Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Spoiler for Record 55 - Better than better could ever be:
“Gw pengen ke kosan lo dong…” Ucap Resti sambil memeluk lengan gua.
“Ngapain?” Tanya gua sambil berusaha mengeluarkan lembaran uang dari saku belakang celana.
“Pengen tau aja…” Jawabnya.
“Di Kosan gua nggak ada apa-apa” Ucap gua, seraya menyerahkan selembar uang pecahan 20 ribuan ke abang ketoprak.
“Iya, Gw tuh cuma pengen tau aja… kalo ada apa-apa kan gw bisa kesana…” Resti memaksa, kali ini sambil menarik lengan gua.
“Sekarang?” Tanya gua.
“Iya…” Jawabnya singkat.
“Ya ntar dulu, ini gua lagi nunggu kembalian…” Ucap gua ke Resti sambil menahan tarikan tangannya, sementara si abang tukang gerobak berusaha secepat mungkin mencari kembalian dan buru-buru menyerahkannya ke gua yang sudah berada beberapa meter dari gerobaknya gara-gara ditarik Resti.
“Motor gua gimana?”
“Udah tinggal aja…” Ia memberi solusi. Ini mungkin sebuah solusi mudah buatnya, tapi buat gua hal ini justru mempersulit hidup. “Besok gua kerja naek apa?”
Resti lalu menghentikan langkah dan melepaskan tangan gua dari tarikannya. “Trus kita ke kosan lo naek motor gitu?” Tanyanya.
“Iya, emang kenapa?” Gua balik bertanya.
“Gw nggak mau naek motor…” Ucapnya.
“Manja banget…” Ledek gua. Kemudian akhirnya menyerah dan mulai melangkah; “Ayo..” Ucap gua.
“Besok lo kerja gimana?” Tanyanya sambil menyusul langkah dan meraih lengan gua dan memeluknya.
“Naek angkot…” Jawab gua singkat.
“Yaaah…. yaudah kapan-kapan aja ke kosan lo nya…” Ucapnya.
“...”
“... sekarang mau nggak kita ke tempat gw aja, ntar gw masakin mie instan…”
“Ogah… gw masih malu kalo ke tempat lo…”
“Malu kenapa?” Tanyanya.
Gua lalu mulai menjelaskan tentang kasus ‘penahanan’ gua di ruang keamanan gedung apartemen Resti gara-gara berlaku mencurigakan saat tengah menyelidiki keberadaan mobilnya. Sementara gua bercerita, Resti terlihat tak henti-hentinya tertawa. Ada kalanya ia sampai menghentikan langkahnya hanya untuk tertawa sambil menunduk dan memegangi perutnya dengan tangan.
“Kocak banget deh lo…” Ucapnya.
“Kocak?” Tanya gua.
“Iya…” Jawabnya singkat, masih sambil menahan tawa.
“Gua bingung, kesana-kemari, nyariin lo yang ilang nggak ada kabar… Lo bilang gua kocak?”
“Iya maap… Gw janji, besok-besok pasti ngabarin lo… Mungkin lo bakal jadi satu-satunya orang yang gw kabarin…” Jawabnya.
Gua menggelengkan kepala, merasa ‘dikecilkan’ olehnya. Ya walaupun pada akhirnya gua turut tertawa bersamanya saat mengingat kejadian tersebut.
“Makan Steak aja yuk” Ajaknya.
“Steak yang dimasak dengan proper?” Tanya gua.
“Ho oh…”
“Ayok..”
“Eh, tapi kan lo abis makan ketoprak..”
“Masih bisa, kalo steak mah…” Jawab gua sambil memegang dan berusaha menahan nafas, mengempeskan perut.
Melihat tingkah gua, Resti tersenyum kemudian menarik tangan gua menyusuri trotoar dan mulai menyebrangi jalan raya yang dipadati kendaraan tak bergerak, terjebak macet. Menuju ke sebuah mall yang terletak persis di seberang gedung kantor gua.
Nggak lama setelahnya, kami berdua sudah duduk berhadapan di dalam sebuah restoran yang terlihat mewah dan mahal. Buat gua, ini pertama kalinya seumur hidup gua berada di tempat makan seperti ini. Tempat makan yang mungkin harga satu menu-nya bisa untuk bayar kosan gua selama dua bulan.
Resti tersenyum kala melihat ketakjuban terpancar dari mata gua. “Kenapa?” Tanyanya, masih sambil menatap gua sambil menopang dagunya dengan kedua tangan.
“Mahal nggak sih makan disini?” Tanya gua, sementara mata gua tak henti-hentinya berkeliling. Mencoba merekam ke dalam ingatan, beberapa detail sebagai kenangan. Karena mungkin saja gua nggak bisa kesini lagi di sisa usia gua.
“Lumayan” Jawabnya singkat.
“Buat lo aja ini lumayan, gimana buat gua…”
“Bukan, jawaban gw barusan mewakili isi dompet lo…” Ucap Resti, masih sambil menatap gua dan tersenyum.
“Well, tapi lo yang bayar kan?” Tanya gua.
“Gw nggak bawa dompet” Jawabnya santai.
Gua terdiam, tertegun dan mulai menatapnya; panik.
“What the fuck, Res… duit gua mana cukup buat makan disini?” Tanya gua.
Resti nggak menjawab, ia masih tetap tersenyum sambil menatap. Gua meraih tangannya dan berencana mengajaknya kabur. Sementara, Resti bergeming.
“ATM yang gw kasih udah abis?” Tanyanya.
Gua menepuk dahi, teringat akan kartu ATM yang sempat ia berikan ke gua kira-kira seminggu yang lalu. Buru-buru gua meraih dompet dari dalam tas; Perasaan lega langsung terasa kala melihat kartu ATM miliknya yang masih tersusun rapi di dompet gua, bersisian dengan KTP, SIM dan Kartu ATM milik gua yang isinya nggak seberapa.
“Emang isinya berapa?” Tanya gua ke Resti sambil menunjukkan Kartu tersebut kepadanya.
“Lo nggak pernah cek?” Ia bertanya balik.
“...” Gua menggeleng.
“Ya nanti lo cek aja…”
“...” Gua mengangguk, kemudian meletakkan kartu ATM tersebut diatas meja. Sementara, terlihat Resti masih konsisten dengan posisinya. Menopang dagunya dengan kedua tangan sambil menatap gua dan tersenyum.
“Kenapa?” Tanya gua, menanyakan maksud tatapan dan senyumannya.
“Gapapa, gw lagi mengagumi lo aja…”
Gua balas tersenyum dan membetulkan posisi duduk, menyeka dahi yang nggak berkeringat dan menggaruk kepala; mulai salah tingkah.
“Nyokap lo pasti cantik banget yah?”
“Iya” Gua menjawab yakin.
“Sayang, gw nggak bisa ngeliat nyokap lo…” Ucapnya.
Gua kembali mengeluarkan dompet, mengambil foto keluarga kecil gua dan menyerahkannya ke Resti. Sebuah foto yang sempat gua temukan di kamar bokap sesaat setelah beliau meninggal.
Resti meraih lembaran foto usang yang gua berikan. Foto yang menampilkan Bokap, Nyokap dan gua yang saat itu masih kecil.
“Ini elo?” Tanyanya.
“Iya…”
“Umur berapa?”
“Nggak tau… lupa”
“Ya ampun, pas kecil kok elo lucu banget sih…”
“Sekarang emang nggak?” Tanya gua.
“Nggak! sekarang lo ngeselin…” Jawabnya.
“....”
Ia menatap foto tersebut dengan seksama, ekspresi wajahnya kala melihat foto tersebut sungguh tak bisa digambarkan; ia terlihat seperti baru saja menemukan tumpukan harta karun.
“... Lo bule banget pas masih kecil… Ini nyokap lo kan?” Tanyanya.
“...”
“... Sekarang gw tau dari mana asal kegantengan lo…” Ucapnya sambil berulang kali menatap gua dan kembali berpaling ke arah foto di tangannya.
“Russian?” Tanyanya, mencoba menebak negara asal nyokap gua.
Gua menggeleng.
“Finnish?” Tebaknya lagi.
“Polish” Jawab gua.
“Oh wow…” Responnya kagum. Ia lalu mengembalikan foto tersebut sambil membisikkan sesuatu; “Kalung yang dipake nyokap lo bagus”
Saat gua hendak meraih lembaran foto tersebut, Resti kembali menariknya; “Boleh gw simpen nggak?”
Gua mengangguk pelan.
Resti tersenyum dan kembali menatap lembaran foto tersebut.
“Lo mau janji satu hal ke gw nggak?” Resti tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
“Janji apa?” Tanya gua.
“Seberapa pentingnya urusan lain lo yang bukan tentang gw… Jangan pernah pergi dari gw” Ucapnya, kali ini nada suara dan ekspresinya berubah serius.
“Lo udah berapa lama kenal gua?” Tanya gua.
“Lama, bahkan cukup lama”
“Berarti lo tau jawaban gua..” Ucap gua.
“Sekar?”
“...”
“... lo pergi dari dia kan?”
“...”
“... Kalo Gw adalah Sekar, lo bakal tetep pergi kan?”
“Kalo lo Sekar, apa lo bakal biarin gua pergi?”
“Nggak!” Jawabnya singkat dan jelas.
“Well, berarti lo udah punya jawabannya…”
“Jangan pernah pergi dari gw, walaupun seisi dunia nggak setuju sama kita…”
“Gua bakal pergi kalo lo minta gua untuk pergi, selebihnya lo nggak bakal gua lepas” Jawab gua dengan nada dan tatapan serius.
“Soalnya ada cowok yang pernah mampir ke hati gw, main-main ‘disana’, terus pergi gara-gara ambisi…” Resti bicara pelan.
“Si Berandal itu?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah luka di dahinya.
“Iya… Namanya…” Jawab Resti, namun sebelum ia menyelesaikan bicara, gua memotong kalimatnya; “Ssstt… gua nggak perlu tau namanya”
Resti tersenyum, kemudian kembali melanjutkan ceritanya. Cerita tentang betapa sakitnya, mencintai cowok yang merupakan pacar adiknya. Tentang betapa hancur hatinya saat ditinggal pergi sahabat dan adik satu-satunya; Larissa. Tentang cowok yang pernah singgah dalam hidupnya, lalu pergi meninggalkan luka; luka di hatinya dan luka di dahinya.
Ceritanya sempat terinterupsi saat pesanan kami datang.
“Kenapa hidup kayak gini banget ya?” Tanyanya, meminta respon gua berdasarkan ceritanya barusan.
“Ya kalo lo nanya sama manusia, manusia nggak punya jawabannya” Jawab gua sambil memotong steak yang sudah tersaji di depan gua. Steak yang kali ini terasa begitu empuk dan lembut.
“Gw penasaran kenapa lo bisa begitu tegar. Padahal hidup lo kan juga nggak baik-baik aja?”
“Kata siapa?” Tanya gua.
“...”
“... dari dulu hidup gua sebenernya baik-baik aja. Cuma, gua nya aja yang terlalu menatap ke atas, terlalu banyak berharap. Nggak sadar, kalo ternyata begitu banyak orang yang peduli sama gua”
“...”
“... apalagi sekarang, ada elo disini; Better than better could ever be. Sekarang gua bahkan nggak berani berharap lebih dari ini…”
Resti mengernyitkan dahi mendengar perkataan gua barusan. Ia meletakkan pisau dan garpu di tangannya, kemudian kembali menatap gua; “Standar kebahagiaan lo rendah ya?”
“Iya…”
“Lo nggak berharap karis lo sukses dan kaya raya?”
“Well, gua nggak mau dibilang naif yah… siapa sih di dunia ini yang nggak mau jadi kaya? Tapi, balik lagi Res, nanti kalo kita udah kaya dan sukses, standar kebahagiaan kita gimana?”
“...”
“... Orang miskin kayak gua, bisa makan steak di restoran mewah kayak gini aja udah melampaui batas kebahagiaan. Mungkin abis ini, sampe kosan gua tidur dan mimpiin rasa makanannya. Buat orang tajir, makan disini mungkin ya, hanya sekedar makan malam biasa yang menit berikutnya udah dilupain…”
“...”
“... Yang gua takut adalah; saat gua nanti udah punya segalanya, standar kebahagiaan gua jadi setinggi langit. Dan seumur hidup gua cuma ngejar-ngejar standar itu aja…”
Resti tersenyum. Kembali meraih sendok dan pisau di atas meja dan mulai menikmati steak miliknya. Kami berdua lalu tenggelam dalam lezatnya steak mahal.
‘What? Rp1.200.000’ Batin gua dalam hati saat melihat lembaran tagihan di atas baki kayu kecil berwarna coklat yang baru saja diantarkan pelayan restoran.
Gua memicingkan mata, mencoba kembali menghitung jumlah 0 yang tertera pada total tagihan sambil menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal. Resti merebut lembaran tersebut, menatapnya sekilas kemudian kembali menyerahkannya ke gua.
“Bayar pake ini?” Tanya gua ke Resti sambil meraih Kartu ATM miliknya yang sejak tadi gua letakkan diatas meja.
Gua menghela nafas panjang, kemudian berdiri dan bergegas menuju ke arah kasir. Saat proses pembayaran, gua kembali mengkonfirmasi jumlah tagihan yang tertera pada lembar tagihan kepada kasir; “Ini bener mbak segini?” Tanya gua.
“Sebentar, saya cek kembali ya kak…” Ucap si Kasir sambil melakukan pengecekan melalui layar sentuh dihadapannya.
“Iya kak, ini sudah benar… pembayarannya Cash, Debit atau Credit card kak?” Tanyanya.
Gua menyodorkan Kartu ATM milik Resti kepadanya. Setelah sempat terjadi tarik menarik kartu ATM, akhirnya gua merelakan kartu tersebut ‘direnggut’ oleh si Kasir, digesek dan hilang sebesar biaya sewa dua bulan kamar kos gua. Ya, walaupun bukan uang milik gua, tapi rasanya kok seperti kurang rela ya…
Setelah menyelesaikan pembayaran, gua buru-buru keluar dari restoran. Sepiring ketoprak, satu porsi besar steak, setengah porsi steak milik Resti yang tak sanggup ia habiskan, ditambah harga yang nggak masuk di akal sehat, membuat perut gua mules.
“Tungguin sih…” Panggil Resti sambil berusaha menyusul gua.
Gua memperlambat langkah, kemudian menoleh ke arahnya; “Buruan, gua pengen berak…” Ucap gua.
“Nggak sayang, makan steak sejuta udah mau dibuang…”
“Dih, kocak lo…” Ucap gua kemudian mulai berlari meninggalkan Resti.
—
Malam semakin larut, Sementara orang-orang masih ramai hilir-mudik di sekitar mall; mungkin para pasangan yang hendak midnight di bioskop, atau sekedar nongkrong di salah satu Bar yang terletak di lantai paling atas. Kami berdua duduk di pelataran mall, diantara deretan para pegawai yang hendak pulang atau pengunjung yang sengaja keluar untuk sekedar merokok.
Dan untuk pertama kalinya, gua melihat langsung Resti merokok. Sebelumnya, gua sudah mencurigai hal ini saat melihat asbak yang penuh puntung rokok balkon apartemennya.
“Lo nggak masalah gw ngerokok?” Tanyanya sambil mengacungkan rokok di jemarinya.
Gua tersenyum, menyeringai kepadanya. Siapa gua, yang punya hak melarangnya merokok, sedangkan gua masih melakukan hal yang sama.
“Bilang ke gw kalo ada hal yang nggak lo suka” Tambahnya.
“...”
“... lo boleh bikin listnya kalo emang banyak hal yang lo nggak suka dari gw. Nanti gw coba pelan-pelan perbaiki…” Ucapnya.
“Nggak ada kok, tenang aja…”
“Yakin?”
“Kalaupun ada, kayaknya nggak perlu dibikin list-nya…”
“...”
“... Kalau harus nyebutin apa aja yang gua suka dari lo, itu baru harus dibikin listnya, dan kayaknya butuh berlembar-lembar deh…” Gua menambahkan.
Mendengar ucapan gua, Resti lalu mencubit pinggang gua dan berbisik; “Lo belajar gombal gini dari siapa sih?”
“Balik yuk…” Ucap gua mengalihkan topik.
“Yuk…” Balasnya.
Kami berdua lalu kembali menyeberangi jalan raya yang (masih) dipadati kendaraan tak bergerak, terjebak macet. Menuju ke arah kantor gua, melintasi ke halaman gedung dan keluar di pintu belakang, melewati gang kecil tempat para pedagang kaki lima yang masih terlihat ramai pembeli. Alih-alih, melewati trotoar jalan raya yang bising dan ramai, kami memilih lewat gang kecil ini, melewati ‘jalan tikus’ yang nantinya akan berujung ke pintu belakang apartemen Resti.
“Gua sampe sini aja…” Ucap gua saat kami tiba di pintu belakang apartemen Resti.
“Kenapa? masih malu sama satpam?” Tanyanya.
“Iya..” Gua menjawab singkat.
“Yaudah…”
“Sana masuk…” Ucap gua.
Resti tersenyum kemudian berjalan menjauh. Tiba-tiba gua teringat akan kartu ATM miliknya yang masih berada di saku kemeja gua.
“Ini ATM lo…” Ucap gua sambil menyerahkan kartu ATM miliknya.
Seketika senyumnya hilang.
“Lo pegang aja… Bye!” Jawabnya kemudian kembali berpaling dan pergi menjauh.
“Bye…” Gua menjawab pelan sambil berdiri menatap punggungnya yang perlahan hilang masuk kedalam gedung apartemen. Gua menunggu hingga beberapa menit, kemudian menghubunginya melalui ponsel; “Udah sampe?” Tanya gua.
“Baru masuk, lo dimana?” Tanyanya.
“Masih dibawah, ini baru mau balik…”
“Lo nungguin gw sampe dikamar?” Tambahnya.
“Iya… yaudah gua balik..” Ucap gua kemudian mengakhiri panggilan.
Gua berjalan menyusuri jalan yang tadi kami berdua lalui untuk kembali ke kantor, mengambil motor di parkiran dan pulang ke kosan. Saat tengah melintasi mini market dengan logo sebuah bank pada plang-nya, terbesit di pikiran gua untuk mengecek saldo di kartu ATM milik Resti yang kini berada di saku kemeja. Gua bergegas masuk ke minimarket, membeli sebungkus rokok dan menuju ke mesin ATM yang terletak di sudut ruangan.
Mata gua terbelalak saat melihat saldo yang tampil di layar ATM.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, gua melihat saldo ATM sebanyak ini. FYI, saldo terbanyak yang gua pernah dapatkan adalah kala menjual mobil bokap dulu. Gua buru-buru menoleh ke kiri dan kanan, memastikan nggak ada orang lain yang melihat saldo pada layarnya. Takut dirampok!
Gua meninggalkan minimarket sambil mencoba menghubungi Resti.
“Halo…”
“Gila lu yak” Ucap gua begitu mendengar Resti menjawab panggilan.
“Hah?”
“Saldo di ATM segitu banyak lo suru gua pegang…”
“Oh…”
“Oh?”
“Ya terus kenapa?” Tanyanya.
“Lo nggak takut, gua abisin duitnya?”
“Abisin aja” Jawabnya santai.
“Gua kesana! gua balikin nih kartunya…” Ucap gua.
“Nggak usah.. udah lo aja yang pegang, gw males megangnya..”
“What?” Baru kali ini gua mendengar alasan nggak masuk akal macam ini. Entah dia kelewat kaya atau kelewat bodoh.
“Itu duit jajan dari Papi, dari jaman gw kuliah…” Resti menjelaskan.
“Yaudah…” Gua menghela nafas kemudian mengakhiri panggilan.
—
You Could Be Mine - Guns n Roses
I'm a cold heartbreaker, fit to burn and I'll rip your heart in two
And I'll leave you lyin' on the bed
I'll be out the door before you wake 'em, it's nothin' new to you
'Cause I think we've seen that movie, too
'Cause you could be mine, but you're way out of line
With your bitch slap rappin' and your cocaine tongue
You get nothin' done, I said, you could be mine, aw
Now, holidays come and then they go, it's nothin' new today
Collect another memory
When I come home, late at night, don't ask me where I've been
Just count your stars I'm home again
'Cause you could be mine, but you're way out of line
With your bitch slap rappin' and your cocaine tongue
You get nothin' done, I said, you could be mine
You could be mine, you could be mine
You could be mine, you could be mine
You could be mine, mine, mine, mine
You've gone sketching too many times
Ooh, why don't you give it a rest?
Why must you find another reason to cry?
Well, you're breakin' down my back and I've been rackin' out my brain
It don't matter how we make it, 'cause it always ends the same
You can push it for more mileage, but your flaps are wearing thin
And I could sleep on it until mornin', but this nightmare never ends
Don't forget to call my lawyers with ridiculous demands
An' you can take the pity so far, but it's more than I can stand
'Cause this couch-trip's gettin' older, tell me how long has it been?
'Cause five years is forever, and you haven't grown up yet
Oh, you could be mine, but you're way out of line
With your bitch slap rappin' and your cocaine tongue
You get nothin' done, I said, you could, you should be
You could be mine
Oh, you could be mine
You could be mine
Aw, you could be mine
You could be mine
Aw, you could be mine
Aw, you could be mine
Aw, you could be mine
You could be mine, yeah