Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua duduk di beranda rumah lama, sementara Resti duduk tepat di sebelah gua, sibuk dengan ponsel di tangannya.
Dengan diantar Mas Bobi, Mas Karlan turun dari boncengan sepeda motor. Ia menggeser pagar, masuk dan menghampiri kami.
Sudah beberapa bulan sejak gua dan Resti menjenguk Mas Karlan. Kali ini, ia sudah terlihat sehat, walaupun saat berjalan masih terlihat sedikit tertatih, seperti menahan sakit. Namun, hal tersebut nyatanya nggak menyurutkan niatnya untuk kembali bekerja.
“Omah sopo iki cad?” Tanya Mas Karlan.
Ia lalu masuk kedalam melalu pintu yang sengaja gua biarkan terbuka. Sampai saat ini, Mas Karlan masih menyangka, gua memintanya datang untuk mengerjakan sebuah proyek. Makanya, Mas Karlan buru-buru masuk ke dalam, kemudian membuat perkiraan tentang panjang kabel yang dibutuhkan; jika proyeknya tentang instalasi internet.
Gua nggak menjawab.
Resti lalu bangkit dari duduknya, memasukkan ponselnya kedalam saku lalu menghampiri Mas Karlan.
“Mas, ini kamar paling besar.. buat Mas Karlan sama Mbak Sri…” Ucap Resti seraya membuka pintu bekas Kamar Bokap dan menunjukkannya ke Mas Karlan.
Sementara Mas Karlan masih terbengong-bengong dibuatnya.
“... Ini kamar lebih kecil buat anak-anak” Lanjut Resti, kali ini membuka pintu kamar yang dulunya merupakan kamar gua.
“....”
“... Terus ada satu kamar lagi di atas, sekarang sih masih jadi gudang… tapi kalo udah di beresin, bisa jadi kamar… Diatas juga ada tempat nyuci, jemur… Mesin cucinya juga masih ada. Tapi nggak tau masih nyala apa nggak…”
“Tunggu, tunggu Res… Kamu kok njelasin kayak agen perumahan aja…” Tanya Mas Karlan.
Resti merogoh saku Sweater yang ia kenakan, mengambil kunci rumah dari dalamnya dan menyerahkannya ke Mas Karlan.
Gua menghampiri mereka berdua, kemudian menepuk pelan bahu Mas Karlan. “Besok ajak Mbak Sri sama Anak-anak kesini. Ini rumah buat Mas Karlan…” Ucap gua pelan.
Mas Karlan terdiam, beberapa kali ia menoleh ke arah gua kemudian berpaling ke Resti.
“Ini rumah Papah, buat gua ini terlalu besar… lebih cocok buat Mas Karlan…” Gua menjelaskan.
Terang-terangan Mas Karan menolak; “Edan!... Lha kamu aja sekarang nge-kos. Kok malah nyuru saya nempatin rumah ini…”
“Iya, karena rumah ini terlalu besar buat gua…” Gua kembali menjelaskan.
“Moh… Ogah..” Ucap Mas Karlan.
“Please Mas… Kali ini aja, please terima pemberian gua…” Ucap gua memohon ke Mas Karlan. Ia lalu menatap gua dengan mata yang mulai berlinang. Kemudian mengangguk dan meraih kunci rumah yang sejak tadi disodorkan Resti.
Walau akhirnya menerima keputusan sepihak gua. Mas Karlan tetap enggan menerima rumah tersebut sebagai ‘pemberian’. Ia setuju untuk tinggal disana, tapi urusan sertifikat dan surat-surat lainnya ia nggak mau memegangnya dan bersikeras agar semuanya masih tetap atas nama gua. “Ok!” gua menyetujui syarat darinya.
—
Beberapa hari sebelumnya.
Gua dan Resti duduk di salah kursi kayu panjang di dalam kedai bubur kacang ijo langganan gua. Lokasinya tepat berada di ujung gang menuju ke tempat kos-kosan gua.
“Masih jauh?” Tanya Resti sambil mencelupkan potongan roti ke dalam kuah bubur kacang ijo miliknya.
“Nggak… Tuh, keliatan bangunannya..” Ucap gua sambil menunjuk ke arah bangunan tiga lantai tempat kos gua.
“Ooh…” Responnya santai.
“...”
“... Lo jadi mau ngasih rumah lo ke Mas Karlan?” Tanya Resti.
“Jadi” Jawab gua singkat.
“Terus lo mau selamanya tinggal di kosan?” Resti kembali bertanya.
Gua menggeleng, lalu menatapnya; “Gua mau nabung, pengen ngajuin kredit rumah…”
“Aneh…” Ucap Resti.
“Apanya yang aneh?” kali ini gua yang bertanya.
“Lo udah punya rumah, malah lo kasih orang. Trus sekarang lo malah pengen nyicil beli rumah…”
“Pertama; Itu bukan rumah gua. Kedua, Rumahnya terlalu besar buat gua tinggal sendirian. Ketiga; Gua mau punya rumah hasil keringat sendiri. Keempat; selama ini kalo diitung-itung semua yang dikasih Mas Karlan ke gua, udah bisa buat dia beli rumah. Tapi, daripada beli rumah, dia malah ngidupin gua…”
Resti mengangguk, sambil menggumam; “Make sense”
“... Lo pasti sayang banget ya sama Mas Karlan? Sampe lu rela ngasih rumah ke dia” Resti menambahkan.
“Iya” jawab gua singkat.
“...”
“Menurut lo, dia bakal mau nggak?” Kali ini gua bertanya pendapatnya.
“Nggak. Pertama, dia bakal nolak. Tapi, setelah tau kalau lo ngasih rumah itu ke dia karena rasa sayang lo… dia akhirnya bakal nerima…” Resti membuat prediksi.
“Yakin?” Tanya gua
“Yakin 100%” Jawabnya.
“100%? Sok tau…” Debat gua.
“Gw pernah mengalaminya kok…” Jawabnya.
“Kapan?”
“Gw pernah ngasih ATM yang isinya nggak dikit ke seorang cowok. Then, you know what he says; Gw dibilang ‘Gila’ dan cowok itu berusaha balikin ATM nya ke gw… Akhirnya, setelah tau kalau gw ngasih ATM itu karena rasa sayang gw, sampe sekarang dia nerima…”
“Hahahaha… Gua cowoknya. But, wait… Berarti lo sayang banget dong ke gua yah?”
“You wish!” Ucapnya kemudian berdiri dan keluar dari kedai.
Gua berdiri, mengeluarkan dua lembar pecahan sepuluh ribu dan menyerahkannya ke abang penjual bubur kacang ijo, kemudian menyusul Resti keluar.
“Mobil nggak papa disini?” Tanya Resti sambil menunjuk ke arah mobil bokap yang kali ini kami gunakan.
“Nggak, ada parkiran kok di kosan” Jawab gua kemudian masuk kedalam mobil. Nggak lama, Resti menyusul masuk; “Lo sering makan disini?” tanyanya, merujuk ke kedai bubur kacang ijo tempat kami makan barusan.
“Sering, Kenapa? nggak enak ya? Ya mau gimana. Nggak banyak pilihan lain…” Jawab gua berasumsi.
“Enak kok” Jawabnya singkat.
Karena jaraknya memang tak begitu jauh, nggak butuh waktu lama buat kami untuk tiba di parkiran kos-kosan. Sebelum keluar dari mobil gua mewanti-wanti Resti agar masuk secara terpisah agar nggak dicurigai penghuni kos lainnya.
Tempat kos-kosan yang sejak dulu gua tempati ini memang kos-kosan ‘campur’. Yang artinya, siapapun bisa menyewa kamar disini; laki-laki maupun perempuan. Dan tak ada batasan bagi para penyewa untuk menerima tamu; laki-laki atau perempuan. Hanya saja, ada peraturan umum yang menyebutkan kalau penyewa tidak diijinkan membawa orang lain, entah itu tamu, teman, keluarga apalagi pacar dan pasangan untuk menginap. Jika, sampai ketahuan oleh pemilik kosan, maka sanksinya adalah di usir.
Sejatinya, hal ini bukanlah ‘hal baru’ bagi para penghuni kos-kosan. Banyak para penghuni yang dengan sengaja membawa teman atau pasangannya menginap di kamar. Dan ini tak dilakukan secara terang-terangan, tentu saja dengan memberikan sedikit ‘pelicin’ kepada Pak Umar; si penjaga keamanan kos.
Namun, tentu saja Resti menolak saat gua mengusulkan agar kami berdua nggak masuk ke area kos secara bersamaan; “Ogah, kayak prostitute aja gw!” Ucapnya kemudian meraih kantong plastik berisi camilan yang sempat ia beli tadi, lalu keluar dan membanting pintu mobil.
—
Gua membuka pintu kamar kos dan masuk kedalam. Sementara, Resti nggak langsung masuk. Ia memandang ke sekeliling kamar gua yang kecil dan berantakan.
Sebelumnya ia pernah merasa murung karena kasihan kepada Mas Karlan dan keluarganya yang tinggal di rumah kontrakan kecil. Gua nggak bisa membayangkan bagaimana perasaannya sekarang saat mengetahui kondisi kamar kosan gua yang terlihat lebih menyedihkan daripada rumah Mas Karlan.
Gua buru-buru merapikan pakaian kotor yang berserakan di atas kasur lipat dan memasukkannya ke dalam kantong plastik bekas yang kebetulan berada disana. Membuang puntung dan abu rokok dari tutup bekas kaleng biskuit ke tempat sampah dan merapikan kasur lipat, tempat yang gua anggap paling bersih dikamar ini.
“Nggak mau masuk?” Tanya gua sambil menatapnya yang masih berdiri di ambang pintu.
Resti perlahan melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar kos gua. Dan kembali melanjutkan ritualnya; menatap sekeliling.
Gua meraih bungkusan berisi camilan dari tangannya, mengeluarkan kaleng soda dan mulai meminumnya. Sementara, Resti terlihat meraih potongan bekas sumpit yang tergeletak lalu memeriksa plastik tempat sampah gua; terlihat jelas sisa kemasan mie instan dan bungkus kopi sachet yang jadi makanan gua sehari-hari.
Ia lalu bersandar pada dinding, kemudian membiarkan tubuhnya merosot hingga terduduk dilantai dengan kedua tangan memeluk lututnya. Wajahnya tampak penuh kesedihan, sementara kedua matanya mulai berlinang.
“Kenapa?” Tanya gua.
Resti nggak menjawab, ia malah menenggelamkan kepalanya di antara lutut dan mulai terisak.
Gua mendekat ke arahnya; mulai khawatir. “Kenapa?” Tanya gua lagi, kali ini dengan suara lebih pelan dan lembut.
Ia mendongak dan menatap gua dengan matanya yang berlinang; “Gw nggak abis pikir aja…”
“...”
“... Selama ini hidup gw enak, nggak pernah kekurangan apapun. Di tempat lain, elo, hidup lo kayak gini…” Ucapnya sambil terisak.
“Lah, kenapa hidup gua?” Tanya gua penasaran.
Resti lalu menoleh ke arah kotak sampah dimana tadi ia menemukan bungkus kemasan mie instan. “Tuh, lo tiap hari makan mie…” Ucapnya, kali ini ekspresinya cemberut.
“Nggak tiap hari” Jawab gua.
“Itu, banyak banget bungkus mie semua…” Responnya.
“Makan mie tiap hari nggak bikin mati, Res…” Ucap gua berusaha menghiburnya.
“Ntar kalo usus lo lengket gimana?” Tanya Resti sambil setengah berteriak, sementara matanya masih berlinang.
“Hah? Usus lengket? Teori dari mana lagi itu?” Tanya gua, sambil berusaha menyeka air matanya yang mulai mengalir membasahi pipi.
“Teori gw…” Ucapnya lirih.
Masih dengan mata yang berlinang, ia lalu memeluk gua erat; sangat erat. Saking erat pelukannya; gua bahkan sampai kesulitan bernafas. “Res, gua susah nafas” Ucap gua terbata-bata.
“Tahan!” Jawabnya singkat, padat dan jelas.
—
Sementara, Resti masih berada di pelukan.
Gua menatap layar ponsel yang menampilkan isi chat dari Mas Karlan. Besok gua sudah membuat janji dengan Mas Karlan untuk bertemu di rumah lama gua; Rumah bokap. Tentu saja sudah membulatkan hati untuk melakukan hal tersebut; memberikan rumah tersebut kepada Mas Karlan. Jika, ia keberatan dengan frasa ‘memberikan’, mungkin gua bisa membujuknya untuk menempati rumah tersebut dengan harga sewa dua puluh ribu rupiah per bulan.
“Res.. res…” Panggil gua pelan.
Ia tak menjawab. Gua membelai pelan kepalanya, sambil kembali memanggilnya; “Res”. Namun, ia tak juga menjawab. Dengan ponsel, gua mengarahkan kamera bagian belakang tepat di wajahnya, mulai menjepret; ‘cekrek’ dan melihat hasilnya; Ia tertidur.
Sambil tersenyum, gua memandangi layar ponsel yang menampilkan wajah Resti tengah tertidur dari dekat; ia tampak lucu dan menggemaskan. Sesekali gua memperbesar gambar, memperhatikan dengan seksama kulit wajahnya yang lembut . Lalu sempat terbesit dipikiran gua; ‘Ni bocah gua perhatiin nggak pernah jerawatan, padahal doyan banget makan ketoprak. Atau selama ini, teori tentang makanan mengandung kacang menyebabkan jerawat itu salah?’
Dengan perlahan, gua melepas pelukan tangannya dan merebahkannya diatas kasur. Gua menyeka sisa-sisa air mata yang mulai mengering di kedua pipinya, juga butiran-butiran keringat di sekitar dahi. Kemudian menyalakan kipas angin yang tertempel pada dinding kamar. Sepertinya, kipas angin tak memberikan efek apapun saat gua melihat butiran keringat kembali muncul di dahi Resti.
Gua mulai mengibaskan lembaran potongan kardus ke arahnya; mencegahnya berkeringat karena kepanasan.
—
Jam hampir menunjukkan pukul 9 malam. Setelah hampir tiga jam gua mengibaskan potongan kardus ke arah Resti, tangan gua mulai kebas dan mati rasa. Gua menghentikan kibasan, kemudian memijat pelan pergelangan dengan tangan kiri. Disaat yang sama, Resti membuka matanya, kemudian menatap gua; “Gerah” Ucapnya.
“Ya, ini gua kipasin.. udah tidur lagi” Jawab gua pelan, kemudian kembali mengibaskan potongan kardus ke arahnya.
Ia meraih ponsel miliknya untuk melihat jam; “Jam 9?” Ucapnya dengan suara serak.
“Iya” Jawab gua.
“Lo dari tadi ngipasin gw?” Tanyanya
“Iya”
“Nggak pegel?”
“Pegel lah” Jawab gua.
“...”
“...Kan ganti-gantian, tangan kanan sama tangan kiri… udah tidur lagi kalo masih ngantuk” Ucap gua, sementara tangan kanan gua masih mengibas lembaran kardus ke arahnya.
Resti meraih tangan gua, menghentikan gerakan mengibas; “Nggak usah di kipasin kalo pegel”
“Gapapa, ntar lo gerah” Jawab gua.
Ia lalu bangun dan duduk sambil menghadap gua; “Terus fungsi kipas itu apa? nggak ada anginnya sama sekali” Tanya Resti seraya menunjuk kipas angin yang tertempel di dinding.
“Mungkin dinamonya udah lemah” Jawab gua asal.
“Terus, selama ini lo tidur sambil kegerahan?” Tanyanya lagi.
“Ya, kan gua bisa buka pintu biar nggak gerah” Jawab gua.
“Nggak banyak nyamuk?”
“Banyak banget. Tapi, kan pake lotion…” ucap gua sambil menunjuk ke arah deretan lotion anti nyamuk sachet di sisi tempat tidur.
“Lo tempatin apartemen gw aja, ntar biar gw balik lagi ke rumah Papi” Ucap Resti.
“... punya rumah mau lo kasih orang, ditawarin tempat yang layak lo ogah, mau lo apa sih sebenernya?” Omelnya sambil pasang tampang cemberut.
Gua tersenyum, kembali mengibaskan lembaran kardus ke arahnya kemudian mendorong dahinya hingga ia berbaring di atas kasur. Resti memutar tubuhnya, kali ini ia membelakangi gua; “Nggak berasa anginnya, yang kenceng” Ucapnya.
“Ini udah kenceng…” Ucap gua.
“Mana? nggak ada anginnya” Balas Resti.
“Pegel” Keluh gua pelan.
Resti kembali memutar tubuhnya menghadap ke gua. “Mulai besok, kita kelarin urusan satu persatu ya… then we can move forward” Ucapnya pelan.
“...”
“... mulai dari urusan rumah lo sama Mas Karlan” Tambahnya.
“Lo baru aja bangun setelah molor tiga jam, dan lo bilang nggak bisa tidur?”
Resti nggak menggubris ucapan gua. Ia bangkit berdiri, menata ulang rambutnya yang berantakan, lalu menguncirnya seperti biasa. Kemudian menatap sekeliling, seakan mencari sesuatu.
“Nyari apa?” Tanya gua.
“Lo nggak punya tas yang gede?” ia balik bertanya.
“Nggak ada, buat apa?”
“Terus lo naro baju-baju lo dimana?”
“Disini…” Jawab gua sambil menunjuk ke sebuah box container besar berwarna putih dengan tutup plastik biru.
Dengan sigap, Resti menarik container besar tersebut, membuka tutupnya dan mulai memasukan pakaian gua yang tergantung di balik pintu kamar dan barang-barang lain, seperti selimut, laptop, termasuk tumpukan baju kotor yang sempat gua masukan kedalam plastik.
Ia menutup box container dan menggesernya ke arah pintu kamar. Kemudian berdiri menatap gua sambil bertolak pinggang; “Ada lagi barang yang masih lo mau pake?”
Gua menatapnya bingung. “Lah, ini semua masih gua pake” Jawab gua sambil menunjuk sekeliling ruangan.
“Pilih yang masih lo mau pake, masukin sini…” Ucapnya sambil kembali membuka box container.
Masih penuh dengan tanda tanya, gua berdiri dan melakukan yang dititahkan Resti. Mungkin, ia hanya nggak ingin kamar gua terlihat begitu berantakan, pikir gua dalam hati sambil terus memilah barang dan memasukkannya ke dalam container.
Nggak bisa dipungkiri, setelah memilah barang-barang gua yang nggak seberapa, kondisi kamar kos gua terlihat jauh lebih rapi dan bersih. Saat ini, yang terlihat hanya kasur lipat di sudut ruangan, beberapa plastik besar berisi sampah dan barang tak terpakai. Sisanya berada dalam box container yang kini sudah tertutup rapat.
“Udah semua?” Tanya Resti memastikan.
“Kayaknya iya… Eh.. sikat gigi sama sabun gua belom…” Ucap gua, kemudian bergegas ke kamar mandi.
Resti merebut gayung berisi sikat gigi, sabun dan botol shampo dari tangan gua dan memasukkannya ke dalam plastik sampah. “Ntar beli yang baru” Ucapnya.
Jam berikutnya, kami sudah berada di dalam mobil menuju ke apartemen Resti. Gua menoleh ke belakang, ke arah box container yang berada di kursi belakang. “Emang nggak bisa di diskusikan dulu ya?” Tanya gua.
“Kan tadi udah” Jawab Resti.
“Perasaan tadi gua nggak bilang ‘setuju’ mau pindah ke tempat lo” Sanggah gua.
“Gw kan nggak minta persetujuan lo” Ucapnya.
“Tapi kan….” Belum selesai gua menyelesaikan kalimat, Resti meletakkan jari di bibirnya. Memberikan kode agar gua diam. Ia lalu menaikkan volume pemutar musik pada dashboard mobil yang tengah memutar lagu; Fall for you-nya Secondhand Serenade, kemudian ikut bernyanyi; “...This is not what I intended, I always swore to you I'd never fall apart…”
—
Secondhand Serenade - Fall For You
The best thing about tonight's that we're not fighting
Could it be that we have been this way before
I know you don't think that I am trying
I know you're wearing thin down to the core
But hold your breath
Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
You're impossible to find
This is not what I intended
I always swore to you I'd never fall apart
You always thought that I was stronger
I may have failed
But I have loved you from the start
Oh
But hold your breath
Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
It's impossible
So breathe in so deep
Breathe me in
I'm yours to keep
And hold onto your words
'Cause talk is cheap
And remember me tonight
When you're asleep
Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
Tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
You're impossible to find