo seneng dong pas Sasa meninggal?”
‘Sampah banget mulutnya Sekar’ batin gua dalam hati, lalu beranjak pergi keluar untuk membeli makan untuk Resti. Sepertinya tadi ia belum sempat menikmati Steak, karena keburu diberondong pertanyaan laknat dari Sekar.
Setelah hampir satu jam gua habiskan untuk perjalanan bolak-balik dengan jalan kaki, dan antrian tukang ketoprak yang ‘agak’ kurang manusiawi, gua kembali ke apartemen dan mendapati Resti tengah duduk di sofa ruang tamu, handuk masih menyelimuti rambutnya, kedua kakinya ditekuk dan ia naikkan ke atas sofa. Sementara tangannya menggenggam remote televisi dan jarinya sibuk menekan tombol pada remote, mengganti berbagai chanel dengan cepat.
Gua meletakkan bungkusan ketoprak di atas meja, semerbak aroma shampo yang ia gunakan langsung menusuk ke hidung begitu gua duduk di sebelahnya.
“Ketoprak?” Tanyanya pelan.
“Iya”
Resti lalu memeriksa isi plastik bungkusan yang baru saja gua letakkan di atas meja. “Kerupuknya mana?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk memeriksa isi plastik.
“Lah? Gimana abangnya dah… lupa kali dia yak…” Ucap gua sambil ikut memeriksa isi plastik bersamanya.
“Mana enak ketoprak nggak pake kerupuk…” Resti menambahkan, lalu kembali sibuk dengan remote TV.
Gua menghela nafas, kemudian bersiap untuk kembali ke abang tukang gerobak hanya untuk menagih kerupuk yang tertinggal.
“Mau kemana?” Tanya Resti tanpa menoleh.
“Minta kerupuk…” Jawab gua.
“Nggak usah…”
“Bener?”
“Iya…”
Gua lalu merubah arah menuju ke dapur, mengambil piring dan menyiapkan porsi ketoprak untuknya.
Resti meraih porsi ketoprak yang baru selesai gua siapkan dan mulai menyantapnya. Terlihat ia nggak begitu bersemangat, sesekali ia kedapatan bengong menatap kosong ke arah jendela balkon.
“Apa temen-temen lo yang lain punya pikiran yang sama dengan Sekar?” Tanyanya, matanya masih menatap kosong ke luar, sementara tangannya sibuk mengaduk-aduk porsi ketoprak di atas piring.
“Nggak lah… Mana mungkin mereka punya pikiran licik kayak gitu…” Jawab gua mencoba memberinya penghiburan.
“Lo tau darimana?”
“Ya tau aja…”
“Jangan-jangan mereka punya pikiran yang sama dengan Sekar, cuma mereka nggak berani ngomong aja ke gw… atau diem-diem mereka udah ngobrolin hal ini di belakang gw… Bisa aja kan Bi?”
Alih-alih langsung menjawab, gua menggeser duduk agar lebih dekat dengannya. Lalu meraih sendok yang ia gunakan untuk mengaduk porsi ketoprak dan mulai menyuapinya.
“Udah nggak usah dipikirin…” Balas gua.
Resti lantas menoleh ke arah gua; “Gimana mungkin gw nggak mikirin?”
Gua balas menatapnya; “Yaudah dipikirin gapapa, tapi jangan lama-lama…”
Belum selesai gua bicara, Resti mulai menundukkan kepala dan kembali menangis. Air mata mulai menetes dan mengalir pada kedua pipinya. Sementara, bibirnya masih terus mengunyah ketoprak. Untuk pertama kalinya, gua melihat orang yang menangis sambil makan.
Gua menyeka air mata di kedua pipinya dengan ujung lengan sweater yang gua kenakan; “Udah makan dulu, nangisnya ntar aja…”
Namun, sepertinya penghiburan gua nggak terlalu berpengaruh kepadanya. Ia masih menangis sesenggukan, sementara mulutnya tetap terbuka saat gua menyodorkan sendokan ketoprak ke bibirnya.
Belum selesai menghabiskan ketoprak porsinya, ia menyandarkan kepalanya di bahu gua. Sambil memainkan remote TV di tangannya, ia mulai bicara; “Kalo Sekar aja punya pikiran kayak gitu, bukan nggak mungkin orang lain punya pikiran yang sama kan?”
“Emang semua orang pikirannya sama kayak Sekar?…” Respon gua.
“...”
“... Ini makannya udah?” Tanya gua sambil mengangkat piring ketoprak yang berada di tangan gua.
“Kenyang ah…” Jawabnya pelan.
Baru beberapa menit setelah kalimatnya berakhir, Resti lebih banyak diam. Gua menggoyangkan telapak tangan tepat di depan matanya, mengecek apakah ia masih terjaga. Nyatanya, Resti sudah kembali terlelap sambil bersandar di bahu gua. Ia bahkan belum minum setelah selesai makan!
Dengan hati-hati, gua mengangkat tubuhnya dan memindahkannya ke kamar.
Gua menyeka sisa bumbu ketoprak di sudut bibirnya dengan tisu, kemudian membelai pipinya yang lembut dengan sisa-sisa air mata yang mulai mengering. Melihatnya bersedih seperti ini, sementara gua tak berdaya untuk membantunya, membuat gua merasa kesal.
“Wait Res…” Ucap gua pelan. Kemudian meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja kecil di tepi ranjang dan bergegas keluar dari kamar.
—
Di lobby basement parkiran, gua mengeluarkan ponsel, mencari nama Tile dan mulai melakukan panggilan.
“Apaan?” Tanya Tile begitu tersambung.
“Minta nomor Sekar…” Ucap gua.
“Mau ngapain lo?” Tanyanya lagi.
“Ada urusan” Jawab gua singkat.
“Nih, gua kirim…” Ucap Tile. Disusul, suara notifikasi di ponsel yang gua kenakan.
“Thank you” Balas gua kemudian mengakhiri panggilan.
Sambil menyulut rokok dan berjalan ke arah mobil, gua menghubungi nomor Sekar yang baru saja dikirim oleh Tile.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sebelum akhirnya suara familiar Sekar menyambut gua.”Halo?” Sapanya di ujung sana. Sepertinya ia belum menyadari kalau gua yang menelponnya.
“Lo dimana?” Tanya gua, seraya masuk kedalam mobil.
“Bian?” Tanya Sekar, memastikan.
“Iya, Lo dimana?” Gua mengulang kembali pertanyaan sebelumnya.
“Gua baru sampe rumah” Jawabnya
“Gua kesana sekarang”
“Eh…” Belum sempat ia merespon, gua keburu mengakhiri panggilan, mulai menyalakan mesin mobil dan bergegas menuju ke rumah Sekar.
—
Hampir satu jam berikutnya gua sudah memasuki komplek perumahan dimana Sekar tinggal, lokasi yang dulu sangat familiar buat gua.
Terlihat sedan merah milik Sekar yang masih terparkir di luar gerbang rumahnya. Gua memarkir mobil tepat di belakang sedan merah tersebut dan bergegas keluar. Terlihat, Sekar tengah bersama cowok yang seperti pacarnya, duduk berdua di kursi kayu yang terletak di teras rumahnya.
Gua menggeser pagar, dan melangkah mendekat ke arah mereka berdua.
“Ngobrol sebentar dong” Ucap gua ke Sekar sambil menatapnya.
Terlihat ekspresi bingung dari cowok yang duduk di sebelahnya. Kebingungan yang sama juga terlihat dari tatapan Sekar, yang beberapa kali berpaling ke cowok di sebelahnya.
“Tapi gua kan…” Sekar berusaha menghindar, namun sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, gua menarik lengannya menjauh ke arah pagar rumah.
Melihat perlakuan gua ke Sekar, cowok yang duduk disebelahnya lantas berdiri dan mulai angkat bicara; “Oi… Santai bro…” Ucapnya.
Gua menghentikan langkah dan menatap tajam ke arah cowok tersebut: “Diem lo..”
dan kembali menarik Sekar menjauh.
“Apaan sih Bi…” Ucap Sekar samil berusaha melepas genggaman tangan gua.
“Gua mau lo minta maaf ke Resti…” Gua bicara dengan nada cukup tinggi namun volume yang sengaja gua kecilkan.
“Kenapa? apa masalahnya kalo gua nanya kayak tadi?” Tanya Sekar.
“Buat gua nggak jelas nggak masalah, tapi buat Resti…”
“Buat Resti kenapa? Masalah… emang kenapa kalo dia beneran suka sama lo sejak SMA? Kalo dia tulus sayang sama elo, kenapa dia kesel? dimana masalahnya?”
Gua menghela nafas, terdiam sesaat sambil menatap ke arah lain.
“Well, gua nggak begitu peduli dengan apapun excuse yang lo sebutin barusan… yang gua tau, gara-gara omongan lo tadi, Resti jadi sedih dan terus kepikiran sama Larissa…”
“Terus kalo gua minta maaf sama Resti, apa semua jadi clear?”
“Lo cukup minta maaf ke Resti, selebihnya udah bukan urusan lo lagi…”
Kali ini Sekar yang terdiam cukup lama, sebelum akhirnya kembali angkat bicara; “Yaudah, nanti gua bakal minta maaf sama Resti…”
Saat kami tengah bicara, terlihat Bokapnya Sekar keluar dari dalam rumah, mungkin diadukan oleh cowok yang tadi duduk bersamanya. “Woi…ngapain” Ucap Bokapnya Sekar sambil menatap ke arah kami berdua dan berkacak pinggang.
Gua menoleh dan menatap tajam ke arah bokapnya. “Diem! Lo nggak liat gua lagi ngomong…” Balas gua sambil menunjuk ke arah bokapnya.
Melihat bagaimana gua menghardik bokapnya, Sekar mengernyitkan dahi dan menatap aneh ke gua. Mungkin, kaget dengan perubahan yang terjadi pada pria dihadapannya.
Sementara, Bokap dan cowok tadi bergegas menghampiri kami berdua. Terlihat, sebuah stik golf di salah satu tangan bokap Sekar dan bersiap untuk diayunkan ke arah gua. Gua menyeringai ke arah bokapnya sambil melirik ke arah stik golf yang digenggamnya.
Begitu gua merasa sudah cukup memberi ancaman, tiba-tiba si cowok yang berdiri di sebelah Sekar melayangkan bongkahan batu yang sejak tadi ia sembunyikan di balik tubuhnya. Dengan cepat gua menghindar, mendekat ke arahnya dan melayangkan pukulan dari bawah ke atas dan mendarat tepat di dagunya.
“Gua bisa lebih dari ini Kar, kalo Resti masih sedih gara-gara elo…” Ucap gua berbisik ke Sekar, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.
Saat hendak membuka pintu mobil, terlihat dari ujung mata gua pergerakan cowok tadi yang tengah berusaha menerjang. Dengan cepat, gua menghindar namun rupanya sudah sedikit terlambat, sebuah pukulan mengenai lengan gua. Gua memeriksa sweater yang kini sobek akibat pukulan cowok tersebut. Rupanya, ia nggak melayangkan pukulan dengan tangan kosong, sebuah pecahan batu sebesar kepalan tangan ia gunakan untuk menyerang gua.
Cowok tadi lalu mulai kembali mendekat dan melancarkan serangan berikutnya; masih dengan batu pada genggaman tangannya. Saat ia melakukan serangan terbuka seperti ini, tentu saja gerakannya sangat mudah di hindari. Gua meraih tangannya yang menerjang, menariknya ke arah gua dan melancarkan pukulan yang sama dengan yang pertama; tepat ke arah dagu-nya.
Cowok tadi jatuh terjerembab, gua berdiri di atasnya, sedikit membungkuk lalu melancarkan pukulan tepat ke wajahnya. Satu kali, dua kali, tiga kali, Cowok itu kini tak bergerak dan terbaring lunglai, sementara wajahnya sudah penuh dengan darah. Gua lanjut memukul; empat kali, lima, enam, tujuh, delapan; hingga Sekar dan Bokapnya harus berusaha keras untuk menghentikan gua.
“Lepas!” Gua bicara pelan sambil menoleh ke Bokap Sekar yang kini merangkul gua, mencoba agar gua nggak lagi memukuli cowok itu.
Perlahan, rangkulan bokapnya Sekar merenggang dan gua bergegas melepaskan diri. Terlihat Sekar tengah berusaha membangunkan Cowok yang kini tergeletak bersimbah darah. Gua berdiri tepat di hadapan mereka; “Inget Kar, Gua masih bisa lebih dari ini” Ucap gua ke Sekar, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.
Saat hendak pergi, terlihat beberapa warga mulai berdatangan dan menghampiri tempat kejadian. Sementara, gua berusaha membersihkan kepalan tangan yang penuh noda darah dengan lembaran tisu.
Tau akan konsekuensi atas perbuatan yang baru saja terjadi, gua meraih ponsel dan menghubungi Mas Karlan.
“Halo…” Sapa Mas Karlan di ujung sana, suaranya terdengar parau, sepertinya baru saja terbangun gara-gara panggilan gua.
“Mas… gua abis mukulin orang” Ucap gua pelan.
Lalu terdengar Mas Karlan menarik nafas panjang, kemudian mulai bicara; “Lagi?”
“Iya…”
“Dimana?” Tanyanya.
Yang lalu gua jawab dengan menyebutkan wilayah tempat tinggal Sekar, tempat kejadian perkara.
“... Yowis, ntar nek wis ning kantor polisi telpon lagi…” Ucapnya kemudian mengakhiri panggilan.
Gua lalu menepikan mobil dan menghubungi Sekar.
—
Bring Me The Horizon - Sleepwalking
My secrets are burning a hole through my heart
And my bones catch a fever
When it cuts you up this deep
It's hard to find a way to breathe
Your eyes are swallowing me
Mirrors start to whisper
Shadows start to sing
My skin's smothering me
Help me find a way to breathe
Time stood still
The way it did before
It's like I'm sleepwalking
Fell into another hole again
It's like I'm sleepwalking
I'm at the edge of the world
Where do I go from here?
Do I disappear?
Edge of the world
Should I sink or swim?
Or simply disappear?
Your eyes are swallowing me
Mirrors start to whisper
Shadows start to sing
My skin's smothering me
Help me find a way to breathe
Sing it!
Time stood still
The way it did before
It's like I'm sleepwalking
Fell into another hole again
It's like I'm sleepwalking
Wake up!
Take my hand and
Give me a reason to start again
Wake up!
Pull me out and
Give me a reason to start again
Time stands still
Your eyes are swallowing me
Mirrors start to whisper
Shadows start to sing
My skin's smothering me
Help me find a way to breathe