Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Oiya, akhir bulan ini kita foto prewed ya cad…” Ucap Resti sambil berjalan di depan gua.
“Dimana?” Tanya gua.
“Rahasia”
“Pokoknya gua nggak mau pake baju yang aneh-aneh ya Res…” Gua bicara, membuat disclaimer.
Mendengar ucapan gua, tiba-tiba Resti menghentikan langkahnya kemudian berpaling. Ia menatap gua sambil menampilkan senyum yang terasa aneh.
“Mmm… aneh tuh menurut lo gimana?” Tanyanya.
“Ya aneh…” Jawab gua bingung, nggak mampu menemukan deskripsi yang tepat tentang kata ‘aneh’ yang gua maksud barusan.
“...”
“... lo nggak bikin rencana yang aneh-aneh kan?” Gua kembali bertanya.
“Mmm… Nggak kok..” Jawabnya penuh keraguan.
—
Kata orang; Momen paling krusial dalam sebuah hubungan adalah menjelang atau saat persiapan pernikahan. Biasanya di momen-momen tersebut terjadi konflik-konflik yang melibatkan pasangan atau dalam versi terburuknya; melibatkan dua keluarga besar. Namun, dalam kasus kami, hanya ada satu keluarga yang terlibat; Keluarganya Resti. Dan, ternyata tanpa adanya keluarga lain yang terlibat, konflik internal bisa saja terjadi. Seperti yang saat ini kami alami.
Gua duduk diam di antara Papi dan Mami nya Resti yang tengah berdebat perkara upacara adat yang akan digunakan dalam resepsi pernikahan kami.
“Ini kan hajatan pertama kita Pi… harus pake adat Sunda dong…” Ucap Maminya.
“Nggak bisa dong. Waktu resepsi nikahan kita dulu kan udah pake adat Sunda… Sekarang gantian, harus pake adat Jawa” Balas Papinya nggak mau kalah.
“Nggak bisa” Maminya bersikeras.
Sementara gua hanya mampu terdiam sambil menatap ponsel, menunggu pesan konfirmasi dari Resti untuk segera menjemputnya.
Pagi tadi, gua mengantar Resti untuk bertemu dengan Feli. Begitu turun dari mobil ia buru-buru mengusir gua; “Udah sana… ntar kalo udah selesai gw kabarin” Ucapnya, kemudian pergi.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
Ponsel gua berdering, nama Resti muncul pada layarnya. Bunyi ponsel gua seketika membuat perdebatan antara Mami dan Papinya berhenti.
“Halo.. Jemput sekarang ya” Ucap Resti dari ujung sana.
“Siap!” Gua menjawab singkat, kemudian bersiap untuk pergi.
Gua bangkit dari duduk; “Om, Tante, Saya jemput Resti dulu ya…” Pamit gua, kemudian bergegas pergi. Sementara dalam hati, berteriak kegirangan karena berhasil lepas dari perdebatan antara Papi dan Maminya Resti.
Samar, masih terdengar suara mereka berdua yang masih keukeuh ingin menggunakan adat nya masing-masing untuk resepsi pernikahan kami. Padahal, gua dan Resti sama sekali nggak pernah ada concern perkara hal remeh-temeh begitu.
“Tumben, sigap banget disuruh jemput?” Tanya Resti begitu gua tiba di Kafe tempat mereka berada.
“Fiuh, lo nggak tau aja apa yang baru gua alami…” Jawab gua sambil duduk di antara Resti dan Feli.
“Mau minum apa Kak?” Tanya Feli begitu gua duduk.
“Apa aja deh…” Jawab gua singkat. Feli kemudian berdiri dan bergegas memesan minuman untuk gua. Sementara Resti menepuk bahu gua, menagih cerita tentang yang baru saja gua alami.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Ntar gua ceritain…” Jawab gua.
“...”
“... Ini udahan kalian ngobrolnya?” Tanya gua.
Resti mengangguk sambil tersenyum.
“... Nggak terjadi apa-apa kan?” Gua menambahkan, sambil memeriksa kondisi Resti. Takutnya mereka cakar-cakaran.
Resti mengernyitkan dahi; “Emang apa yang bakal mungkin terjadi?” Ia balik bertanya.
“Nggak jambak-jambakan, kan?”
“Ya nggak lah, emang anak kecil…” Ucap Resti pelan sambil kemudian tertawa.
Beberapa saat kemudian, Feli kembali dengan segelas Vanilla Latte dingin di tangannya.
“Kak ada info panas terbaru…” Ucap Feli sambil menyerahkan minuman ke gua.
“Info apa?” Tanya gua.
“Ternyata, Kak Resti kakak kelas aku di kampus…” Ucapnya.
“Oh Wow… Kok bisa kebetulan gitu”
“Ya bisa lah…” Kali ini Resti yang merespon.
“Terus, aku yang nanti bakal desain kartu undangan pernikahan kakak…” Ucap Feli sambil tersenyum.
Mendengar kalimatnya barusan, gua berpaling ke arah Resti dan menatapnya, seakan menagih konfirmasi darinya. Resti membalas tatapan gua kemudian mengangguk pelan, sambil menyeruput kopi milinya.
“Well, Good for us then…”
“Nanti pas bikin mockup-nya nama kak Resti mau aku ganti pake nama aku… hehehe” Ucap Feli berkelakar.
Yang tentu saja di respon oleh Resti dengan tatapan tajam sambil mengacungkan tinjunya ke arah Feli.
“... Ya kan cuma mockup kak, hehehe…” Tambahnya, meledek Resti.
“Ok, ntar kalo gitu gw bikin mockup surat yasin pake nama lo… Ngahahahahaha…” Balas Resti sambil tertawa terbahak-bahak.
Gua tersenyum melihat kelakar mereka berdua yang terlihat akur. Seandainya, Resti nggak keburu kebawa emosi, mungkin hal-hal seperti ini bisa terjadi lebih cepat.
“Lo balik sama siapa?” Tanya Resti ke Feli saat kami baru saja keluar dari kafe menuju ke parkiran.
“Naik ojek paling kak…” Jawab Feli santai.
“Kita anter aja, yuk…” Ucap Resti.
“Eh, nggak usah kak.. nanti ganggu…” Feli menolak ajakan Resti.
Namun, bukan Resti namanya kalau bisa dengan mudah ‘menjinakan’ hatinya. Ia menarik lengan Feli ke arah mobil. Kemudian mereka berdua masuk dan duduk di kursi penumpang bagian belakang.
“Kenapa pada duduk di belakang?” Tanya gua begitu masuk ke mobil.
“Gapapa, kita mau ngobrol,... Udah lo nyetir aja..” Jawab Resti, memberi perintah.
Gua menghela nafas panjang, mulai menyalakan mesin dan bergegas pergi.
Sepanjang perjalanan, Resti dan Feli sibuk ketawa-ketiwi sambil membahas satu persatu model pakaian pengantin yang berada di katalog. Nyatanya, lokasi rumah Feli nggak begitu jauh dari kampus mereka berdua, kampus dimana gua sempat mengantar Resti ikut seminar.
“Disini aja kak…” Ucap Feli sambil memakai tas-nya dan bersiap untuk turun.
“Masih jauh rumah lo?” Tanya Resti, sambil menatap ke luar jendela.
“Nggak sih, tinggal deket.. tapi masuk gang kecil, mobil nggak bisa masuk…” Jelasnya.
Gua lalu menepikan mobil, sesuai dengan posisi yang ditunjukkan olehnya. Feli lalu bergegas keluar, Resti menyusulnya ikut turun dari mobil. Mereka saling bicara sebentar, kemudian saling tertawa bersama, diakhiri dengan lambaian tangan.
Resti kembali masuk kedalam mobil, kali ini ia duduk di kursi penumpang bagian depan.
“Baru ketemuan sekali kayaknya udah akrab?…” Tanya gua.
“Iya, ternyata orangnya asik… cuma agak clumsy aja…” Jawab Resti singkat.
“...”
“... Oiya, tadi lo mau cerita apaan?” Tambahnya.
“Oh, iya… Nyokap sama Bokap lo berdebat masalah adat apa yang mau dipake buat resepsi. Dan tadi gua terjebak diantara perdebatan itu…” Gua bercerita.
“Ya ampun, kacian… Pantesan gesit banget waktu suru jemput..” Ucapnya sambil membelai wajah gua.
“...”
“... Emang pengen menghindar dari perdebatan itu yah?” Tanyanya.
“Iya, pusing…” Jawab gua singkat.
“Yaudah jangan langsung pulang kalo gitu..” Resti memberikan saran.
“Kenapa?”
“Pas sampe rumah, mereka pasti belom selesai berdebat…” Ucap Resti.
Nyatanya, piknik ke pantai dadakan itu bukan ide yang bagus. Masalah pertama adalah jarak yang terbilang lumayan jauh. Kami berangkat menjelang makan siang dan baru keluar pintu tol Cilegon Barat saat jam menunjukkan pukul 2 siang. Tepat pukul 3 sore, akhirnya kami tiba di anyer.
Sempat agak kesulitan mencari lokasi pantai yang cukup sepi karena weekend. Akhirnya kami memutuskan untuk parkir mobil di hotel dan berjalan menyusuri tepian pantai untuk mencari spot yang nggak terlalu crowded.
Sialnya, untuk bisa parkir di dalam Hotel, butuh verifikasi pelanggan. So, kami harus menyewa satu kamar hotel karena sudah terlanjur memarkir mobil disana.
Masalah berikutnya adalah baju ganti. Jalan-jalan ke pantai merupakan kegiatan yang mengharuskan kita membawa baju ganti. Entah mau berenang atau sekedar bermain air, baju yang kita kenakan pada akhirnya akan selalu basah.
Gua menarik lengan Resti saat ia tengah bersiap untuk ‘nyebur’ ke laut; “Emang lo bawa baju ganti?”
“Nggak” Jawabnya polos.
“Lah terus ntar pulangnya? mau pake baju basah?” Tanya gua lagi.
“Nggak”
“Yaudah nggak usah nyebur…” Saran gua.
“Yaah, masa ke pantai nggak nyebur…” Keluhnya.
Gua menghela nafas, kemudian teringat akan beberapa potong kaos milik gua yang berada di tas. Ya, sejak kejadian baju yang terkena muntahan Resti, gua selalu menyiapkan kaos bersih di dalam tas. Masalahnya, tas tersebut berada di dalam mobil yang terparkir di Hotel.
“Balik dulu ke hotel, gua ada kaos di mobil” Ucap gua ke Resti. Ua lalu merespon cepat dengan menarik lengan gua, berlari menuju ke hotel.
—
Gua duduk di tepi pantai, memandangnya berlarian, bermain dengan ombak sambil sesekali berteriak. Entah apa yang ia teriaki, gemuruh ombak dan riuhnya senda-gurau orang-orang membuat suaranya sulit terdengar. Sore itu, dengan kaos putih milik gua yang sedikit kebesaran dan celana pendek bermotif ‘summer floral’ ia terlihat cantik. Lebih cantik dari biasanya.
Ia lalu berlari menghampiri gua.
“Nggak mau nyebur?” Tanyanya, sambil menjatuhkan diri di atas gundukan pasir di sebelah gua. Nafasnya masih tersengal-sengal setelah habis berlari.
Gua menggelengkan kepala.
“Nggak seru…” Ujarnya, kali ini ia berdiri dan kembali berlari menuju bibir pantai.
Ia menoleh ke arah gua, rambut panjangnya yang tergerai tersibak, memperlihatkan wajah ayu nan rupawan, yang nyaris tanpa ‘cela’. Ia mengembangkan senyumnya, senyum yang dulu berhasil menaklukan para lelaki; termasuk gua.
“Ayo cepet sini…” Tambahnya, seraya melambaikan tangan ke arah gua.
Seperti terhipnotis, gua bangkit, berdiri dan berjalan ke arahnya. Ia meraih tangan dan menarik gua mendekat ke bibir pantai.
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di tepian. Riak air laut yang terasa hangat menyentuh kedua kaki kami. Ia menggenggam tangan gua dan menatap ke arah lautan lepas, sambil memicingkan mata ia meletakkan tangan kanannya di atas matanya; memandang ke horizon.
“Mataharinya bagus banget ya, Cad?” Tanyanya.
“Iya… ” Jawab gua sambil memicingkan mata.
Matahari perlahan mulai tenggelam, menyisakan sedikit sinarnya yang terbias pada permukaan air laut. Resti berjalan terpincang-pincang di sebelah gua; “Kenapa?” Tanya gua sambil menatap kakinya.
“Sakit deh…” Ucapnya seraya mengangkat kaki kirinya.
Gua membungkuk dan meraba bagian telapak kaki Resti, kemudian menemukan serpihan kulit kerang menancap di kakinya.
“Aw…” Teriaknya, begitu gua mencabut serpihan yang menancap.
Ia lalu melanjutkan berjalan dengan tertatih.
Gua kembali membungkuk di depannya; “Naek” Ucap gua. Dengan senyum yang mengembang, ia naik ke punggung gua dan mengalungkan tangannya di pundak. Gua berjalan sambil menggendongnya, menyusuri tepian pantai menuju kembali ke hotel. Sementara, Resti menatap jauh ke lautan sambil sesekali membenahi poni rambutnya yang tersapu angin.
“Kapal-kapal itu mau kemana ya, cad?” Tanyanya.
“Nelayan mau melaut, mungkin…” Jawab gua.
“Jam segini?”
“Iya.. lo nggak pernah belajar IPA dulu; tentang angin darat dan angin laut?”
“Apa tuh?”
“Pas malam hari udara panas di laut bergerak naik, berganti dengan udara yang lebih dingin dari darat. Udara dingin ini mendorong udara panas yang ada di laut, Nah, aliran udara yang bergerak dari daratan ke lautan ini disebut angin darat…” Gua menjelaskan.
“Terus hubungan antara angin darat dan para nelayan yang melaut jam segini?”
“Nelayan jaman dulu yang masih pake perahu layar, memanfaatkan arah angin darat yang menuju ke laut ini untuk berangkat berlayar…” Tambah gua.
“Tapi kan sekarang kebanyakan perahunya pake mesin, bisa berangkat kapan aja dong” Sanggahnya.
“Iya juga sih. Mungkin kalo berangkat jam segini, enak nggak panas” Jawab gua asal.
“Kalo malem kan ikannya juga pada tidur”
“Mana ada ikan tidur”
“Ih, ya tidur lah, cuma ikan itu tidurnya nggak kayak manusia. Mereka nggak merem… kalo nggak tidur gimana mereka istirahatnya.. Kasian capek berenang seharian”
“Dih, berenang itu kan nalurinya mereka”
Dan, seperti biasanya; sepanjang perjalanan kami habiskan untuk berdebat masalah ikan yang tidur atau tidak.
Langit benar-benar gelap saat kami berdua pada akhirnya tiba di hotel. Resti yang masih berada di gendongan gua menatap ke arah toko kecil di area lobby hotel yang menjual aneka pakaian a-la pantai, matanya tertuju pada celana pendek dengan motif ‘summer floral’ mirip dengan yang saat ini ia kenakan.
“Lo beli celana disini tadi?” Tanyanya.
“Iya…”
“Diantara banyak pilihan celana lainnya yang keren, dan lo milih motif yang ini?”
“Iya, lagian kan cuma dipake buat basah-basahan…” Ucap gua beralasan.
“Ih, susah ya emang kalo nggak ngerti mode” Keluhnya.
“Lo nggak mau turun?” Tanya gua saat kami sudah berada tepat di depan lift.
Perlahan Resti melepas pelukannya dan turun dari gendongan. Telapak kakinya yang terluka ia angkat sedikit. Gua menepuk pelan kepalanya sambil berbisik; “Udah biasa aja, nggak usah manja… cuma gitu doang”
“Ih, sakit tau…” Ucapnya sambil mencubit lengan gua.
—
“Kita pulang nih?” Tanyanya begitu masuk ke dalam kamar hotel.
“Iya. Emang mau nginep?” Gua balik bertanya.
“Ya sayang aja, kamarnya udah dibayar tapi nggak di pake” Jawab Resti sambil meraih baju ganti miliknya yang tergeletak di atas ranjang dan bergegas ke kamar mandi.
Sementara, melangkah menuju ke balkon, menyulut sebatang rokok sambil bersandar pada railing balkon dan menatap ke arah laut yang kini gelap gulita.
“Gua ngabarin bokap lo nih kalo mau nginep” Ucap gua sambil bersiap dengan ponsel di tangan begitu Resti keluar dari kamar mandi.
“Telpon aja…” Jawabnya singkat. Ia lalu duduk di atas ranjang, meraih remote dan mulai menyalakan televisi. Sementara, gua mulai menghubungi Papinya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sebelum akhirnya suara berat Papinya Resti menyapa gua di ujung sana.
“Halo Om..”
“Eh Bi… Menurut kamu pas resepsi pake adat Jawa apa Sunda?” Tanya Papinya mengawali percakapan.
Gua menghela nafas, enggan kembali terjebak dalam pilihan yang sulit, akhirnya gua menyerahkan ponsel ke Resti.
“Halo Pih…” Sapa Resti.
“Eh, Res.. Menurut kamu pas resepsi pake adat Jawa apa Sunda?” Papinya mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ia ajukan ke gua sebelumnya.
“Terserah Papi sama Mami aja deh…”
“Justru, kita lagi butuh pihak ketiga buat ngasih opini nih…” Ucap Papinya.
“Papih, Aku lagi di anyer nih… Pulangnya besok yah…”
“Eh, di anyer? ngapain?” Tanya papinya.
“Main…” Jawabnya singkat.
“Sama Bian?” Tanyanya lagi.
“Iya, emang sama siapa lagi…”
“Oh, yaudah… tidurnya nggak sekamar kan?”
“Sekamar lah…”
“Eh… kok sekamar? tapi nggak seranjang kan?”
“Seranjang lah” Jawab Resti santai, mencoba menggoda papinya. Tapi, justru ucapannya nggak hanya mengecoh papinya, itu juga mengecoh gua.
“Eh… kok seranjang?”
“Nggak pi, bercanda.. Ha ha ha…” Ucap Resti sambil tertawa.
“Yaudah, take care ya…”
“Ya..”
“Eh, Res… gimana nih? Adat Sunda apa Jawa?”
“Ih, Udah ah terserah Papi aja…” Jawab Resti kemudian mengakhiri panggilan, dan mengembalikan ponsel ke gua.
“Gua perlu pesen ekstra bed?” Tanya gua sambil meraih ponsel dari tangannya.
“Berarti kita tidur seranjang?” Tanya gua memastikan.
“Iya, kenapa? Kita udah dua kali tidur seranjang dan nggak pernah terjadi apa-apa kan?” Ucapnya yakin.
“Ya kalo sekarang, gua nggak bisa jamin nggak terjadi apa-apa” Jawab gua berusaha menggodanya.
Resti lalu menatap gua tajam dengan wajah yang serius. Ia lantas dengan cepat meraih gagang telepon yang berada di sebelah ranjang dan memesan ekstra bed.
Gua duduk di sebelahnya sementara ia melakukan panggilan. Begitu selesai menelpon, Resti beringsut dan menjauh dari gua; “Geser sana, jangan deket-deket” Ucapnya sambil berusaha mendorong gua menjauh dengan menggunakan kakinya.
“Udah sembuh kakinya?” Tanya gua.
“Udah…” Jawabnya.
“Cepet banget sembuhnya…”
Di Tengah sengitnya dorong-mendorong gua dan Resti. Ponsel milik Resti berdering, layarnya menampilkan nama Mami. Sontak, kami berdua berhenti dan saling pandang. Resti berdehem, kemudian menjawab panggilan.
“Halo mi…” Sapa nya dengan suara manis yang dibuat-buat.
“Loudspeaker” bisik gua pelan. Resti menangguk dan mengaktifkan mode pengeras suara pada ponselnya.
“Kamu nginep di anyer? sama Bian? Sekamar?” Tanya maminya bertubi-tubi.
“Iya mi.. tadi kan udah bilang sama papi…” Jawab Resti.
“Oiya, neng… Menurut kamu resepsi baiknya pake adat Sunda apa Jawa?” Tanya Maminya langsung merubah topik obrolan. Rasa-rasanya kekhawatiran Maminya akan gua dan Resti tidur sekamar hanyalah sebuah kedok.
“Ih, Mami mah sama aja kayak Papi... Mau adat Jawa kek, Adat Sunda kek, Betawi kek, Papua kek, terserah…” Jawab Resti nge-gas.
“Ulah kitu atuh neng… Penting ini..”
“Yaudah kalo penting di rembukin, kalo nggak ada hasilnya suit aja lah…” Ucap Resti memberi solusi.
“Ih kamu mah, Hese diajak kompromi… Yaudah besok pulang kan?”
“Iya besok pagi-pagi pulang kok…”
“Ya, ati-ati pulangnya”
“Iya…”
Resti mengakhiri panggilan dan menatap gua penuh pertanyaan. Ia mendekat dan bersandar di bahu gua, sambil memainkan ujung kaosnya, ia bicara pelan, seperti menggumam; “Kitanya santai, mami sama papinya yang ribet ya…”
“Iya, persis sama kayak perdebatan kita tadi. Ikan tidur apa nggak, kitanya mah berdebat, sementara ikannya santai-santai aja tuh…” Ucap gua.
Resti mendongak, menatap gua; “Ikan emang tidur, tapi tidurnya dia nggak kayak manusia” Ucap Resti mengulang pernyataannya tadi sore.
“Iya, gua setuju… yang nggak masuk diakal gua itu pas lu bilang ikan capek berenang… ya dia nggak mungkin capek lah, berenang buat ikan kan kayak jalan buat manusia…”
“Lah, manusia kalo kebanyakan jalan capek nggak?” Tanyanya.
“Ya capek sih…”
“Yaudah… masih mau berdebat masalah ikan?”
Gua lalu menggeleng pelan.
—
Stabbing Westward - Save Yourself
I know your life is empty
And you hate to face this world alone
So you're searching for an angel
Someone who can make you whole
I can not save you
I can't even save myself
So just save yourself
I know that you've been damaged
Your soul has suffered such abuse
But I am not your savior
I am just as fucked as you
I am just as fucked as you
I can not save you
I can't even save myself
So just save yourself
Please don't take pity on me
Please don't take pity on me
Please don't take pity on me
Please don't take pity on me
My life has been a nightmare
My soul is fractured to the bone
And if I must be lonely, I think I'd rather be alone
I think I'd rather be alone
You can not save me
You can't even save yourself
I can not save you
I can't even save myself
Save yourself
So just save yourself