Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua dan Resti duduk di teras tepi kolam renang, halaman belakang rumahnya. Sambil membubuhi obat merah di sudut bibir gua yang luka, ia bicara; “Duduk disini, bareng lo bikin gw jadi inget hal paling memalukan seumur hidup gw?” Ucapnya pelan.
“Pas lo nyanyi sambil megang botol?” Tanya gua.
Resti menghentikan kegiatannya, mulai menatap dan memukul lengan gua berkali-kali; “Ih, kok lo masih inget aja sih?”
Masih segar di ingatan gua kala itu; Gua berdiri sambil tersenyum memandangi dua kakak-beradik yang terlihat seru, bernyanyi sambil menari, di atas kursi kayu layaknya panggung. Begitu menyadari kehadiran gua, wajah Resti terlihat memerah, sambil menutupi wajah dengan telapak tangan, ia cepat-cepat ia turun dari kursi, dan pergi.
Baru gua sadari sekarang kenapa respon Rest saat itu terlihat berbeda. Kala itu, ia sudah menyukai gua.
“Waktu itu lo udah suka sama gua?” Tanya gua.
“Udah lah…”
“Makanya lo malu waktu gua ngeliat lo nyanyi sambil joget-joget kayak cacing kepanasan?” Tanya gua lagi.
“Heh! Gw nggak kayak cacing kepanasan yah…”
“Terus kayak apa? Kuda lumping?”
“Kenapa analoginya hewan semua…”
“Karena gua belum pernah ngeliat manusia melakukan hal kayak gitu sebelumnya” Jawab gua santai sambil tertawa. Mendengar jawaban gua, Resti pun merajuk; lalu menyentil bibir gua yang luka kemudian membuang muka.
“... Anyway, Kuda lumping bukan hewan” Tambah gua.
Gua mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celana, lalu menyodorkannya ke arah Resti. Ia menolak.
“Apa perlu kita ngobrol di tempat lain, dimana lo bisa ngerokok?” Gua menawarkan solusi.
“Nggak, gw lagi nggak pengen”
“Ok” Jawab gua, kemudian menyulut rokok.
Resti mengubah posisi duduknya, kali ini menghadap gua. Dengan lembut, ia merapikan rambut gua dan membelainya; “Kita belom pernah membahas pernikahan, mau bahas sekarang?” Tanyanya.
“Sekarang baru mau lo bahas? setelah gua dapet ini?” Gua bertanya balik sambil menunjuk luka di bibir gua akibat pukulan Papinya.
“Iya..”
“Ok, mau mulai dari mana?” Kali ini gua yang menggeser posisi duduk agar lebih dekat dengannya.
“Mmmm…. gimana kalo dari; seberapa besar keinginan lo untuk nikahin gw?” Tanyanya sambil menatap gua, terlihat raut wajahnya berubah serius.
“Well agak sulit buat gua jawab ya, karena kita udah skip terlalu banyak step untuk kesana” Jawab gua.
“Ok, kalo gitu gw ganti pertanyaannya; Seberapa sayang lo sama gw?” Tanyanya.
“Ini boleh gua jawab besok, nggak?” Gua balik bertanya, mengajukan penawaran.
“Kenapa kalo jawab sekarang?”
“Karena jawabannya bukan sebuah kata-kata atau kalimat” Ucap gua.
“Ok, boleh kalo gitu… Then move forward; Lo ngerasa gw terlalu buru-buru nggak mengambil keputusan ini, keputusan buat nikah?” Tanyanya.
“Iya, lo terlalu terburu-buru” Jawab gua singkat.
“Berarti gw salah?”
Gua menggeleng; “Keputusan yang buru-buru, belum tentu salah…”
“...”
“... Tapi, seandainya lo masih punya banyak waktu buat berfikir, kenapa nggak dipikirkan dulu dan tentu saja didiskusikan dengan gua. Yang lo mau ajak nikah kan gua…”
“Ok, tapi sekarang lo setuju kan?”
“Setuju…”
“Sebelumnya? Lo nggak setuju?”
“Setuju juga kok, cuma gua masih mikirin, kalo nikahin lo, lo mau gua kasih makan apa?”
“Ketoprak setiap hari juga gapapa…” Ia menjawab.
“...”
“... asal sama elo” Resti menambahkan.
“Gua bahkan sekarang nggak punya rumah, terus gua harus ngajak lo tinggal dimana?”
“Ya salah sendiri, udah punya rumah malah dikasih orang” Jawabnya sambil menjewer telinga gua.
“...”
“... Gw nggak papa tinggal di rumah mungil, kreditan bank, sesuai rencana lo kok…” Tambahnya.
“Bener?”
“Iya, bener…. Tapi, apa lo nggak sayang sama apartemen yang sekarang lo tempati?”
“Itu bahkan bukan punya gua…”
“Kata siapa?” Ucap Resti, ia kemudian berdiri dan bergegas masuk. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan sebuah map plastik di tangannya. Ia duduk, mengeluarkan lembaran kertas dari dalam map dan menyerahkannya ke gua; Sebuah sertifikat apartemen.
Dan Nama gua tertera sebagai pemiliknya.
“Sejak kapan, lo balik nama?” Tanya gua sambil menatapnya.
“Balik nama? Itu dari awal emang gw beli atas nama elo…” Jawabnya.
“Hah?! Kenapa?” Tanya gua, tentu saja dengan ekspresi terkejut.
“Pake nanya kenapa lagi… Apa perlu gw bilang, kalo gw sayang sama elo?”
“Hah? apa?” Tanya gua, ingin memastikan ucapannya barusan. Untuk pertama kalinya, gua mendengar seorang Resti bilang ‘sayang’ ke gua.
Ia tak menjawab, wajahnya merona, ia berdiri dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah.
—
Siang itu, gua duduk disisi pusara nyokap sambil memainkan ujung rumput yang terpotong rapi di permukaan gundukan makam. Gua bicara pelan, sambil menatap tulisan nama nyokap yang tertera di nisan; “Kalo mamah masih ada, mamah pasti suka sama dia”
Resti berjalan mendekat, kemudian berlutut tepat di sebelah gua. Ia menatap gua sebentar kemudian berpaling ke arah nisan, setelah meletakan bunga tepat di atas makam, ia mulai bicara; “Hi Tante, Aku Resti… Salam kenal…” Ucapnya pelan sambil melambaikan tangan ke arah makam.
Gua menoleh ke arahnya sambil pasang tampang bingung; “Kenapa kayak ngobrol sama orang yang masih hidup?” Tanya gua sambil berbisik.
“Nah elo ngapain bisik-bisik? takut nyokap lo bangun?” Ia balik bertanya ke gua.
Gua menghela nafas dan membiarkan Resti melanjutkan bicaranya.
“Ya gini deh anak tante; Aneh!... Suka mendebat aku, suka ngeyel dan nggak bisa dibilangin. Kalo tante masih hidup, pasti tante kerepotan ngasuh dia.. Tapi, gimana ya tan. Aku udah terlanjur suka sama dia. Mudah-mudahan aku dikasih kekuatan untuk tetap bertahan bersamanya ya tan…” Ucap Resti pelan.
Gua kembali menoleh ke arahnya, kali ini sambil tersenyum. Resti yang menyadarinya balas menatap; “Apa?! emang lo ngeyel kan…” Ucapnya.
“Tapi lo suka kan?” Tanya gua.
“Udah ah.. yuk…” Ajaknya sambil berdiri dan menarik lengan gua.
Gua berdiri dan membiarkan Resti menarik lengan gua, pergi dari area makam.
Sebelum kesini, kami berdua sempat mampir ke makam Bokap dan kurang-lebih melakukan hal yang sama. Dan selanjutnya, ke makam Larissa.
Selama di mobil, Resti terlihat agak gelisah dan cemas. Beberapa kali kedapatan ia merenung, menatap kosong ke depan sambil menggigit bibirnya. Dan bahkan tak jarang ia memijat bagian keningnya sambil menggumam sendiri.
Gua menoleh ke arahnya; “Kenapa?” Tanya gua.
“Gapapa..” Jawabnya pelan.
Gua tau ia nggak menjawab jujur namun enggan mengganggunya saat seperti ini. Nanti, saat pikirannya sudah kembali jernih, ia akan bercerita; as always.
“Ya emang supposed to be like that kan. Kalo melakukan kejahatan ya harus ngaku…”
“Ih, elo mah… nggak membantu banget, Itu tuh cuma analogi…”
“Iya gua tau. Gua cuma bercanda… Lagian kenapa harus deg-degan? kita kan cuma mau ke makam Larissa”
Mendengar ucapan gua, Resti berpaling, lalu menjewer telinga gua; “Gw tuh rasanya kayak ngerebut lo trus mau bikin pengakuan” Ucapnya pelan.
“Yaudah gua aja yang kesana, lo mau nunggu dimana? nunggu disana aja ya?” Tanya gua sambil menunjuk sebuah plang restoran cepat saji yang terletak beberapa puluh meter di depan.
Resti menggeleng.
“Minta rokok lo dong…” Ucapnya.
Gua meraih bungkusan rokok dari saku jaket dan memberikan kepadanya. Dengan cepat ia meraihnya. Gua membuka kedua jendela dan mematikan AC; berniat merokok, seakan ingin ingin berbagi rasa dengannya.
Beberapa menit berikutnya, kami sudah tiba di area parkir pemakaman. Gua mengambil buket bunga di kursi belakang dan bergegas turun. Sementara, Resti terlihat masih duduk diam sambil menundukan kepala; seperti tengah merenung. Dari luar, gua mengetuk kaca jendela bagian penumpang dan memberikan kode padanya agar segera keluar.
Resti menoleh ke arah gua dan menurunkan jendela.
“Lo tunggu disini aja” Ucap gua.
“Iya…” Jawabnya pelan.
Gua lalu bergegas pergi menuju ke makam Larissa.
Beberapa tangkai mawar yang sudah mengering tergeletak di atas makam Larissa. Gua menyingkirkan mawar yang mengering, menyisakan satu tangkai yang terlihat masih segar; mawar terakhir yang gua letakkan minggu kemarin.
“Gua dateng lagi nih sa.. Lo bosen ya sama gua?”
“... Sekarang, gua bawa banyak nih bunganya, nggak cuma satu..” Gua menambahkan sambil meletakkan buket mawar tepat di bawah nisan yang terukir namanya.
“... Apa kabar sa? Kabar gua baik.. Sangat baik malah..”
“...Oiya, gua juga mau ngasih kabar buat lo… Gua mau nikah…”
“... Sama orang yang pasti lo kenal dengan baik, sekarang dia ada di mobil, mungkin terlalu berat buat dia kesini nemuin lo.. Harap maklum ya sa…”
Ditengah ‘obrolan’ gua dengan Larissa. Terdengar suara langkah kaki mendekat, langkah yang kemudian berhenti nggak jauh dari posisi duduk gua saat ini. Gua mendongak, menatap Resti yang tengah berdiri sambil menatap nisan adiknya. Kedua pipinya telah basah dengan airmata, sementara tubuhnya bergetar karena isak tangisnya.
Ia perlahan membungkuk sambil berpegangan pada bahu gua.
“Maafin gw ya Sa… I can’t fight this feeling anymore…” Ucapnya pelan, suaranya terdengar parau dan terbata-bata.
“... Maafin gw nggak bisa nepatin janji yang udah kita buat…” Tambahnya.
Gua menoleh ke arah Resti, mengusap pelan pipinya yang basah, sementara Resti masih menatap ke arah nisan adiknya sambil menggenggam tangan gua.
Berniat memberikan waktu ‘berdua’ untuknya, gua perlahan-lahan berdiri dan menjauh dari makam. Di Bawah sebuah pohon besar, nggak jauh dari makam Larissa, gua berdiri dan bersandar pada batang pohon sambil melihat Resti tengah duduk sambil meratap dipusara adiknya.
Beberapa saat kemudian, Resti mulai berdiri; terlihat tubuhnya gontai. Gua membuang puntung rokok dan bergegas menghampirinya.
“Kenapa?” Tanya gua sambil menahan tubuhnya yang nyaris roboh.
Wajahnya pucat, sementara matanya terlihat sayu. Gua menyentuh bagian dahinya dengan punggung tangan; Nggak demam.
Gua lalu berbalik dan memapahnya kembali ke mobil. Untuk pertama kalinya; gua mengunjungi makam Larissa dan pulang tanpa pamit.
—
“Ke dokter” Ucap gua begitu kami berdua sudah berada di dalam mobil, sambil menyodorkan botol air mineral kepadanya.
Resti menggelengkan kepalanya.
“Nggak ah…” Jawabnya, kemudian mulai meminum air pemberian gua.
“Itu bukan pertanyaan kok, jadi gua nggak butuh jawaban lo…” Balas gua, kemudian menyalakan mesin mobil dan bergegas menuju ke rumah sakit, klinik atau tempat praktek dokter umum terdekat.
“Gw cuma lemes doang…” Ucapnya.
“Ya dokter ntar yang memutuskan lo kenapa…” Jawab gua.
“Ih, males banget ke dokter… ntar nggak kenapa-kenapa malah suru cek ini itu, minum obat ini itu…” Balasnya.
“Kalo nggak kenapa-kenapa masa disuruh minum obat…”
“Ya bisa aja.. di suru minum vitamin…”
“Ya nggak apa-apa dong kalo minum vitamin doang…” Balas gua. Ok! sampai disini gua bisa menyimpulkan kalau Resti memang benar nggak kenapa-kenapa; Di kondisinya yang nggak prima saja, dia masih bisa mendebat gua; Luar biasa memang nih manusia!
“Pulang aja deh ya…” Pintanya.
“Ya…” Jawab gua singkat.
“...”
“... Abis dari dokter…” Tambah gua. Sambil membelokan kemudi ke pelataran klinik 24 jam yang pertama kami temui.
Nyatanya, perkiraan Resti dan tebakan gua benar adanya. Saat dokter yang memeriksa Resti cuma mengatakan; “Nggak apa-apa kok, cuma tekanan darahnya agak tinggi.. selebihnya normal…” Ucap sang Dokter sambil sibuk menulis resep.
Keluar dari ruangan dokter Resti menyerahkan lembaran resep yang baru ia terima tadi; “Ntar lo aja yang minum vitaminnya…” Ucapnya.
“Dih, kan elo yang disuruh minum…”
“Gw nggak suka minum obat apalagi vitamin…” Jawabnya. Kemudian duduk di salah satu kursi ruang tunggu di klinik. Gua mengantongi resep dari dokter ke saku jaket dan duduk di sebelahnya. Resti menoleh ke arah gua; “Nggak nebus resep?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
“Yaudah ayo pulang…” Ajaknya. Ia berdiri dan bergegas pergi. Dengan cepat gua meraih tangannya dan menariknya kembali.
“Duduk…” Pinta gua.
Resti mengernyitkan dahinya sambil menatap gua. Lalu duduk ke tempatnya semula; “Kenapa?” Tanyanya.
Gua mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Mengambil bungkusan plastik kecil dari dalam dompet. Bungkusan plastik kecil yang berisi sebuah kalung dengan liontin berbentuk sebuah huruf “C”. Gua membalik bungkusan plastik, berusaha mengeluarkan kalung tersebut dan menjatuhkannya di telapak tangan.
“Buat gw?” Tanya Resti, begitu melihat gua menyodorkan kalung yang berada di telapak tangan gua ke arahnya.
Gua mengangguk.
Resti meraih dan membentangkan kalung tersebut. Senyum lalu terukir di wajah yang sebelumnya lesu. “Kapan belinya?” Tanyanya, sambil matanya terus menatap ke arah kalung.
“Eh, kok inisialnya C sih, bukan R…?” Ia kembali bertanya begitu melihat liontin berbentuk huruf C yang merupakan inisial dari nama nyokap gua.
Gua tersenyum; “Lo pernah bilang kalo lo suka kalung itu” Ucap gua pelan.
“Oh… iya iya, ini kalung nyokap lo kan? yang ada di foto itu?” Tanyanya memastikan, ekspresinya sangat antusias. Ia bahkan terlihat hampir melompat saking senangnya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
Resti memberikan kembali kalung tersebut seraya mengangkat bagian belakang rambutnya; meminta gua untuk memakaikan kalung tersebut kepadanya.
“Cakep nggak?” Tanyanya sambil berpose memegang liontin yang sudah terpasang di lehernya.
“Cakep” Jawabnya.
“Gw-nya apa kalungnya?”
“Elo-nya…” Gua menjawab pelan.
“Yeay…”
“Ini jawaban atas pertanyaan lo kemarin; tentang Seberapa sayang gua sama lo… Itu satu-satunya barang berharga yang ditinggalin nyokap gua. Dan gua kasih satu-satunya barang itu ke elo…”
“Duh, pengen meluk lo tapi lagi di klinik…”
—
Keane - Somewhere Only We Know
I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete
Oh simple thing where have you gone?
I'm getting old and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired and I need somewhere to begin
I came across a fallen tree
I felt the branches of it looking at me
Is this the place we used to love?
Is this the place that I've been dreaming of?
Oh simple thing where have you gone?
I'm getting old and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired and I need somewhere to begin
And if you have a minute why don't we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?
Oh simple thing where have you gone?
I'm getting old and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired and I need somewhere to begin
And if you have a minute why don't we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go?
So why don't we go?
Ah-ah-ah
Ah-ah-ah
This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?