Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Makan dimana?” Tanya gua pelan, sambil mengikutinya dari belakang.
“Di tempat gw!” jawabnya ketus.
“...”
“... Kenapa? nggak mau? Yaudah sana kalo nggak mau… makan sama Seli sana…”
“Feli…” Gua meralatnya karena salah menyebut nama Feli.
Namun gua tak kuasa menolak, enggan kembali menyulut emosinya. Akhirnya, gua berjalan mengikutinya dari belakang. Berusaha tetap menjaga jarak dengannya agar tak terlalu dekat; Takut ‘terbakar’.
Sesampainya di apartemen miliknya, Resti masuk, kemudian bergegas menuju ke lemari es, mengeluarkan dua butir telur dan mulai memasaknya. Sementara, gua hanya berdiri mematung menatap ke arahnya.
Selesai memasak, ia menyodorkan piring berisi telur goreng yang gosong pada bagian pinggirnya. Tanpa nasi, dan toping apapun; Iya hanya telur! Sementara, ia langsung melahap porsi miliknya.
“Ini yang lo bilang mau makan gajah?” Tanya gua sambil menatap ke arah telor goreng berukuran kecil yang bahkan nggak dimasak sempurna.
“Kalo nggak mau, gw makan…” Resti lalu mengambil piring milik gua dan mulai memakan telur goreng yang sebelumnya ia sajikan.
“Ini untuk ukuran telor gajah aja nggak sebanding…” Ucap gua sambil menunjuk ke arah telur goreng yang tengah ia makan. Kemudian menuju ke arah ruang tamu dan mulai menjatuhkan diri di atas sofa.
Sementara, Resti masih sibuk menikmati telur goreng buatannya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah cepat yang mendekat. Resti melompati sofa dan mendarat tepat di sebelah gua. Ia mengeluarkan ponsel miliknya, lalu tanpa bicara ia mulai berbaring dengan kepalanya berada di pangkuan gua sambil memutar musik melalui ponselnya.
Gua terdiam, nggak mampu berbuat apa-apa. Dan tetap mencoba berlagak tenang, padahal jantung ini tengah berdegup kencang. Sambil bersiap untuk hangus terbakar.
Diatas pangkuan gua, Resti memejamkan matanya sambil ikut bernyanyi mengikuti lagu yang ia putar, sesekali tangannya bergoyang, menjentikkan jari seiring irama. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk akhirnya tertidur. Gua membiarkannya sedikit lebih lama, sebelum memutuskan untuk beranjak dan memindahkan kepalanya; nggak ingin ia terbangun.
Hampir satu jam berlalu, dari tempat gua duduk saat ini terlihat melalui jendela apartemen langit sudah mulai gelap. Sementara, Resti masih berbaring di pangkuan gua dan sepertinya tidur semakin lelap. Perlahan, gua mengangkat kepalanya dan bergeser. Lalu meletakkan bantal sofa sebagai pengganti pangkuan gua.
Saat hendak mengambil selimut di kamarnya, sebuah kotak besar di sudut ruangan cukup mengganggu perhatian gua; sebuah kotak sepatu. Dari luar nampak, kotak sepatu ini memiliki usia yang cukup tua, terlihat dari warna kotaknya yang sedikit memudar. Ah, mungkin kotak bekas sepatu yang ia gunakan sebagai wadah barang-barang.
Rasa penasaran akhirnya mengalahkan kesopanan. Gua, dengan cukup lancang mulai membuka isi kotak tersebut.
Deg!
Isinya dalam kotak tersebut, nyatanya mengejutkan gua; sangat mengejutkan gua. Buru-buru, gua kembali menutup kotak tersebut, meraih selimut dari atas ranjang dan kembali ke ruang tamu.
Gua menyelimuti tubuh Resti yang terbaring di sofa. Membelai lembut rambut di dahinya, menyibak sebuah bekas luka yang selama ini selalu ia tutupi dengan poni rambut, hoodie sweater atau topi dan kupluk. Gua tersenyum, kemudian pergi meninggalkannya.
—
Pagi itu, gua sengaja datang lebih cepat. Sejak semalam, Wawan nggak henti-hentinya mengirimkan pesan, mengingatkan gua agar datang lebih awal untuk kembali menyiapkan laptop bagi karyawan-karyawan yang baru saja masuk. Sepertinya, perusahaan tengah melakukan rekrutmen besar-besaran. Mungkin, baru saja mendapat suntikan dana segar dari investor asing.
Nggak seperti hari biasanya, dimana gua datang ke kantor tepat saat jam kerja dimulai. Hari ini, suasana kantor masih sepi, bahkan tak terlihat antrian di depan lift seperti biasanya. Saat merasa gua satu-satunya orang yang datang sepagi ini di kantor, suara langkah berlari terdengar mendekat ke arah gua, yang kini sudah berada didalam lift.
“Tungguuu…” Disusul suara teriakan dari arah pintu masuk.
Dengan cepat gua menekan tombol ‘buka’ pada sisi lift, mencoba menahan selama mungkin agar orang yang tadi berteriak bisa menyusul.
Setelah hampir terpeleset karena mungkin terlalu bersemangat, sosok perempuan mungil masuk menyusul ke dalam lift.
“Eh, kak Icad… Pagi kak” Sapa Feli sambil menyapa gua.
Ia terlihat ‘berantakan’. Rambutnya belum tersisir rapi, bahkan bagian depan rambutnya masih terselip sebuah roll plastik berwarna biru. Sementara, tas punggung yang ia kenakan sedikit terbuka, membuat beberapa barang di dalamnya nyaris jatuh keluar, termasuk sebuah kemasan plastik berwarna merah muda; pembalut?
“Pagi… Tas lo kebuka tuh…” Gua balas menyapa sambil menunjuk dengan dagu ke arah tasnya.
“Oh…” Ia lalu memindahkan ransel dari punggung ke depan. Seketika, ekspresi wajahnya berubah, buru-buru menjejalkan kemasan plastik berwarna merah muda ke dalam tas. Sesekali ia melirik ke arah gua melalui pantulan pintu lift.
‘Ting’ Pintu lift terbuka. Seorang petugas keamanan masuk ke dalam lift. Sementara, Feli langsung berlari keluar dari dalam lift; padahal kami belum sampai di lantai tujuan. Gua buru-buru menahan pintu lift dan memanggilnya; “Fel.. Fel…” Namun, sepertinya ia nggak mendengar. Akhirnya gua putuskan untuk menyusulnya.
“Fel…” Panggil gua lagi.
Feli yang menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah gua. Wajahnya merona, ia menatap gua malu.
“Lo salah lantai…” Gua menjelaskan.
“Eh…” Feli merespon, kali ini air mukanya berubah; lucu.
—
Gua dan Feli akhirnya memutuskan untuk naik ke lantai kami melalui tangga darurat, karena terlalu lama menunggu lift.
“Kak, boleh minta…” Tanya Feli sambil mengangkat ponsel miliknya.
Gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menyerahkannya ke Feli. Ia lalu mulai mengetik sesuatu di ponsel milik gua dan segera mengembalikannya.
“Lo kepagian?” Tanya gua.
“Nggak, emang sengaja dateng pagi… takut macet. Nggak enak kan kalo anak baru kesiangan…” Jawabnya.
“Oiya, makasih ya ice cream nya kemarin”
“Iya sama-sama… Oiya, yang kemarin ngobrol sama kakak dibawah siapa? pacarnya ya? Cantik…” Tanya Feli.
Gua menggeleng; “Bukan…”
Feli lalu merespon dengan menganggukan kepalanya sambil tersenyum.
“Bye…” Ucap gua begitu keluar dari pintu tangga darurat di lantai kami, dan bergegas menuju ke toilet.
“Bye, kak…” Balas Feli, kemudian berjalan cepat menuju ke arah kantor.
Sejak kejadian pagi itu, atau mungkin lebih tepatnya; sejak pertama kali bertemu, Feli kerap mendatangi ruang IT. Biasanya ia datang saat baru tiba di kantor, menjelang makan siang dan sore hari sebelum pulang. Tak ada yang ia lakukan, hanya lewat, membuka pintu ruangan dan sekedar menyapa. Saking seringnya ia melakukan hal tersebut, Wawan bahkan merasa kehilangan saat suatu hari Feli nggak datang ke kantor.
“Tuh bocah kemana? tumben nggak say hi hari ini…” Tanya Wawan sambil sesekali mengintip keluar ruangan melalui jendela buram.
Mungkin kejadian ini sangat tepat untuk menggambarkan quotes terkenal yang banyak diadaptasi ke dalam novel atau film; ‘Kita baru merasa kehilangan seseorang saat orang itu nggak ada’.
“Kemaren kemana?” Tanya gua ke Feli saat kami nggak sengaja bertemu di Pantry kantor. Saat itu, gua tengah mencuci kotak bekal makan siang dari Resti.
“Aku kemaren ada workshop seharian kak…” Jawab Feli sambil mengaduk kopi yang baru saja ia seduh.
“... Kak Icad, bawa bekal?” Feli bertanya, kala melihat gua tengah mencuci kotak bekal makan siang dari Resti.
“Iya…”
“Dibuatin mamahnya ya?” Tanyanya lagi.
“...” Yang lalu gua jawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum.
“Ooo… pasti dibawain sama cewek yang waktu itu ya?” Tanya Feli, merujuk ke Resti.
Kali ini gua menjawab dengan anggukan, sambil mengingat kejadian pagi tadi; Saat Resti tiba-tiba menelpon gua, mengajak untuk bertemu di lobby gedung.
“Lo dimana?” Tanya gua melalui sambungan ponsel saat nggak bisa menemukan dirinya di lobby utama gedung.
“Didepan…” Jawabnya.
Gua bergegas menuju ke depan, ke beranda lobby gedung. Terlihat Resti tengah berdiri sendiri sambil menenteng sebuah plastik berwarna hitam. Seperti biasa, ia tampil dengan menggunakan penutup kepala. Kali ini ia mengenakan topi baseball oversize yang dipadukan dengan kaos hitam lengan panjang berlogo ACDC, ripped jeans dan sandal jepit swallow berwarna putih dengan aksen hijau.
“Kenapa nggak masuk?” Tanya gua saat berada di depannya.
“Nggak boleh” Jawabnya, nada suaranya terdengar kesal. Matanya tertuju ke petugas keamanan bersafari yang terlihat tengah memeriksa para karyawan yang hendak masuk ke dalam gedung.
Tepat di sebelah gate metal detector, terlihat poster yang dipasang pada tripod besi. Poster yang menunjukkan gambar buah durian, rokok, anjing dan sandal jepit, keempat gambar tersebut diberi tanda silang. Sepertinya nggak butuh penjelasan lebih lanjut mengenai makna dari gambar-gambar tersebut.
“Nih…” Resti lalu menyodorkan plastik yang berada di genggamannya ke arah gua.
“Apaan?” Tanya gua sambil meraih plastik tersebut dan mengintip bagian dalamnya. Terlihat sebuah kotak makan plastik dengan tutup berwarna merah.
“...”
“...Makanan?” Gua mencoba menebak, begitu melihat isinya.
“Iya…” Jawab Resti singkat, sementara wajahnya masih terlihat kesal akibat nggak diperbolehkan masuk oleh petugas keamanan gara-gara hanya memakai sandal.
“Ok, Thank you…” Ucap gua sambil bersiap pergi.
Sejatinya, gua nggak hanya mau bilang ‘Thank you’ kepadanya. Masih banyak hal yang ingin gua tanyakan perkara pemberian makan siang ini. Tapi, melihat sepertinya mood Resti sedang nggak ‘oke’, maka gua putuskan untuk menelponnya dan ngobrol dengannya nanti.
—
Gua mengeringkan kotak makan siang plastik dari Resti, memasukkannya kembali ke dalam plastik dan bersiap untuk menelponnya. Saat tengah mencari namanya pada contact list, ponsel gua berbunyi; Resti.
“Halo…” Sapa gua.
“Udah makan?” Tanya Resti dari ujung sana, mengabaikan sapaan gua.
“Baru selesai…”
“Makan, makanan dari gw kan?” Tanyanya lagi memastikan.
“Iya”
“Enak nggak?”
“Lo bikin sendiri ya?” Gua balik bertanya.
“Kenapa, nggak enak ya?”
Gua terdiam, merenung. merasa terjebak dalam pilihan yang berbahaya. Kalau gua berkata jujur, bahwa makanannya nggak enak, Resti pasti bakal Bad Mood dan melampiaskan kemarahannya ke gua. Seandainya gua berbohong dan bilang kalau masakannya enak; bukan nggak mungkin ia bakal berinisiatif membuatkan masakan lain buat gua.
“Enak kok…” Jawab gua penuh kebohongan. Jujur, mungkin Resti jago dalam hal lain, cantik, pintar dan mempesona. Tapi, masak mungkin bukan bakatnya.
“Besok gw bikinin lagi deh…” Resti memberikan penawaran.
‘Mampus’ batin gua dalam hati.
—
Urusan jatuh cinta; ada tiga tipe pria di dunia ini. Tipe pertama, pria yang tau saat ia sedang jatuh cinta, tipe kedua; pria yang nggak peduli apa itu jatuh cinta dan yang terakhir, Tipe ketiga; pria yang nggak tau kalau ia sedang jatuh cinta.
Sampai saat ini, gua nggak tau masuk ke dalam kategori pria yang mana; pertama, kedua atau ketiga.
Awalnya, gua merasa ada ‘percikan kecil’ saat pertama bertemu kembali dengannya setelah beberapa tahun. Lalu, siapa yang sangka ‘percikan kecil’ tersebut semakin lama semakin membesar. Namun, saat mencoba kembali menarik benang merah dari semua ini; gua kembali pada kesimpulan awal; Kemiripan Resti dengan Larissa membuat alam bawah sadar gua mulai ‘menyukainya’.
Buat gua pribadi; ini sesuatu yang salah. Mencintai Resti adalah sebuah kesalahan.
Tapi, semakin gua mencoba menghindar, semakin ‘dekat’ gua dibuatnya. Ada rasa ‘ngilu’ luar biasa saat mendengar Resti tengah berdua dengan salah satu pria yang menyukainya; Raymond, Verdi atau siapalah namanya. Perasaan aneh kembali muncul saat melihat Resti berlaku berbeda saat bersama pria lain. Ia tampil ceria dan penuh senyuman, sungguh berbanding terbalik saat ia tengah bersama gua; moody dan gloomy. Tentu saja hal itu menyakiti hati gua.
Semuanya berubah, saat gua melihat sebuah kotak dikamarnya. Sesuatu yang mengubah pandangan gua terhadapnya.
—
“Nih, buat di kosan…” Resti menyodorkan sebuah plastik berisi kotak makan ke arah gua, sementara tangan satunya mengambil kotak makan kosong yang tadi pagi ia berikan.
Gua menghela nafas, sambil dengan penuh keikhlasan menerimanya.
“Tenang aja, itu gw tadi beli. Nggak masak sendiri… gw juga tau diri kalo masakan gw nggak enak…” Resti memberi penjelasan tanpa diminta.
“Yang bilang nggak enak siapa?” Tanya gua.
“Muka lo!” Jawabnya ketus.
“...”
“Ntar sampe di kosan, jangan lupa di panasin” Resti memberikan saran ke gua.
“Panasin pake apa?” Tanya gua.
“Lah emang di kosan nggak ada kompor?” Resti balik bertanya. Yang lalu gua jawab dengan gelengan kepala.
“Trus kalo masak gimana?” Tanyanya lagi.
“Gua nggak pernah masak di kosan”
“Kalo masak mie instan?”
“Pake teko listrik…”
“Masak air?”
“Pake teko listrik…”
Resti mengernyitkan dahinya mendengar jawaban-jawaban gua, seakan nggak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
“Terus lo selama ini makan gimana?”
“Di beli lauk di warteg, kalo masak nasi sih bisa, di kosan ada rice cooker”
“Yaudah mulai besok gw anterin makanan kesini…” Ucap Resti, suaranya terdengar meninggi. Sebuah tanda kalau kalimatnya barusan bukanlah sebuah tawaran, melainkan sebuah perintah.
“Tapi…”
“... Gw beli… nggak masak sendiri…” Tambahnya, seakan tau akan apa yang akan gua ucapkan.
“Ya kalo gitu kan gua juga bisa beli sendiri, apa bedanya?” Tanya gua.
Resti berdiri dari kursi plastik, ia menatap gua sambil berkacak pinggang; “Lo mau berdebat hal nggak penting lagi sama gw?” Tanyanya
Gua lalu meresponnya dengan gelengan kepala. “Thank you kalo gitu…” ucap gua pelan
Sejak saat itu, perihal ‘makan’ nggak lagi menjadi perhatian gua. Hampir setiap hari, Resti mengantarkan makanan ke kantor. Entah itu saat pagi hari atau menjelang makan siang. Saat berhalangan untuk mengantarkan makanan ke gua, ia akan menghubungi gua untuk memberi kabar. Kalau dibayangkan, mirip seperti seorang istri yang mengabari suaminya bahwa ia nggak masak dirumah.
Gua senyum-senyum sendiri saat membayangkan hal tersebut.
—
Incubus - Megalomaniac
I hear you on the radio
You permeate my screen, it's unkind
But if I met you in a scissor fight
I'd cut off both your wings on principle alone
Principle alone
Hey, megalomaniac
You're no Jesus, yeah, you're no fucking Elvis
Wash your hands clean of yourself, baby
And step down, step down, step down
If I were your appendages
I'd hold open your eyes so you would see
That all of us are heaven-sent
And there was never meant to be only one
To be only one
Hey, megalomaniac
You're no Jesus, yeah, you're no fucking Elvis
Wash your hands clean of yourself, baby
And step down, step down, step down
Step down, step down, oh, step down
You're, you're, you're
You're no Jesus
You're no Elvis
You're no Jesus
You're no Jesus
You're no Elvis
You're no answer
Step down, step down, step down
Step down, hey, hey
Hey, megalomaniac
You're no Jesus, yeah, you're no fucking Elvis
Wash your hands clean of yourself, baby
And step down, step, step down
Step down, oh, step down
Step down, oh, step down
Step down