Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
223.2K
1.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#659
Part 57-c
Gue melihat langkanya yang agak huyung, seolah tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Bahkan kesombongan yang selama ini dia denial-kan; bahwa Karina tidak akan meninggalkannya, akhirnya gue benar-benar melihatnya hilang. Seolah ucapan-ucapannya yang mengatakan sudah mengerti akan konsekuensi yang akan dia terima dengan segala apa yang dia lakukannya seperti menjadi ludah yang harus dia jilatnya sendiri.

"Haah." Gue sedikit tertawa. Entah mengapa gue merasa sedikit puas melihatnya seperti itu. Bukannya gue jahat, tapi tidak ada orang yang benar-benar siap kehilangan orang yang dicintainya sekalipun dia sadar dengan kesalahannya. Dan untuk apa-apa yang sebelumnya dia katakan, gue puas akhirnya. Karena setelah ini gue yakin dia akan lebih menghargai lagi pedihnya sebuah perasaan yang hancur, yang selama ini hanya dia tahu melalui teori.

"Coba kita lihat setelah ini apa yang lo lakuin?" Ucap gue dalam hati sambil mengambil kembali ponsel gue dan membaca sms dari Alodya.

"Whaaaattt!?" Seru gue terkejut membaca pesan dari Alodya yang mengatakan kalau minggu depan dia akan pindah kosan ke kosan yang sama dengan Dani yang dengan kata lain juga dia akan satu bangunan kosan dengan Nata.

Gue langsung menghubungi Alodya. "Hayyy Bebh." Ucap Alodya menjawab panggilan telepon gue.

"Bab bep bab bep aja, lu! Kalo semisal gue lagi sama pacar gue, kelar gue!" Sahut gue.

"Oh gitu. Kamu punya pacar lagi selain aku? Oke fine!"

"Bodo amat!"

"Hahahaha. Kenapa, Wid? Eh, kesini dong. Gue sendirian bete nih."

"Males ah. Entar gue diapa-apain."

"Yee menang elu kalo gue ngapa-ngapain lo."

"Alo!"

"Haaah?"

"Gue gak izinin lo pindah kosan!"

"Gue juga gak mau sebenernya. Gue udah nyaman banget disini. Tapi Malik yang maksa."

"Yaudah nanti gue bilang Malik."

"Iya, tolong ya, Wid. By the way. Gue boleh tau alesan lo gak ngijinin gue pindah kosan, gak?"

"Boleh. Pertama, kosan lu enak. Kemana-mana deket. Terus daerah kosan lu itu emang daerah yang banyak banget kos-kosan. Warganya udah gak heran dan gak ribet mau kaya gimana yang ngekos. Kedua, karena kosan yang disana itu tempatnya Dani. Ada temen gue, pacarnya si Karina…"

"Ohh, iya iya. Tau gue. Iya kalo gak salah tadi Malik juga bilang gitu. Malah dia bilang kamarnya di sebelah kamar temen lo."

"Waduhhh. Makin gue gak izinin, deh. Gue gak mau Malik sama temen gue itu deket. Bahaya!"

"Bahaya? Bahayanya kenapa?"

"Bahaya buat gue dan bahaya buat Malik. Dia itu gawat! Lo gak mau, kan. Apa yang Malik kerjain kebongkar sama dia? Asal lo tau, dia tau Dani jualan cuma dengan ngeliat. Dia itu kalo udah ngamatin orang bener-bener diamatin sampe ketemu apa yang dia cari dari itu orang. Sumpah!" 

"Waduh gawat dong."

"Mangkanya. Yaudah gue telpon Malik dulu. Yang penting gue tau lo-nya gak mau pindah juga, kan?"

"Iya, Wid. Tolong ya." Ucap Alodya lalu gue mengakhiri panggilan telpon dengannya. 

Lalu gue menghubungi Malik, menjelaskan kekhawatiran gue dan sedikit mengancamnya jika dia benar-benar melakukannya. Tapi ternyata Malik bersikeras untuk memindahkan Alodya ke kosan yang dimaksud. Alasannya karena dekat dari sekolahnya yang baru dan jaraknya lebih dekat pula ke sekolahnya Alodya dari pada jarak kosan Alodya saat ini ke sekolahnya. Ditambah lagi Malik sudah membayar uang sewa kosannya selama setahun ke depan.

Gue memutar otak untuk meyakinkan Malik kalau memindahkan kosan Alodya akan berbahaya untuk kami semua. Tapi entah setan apa yang merasukinya, Malik tidak seperti biasanya. Kali ini dia agak sedikit membangkang dari gue, sepertinya Malik benar-benar menganggap kalau gue bukan lagi orang yang menyuplai semua barang haram yang dia jual. Dan pada akhirnya gue menyerah, sepertinya ada sesuatu hal yang Malik pikirkan—yang gue tidak tahu itu apa—yang menurutnya itu adalah hal yang baik untuknya tapi dia tidak ingin mengatakan hal itu pada gue.

"Yaudahlah." Gue menyerah. "Kalo gitu nanti kosan Alo yang lama biar gue yang terusin." Lanjut gue pada Malik.

"Yaudah. Terusin ajah." Sahut Malik.

"Hmmmm." Sahut gue dan langsung mengakhiri panggilan telepon gue dengannya kemudian meletakan ponsel gue di kursi penumpang di samping gue.

"Haaah." Gue menghelas nafas kemudian melihat kembali ke arah rumahnya Karina. Nata sudah masuk ke dalamnya. Lalu gue menurunkan sandaran kursi hingga setengah berbaring. Gue memejamkan mata lalu mencoba memikirkan banyaknya variabel kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Dan salah satunya adanya variabel Malik dan Nata menjadi akrab lalu menghasilkan satu jaringan baru peredaran Narkoba, "what the faaakkk." Gumam gue dalam hati sambil berdoa semoga itu tidak benar-benar terjadi.

###


Alasan akan selalu benar
Dan alasan akan selalu masuk akal


Uang! Mungkin itu adalah alasan paling banyak yang dikeluarkan seorang bandar, pengedar, pengecer apapun (bukan hanya Narkoba) yang dilarang dalam undang-undang saat mereka ditangkap lalu dipertanyakan, mengapa mereka melakukannya.

Apakah itu alasan yang salah? 
No!
Apakah itu adalah alasan yang tidak masuk akal?
No!

Alasan itu tidak akan pernah salah. Apalagi untuk seseorang yang benar-benar terhimpit masalah ekonomi, dia akan rela melakukan apapun—bahkan hal-hal yang tidak masuk di akal demi bisa keluar dari himpitan masalahnya itu. 

Dan untuk gue sendiri, gue tidak menampik hal itu. Uang adalah salah satu faktor terbesar yang membuat gue menampikkan resiko-resiko yang mungkin, akan dan pasti timbul kemudian. Gue tidak ingin memelas diri dengan menambahkan aksen drama bagaimana gue menjalani masa kecil hingga remaja tanpa orang tua. Rasanya melihat berita di TV orang-orang yang ditangkap karena korupsi adalah mereka orang-orang yang notabenenya kaya raya sudah cukup menjelaskan bagaimana orang-orang ekonomi lemah rela melakukan apa saja demi memperbaiki hidupnya.

Gue memandangi seisi mobil sedan ini, sebuah mobil yang dibelikan Tante Elsa untuk mobilitas gue sehari-hari. Gue hampir tidak percaya gue memilikinya. Setahun lalu, gue hanya bisa berangan gue memilikinya dan gue mulai mewujudkan itu dengan sedikit demi sedikit menjual potekan narkoba yang sering teman-teman gue menitip beli dari gue. Karena hanya gue yang bisa dengan mudahnya bertransaksi dengan orang-orangnya Ale kala itu.

Tapi sejujurnya, walaupun saat ini gue memutuskan untuk benar-benar berhenti menjadi penghubung antara produsen dan pengedar narkoba. Kondisi gue saat ini sudah sangat mampu untuk membeli apapun yang gue mau; Uang saku dari Tante Elsa ditambah bayaran dari pekerjaan gue yang tertera dalam dokumen kontrak kerja yang masih gue tidak ketahui bagaimana cara dan kapan Pak Mo memasukkannya ke dalam mobil gue. Itu semua sudah lebih dari cukup, sebenarnya. 

Gue memejamkan mata sekali lagi, mencoba menemukan alasan mengapa gue tidak cukup puas dengan semua ini. "Apa yang gue mau? Hasrat apa yang masih gersang sehingga gue masih merasa kurang? Kepuasan apa yang belum terpenuhi sehingga gue belum cukup membahayakan diri gue sendiri? Bahkan juga gue bisa saja membahayakan orang-orang yang gue kasihi." Gue bertanya pada diri sendiri.

###


Bertanyalah apa yang tidak kamu pahamkan
Dan pahamkan apa yang kamu pertanyakan


Tak lama gue melihat Nata keluar lagi dari dalam rumah Karina, berasama Mami dan Asisten rumah tangganya keluarga Karina. Ekspresi wajahnya Nata benar-benar sulit dijelaskan. Jujur gue kasihan, khawatir serta tidak tega melihat Nata seperti itu. Ini kali pertama gue melihatnya sehancur itu. Dan sejujurnya pula gue tidak membayangkan akan seperti itu Nata pada akhirnya. Gue rasa Nata menyadari kalau kesalahannya kali ini benar-benar tak terampuni.

Bersamaan dengan itu sebuah sedan berhenti tepat di depan rumah Karina dan lalu Karina keluar dari kursi penumpang depan sedan itu yang disusul seorang pria seusia gue keluar dari kursi kendali sedan itu. Gue menduga pria itu yang diceritakan Abdul sebelumnya.

Nata langsung menghampiri Karina dan mencegat langkah Karina yang hendak masuk. Lalu pria itu (sebut saja) Marcel menghampiri Nata. Gue tidak mendengar apa yang mereka bicarakan namun dugaan gue pasti akan terjadi perkelahian. Namun dugaan gue salah. Perkelahian tidak terjadi, yang terjadi adalah Nata menyerang Marcel secara membabi buta bahkan hingga membenturkan kepala Marcel hingga memecahkan kaca mobil sedan itu.

"Wow!" Ucap gue sedikit terkejut dan meraih handle pintu mobil gue untuk menghentikan Nata. Namun belum sempat pintu mobil gue buka gue melihat Mami-nya Karina sudah menghampiri untuk menghentikan Nata. Gue pun mengurungkan niat gue dan kembali mengamati apa yang terjadi dari dalam mobil.

Di sana, di depan rumah Karina. Dia sempat melirik ke arah mobil gue. Sepertinya Karina menjadi satu-satunya orang yang menyadari keberadaan gue. Gue pun langsung mengetik pesan padanya, "Sekarang lo udah tau kan apa yang mau gue kasih tau? Keep silent gue ada disini. Karena Nata kesini bukan sama gue." Gue mengirim Sms itu dan melihat ke arah Karina dan dia tidak sama sekali mengambil ponselnya.

"Sh*t!" Gumam gue dan berharap Karina tidak menganggap kalau Nata datang kesini bersama gue.

Nata lalu berjalan ke arah jalan raya. Sepertinya Maminya Karina menyuruhnya pulang. Gue langsung menyalakan mesin mobil lalu pergi dari perumahan ini. Setelah keluar perumahan ini dan melihat Nata menaiki sebuah taxi gue langsung menghubungi Abdul. 

"Bib ente dimana?" Tanya gue saat Abdul menjawab panggilan telepon gue.

"Busehh serius, nih." Jawab Abdul yang langsung konek maksud gue. "Masih di kosannya Nata, sih. Gimana gimana?" 

"Cabut Bib! Kalo gak kite ketemuan di xxxxx (gue menyebutkan nama salah satu tempat billiard yang tidak jauh dari kosan Nata) yuk." 

"Lah terus ini Nata gimane? Di kamarnya masih ada si Nina." 

"Udah biarin dia tenangin dirinya sama kelarin urusannya dia sama Nina. Jangan ngomong sama dia dulu biarin liatin dulu gimana perkembangannya."

"Okee, deh. Yaudeh gout otewe ke sana, nih. Lo yang bayarkan?" 

"Yailah. Elu sih gitu. Duit banyakan elu masih minta bayarin gue." Sahut gue.

"Yaakan pan sekarang lu juga udah banyak duit. Kali-kali Nyet."

"Yaudeh gue yang traktir. Tapi kite nongkrong di Tamsur aje, yee?"

"Elaah kek anak gaul lo nongkrong di Tamsur. Udeh bilyaran aje. Entar lo tambahin dikit-dikit." Sahut Abdul.

"Aseeekk. Gitu dong."

"Sue lu emang." Sahut Abdul lalu mengakhiri panggilan telepon gue.

Gue mempercepat laju mobil yang gue kendarai namun baru saja mempercepat laju gue harus kembali menurunkan kecepatan karena sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Gue langsung meletakan ponsel gue kembali, mengabaikan panggilan itu lalu kembali mempercepat laju. Namun lagi-lagi sebuah panggilan masuk mengganggu konsentrasi berkendara gue dan kali ini panggilan masuk ini berbeda. Yang tertera di layar ponsel gue adalah, "Rumah Karina memanggil."

Gue lalu mengarahkan laju mobil gue di sisi kiri jalan, menepi lalu menghentikan laju mobilnya. "Yap, hell o!?"  Ucap gue menjawab panggilan telepon dari rumahnya Karina.

"Angkat telpon gue." Sahut Karina.

"Ini gue angkat."

"Dregghhhh." Karina langsung menutup telponnya. Tak lama ponsel gue berdering kembali. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. 

"Ohhh ini nomer baru lo." Ucap gue menjawab panggilan telpon.

"Gue gak nyangka sama lo, Le. Jahat banget lo sama gue." Ucap Karina.

"Ohyakah gue jahat? Ohyaaa seharusnya gue jadi teman yang baik yang ngasih alert buat Nata kalo lo lagi otewe kesana. Damn! Seharusnya gue jadi temen yang baik yang ngasih tau Nata kalo lo ada main sama cowo lain. I'm so sorry to be bad, Karina. Souuuuwwwwrrryyyy. Gue tau bahkan lebih dari yang Abdul tau."

"Oke fine! Iyah gue juga salah. Tapi harus dengan cara gini lo ngehukum gue?" 

"No no no! Gue enggak menghukum siapapun. Kalian berdua yang saling menghukum satu sama lain." Sahut gue.

"Gue gak pernah ngerasa ngehukum Nata. Soal Marcel…"

"Apa? Soal Marcel apa? Coba jelasin sama gue KENAPA LO TERIMA DIA?"

"Le, lo tau…"

"Lo gak usah nanya gue tau dari mana. Gue gak butuh mata untuk ngeliat apa yang ada. Gue juga gak butuh kuping buat denger lebih jelas. Lo! Dengan bangganya mamerin marcel sebagai pacar lo ke temen-temen lo. Dan lo mau bilang kalo apa yang lo lakuin itu bukan hukuman buat Nata yang akhir-akhir ini dia sedikit cuek sama lo. YANGGGGGGG sebenernya, lo tau, dari dulu emang dia begitu. Gue yakin lo tau Nata bukan tipikal cowo yang ngumbar keromantisan di depan orang banyak. Tapi gue yakin lo gak pernah kehilangan momen itu saat lo cuma berdua. Gue gak tau lo kenapa. Yang jelas lo udah beda. Pengakuan orang gue ngeliatnya saat ini kaya suatu kebutuhan buat lo."

"Tuuuut." Karina langsung mengakhiri panggilan teleponnya. "Haahh." Gue tertawa kecil lalu kembali melaju dengan mobil gue ke tempat gue akan bertemu dengan Abdul. 

Sesampainya di tempat billiard yang dimaksud. Abdul sudah memesan satu meja billiard, dia sedang bermain seorang diri saat gue datang. "Lama banget lu!" Ucap Abdul sambil membidik bola tujuh saat gue tiba.

"Sorry, tadi Karina nelpon pas gue lagi jalan kesini."

"Pletaaakkkk!" Suara bola putih yang dipukul Abdul tepat sasaran mengenai bola 7 hingga bola putihnya masuk ke lubang tengah. "Haduuuuuhhh." Gerutu Abdul.

"Ongooo!" Ledek gue.

"Lu berisik, sih. Gak konsen gue." 

"Lahh? Emang berisik juga disini nyalahin gue yang berisik. Cupu mah cupu aje boss." Sahut gue sambil mengambil stik yang tersedia kemudian memanggil pelayan tempat billiard ini untuk menata ulang bola billiard sekaligus gue memesan minuman, gue memesan satu pitcher bir dan beberapa makanan ringan.

"Lah kambing! Banyakan elu mesenya." Protes Abdul.

"Udah sans. Lo bayar meja gue bayar makanan."

"Nah gitu dong. Udeh jadi anak orang kaya gak boleh pelit. Hahahaga." Sahut Abdul lalu dia menambah pesanannya lagi.

"Hasyuuuuuu!!!" 

"Hahaha. Mumpung." Ucap Abdul. "Gue break duluan, yah." Lanjut Abdul. Gue mempersilahkannya untuk memulai pertandingan billiard bola 8 kami.

Abdul cukup mahir bermain billiard. Konon (jangan dibalik) dia sering menang taruhan bersama teman-teman sekolahnya. Dan itu terbukti, saat dia memulai break ada 3 bola besar dan satu bola kecil yang masuk ke dalam lubang. "Gue ambil kecil." Ucap Abdul dengan agak tengil. 

"Sok banget anjir!" Sahut gue.

"Hahahah" Abdul tertawa lalu membidik bola 4 dan bidikannya tepat, bola 4 masuk ke lubang tengah. Abdul melanjutkan gilirannya. "Karina tadi ngomong apa?" Tanya Abdul membidik bola nomor 2. 

"Ngomong gini, 'terimakasih Tole, atas kejutannya'..." Gue menirukan gaya Karina berbicara.

"Yakali ngomong gitu." Sambar Abdul sambil membidik bola selanjutnya. 

"Nah entu lu tau Karina gak mungkin ngomong gitu. Berarti udah kebayang dong dia ngomong apa." Sahut gue sambil melihat Abdul yang kini sudah menyisakan 1 bola miliknya.

"Hiii…" Abdul tertawa kecil. "Pasti maki-maki lo, ya?" Lanjut Abdul sambil melepas bidikannya dengan melirik ke arah gue. "Duh." Gerutu Abdul karena bidikannya meleset.

Gue mengambil stik lalu mendekati meja kemudian membidik bola-bola yang posisinya mudah. "Karina engga maki-maki gue. Gak jadi tepatnya." Ujar gue setelah memasukan bola nomor 13 kemudian lanjut membidik bola nomor 9. "Karena gue buka kartunya dia sebelum dia maki-maki gue." Lanjut gue. "Ahhhh… kodok banget, sih. Gue main ginian." Gerutu gue yang gagal memasukan bola sembilan.

Abdul terlihat kesal melihat posisi bola yang ada di meja. "Taaaahhee sengaja elu!" Gerutu Abdul sambil mencari sudut untuk melepaskan bola putih dari kepungan bola-bola gue. Abdul lalu meletakkan stiknya diatas meja. "Nyerah gue nyerah. Gue pukul kesini bola 8 masuk. Gue paksain kesini kena bola lu abis itu bola lo gampang semua. Sama ajah kalah-kalah juga. Tahiii banget lu mainnya." Lanjut Abdul. "By the way. Kartu apa yang lo buka sama Karina?" Tanya Abdul sambil memanggil pelayan untuk menyusun kembali bola-bola billiardnya. "Bola 9 ajah, kak." Ujar Abdul.

"Dih?" 

"Biar lu gak bisa gini lagi. Hahaha." Sahut Abdul sambil duduk di sebelah gue.

"Hahahha." Gue tertawa lalu menyulut sebatang rokok. "Lo pasti taunya Karina cuma jalan sama Marcel, kan?" 

"Marcel nembak juga gue tau."

"Yang lo gak tau. Lo dibohongin Karina!"

"Haah, maksudnya dibohongin di??"

"Dia pasti bilangnya nolak Marcel, kan?"

"Ho oh. Marcel-nya pas gue mop juga ngomong begitu."

"Mereka jadian. Karina janjiin Marcel bakalan putusin Nata."

"Serius lo? Demi apa?"

Melihat tidak selalu dengan mata
Mendengar tidak selalu lebih jelas dengan telinga
Diubah oleh nyunwie 20-01-2022 08:56
BlackMX2010
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 31 lainnya memberi reputasi
32
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.