Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

darmawati040Avatar border
TS
darmawati040 
[True Story] Terjerat Penghuni Gunung Argopuro

Sumber Gambar


Hallo, Gansist ..., tidak terasa sudah setahun ane enggak ngetrit.Apa kabar, nih, penghuni Kaskus yang kocak dan sangar? Hkhkhk 😄 Semoga semuanya sehat dan baik-baik saja, ya.

Okay, untuk memulainya, ane akan mengawali tahun ini dengan cerita menarik yang berdasarkan kisah nyata pendaki gunung. Gansist tentu tahu, dong, setiap pendaki pasti punya cerita atau kisah yang bikin penasaran juga menyeramkan yang dialami ketika menyatu dengan alam.

Bay the way, Cerita ini dialami oleh beberapa orang. Namun, ane akan menjadi salah satu tokoh untuk kisah tersebut, agar ceritanya lebih menyenangkan dan mudah gansist baca dan cerna.

Sekitar tiga tahun lalu, kisah seram kami alami. Berawal dari rencana membuat kenang-kenangan bersama setelah menyelesaikan kuliah. Sebenarnya, aku tidak asing lagi dengan mendaki gunung. Karena memang, mendaki merupakan salah satu hobiku. Begitu juga dengan teman kuliahku, Indy, dan Revi. Sementara Erin, iya tidak diperbolehkan naik gunung oleh bapaknya. Tetapi kali ini, ia memaksa.

Berhubung kami adalah perempuan, Erin mengajak pacarnya untuk mendaki bareng. Sebut saja namanya Bryan. Laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari kami. Ia merupakan anggota mapala yang juga sudah terbiasa dengan suasana pegunungan. Bryan membawa satu teman laki-laki. Namanya Vino. Ia seangkatan dengan Bryan.

*****

Argopuro, gunung terpanjang di pulau jawa. Gunung ini mengelilingi kota Lumajang, Situbondo, Probolinggo dan Jember. Puncaknya adalah Rengganis. Ya, gunung panjang inilah yang akan kami daki.

Erin sendri bisa disebut sebagai orang yang paling dekat dengan gunung Argopuro. Rumahnya bahkan dekat dengan salah satu jalur menuju gunung tersebut, yaitu jalur Baderan di Situbondo.

Biasanya, pendaki gunung Argopuro akan start ke jalur Baderan, kemudian turun ke Bremi Probolinggo. Namun, aku dan teman-teman memilih jalur terbalik dikarenakan takut ketahuan bapaknya Erin. Secara, Erin diwanti-wanti untuk tidak pernah naik gunung oleh bapaknya.


Gambar: Kiriman WhatsApp

Setelah semuanya siap, kami berenam menuju basecamp di Bremi. Sampai di sana, Erin mulai bertingkah aneh. Ia tampak lebih senang dari sebelumnya. Seolah-olah ia akan bertemu seseoang yang sangat dirindukan.

"Kamu kenapa, sih? Kok, senang banget, udah kayak mau ketemu--"

"Sstt!"

Indy menyenggol bahuku, mengisyaratkan untuk tidak becanda yang aneh-aneh.

"Abisnya dia aneh, sih!" kataku sedikit manyun.

"Kayak nggak tahu ajah, sih, Yu. Erin, kan, baru kali ini naik gunung. Anggap ajah dia senang karena itu," sahut Revi yang berada di belakangku.

"Cepat dikit, guys. Kayaknya mendung, nih," seru Mas Bryan.

Seperti kebanyakan pendaki, kami berjalan sambil bersenang-senang hingga akhirnya menuju Danau Taman Hidup. Jujur saja, aku paling takut berada di danau ini. Ya, meski di pagi hari suasananya terlibang menabjubkan. Namun, saat malam tiba, sudah pasti menyeramkan. Terlebih lagi dengan cerita mistisnya.

Sumber Gambar

"Kita pasang tenda di sini, ya?" tanyaku pada semua.

"Em, bentar, biar mas carikan tempat yang bagus," ujar Mas Bryan.

Aku, Indy dan Revi asyik mengambil gambar. Tahu sendirilah, seperti apa perempuan ketika mendaki gunung. Sementara Erin, sudah berada di dekat danau sambil tertawa sendiri. Kami yang melihat dia bertingkah aneh, mulai mendekati dan mengajaknya menjauh dari danau. Di waktu yang bersamaan, Mas Vino berteriak,

"Bryan! Hey! Ngapain kamu!"

Serentak kami mengarah ke Mas Vino yang sedang berlari menuju Mas Bryan. Ditepuk dan ditariknya tangan Mas Bryan, lalu menuntunnya keluar dari danau.

"Loh, kok, celana aku basah?"

Mas Bryan tampak bingung. Rupanya ia masuk danau secara tak sadar. Hal itu membuat kami seketika merinding, ditambah lagi Erin memaksa ingin mandi di danau tersebut.

Langit menjadi sangat mendung. Rintik gerimis mulai turun. Kami membatalkan niat membangun tenda, membujuk Erin agar tidak mandi, dan akhirnya menuju Hutan Lumut.

Konon, Hutan Lumut ini disebut-sebut sebagai pasarnya jin maupun setan. Segala jenis makhluk gaib ada di Hutan Lumut. Akan tetapi, lagi-lagi Erin merasa bahagia. Seolah sedang berada di rumah sendiri.

"Kamu kenapa, sih, Dek?" Mas Bryan tampak kesal.

"Nggak apa-apa, kayak rumah sendiri ajah," jawab Erin santai.

Mendengar jawaban Erin, kami semua terkejut sambil menatap satu sama lain. Suasana mulai hening. Tak ada yang bicara. Hanya Erin saja yang bersuara. Ketawa nggak jelas dan nyanyi-nyanyi.

"Dek, bisa, gak, sih, gak berisik?" seru Mas Bryan lagi.

"Kenapa? Di sini, kan, menyenangkan. Bagaimana menurutmu?" Erin menatapku sambil cengar-cengir.

"Duh, gawat, jangan-jangan ...."

"Sstt! Jangan sembarangan! Abaikan saja dia," potong Revi yang membuat Indy tak melanjutkan kalimatnya.

Hujan mulai reda. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak tanpa mendirikan tenda. Kami mengisi perut untuk mengembalikan tenaga, lalu kembali berjalan. Kali ini menuju Kali Putih. Sampai di sana, kami mendirikan tenda. Hari sudah sangat sore. Jadi, memutuskan untuk istirahat dan tidur.

Kami pun bertemu malam. Dua tenda sudah berdiri. Di tenda satu, ada aku, Erin, Indy, dan Revi. Tenda satunya Mas Bryan dan Vino. Bukan hal baru, saat malam hari, panggilan alam tidak bisa ditunda. Aku yang masih terjaga melihat Indy bangun.

"Mau ke mana?" tanyaku.

"Mau pipis," jawabnya singkat.

"Aku anterin?"

"Nggak usah, pipis di sebelah tenda saja," tolaknya dan keluar dari tenda.

Aku merasakan langkah kaki di samping kiri tenda. Tak lama kemudian, aku tertawa dan berseru,

"Haha, kesandung, ya? Nggak bawa senter, sih!"

Tali tenda yang dipatokkin ke tanah masih bergerak. Namun, tak ada siapa pun yang menyahut. Tapi tiba-tiba resleting tenda dibuka.

"Eh, kok ngebiarin temannya sendirian di luar? Kenapa nggak ditemanin?" Mas Bryan ngegas dengan kepala melongok ke tenda kami. Erin dan Revi pun terbangun.

"Tadi dia mau pipis katanya, terus gak mau dianterin karena cuma pipis di samping tenda. Kayaknya dia mau buru-buru jadi kesandung tali tenda," jawabku santai.

"Maksudmu Indy, kan, Yu?" tanya Mas Bryan lagi.

Aku mengangguk.

"Aku dan Vino juga abis keluar buat buang air. Balik-balik malah liat Indy nari-nari di samping tenda kami, njirr!" jelas Mas Bryan dengan nada rendah namun tegas.

Seketika kami bangkit dan keluar dari tenda. Indy sudah berada di depan api unggun. Aku menepuk pundaknya dan bertanya,

"Abis dari mana?"

"Eh, Ayu, udah sampe?"

Aku kaget. Entah apa yang dibicarakan Indy. Apanya yang sudah sampe? Emang aku abis dari mana? Malam itu kami diam di tenda. Tidak bercerita apa pun. Sampai akhirnya muncul empat orang pendaki lain. Mereka mengajak untuk menuju Sicentor.

"Kami capek, Bang. Jadi mau istirahat di sini," kata Mas Bryan.

"Diriin tendanya di Sicentor ajah," saran mereka.

Dengan kejadian barusan, kami pun setuju. Jalan menuju Sicentor cukup melelahkan. Ditambah lagi malam hari. Suasananya terbilang menyeramkan. Sampai Sicentor entah pukul berapa. Saking capek dan kantuknya, kami segera mendirikan tenda di sana.



Bersambung ...

Nantikan kelanjutannya, ya, Gansist. Terima kasih sudah mampir dan membaca. Jangan lupa share, rate, and cendolin, ya. Bye, baye ... emoticon-Big Kiss


Penulis: @darmawati040
bjgis
provocator3301
maminya.mahae
maminya.mahae dan 80 lainnya memberi reputasi
79
24.3K
136
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
darmawati040Avatar border
TS
darmawati040 
#26
Part 2
Tak terasa hari sudah pagi. Kami memutuskan untuk ke jalur kanan, yaitu menuju Rawa Embik.Akan tetapi, Erin tiba-tiba mengamuk. Ia menolak ke Rawa Embik.

"Dek, kita ke Rawa Embik ajah, lebih bagus. Jadi kita langsung ke Argopuro," bujuk Mas Bryan.

"Aku maunya ke Puncak Rengganis, nggak mau ke Rawa Embik!" bentak Erin.

Aku dan teman-teman lain terdiam. Menyaksikan Erin dan Mas Bryan yang mulai berdebat.

"Duh, sial! Baru kali ini naik gunung bawa temen yang---"

"Vi, sabar ...," kataku dan mengelus bahu Revi.

"Kalian sadar, nggak, sih, dari awal Erin udah aneh?" celetuk Indy.

Aku teringat cerita Erin sebelum kami naik gunung. Tidak hanya sekali dua kali, Erin mengalami mimpi yang aneh. Mimpi aneh itu cukup sering tapi dengan jarak yang juga lumayan jauh. Ya, bisa dikatakan sekali sebulan atau puluhan hari. Mimpi yang sama terus berulang.

Erin didatangi seorang pria tampan dengan pakaian tak biasa. Pertanyaan yang kerap dilontarkan pria itu pada Erin, hanyalah,

"Kapan kamu akan mengunjungiku? Aku sudah menunggu selama ratusan tahun.

"Yu, hei, Ayu!" Revi menarik pipiku pelan.

"Kok malah melamun, sih?!" kesalnya.

"Ah, enggak. Tadi cuma--,"

"Guys, kita ke puncak Rengganis. Sudah siap?" seru Mas Vino.

"Okay, kita ikut apa maunya Erin," ujar Indy dan Revi.

Mas Bryan tampak tidak senang. Akan tetapi, mau tidak mau, ia tetap menuruti kemauan Erin untuk menuju puncak Rengganis.

Di tengah perjalanan, Erin terus bersenandung. Ia terlihat sangat-sangat bahagia dari sebelumnya. Tingkahnya yang memang sedari awal mendaki tampak aneh, membuat kami semua merinding.

Sesampainya di Puncak Rengganis, kami sibuk mengambil gambar. Mas Bryan dan temannya hanya menikmati pemandangan. Sesekali mereka tampak mengambil rekaman vidio. Sementara Erin, ia duduk menyendiri. Entah apa yang dipikirkannya. Suasana hati Erin terus berubah-ubah. Dari bahagia, marah-marah, pendiam, dan sekarang malah melamun. Sesekali ia tersenyum sendiri.

Sumber Gambar

"Rin, foto, yu!" ajak kami bertiga.

Erin tidak menyahut. Pandangannya kosong.

"Erin, hei!"

Revi mengguncangkan pundaknya. Namun, Erin masih terdiam. Aku dan Indy saling pandang, mencoba memahami yang sedang terjadi pada Erin.

"Hei, ada apa?" Mas Bryan dan Vino menghampiri.

"Erin mas, dia--"

"Sadar, Rin! Hei, Erin!" Mas Bryan menepuk-nepuk kedua pipi Erin.

"Erin!" Serentak kami menyerukan namanya dan berhasil.

"Hah? Kenapa? Kok, pada teriak?" ujarnya dengan mimik wajah yang bingung dan juga setengah sadar.

"Kamu kenapa, sih, Rin? Bikin khawatir, tahu, nggak!" kataku.

"Kenapa? Aku kenapa emang?" tanyanya emosi.

"Kamu melamun sudah dua jam!" seru Indy.

"Ih, ngaco kalian. Orang kita baru nyampe puncaknya," balasnya santai.

"Liat jam tangan kamu, Erin!" Indy tak mau kalah.

Sontak Erin bangkit dari duduknya.

"Hah? Beneran kita sudah dua jam di sini? Kita, kan, baru nyampe!"

Erin masih tak percaya. Meski begitu, kenyataannya memang sudah selama itu kami berada di puncak Rengganis.

"Kita turun sekarang, biar bisa ke Rawa Embik juga," saran Mas Bryan.

Wajah Erin seketika berubah. Ia tampak sangat sedih. Sulit menjelaskan seperti apa sedihnya. Yang aku lihat, Erin seperti merasa berat meninggalkan puncak Rengganis.

"Rin, ada apa lagi?" tanya kami hampir serempak.

"Nggak apa-apa," jawabnya dan mulai berjalan turun.

"Biar aku yang di depan. Kamu, Indy, Revi sama Ayu di tengah. Bryan di belakang." ujar Mas Vino yang langsung maju di posisi Erin.

Sepanjang perjalanan turun, kami hanya diam. Tidak ada yang mengeluarkan lelucon apa pun. Suasananya cukup membosankan. Tidak menyenangkan sama sekali.

"Nanti aku tunggu di bawah saja, aku nggak mau ke Rawa Embik."

Sesaat sebelum sampai ke bawah untuk menuju Rawa Embik, tiba-tiba Erin bersuara.

"Kenapa? Kan, jaraknya nggak jauh, Rin?" kata kami dengan wajah melas. Antara memohon dan kesal.

"Pokoknya aku nggak mau ke sana, kalian saja yang pergi. Aku tunggu di sini," tegasnya lalu duduk.

Lagi-lagi kami semua dibuat muak oleh Erin. Naik gunung kali ini benar-benar melelahkan. Lelah pikiran menghadapi sikap Erin.

"Hai, kalian sudah mau turun? Ayok, turun bareng!"

Sontak kami menatap wajah satu sama lain. Bagaimana tidak? Empat pria yang sedang bicara itu tidak lain adalah orang yang kami temui di Kali Putih. Tapi bagaimana bisa kami lupa akan empat pria itu usai bangun di pagi hari saat masih di Sicentor?

Jika diingat-ingat lagi, kami bahkan tidak melihat mereka mendirikan tenda di Sicentor. Padahal, merekalah yang mengajak kami untuk lanjut berjalan saat istirahat di Kali Putih. Sebenarnya siapa mereka?

"Kami abis dari Rawa Embik," sahut salah satu dari mereka.

Ketegangan di wajah kami perlahan hilang.Mas Bryan dan Vino berusaha tenang. Keduanya bahkan mencoba untuk tersenyum ramah pada empat pria itu. Padahal, jika aku lihat, mereka sama tegang dan bingungnya dengan kami.

"Oh, okay, brow! Kita turun bareng," kata Mas Bryan.

"Erin, ayok, kita turun." Mas Bryan meraih tangan pacarnya.

Namun, Erin belum juga mau beranjak dari duduknya.

"Apa lagi sekarang?!" bisik Indy.

"Sepertinya Erin terjerat penghu--"

"Ssttt! Jangan sembarangan, dong!" tekanku pelan.

Seketika Revi pun bungkam.

"Erin? Kamu masih mau ke atas? Ke Puncak Rengganis?" tanyaku tenang.

Hening, kami seolah berbicara dengan orang bisu.

"Kalau kamu nggak mau ke Rawa Embik; nggak apa-apa. Kit turun saja sekarang," kataku lagi.

"Ya udah, turun! Kita turun sekarang!" ucapnya dengan nada tinggi.

Erin sepertinya marah pada kami semua. Entah karena apa, ia hanya marah tanpa alasan yang jelas.

"Sabaar!"

Indy mengelus dada, diikuti aku dan Revi. Mas Bryan dan Vino hanya geleng-geleng. Erin menatap ke Puncak Rengganis berkali-kali. Pandangannya mengisyaratkan sesuatu. Ia seperti tak ingin meninggalkan gunung. Tatapannya juga memilukan, seperti akan berpisah dengan seseorang.

"Erin, ayok!" ajakku.

"Kalian di depan. Biar kami di belakang."

Pendaki yang katanya berasal dari Lombok itu pun mulai ambil posisi.

Mas Vino paling depan, lalu Indy, Revi, aku dan Erin. Belakang Erin ada Mas Bryan, diikuti oleh empat pendaki lain tadi.

Tak terasa kami sudah sampai di Cikasur. Rasanya lelah sekali. Mas Bryan dan Vino menyarankan untuk nginap semalam lagi, mendirikan tenda di Cikasur. Akan tetapi, empat pendaki itu melarang kami untuk menginap di sana. Menyarankan agar berjalan terus menuju jalur Baderan.

Tanpa banyak bertanya, kami menuruti saran mereka. Di Cikasur, kami hanya istirahat sebentar. Minum air dan mengisi perut dengan makanan seadanya. Beberapa kilo meter melewati Cikasur, kami bertemu pendaki lain asal Bekasi.

"Sudah mau turun, bro? Enggak jadi naik atau gimana, nih?" sapa pendaki tersebut.

"Enggak, Brow. Kita naik dari Bremi. Jadi sekarang mau turun," jawab Mas Vino.

"Wah, berani banget, ya. Cuma berenam lagi." Pendaki asal Bekasi itu tampak kaget.

"Enggak, kok, Brow. Ada empat orang lagi, mereka ada di belakang."

"Mana? Coba tungguin, Brow. Jangan ditinggal," katanya.

"Ada, kok, tadi kami istirahat bareng di Cikasur," sahut Mas Bryan.

"Iya, Mas. Kami ke sini juga jalannya bareng, kok, tadi," sambung Indy.

Akan tetapi setelah menunggu selama setengah jam. Empat pendaki asal Lombok itu tak juga nongol.


Bersambung ....


Okay, Gansist, nantikan part 3nya, ya. Jangan lupa share, rate, and cendolin. Terima kasih sudah mampir dan membaca emoticon-Big Kiss



Penulis: @darmawati040
afrizalhusni
Cupu1971
fsm2909
fsm2909 dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.