Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Buat gua yang sudah dua kali menjalani percintaan, hubungan gua dengan Resti terbilang yang paling ‘lain’. Hubungan kami berdua jauh dari kata romantis; kami bahkan nggak saling bilang cinta, kita berdua hanya saling menghidupi.
Tak ada kata-kata lumrahnya orang pacaran, seperti; ucapan selamat tidur, semoga mimpi indah, dan kata-kata penuh romansa lainnya. Tak ada panggilan khusus yang kami sengaja buat; kami berdua hanya saling memanggil nama. Namun, ada juga masa dimana, Resti tiba-tiba jadi manja dan minta di layani bak Ratu.
“Jemput dong…” Ucapnya melalui sambungan ponsel.
“Dimana?” Tanya gua.
“Di apartemen…”
“Mau ke?” Gua kembali bertanya.
“Ke kantor lo..”
“Manja deh… tinggal jalan aja. Gua jemput lo kesana juga jalan kaki, trus harus balik kesini lagi jalan kaki bareng elo…”
“Mau nggak?” Tanyanya dengan nada yang meninggi.
“Yaudah tunggu…” Jawab gua, menyerah.
Saat tengah berjalan menuju ke apartemen Resti, ponsel gua kembali berdering. ‘Nggak sabar deh, nih anak’ batin gua dalam hati, sempat mengira Resti yang menelpon. Gua mengeluarkan ponsel dari saku jaket denim; nama Mas Bobi tampil di layar.
Gua terdiam dan menghentikan langkah, saat Mas Bobi memberi kabar bahwa Mas Karlan kini tengah sakit karena jatuh dari tangga kala sedang bekerja.
“Dimana mas sekarang?” Tanya gua ke Mas Bobi melalui ponsel. Yang lalu dijawab singkat olehnya, bahwa Mas Karlan saat ini dirawat di rumah.
Begitu panggilan berakhir, gua langsung menghubungi Resti.
“Mas Karlan sakit, gua nengokin dulu ya…” Ucap gua ke Resti begitu menjawab panggilan gua.
“Sekarang?” Tanyanya.
“Iya…”
“Gw ikut kalo gitu…” Ucapnya cepat.
“Yaudah gua tunggu dibawah”
“Ya…”
Nggak lama, Resti muncul dari arah lobi gedung, ia terlihat berlari ke arah gua sambil menenteng tas jinjing kecil berwarna hitam. Tak seperti biasanya, kali ini ia nggak menggunakan sweater. Ia bahkan nggak berusaha menutupi kepalanya dengan topi atau kupluk. Walau sederhana, kali ini ia terlihat sungguh ‘berbeda’.
Gua menatapnya sambil tersenyum, begitu ia tiba di hadapan gua.
“Kenapa?” Tanyanya, penasaran dengan tatapan gua.
“Tumben nggak pake hoodie atau topi?” Gua balik bertanya, sambil menunjuk ke arah kepalanya.
“Males, gerah…” Jawabnya santai.
Kali ini ia tampil dengan kemeja flanel kotak-kotak berwarna merah dengan celana pendek berbahan denim. Ia mengeluarkan kunci mobil dari tas jinjing kecilnya dan menyerahkannya ke gua.
“Naek motor kayaknya lebih cepet…” Ucap gua.
“Gw nggak mau…” Bantahnya, kemudian meletakkan kunci mobil di genggaman gua.
Gua menghela nafas, kemudian melangkah menuju ke arah parkiran basement. Sementara, Resti terlihat berjalan menuju ke minimarket yang terletak nggak begitu jauh dari pintu belakang gedung apartemennya.
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam mobil. Terjebak dalam kemacetan sore menjelang petang di hari Jumat. “Kalo naek motor cepet” gua menggumam pelan.
Seakan langit nggak memihak gua; hujan pun mulai turun.
Disisi gua, terdengar gumaman pelan Resti; “Coba kalo naek motor, basah!” sambil menatap ke luar melalui jendela bagian penumpang yang mulai basah.
“Emang sakit apa Mas Karlan?” Tanya Resti, sementara pandangannya masih ia arahkan keluar jendela.
“Jatuh dari tangga…” Jawab gua, mengikuti ucapan Mas Bobi tadi.
“Trus, gapapa?”
Gua mengangkat kedua bahu; sama sekali belum mengetahui detailnya.
“Mampir dulu beli buah” Ucap Resti sambil menunjuk ke arah plang supermarket yang terlihat beberapa meter di depan kami.
“Nggak usah…” Jawab gua singkat.
“Kenapa? Nengokin orang sakit masa nggak bawa apa-apa” Respon Resti.
Iya, seperti inilah kami berdua. Jarang sependapat, dan acap kali berdebat. Seakan-akan, perdebatan merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan ini. Tapi, perdebatan yang kami lakukan jarang mengangkat isu-isu penting, justru yang kami debatkan biasanya hal-hal sepele yang sejatinya nggak terlalu penting untuk dibahas.
“Kayaknya lebih berguna kalo ngasih duit aja…” Gua mengajukan alasan.
“Kalo ngasih duit bukannya malah orangnya tersinggung ya?” Tanyanya.
“What? gua matre? Kan lo yang nyuru gua pegang ATM lo…” Ucap gua.
“Ya kenapa lo mau…”
“Dih, ya elo maksa…”
Mungkin buat orang yang baru mengenal kami bakal terkejut saat mendengar percakapan kita berdua yang terdengar ‘kurang sehat’. Tapi, sejatinya tak ada yang benar-benar serius saat kami memperdebatkan hal nggak penting kayak sekarang ini.
Gua lalu memutar knop di bawah kemudi, menyalakan sein mobil. Seakan mengibarkan bendera putih, tanda menyerah dan mulai membelokkan mobil ke area parkir supermarket di depan kami.
Ada udang dibalik batu! Kira-kira itu pepatah yang tepat buat Resti saat ini. Nggak butuh waktu lama buat gua untuk memilih buah apel untuk dibawa ke rumah Mas Karlan. Sementara, Resti dengan cepat menghilang sambil membawa keranjang belanja berwarna merah. Lalu, kembali dengan keranjang penuh camilan dan senyum yang mengembang.
“Ini semua mau lo bawa ke rumah Mas Karlan?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah keranjang belanjanya.
“Nggak, ini buat nyemil di mobil…”
“Kita kan cuma mau ke Ciputat, bukan mau ke piknik ke Cibodas
Resti mengangkat tangannya ke arah gua, lalu membuka tutup kepalan, memperagakan gerakan mulut dengan tangan, sambil bicara pelan; “Bawel”
—
Hujan masih cukup deras; Resti berlari menuju ke mobil sambil menenteng plastik berisi buah yang lebih enteng. Sementara gua, lebih memilih berjalan sambil menenteng plastik berisi jajanan miliknya yang lebih berat.
“Bukannya lari, ntar masuk angin…” Ucapnya saat gua baru masuk ke dalam mobil.
“Lari sama jalan, sama-sama basah… ngapain harus capek” Jawab gua.
“Lah, ini buktinya gua basahnya cuma dikit…” Ucap Resti.
“Sama, gua juga cuma dikit…” respon gua.
Resti meraih beberapa lembar tisu dari atas dashboard mobilnya, kemudian menyeka tetesan air yang berada di kepala gua; “Dikit apaan, sampe lepek gini” Ucapnya.
“Lagian, lo punya mobil keren, tapi nggak ada payung nya…”
“Emang patokan mobil keren harus ada payungnya?”
“Iya” Jawab gua singkat.
“Teori dari mana?” Tanyanya.
“Teori dari gua…”
Baru beberapa meter kami melanjutkan perjalanan, Resti terlihat berkali-kali mengusap punggung lengannya, kemudian menurunkan level pendingin melalui dashboard mobil.
“Dingin?” Tanya gua.
“Iya”
Gua melepas jaket denim yang gua kenakan dan memberikannya kepada Resti. Kali ini tak ada perdebatan, iya meraih jaket yang gua berikan dan mulai memakainya. Sementara, di luar, hujan perlahan mulai mereda. Gua mematikan pendingin dan menurunkan jendela. Riuh rendah suara kendaraan dan klakson langsung menyeruak, Cumiakan telinga begitu gua menurunkan jendela.
“Kenapa dibuka?” Tanya Resti.
“Kan lo dingin, AC nya gua matiin…” Jawab gua pelan. Kemudian mulai mencari-cari bungkusan rokok milik gua.
“Nyari apaan?” Tanya Resti.
“Rokok gua, coba di kantong jaket ada nggak” Ucap gua sambil menunjuk ke arah jaket denim milik gua yang kini dikenakan Resti.
Ia terlihat memeriksa satu persatu saku jaket denim gua, lalu mengambil bungkusan rokok dari salah satu kantong. Dengan cepat, ia mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya. Setelah menyala, ia meletakkannya tepat di bibir gua. “Thank you” ucap gua pelan.
—
Pasti bakal banyak waktu yang bakal terbuang seandainya Resti nggak memberi tahu gua beberapa jalan pintas untuk menghindari macet di jalur utama. Setelah lebih dari satu jam, kami akhirnya tiba di tempat tujuan, gua memarkirkan mobil di halaman sebuah aula pertemuan warga yang cukup luas. Tempat yang biasa digunakan oleh para warga yang nggak punya garasi memarkirkan kendaraannya.
Resti melihat sekeliling melalui jendela; “Gapapa parkir disini?”
“Gapapa…” Jawab gua singkat. Dulu, saat masih bekerja dengan Mas Karlan, gua sudah beberapa kali parkir disini dengan membawa mobil pickup kantor.
“Lo udah siapin duit buat Mas Karlan?” Tanya Resti.
Gua menunjuk salah satu saku jaket denim yang masih dikenakan Resti, tempat dompet gua berada.
“Nggak dimasukin amplop dulu?” Ia kembali bertanya. Kali ini sambil mengeluarkan dompet yang gua dari saku jaket.
“Nggak usah, ngapain…” Jawab gua.
Resti menepuk pelan punggung tangan gua; “Nggak sopan lah…” Ucapnya.
“Teori dari mana?” Tanya gua, sambil membuka pintu mobil dan keluar.
“Dari gua…” Resti menjawab pelan, kemudian bergegas menyusul gua keluar dari mobil.
Hujan sudah lama berhenti, namun genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. “Cad…” Panggil Resti.
Gua menghampiri ke arah suara. Terlihat Resti masih terduduk di kursi penumpang dengan pintu terbuka, ia menatap ke arah sepatu yang ia kenakan kemudian berpaling ke tanah becek di halaman aula tempat kami parkir. Gua menatapnya sambil tersenyum; “Udah turun buruan, ntar sepatunya cuci…” Ucapnya gua pelan seraya mengulurkan tangan kepadanya.
Resti menggeleng.
“Lah terus gimana?” Tanya gua.
“Gendong sampe sana” Pinta Resti sambil menunjuk ke arah jalanan beraspal.
Gua menghela nafas panjang. Kemudian berbalik dan mundur mendekat ke arahnya. Dengan cepat Resti hinggap di punggung gua, sementara kedua tangannya ia lingkarkan di depan dada gua. “Sini gw yang bawa buahnya” Ucapnya.
“Nggak usah…” Jawab gua. Kemudian mulai berjalan, sambil memilih pijakan terbaik tanpa genangan, menuju ke jalan aspal yang berada di ujung sana.
Begitu tiba di jalan beraspal, gua mengendurkan tangan yang menopang tubuh Resti, agar ia bisa segera turun. Alih-alih turun dari gendongan, Resti malah semakin erat melingkarkan tangannya. “Nggak mau turun?” Tanya gua.
“Nggak” Jawabnya pelan sambil menyandarkan kepalanya di bahu gua.
“Tadi katanya sampe sini doang” Keluh gua.
Perlahan Resti melepaskan pegangan tangannya kemudian turun dari gendongan. Wajahnya terlihat cemberut, penuh kekecewaan. Gua mengusap pelan kepalanya; “Nanti kapan-kapan gua gendong yang lama…”
Ia berpaling, menoleh ke arah gua; “Janji ya…”
“Iya” Jawab gua sambil tersenyum. Kemudian melanjutkan langkah.
Untuk sampai ke rumah Mas Karlan, kami harus melewati gang kecil sempit yang mungkin hanya cukup untuk dilalui sepeda motor. Sementara, di kedua sisi gang berjejer rumah-rumah mungil yang kebanyakan berlantai dua; sebuah siasat untuk menambah luas rumah tanpa harus expand tanah. Resti berjalan tepat di belakang gua sambil berpegangan pada ujung kemeja yang gua kenakan; seakan takut kehilangan.
Beberapa ibu-ibu terlihat duduk-duduk sambil ngobrol tepat di depan rumah yang saling berhadapan. “Permisi…” Ucap gua sambil sedikit membungkukan tubuh.
Gua berbelok, dan masuk ke sebuah gang yang lebih kecil. Gang yang lebih sempit dari sebelumnya; yang hanya cukup untuk dilalui satu orang, mungkin dua orang jika bertubuh kurus. Motor mungkin bisa melalui gang sempit ini, jika punya keahlian mengemudi tingkat dewa.
Seorang bocah terlihat berlari menghampiri gua sambil berteriak; “Om Icad…”
Dimas; Anak pertama Mas Karlan yang sepertinya sekarang sudah tumbuh cukup besar. Ia lalu menggandeng tangan dan memandu gua menuju ke rumahnya.
Rumah Mas Karlan, lebih mungil daripada deretan rumah-rumah lain yang berada disini. Lebarnya mungkin hanya kurang-lebih 3 meter, tanpa teras dan halaman. Jadi, tak ada jeda antara ambang pintu rumah Mas Karlan dengan gang sempit yang barusan kami lalui.
Gua masuk kedalam, sementara Resti masih terlihat ragu untuk mengikuti gua. Ia berdiri terdiam di ambang pintu. Dengan cepat gua menarik tangannya untuk masuk.
“Eh, Cad… sini, sini…” Ucap Mas Karlan begitu melihat gua. Ia terlihat duduk di lantai beralas tikar dengan kaki kanannya terbalut perban berwarna coklat. Sementara, Mbak Sri; istrinya duduk tepat di sebelahnya sambil memangku anak bungsunya.
“Anak-anak baru pada pulang” Ucap Mas Karlan, sambil mempersilahkan gua duduk.
Gua menyalami Mas Karlan dan Mbak Sri kemudian memperkenalkan Resti kepada mereka. Ini merupakan kali pertama Resti dan Mas Karlan bertemu, walau sebelumnya gua sudah sering bercerita tentang Mas Karlan kepada Resti dan begitu pula sebaliknya.
“Eh, pake repot-repot segala…” Ucap Mbak Sri begitu menerima bungkusan buah yang diserahkan Resti.
Resti duduk di sebelah gua, sambil matanya tak henti-henti berkeliling, mungkin ini kali pertamanya melihat penampakan rumah seperti ini; jauh dari bayangan rumah dalam benaknya. Gua menyenggol lengannya, memberinya kode agar nggak berlaku seperti itu. Namun, tampaknya Mas Karlan menyadari hal tersebut lebih dulu.
“Kecil ya rumahnya?” Tanya Mas Karlan ke Resti.
“Eh.. Mm.. mm.. Nggak kok..” Jawab Resti kagok dan nggak berani menatap ke arah Mas Karlan. Ia justru memandangi gua seakan meminta bantuan.
“Kok bisa jatoh sih mas?” Tanya gua, sambil menunjuk ke arah kakinya yang dibalut perban.
Mas Karlan lalu menceritakan kronologis kecelakaan kerja yang menimpa dirinya. Sementara, gua terdiam mendengarkan sambil sesekali menganggukan kepala.
“Udah ke dokter Mas?” Tanya Resti.
“Ke tukang urut” Jawab Mas Karlan sambil tersenyum.
“Kenapa nggak ke dokter? Resti kembali bertanya.
“Wah, mahal kalo ke dokter mbak…” Mbak Sri menjawab, mewakili Mas Karlan, seraya meletakan dua gelas beling bercorak bunga berisi teh manis hangat kepada kami berdua. Sementara, Resti mengangguk setuju mendengar jawaban dari Mbak Sri, walaupun tak dapat dipungkiri, ekspresinya terlihat ‘bingung’.
“Nggak patah tapi kan?” Tanya gua ke Mas Karlan kemudian berpaling ke Mbak Sri yang sekarang duduk sambil memeluk nampan.
Mas Karlan menggaruk kepalanya kemudian memperagakan bentuk engkel kakinya saat baru saja jatuh. Gua mengernyitkan dahi, meringis, membayangkan posisi engkel kaki yang tak seharusnya seperti itu.
“Dislokasi..” Ucap Resti pelan.
“Iya…” Jawab Mas Karlan setuju dengan ucapan Resti barusan.
“...”
“... Kata tukang urutnya juga itu..” Mas Karlan menambahkan.
Setelahnya, Mas Karlan banyak bercerita tentang gua, caranya bercerita seakan-akan gua nggak berada disana. Resti yang tadinya lebih banyak diam, perlahan mulai antusias. Sementara, gua mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali mengoreksi cerita Mas Karlan yang beberapa bagian lebih terdengar sebagai ‘pembunuhan karakter’.
“Udah malem, balik yuk…” Ucap gua ke Resti.
“Ih, ntar sih… masih seru nih..” Jawabnya.
“Mas Karlan mau istirahat” Respon gua.
“Yaah…”
Gua meraih dompet dari saku jaket yang kini dijadikan penutup celana Resti yang kelewat pendek. Mengeluarkan semua isinya dan menyerahkannya kepada Mas Karlan.
“Opo iki cuk?” Tanyanya, masih belum menerima uang pemberian gua.
“Buat nambahin berobat…” Ucap gua seraya memaksanya menerima uang pemberian gua yang nggak seberapa.
Mas Karlan akhirnya menyerah dan menerima pemberian gua setelah melalui sedikit perdebatan.
Saat hendak pulang Mbak Sri mengantar kami berdua hingga ke halaman aula tempat kami memarkir mobil. Resti menyenggol lengan gua kemudian berbisik; “Lo ngasih duit dikit banget?” Tanyanya sambil berbisik.
“Lah itu semua duit cash yang gua punya” Balas gua, juga sambli berbisik. Takut terdengar oleh Mbak Sri.
“Gw boleh nambahin?” Tanyanya, masih sambil berbisik. Lalu gua respon dengan sebuah anggukan.
Resti lalu mengeluarkan dompet dari tas jinjing hitam miliknya. Mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, kemudian menyerahkan ke dalam genggaman tangan Mbak Sri; “Mbak ini aku nambahin dikit ya, buat berobat” Ucapnya.
“Eh, nggak usah lho mbak…” Sama seperti Mas Karlan, Mbak Sri pun menolak keras pemberian dari Resti. Namun, bukan Resti namanya kalau ia dengan mudah menyerah. Dengan sedikit bujuk-rayu, akhirnya ia berhasil meyakinkan Mbak Sri untuk menerima niat baik darinya.
“Makasih lo Mas Icad, Mbak Resti udah repot-repot…” Ucap Mbak Sri begitu kami tiba di halaman aula.
“Iya sama-sama Mbak Sri, mudah-mudahan Mas Karlan cepet sembuh ya…” Ucap Resti. Kemudian kembali menyenggol lengan gua, memberikan kode agar gua mengambil mobil sementara ia menunggu di jalan beraspal; enggak sepatunya terkena becek.
—
“Tempat kayak gitu, Mas Karlan tinggal sama Istri dan dua anaknya…” Ucap Resti pelan sambil menatap keluar melalui jendela mobil.
“Kenapa? lo baru liat ada orang yang hidup kayak gitu?” Tanya gua.
Resti terlihat menganggukan kepalanya.
“Gw tau ada banyak orang yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Tapi, untuk kali pertama gw ngeliat langsung kondisi seperti itu. Kasian…” Ucapnya lirih.
Gua menyeringai, seakan meledeknya; “Kasian? lo pikir mereka nggak bahagia walau hidup kayak gitu?”
“...”
“... Nggak semua orang standar kebahagiaannya tuh uang, Res…”
“Iya.. Gw udah pernah denger dari elo. Nggak usah nyeramahin gw lagi tentang standar kebahagiaan…” Ia menjawab, sementara pandangannya masih dialihkan ke luar.
—
Too Little Too Late - Faber Drive
I planned it out perfect, practiced and rehearsed it
I could see it every time I closed my eyes
Destine to make it, so close I could taste it
Only waiting for the planets to allign
Walking in to take it all
But then I slip and fall
I'm at the right place, but at the wrong time
I had my one shot but forgot the line
I'm always stuck in second place
But I know one day I'm gonna win this race
I'm on the right track, but took a wrong turn
I made a sure bet, and I still got burnt
But I'm about to catch a break
So don't say it's too little too late
Don't say it, don't say it
Don't say it's too little too late
Watching and waiting, but losing my patience
So I step outside to try and clear my mind
I stare at the sunset, and suddenly get it
All I have to do is make it mine
Walking in to take it all
But then I slip and fall
I'm at the right place, but at the wrong time
I had my one shot but forgot the line
I'm always stuck in second place
But I know one day I'm gonna win this race
I'm on the right track, but took a wrong turn
I made a sure bet, and I still got burnt
But I'm about to catch a break
So don't say it's too little too late
And I know I got a long, long way to go
Yeah I know I gotta make it on my own
I gotta stand up for myself
And when I'm falling, gonna get up off the ground
Every minute, every hour of every day
I can make it, yeah I'm gonna find a way
Yeah I'm gonna find a way
I'm at the right place, but at the wrong time
I had my one shot but forgot the line
I'm always stuck in second place
But I'm gonna win this race
I'm on the right track, but took a wrong turn
I made a sure bet, and I still got burnt
But I'm about to catch a break
So don't say it's too little too late
Too little too late
I planned it out perfect, practiced and rehearsed it
I can see it every time I close my eyes