Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua duduk sambil bertopang dagu dengan kedua tangan sambil menatap nanar ke arah dua kotak makan diatas meja kerja. Kotak makan plastik dengan tutup berwarna merah di sebelah kiri; dari Resti. Sementara, kotak makan melamin bermotif pinguin berada tepat di sebelahnya baru saja diberikan oleh Feli.
Wawan mendekat, dari pantulan layar laptop terlihat ia berdiri sambil melipat tangannya di dada menatap ke arah gua.
“Udah sejam, lo cuma ngeliatin itu doang, Cad?” Ucapnya. Gua nggak menjawab, masih melakukan hal yang sama; memandangi dua kotak makan tersebut.
Teringat akan kenangan masa SMA. Saat gua bertukar bekal makan siang dengan Dita, hal yang kemudian menyakiti hati Larissa. Sekarang, gua nggak mau siapapun terluka hanya gara-gara bekal makan siang. Walaupun, saat ini gua tau, bekal milik siapa yang harus gua makan.
“Lo belom beli makan kan?” Tanya gua ke Wawan.
“Belom…” Jawabnya singkat.
“Nggak usah beli…” Ucap gua, kemudian bergegas menuju ke pantry untuk mengambil dua piring dan sepasang sendok.
Gua mengunci pintu ruangan sekembalinya dari pantry, mencegah siapapun masuk saat kami berdua tengah makan siang.
“Iya kak…” Jawabnya sambil menerima kotak makan dari gua.
Saat ia hendak keluar dari pantry, gua memanggilnya; “Fel…”
“Ya…”
“Besok, nggak usah bawain gua apa-apa ya” Pinta gua pelan, sambil melempar senyum ke arahnya.
“Kenapa, nggak suka ya aku bawain makanan?” Tanyanya.
“Bukan, takut lo repot aja…” Jawab gua berbohong. Gua cuma nggak mau kejadian seperti tadi terjadi lagi.
“Nggak kok, nggak repot… aku malah seneng”
—
Sepertinya ucapan gua ke Feli di pantry kemarin cukup berhasil. Hari ini ia nggak membawakan gua bekal makan siang seperti kemarin. Sementara, Resti baru saja selesai menelpon gua; “Hari ini gw ke Bandung…”
“Trus?” Tanya gua
“Ya, jadi nggak bisa nganterin makanan…”
“Oh, yaudah… gapapa…”
“Tapi, sore ini gw udah di Jakarta lagi kok.. Ntar lo gw traktir ya..” Ucapnya memberi informasi.
“Ngapain di Bandung?” Tanya gua.
“Kerja lah” Jawabnya.
“Hah, Kerja?” Tanya gua lagi. Selama ini gua mengira Resti cuma hidup main-main aja sambil ngabisin duit Papinya.
“Iya, kenapa?” Resti balik bertanya.
“Gapapa…” Gua menjawab singkat kemudian mengakhiri panggilan.
Ternyata masih banyak yang belum gua tahu tentang Resti.
Baru gua sadari kalau selama ini gua selalu merasa ‘dekat’ dengannya hanya karena mengenalnya lebih lama. Nyatanya, gua bahkan nggak tau warna favoritnya, lagu kesukaannya, apa hobinya, ukuran sepatunya dan masa lalunya. In fact; gua nggak begitu mengenalnya.
Kepala gua mulai pusing, sementara perasaan nggak karuan.
Ponsel gua nggak henti-henti berbunyi saat gua tengah sibuk berjibaku dengan kabel-kabel di kolong meja resepsionis. Setelah melalui perdebatan panjang dengan divisi General Affair, Wawan akhirnya memutuskan untuk mengganti PC di area resepsionis dengan laptop. Sebelumnya, Wawan bersikeras kalau resepsionis nggak perlu menggunakan laptop karena mobilitasnya yang rendah, sementara pihak GA yang menaungi resepsionis menganggap tindakan Wawan sebagai perilaku ‘pilih kasih’. Seiring waktu, akhirnya Wawan pun menyerah.
Duk! Kepala gua menghantam keras bagian ujung meja resepsionis kala ingin berdiri; “Fuck!’ gua menggumam pelan, sambil berdiri dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.
“Halo…” Gua menjawab panggilan.
“Dimana?” Tanya Resti di ujung sana.
“Di kantor…” Jawab gua singkat.
“Jam segini masih kerja aja…” Ujar Resti.
Mendengar ucapannya, gua menoleh ke arah jam kecil yang berada di atas meja resepsionis. Jarumnya menunjukkan angka 5 sore.
“Gw dibawah nih…” Resti menambahkan.
“Gua belom kelar…”
“Masih lama nggak?”
“Mmm… setengah jam-an lagi lah…” Jawab gua mengira-ngira.
“Yaudah gw tunggu di tukang ketoprak…”
“Ya..” Jawab gua, kemudian mengakhiri panggilan.
Perih terasa di bagian kepala yang tadi sempat terbentur. Pelan, gua mengusapnya, terasa sesuatu yang hangat menyentuh ujung jari gua. Gua menurunkan tangan dan menatap ujung jemari yang kini memerah terkena darah.
“Elah…” gerutu gua sambil meraih beberapa lembar tisu dan kembali mengusap bagian kepala yang berdarah. Kemudian melanjutkan proses merapikan kabel-kabel di kolong meja.
Nggak sampai setengah jam, gua selesai merapikan kabel dan menyimpan PC lama milik resepsionis ke dalam gudang IT. Kemudian bergegas mengambil jaket, tas dan bersiap turun ke bawah.
“Pas banget, setengah jam…” Ucap Resti sambil melihat ke ponselnya, begitu gua tiba.
“Dari Bandung langsung kesini?” Tanya gua saat melihat tampilannya yang berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampil ‘rapi’, dengan blazer biru bergaris putih tips yang dipadukan dengan celana panjang bercorak senada. Sementara dahinya ia tutupi dengan poni rambut yang hampir menyusul alis matanya. Sayang, level kekerenan tampilan Resti harus dihancurkan dengan sepasang sandal jepit yang ia kenakan.
“Iya…” Jawabnya singkat sambil berdiri dan mengeluarkan kursi plastik yang sebelumnya ia tumpuk.
Gua terdiam, melihat beberapa pelanggan abang ketoprak terlihat makan sambil berdiri, dan sisanya berjongkok karena nggak kebagian kursi plastik. Sementara, Resti duduk menggunakan dua kursi yang di tumpuk.
“Lo mau traktir gua ketoprak?” Tanya gua sambil duduk diatas kursi plastik yang ia berikan
“Terserah… lo maunya apa”
Pikiran gua langsung melayang, membayangkan Wagyu Kobe Steak yang selama ini hanya bisa gua lihat melalui video di internet.
“Berarti nggak pesen ketoprak kan?” Tanya gua lagi.
“Nggak, Belom…” Jawabnya santai.
Gua berdiri dan menarik lengan Resti. Rasa-rasanya kurang pantas jika kami duduk tanpa memesan makanan. Sementara, para pelanggan lain makan sambil berdiri.
“Mau kemana kak?” Tanya Feli yang tiba-tiba muncul dari balik kerumunan pelanggan. Tangannya menggenggam bungkusan plastik yang sepertinya berisi ketoprak.
“Eh, Fel…” Jawab gua kikuk, sementara tangan gua masih menggandeng tangan Resti.
Tiba-tiba, Feli menatap gua penuh kekhawatiran. Tanpa diduga, ia berjinjit dan menyentuh bagian kening gua dengan tangannya. “Kakak, kenapa?” Tanyanya.
Gua menyeka bagian kening dengan tangan; darah yang sudah mengering.
Feli mengambil tisu dari dalam dompet dan kembali berjinjit untuk menyeka darah yang mengering di dahi gua. Dengan cepat, Resti menepuk punggung tangan Feli sambil menebar senyum penuh ancaman. Dengan cepat, posisi berganti. Kali ini Resti yang menarik lengan gua, berjalan menjauh dari sana.
Resti menghentikan langkahnya tepat di depan minimarket. “Duduk” Ujarnya sambil menunjuk ke arah teras minimarket. Gua menuruti ucapannya; Duduk. Ia lalu berdiri di depan gua memeriksa bagian kepala gua. Setelah memeriksa, tanpa banyak bicara ia masuk ke dalam minimarket. Dan kembali keluar dengan sebotol besar air mineral.
“Nunduk dikit…” Titahnya.
Gua sedikit menunduk, Resti lalu mulai menyiramkan air ke kepala gua. Rasa perih yang luar biasa mulai menyerang gua.
Belum kering rambut gua, Resti kembali menarik lengan gua.
—
Malam itu, Resti berdiri sambil menyilangkan tangan di dada, menatap gua yang tengah duduk di ranjang klinik 24 jam. Sementara, dokter baru saja selesai menjahit luka di kepala gua.
“Kamu bandel nih kayaknya…” Ucap Bu Dokter saat melihat banyak bekas luka di kepala gua. Salah satu luka yang masih lekat di ingatan adalah saat dikeroyok oleh Rio and the gang semasa SMA dulu.
“Kenapa emang dok?” Tanya Resti.
“Ini pitaknya banyak…” Jawab Bu Dokter sambil tersenyum.
Setelah menyelesaikan administrasi, Resti menghampiri gua yang tengah duduk menunggunya di luar klinik.
“Mau makan apa?” Tanyanya sambil memasukkan dompet kedalam tas jinjingnya.
“Steak..” Jawab gua singkat.
“Stik golf mau?” Resti merespon.
“...”
“Jait kepala lo barusan aja 400 ribu…” Resti menambahkan. Kemudian bergegas pergi. Gua menyusulnya; “Yaudah ketoprak aja…” Ucap gua mencoba membujuknya.
Resti nggak menjawab, ia hanya terdiam sambil terus berjalan. Sementara gua mengikutinya beberapa langkah dibelakang.
“Ini kita mau makan ketoprak jadinya?” Tanya gua saat menyadari Resti berjalan kembali ke arah kantor.
“Nggak…”
“Trus kok balik lagi?”
“Gw parkir di kantor lo…” Jawabnya singkat.
“Oh..”
Kami berdua melanjutkan langkah, tak ada percakapan lagi setelahnya. Bahkan sampai tiba di parkiran basement kantor, hingga kami berdua berada di dalam mobilnya.
“Lo mau makan steak kan?” Resti bertanya, mengakhiri periode diam kami yang berlangsung hampir setengah jam.
“Apa aja lah…” Jawab gua pasrah, sambil menatap ke arah deretan mobil yang sama-sama terjebak macet lalu lintas Jakarta.
Resti lalu membelokan mobil ke arah supermarket yang berada nggak jauh dari apartemennya. “Lo tunggu disini aja” Ucapnya pelan, kemudian meninggalkan gua di dalam mobil. Sementara, ia terlihat berjalan cepat menuju ke pintu masuk supermarket.
Selang berapa lama, Resti kembali. Kali ini dengan menenteng sebuah plastik besar di tangannya.
—
“Lo yakin bisa masaknya?” Tanya gua saat berada di dalam lift menuju ke kamar apartemen Resti.
“Lo nggak yakin gw bisa?” Ia bertanya balik.
Gua nggak menjawab.
Ia lalu menyerahkan plastik berisi daging mentah yang tadi ia sempat beli ke gua; “Lo aja yang masak…” ucapnya ketus.
“Why me?”
“Why not?”
“Gua kan lagi cedera…” Ucap gua beralasan.
Sekonyong-konyong ia merebut kembali bungkusan plastik dari tangan gua; “Banyak alasan lo… Pokoknya jangan komplain kalo nggak enak ya”
“Iya…” Jawab gua pelan. Sangat amat pelan.
‘Ting’ Pintu lift terbuka. Gua menyusul Resti berjalan menyusuri koridor menuju ke kamarnya.
“Udah lo duduk aja sana…” Ucapnya begitu masuk kedalam sambil menunjuk ke arah sofa di ruang tamu. Sementara, ia langsung mengeluarkan daging mentah dari kemasan plastik keatas counter dapurnya yang terletak persis di sebelah pintu masuk ruangan.
Gua merebahkan diri diatas sofa, mengeluarkan rokok dari saku kemeja dan mulai menyulutnya.
Gua berdiri dan membuka pintu kaca balkon. Semilir angin langsung menyambut gua. Daripada kembali ke sofa, gua akhirnya duduk bersandar pada jendela di balkon kamar apartemen Resti. Menatap gedung-gedung yang menghitam dan jalan raya ibukota yang dipenuhi bintik-bintik kecil berwarna merah dari lampu kendaraan. Gua menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara dan mengalihkan pandangan ke bintang-bintang di langit yang terlihat samar.
Konon katanya, jika ingin melihat bintang lebih jelas. Cobalah melihatnya dari tempat yang gelap, niscaya ia akan terlihat lebih terang. Saat ini, terangnya cahaya Jakarta membuat bintang-bintang seakan kehilangan sinarnya.
Resti menyusul gua, ia berdiri, bersandar di ambang jendela. Tangannya menggenggam sekaleng bir yang baru saja dibuka.
“Lo minum itu tiap hari?” Tanya gua tanpa menoleh ke arahnya.
“Nggak, kadang aja… Kalo lagi stres…” Resti menjawab pelan.
“Sekarang? Stres?” Tanya gua lagi.
“Iya…” Jawabnya singkat.
“Stress karena apa? kerjaan?”
“Bukan..”
“...”
“... Karena elo…” Resti bicara, kemudian pergi, kembali ke dapur.
Gua nggak menggubrisnya. Enggan memicu perdebatan dan lagi pula saat ini rasa nyeri mulai kembali menjalar di kepala, mungkin akibat efek obat bius yang mulai hilang. Gua menyandarkan kepala, semilir angin membuat rasa kantuk muncul. Perlahan, gua mulai memejamkan mata dan tertidur.
—
Sebuah tepukan membangunkan gua. “Pindah ke dalem, ntar masuk angin…” Ucap Resti. Kali ini suaranya terdengar pelan dan penuh kelembutan.
Gua berdiri, masuk ke dalam dan menutup pintu kaca balkon. Terlihat di meja ruang tamu sudah terhidang dua porsi steak. Dari tampilannya, nggak jauh berbeda dengan yang sering gua lihat melalui video di internet maupun di film-film luar negeri.
Resti menyalakan televisi dan duduk di lantai beralas karpet berbulu, bersandar pada sofa, menghadap ke arah meja kaca ruang tamu dimana porsi steak miliknya berada. Gua duduk disebelahnya, menatap steak yang keliatannya menggoda.
Gua meraih pisau dan garpu yang ia sediakan, bersiap mengiris potongan steak buatannya; Keras! Melalui ujung mata, gua melirik ke arah Resti yang sepertinya mengalami kesulitan yang sama.
Menyerah, akhirnya gua menggunakan tangan dan langsung menggigitnya.
“Jangan dimakan…” Ucap Resti. Namun terlambat, gua sudah berhasil menggigit potongan besar daging dan mulai mengunyahnya.
“Enak?” Tanya Resti.
“Kayak makan sendal…” Jawab gua santai. Yang lalu di respon dengan beberapa pukulan di lengan gua.
“Udah nggak usah dimakan…” Saran Resti, ia lalu berdiri meraih kedua piring diatas meja dan kembali ke dapur. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan dua buah mie instan cup yang sudah diseduh dengan air panas.
“Hmmm… aromanya mengingatkan gua akan suasana kos-kosan yah…” Ledek gua.
Mendengar ucapan gua barusan, tawa Resti pun pecah. Gua menatapnya. Untuk pertama kalinya, gua melihatnya tertawa selepas ini.
—
“Bian…” Panggil Resti.
“...”
“.. atau gw panggil lo Icad aja. Karena panggilan ‘Bian’ sepertinya mengingatkan gw akan seseorang…” Tambahnya.
“...”
“Lo masih keinget Sasa nggak?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menatap gua.
Gua menggelengkan kepala; “Nggak tau…” Jawab gua pelan sementara tatapan gua mengarah ke layar televisi.
Resti kemudian berpaling, dan kembali melanjutkan makan mie instan cup. Lagi, kami berdua kembali tenggelam dalam diam.
“Gua suka sama elo…” Ucap gua pelan, memecah keheningan. Sementara mata gua menatap kosong ke arah layar televisi.
Resti mendadak terdiam. Ia meletakkan cup mie instan yang dipegangnya kemudian kembali menatap gua.
“Gua nggak bisa gini terus, Res… Gua berharap ini cepet clear aja sih…” ucap gua pelan.
“Maksudnya?”
“Well, gua tau ini rasanya ‘salah’,... Makanya gua mau bikin ini jelas. Kalo emang kita nggak mau move forward ke sebuah ‘hubungan’, yaudah kita nggak usah ketemu lagi… gua nggak tahan sama perhatian-perhatian lo, sementara lo masih jalan sama cowok laen…”
“Liat gw deh…” Pintanya pelan.
Gua menoleh, menatap ke arahnya. Resti tersenyum, kemudian kembali bertanya; “Yang lo liat Resti apa Sasa?”
Gua terdiam. Bukan, bukan karena nggak mau menjawab, karena memang gua nggak punya jawabannya.
“... Bilang lo suka sama gw kalo lo udah bisa ngeliat gw sebagai Resti, bukan Sasa…” Ucapnya sambil tersenyum.
“...”
“... For now, ya hubungan kita emang gini-gini aja…”
“...”
“...Tapi kalo lo minta gw buat nggak berhubungan dengan cowok lain. Gw turutin…”
Gua mengangguk; “Ok, jangan jalan sama cowok selain gua” Ucap gua pelan.
“Ok!”
“Oiya, gua punya satu pertanyaan buat elo…” Ucap gua.
“Pertanyaan apa Icad? ih seneng deh bisa manggil elo Icad” Balasnya.
“Kemaren gua sempet liat di kamar lo, ada kotak isinya…” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Resti menutup mulut gua dengan tangannya.
“Tunggu, jangan bilang lo buka kotaknya?” Tanyanya. Sambil melotot ke arah gua.
Masih dengan mulut dibungkam olehnya, gua mengangguk.
—
Dashboard Confessional - Belle Of The Boulevard
Down in a local bar
Out on the boulevard
The sound of an old guitar
Is saving you from sinking
It’s a long way down
It’s a long way
Back like you never broke
You tell a dirty joke
He touches your leg and thinks he’s getting close
For now you let him just this once
Just for now
And just like that – it’s over
Don’t turn away
Dry your eyes, dry your eyes
Don’t be afraid
Keep it all inside, all inside
When you fall apart
Dry your eyes, dry your eyes
Life is always hard for the belle of the boulevard
In all your silver rings
And all your silken things
That song you softly sing – is keeping you from breaking
It’s a long way down
It’s a long way
Back here you never loved
You’ve shaked the shivers off
You take a drink to get your courage up
Can you believe it
Just this once
Just for now
And just like that
It’s over
Please hold on – it’s alright
Please hold on – it’s alright
Please hold on
Down in a local bar
Out on the boulevard
The sound of an old guitar
Is saving you