Quote:
Pagi hari di desa Tersembunyi
Hari masih sangatlah pagi. Bahkan sinar mentari belum mampu menembus rapatnya dedaunan hutan. Namun bias sinarnya sudah cukup mampu untuk menerangi desa itu, hingga bisa terlihat jelas kini, seperti apa keadaan desa misterius dipuncak gunung itu.
Terletak cukup jauh dari jalan setapak yang menurun menuju ke kaki gunung di lereng sebelah selatan, enam buah gubuk yang rata rata berdinding kulit kayu dengan atap anyaman dedaunan nampak berdiri tak beraturan di sela sela lebatnya pepohonan hutan. Berderet dari arah barat ke timur. Gubuk pertama yang berada di sisi paling barat, dihuni oleh si Gagu dan Yu Minah, sang istri.
Selanjutnya, beberapa depa disebelah timurnya, agak menyerong ke atas, merupakan gubuk hunian Kang Marno dan Yudi, sang anak yang berusia kurang lebih delapanbelas tahunan. Tak ada perempuan di gubuk itu, karena istri Kang Marno sepertinya tak selamat saat terjadi penggerebekan dulu.
Lalu, beberapa depa lagi agak kebawah, sedikit menyerong ke arah timur, ada gubuk hunian Kang Sardi dan sang istri, disebelahnya lagi, ada gubuk hunian Kang Mitro dan Yu Menuk. Lebih agak jauh ke timur agak keatas, ada gubuk hunian Mbah Mijan dan Mbah Sumi. Lalu gubuk yang berada diujung paling timur, sekaligus yang paling besar dan kokoh, dihuni oleh sang Ketua bersama Yu Warsih sang istri dan Bejo, orang kepercayaan si ketua.
Satu persatu, kecuali gubuk yang berada diujung paling barat dan timur, pintu pintu gubuk itu terbuka, dan para penghuninya keluar. Mereka lima orang lelaki dengan perawakan kurus kering dengan tubuh dekil tanpa baju, menampakkan tulang belulang mereka yang bertonjolan. Jelas kalau kehidupan yang mereka jalani, jauh dari kata menyenangkan.
Ada juga beberapa perempuan, tiga orang tepatnya, yang juga keluar dari tiga gubuk yang berbeda. Tak jauh berbeda dengan para lelaki, mereka juga berperawakan kurus kering dan bertubuh dekil, bedanya, pakaian yang mereka kenakan, sedikit lebih lengkap daripada yang dikenakan oleh para lelaki, meski pakaian pakaian itu sama dekilnya dengan tubuh mereka.
Tak ada anak anak sepertinya di desa itu, karena setelah keluarnya para perempuan itu, tak ada lagi sosok yang keluar dari dalam gubuk. Tiga perempuan itu segera menuju ke arah sebuah pohon beringin besar yang tumbuh agak kebawah dari area pemukiman mereka. Ada ceruk besar yang menampung air yang keluar dari akar akar pohon beringin besar itu. Tak begitu banyak air yang tertampung dalam ceruk itu, dan itu sumber air satu satunya bagi warga desa tersembunyi itu. Tak heran, kalau mereka harus benar benar bisa menghemat persediaan air itu. Hanya menggunakannya untuk hal yang benar benar penting saja. Minum yang paling utama, juga memasak bahan makanan. Mandi? Entah berapa hari sekali orang orang itu melakukannya. Mungkin hanya disaat hujan turun seperti semalam. Jadi tak heran kalau mereka terlihat dekil dan kotor.
Seperti pagi itu, karena semalam hujan deras, ceruk besar dibawah pohon beringin besar itu agak banyak menampung persediaan air. Ketiga perempuan itupun bisa sedikit memanjakan diri dengan membasuh tubuh dan pakaian mereka di ceruk itu.
Sementara para perempuan sibuk membersihkan diri, para lelaki justru berjalan beriringan ke arah barat, bersiap untuk turun gunung dan mengais rezeki di desa desa yang ada di kaki gunung sana. Saat melewati gubuk yang diujung sebelah barat, yang pintunya masih tertutup rapat, mereka memperlambat langkah mereka.
"Sudah beberapa hari aku tak melihat Si Gagu," kata salah satu dari laki laki itu.
"Iya, sudah beberapa hari ini, Si Gagu tak pernah lagi berangkat bersama kita. Apakah dia sakit?" sahut laki laki yang lain.
"Kurasa tidak! Kudengar, justru beberapa hari ini ia mendapat bahan makanan lebih banyak dari kita." sanggak yang lainnya lagi.
"Darimana kamu tau?"
"Dari istriku. Kemarin kebetulan saat mengantar jatah buat Ketua, bareng sama istrinya si Gagu itu. Dan kalian tau? Jatah yang diberikan oleh istri si Gagu kepada Ketua, lebih banyak dan lebih baik daripada yang kita berikan."
"Heran! Darimana si Gagu mendapatkannya? Dan kenapa dia selalu pergi sendirian? Nggak pernah bareng sama kita?"
"Mungkin dia pergi lebih jauh ke arah kota sana, makanya dia dapat bahan makanan yang lebih banyak dan lebih baik."
"Bisa jadi! Atau karena si Gagu itu terlalu jujur."
"Maksudmu?"
"Kau taulah, si Gagu itu terlalu lugu orangnya. Apapun yang ia dapat, selalu dibagi sama banyak dengan Ketua, tidak seperti kita yang hanya memberi sekedarnya saja kepada Ketua."
"Ah, benar juga. Si Gagu itu terlalu lugu. Dan malah lebih bagus kalau dia perginya sendiri, tak sama sama dengan kita. Kadang dia suka bikin repot di jalan."
"Jadi, bagaimana? Apa kita tinggal lagi saja dia hari ini?"
"Ya. Lebih baik begitu, daripada nanti bikin repot. Hari ini aku ada rencana bagus."
"Rencana apa?"
"Kemarin, aku melihat ada ladang singkong dan jagung yang cukup subur, dan jauh dari pemukiman penduduk. Sepertinya bisa kita ambil sebagian tanpa sepengetahuan yang punya."
"Wah, ide bagus itu."
"Mangkanya itu, siapkan karung karung kalian."
Kelima laki laki itupun segera berlalu dari depan gubuk si Gagu, tanpa menyadari bahwa dari dalam gubuk itu si Gagu mendengarkan obrolan mereka sambil menikmati kopi kental nan manis sambil tersenyum dikulum.
Orang orang bodoh, batin si Gagu. Mereka tidak tahu bahwa ada cara yang lebih mudah untuk mendapatkan bahan makanan yang lebih banyak dan lebih baik daripada harus mencuri seperti mereka. Cukup datang ke desa Larangan, menemui pemuda tampan yang kemarin menolongnya, dan apa yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan. Seperti kopi dengan gula yang sekarang ini sedang ia nikmati, belum tentu setahun sekali warga desa ini bisa menikmatinya.
Ah, tapi tidak, batin si Gagu lagi. Soal pemuda tampan dan baik hati di desa Larangan itu, biarlah tetap menjadi rahasianya. Ia tak ingin membocorkannya kepada para tetangganya. Juga kepada Ketua. Biarlah pemuda tampan dan baik hati itu menjadi sumber rezekinya seorang. Jika tetangga tetangganya pada tau dan ikut ikutan datang ke desa Larangan, bisa bisa pemuda tampan dan baik hati itu tak mau lagi membantunya, karena mengira kalau ia serakah dengan sengaja mengajak teman untuk bisa mendapatkan bahan makanan yang lebih banyak.
Istri si Gagu, sebut saja namanya Yu Minah, sampai geleng geleng kepala melihat sang suami yang senyam senyum sendiri di pagi itu. Ia tau, sang suami sedang bahagia, karena semalam mendapat bahan makanan yang lumayan banyak. Dan perempuan itu juga ikut senang, karena sebentar lagi ia pasti juga akan mendapat pujian dari sang Ketua, karena menyetor bahan makanan yang lebih banyak daripada warga yang lain. Siapa tau dengan rutin menyetor bahan makanan yang lebih banyak daripada warga yang lain, membuat mereka bisa lebih dekat dengan sang Ketua. Syukur syukur bisa diangkat menjadi orang kepercayaan si Ketua, seperti si Bejo itu, yang tidak lagi harus repot repot ikut turun gunung mencari bahan makanan, tapi cukup dengan menemani si Ketua kemanapun pergi dan melaksanakan tugas tugas khusus dari si ketua dengan upah yang lumayan.
"Kang, aku ke rumah Ketua dulu ya, mau nganterin ini," ujar Yu Minah, sambil menunjukkan kantong besar berisi bahan makanan jatah untuk sang ketua.
Si Gagu melambai ke arah sang istri, memberi isyarat kepada Yu Minah untuk mendekat. Si Gagu lalu membongkar kantong yang dibawa Yu Minah, mengeluarkan beberapa bungkusan berisi gula, kopi, dan teh sambil ber ah ah uh uh, mengisyaratkan bahwa bungkusan bungkusan itu tak perlu dibagi dengan sang Ketua.
"Ah, rupanya kau sudah ketularan sifat para tetangga itu ya Kang, berbuat curang kepada Ketua," ujar Yu Minah.
"Ah! Umm..! Uh! Uweh!" si Gagu kembali menggumam tak jelas, sambil tangannya bergerak berserabutan, berusaha untuk menjelaskan kepada sang istri bahwa Ketua akan curiga kalau sampai tau ia bisa mendapatkan barang barang yang menurut mereka cukup langka itu.
"Oh! Uweh! Emm! Uh! Eh!" si Gagu juga berpesan kepada sang istri, agar jangan bercerita kepada sang ketua tentang darimana ia mendapat bahan makanan sebanyak itu.
Yu Minah hanya mengangguk, lalu segera bergegas keluar menuju ke gubuk sang ketua yang berada di ujung timur desa tersembunyi itu. Gubuk yang kondisinya sedikit lebih baik daripada gubuk gubuk yang lain. Juga sedikit lebih besar. Ada tempat duduk dari gelondongan kayu besar di teras gubuk itu, tempat dimana pagi itu si Ketua, seorang laki laki berperawakan gagah dan bertubuh sedikit lebih bersih daripada penghuni lain desa tersembunyi itu, sedang duduk sambil mengelap bedil kesayangannya. Bedil yang selalu menjadi kebanggannya. Bedil yang yang ia dapat saat dulu ia masih ikut berjuang dan bergerilya. Bedil yang membuatnya menjadi orang yang sangat ditakuti dan disegani oleh semua warga desa tersembunyi itu. Juga oleh Yu Minah yang saat itu berjalan mendekatinya. Konon katanya, selain bedil itu, ketua juga masih menyimpan banyak senjata yang entah ia sembunyikan di belantara hutan ini.
"Kang, ini, saya mau mengantar bahan makanan hasil suami saya turun gunung kemarin," kata Yu Minah dengan takut takut.
"Hmmmm...!" si Ketua hanya mendehem sambil menelengkan kepalanya ke arah gelondongan kayu panjang yang didudukinya, memberi isyarat kepada Yu Minah untuk meletakkan barang bawaannya disitu.
"Ya sudah Kang, saya pamit! Besok kalau Kang Gagu dapat hasil lagi langsung saya antar kemari," ujar Yu Minah lagi, setelah meletakkan bawaannya.
"Hmmm...!!!" lagi lagi si ketua hanya mendehem, tanpa mengentikan kesibukannya mengusap usap bedil di tangannya dengan kain lap kumal itu.
Yu Minah segera berlalu dari hadapan si Ketua, tanpa menyadari bahwa sang ketua diam diam mengikuti langkahnya dengan ekor matanya. Dan begitu sosok Yu Minah telah menghilang dari pandangannya, laki laki itu segera berseru memanggil istri dan orang kepercayaannya.
"Warsih! Bejo! Kesini! Cepat!" seru laki laki itu.
Dalam gubuk, keluar seorang perempuan yang penampilannya tak jauh beda dengan si ketua. Lebih bersih dengan tubuh yang lebih berisi, dengan pakaian yang juga lebih layak. Dialah Warsih, istri tak resmi dari sang ketua, karena istri sebenarnya dari si ketua ini justru tak selamat saat penggerebekan dulu. Warsih, seorang perempuan bekas aggota gerakan wanita yang dikenal kejam itu, juga mengalami nasib yang sama, suami dan anaknya tak selamat saat penggerebekan dulu, hingga akhirnya diangkat menjadi istri oleh si ketua. Sementara Bejo, kerabat dekat si Ketua yang sekarang diangkat menjadi orang kepercayaan si ketua, datang tergopoh gopoh dari arah samping rumah.
"Aku punya tugas untuk kalian!" ujar si ketua.
"Tugas apa Kang?" hampir bersamaan Warsih dan Bejo menyahut.
"Sudah beberapa hari ini, istri si Gagu itu selalu menyetor bahan makanan lebih banyak dari biasanya. Dan bahan makanan yang mereka dapat juga lebih bagus. Aku curiga, darimana si Gagu itu mendapatkannya. Karena itu, Warsih, mulai hari ini, kamu awasi Yu Minah. Apapun yang ia katakan, laporkan kepadaku. Dan kau Bejo, awasi si Gagu, ikuti kemanapun dia pergi! Aku curiga dia kembali ke desa larangan dan membocorkan keberadaan kita kepada warga disana hanya demi mendapatkan imbalan bahan makanan!"
"Baik Kang! Akan kami laksanakan!" jawab Warsih dan Bejo, lagi lagi hampir bersamaan, lalu keduanyapun berlalu untuk melaksanakan tugas mereka.
Sepeninggal Bejo dan Warsih, si ketua meletakkan bedilnya, lalu bangkit berdiri dan menatap ke kejauhan. Mulutnya bergumam pelan, "Gagu! Minah! Kalau kalian sampai berani berkhianat, aku tidak akan segan segan untuk menghabisi kalian!"
bersambung