Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua berdiri dan mendekat ke arahnya. “Thank You…” Ucap gua sambil mengusap pelan kepalanya, kemudian bergegas pergi.
Diluar ruang apartemennya, gua menyandarkan tubuh di dinding, seraya menatap kosong ke arah langit-langit koridor. Ada pergolakan batin di diri gua, satu sisi diri gua amat sangat memberikan perhatian lebih kepada Resti. Bukan, bukan karena rasa iba yang mendalam. Melainkan karena gua tau apa yang ia rasakan, apa yang telah ia lalui hingga membentuk dirinya yang sekarang. Sementara, sisi diri gua yang lain terus melakukan penolakan. Bukan, bukan karena benci. Tapi, karena gua takut jatuh hati kepadanya.
‘Emang apa salahnya jatuh hati ke Resti?’ pertanyaan yang selalu muncul dalam diri.
Well, gua cuma takut ini rasa ‘palsu’. Kemiripan Resti dan Larissa sedikit banyak bakal membuat ‘pandangan’ gua terhadap Resti menjadi bias.
—
Sebelum pulang ke kosan, gua menyempatkan diri untuk mampir ke proyek tempat Mas Karlan Cs bekerja. Setibanya disana, Mas Karlan langsung menghampiri dan memeluk gua; ‘Kangen’ katanya. Padahal, baru aja minggu yang lalu gua mampir kesini dan bertemu dengannya.
“Nih buat Lo mas..” Ucap gua seraya menyodorkan ponsel yang baru gua beli kemarin.
“Hah?” Mas Karlan nggak langsung menerimanya, Ia terlihat cukup terkejut.
“Udah pake…” Gua memaksa dengan meletakkan ponsel ke genggamannya.
“Nggo kowe ae cuk, HP mu kan uelek…” Ucapnya, menolak dengan halus dan menyarankan gua untuk memakainya karena HP gua jadul dan jelek.
Gua tersenyum ke arahnya, menunjukan ponsel pemberian Resti yang kini gua pakai, dan mulai menjelaskan kronologi kejadian sampai gua bisa punya dua ponsel baru sekaligus.
“Suwon yooo…” Mas Karlan mengucapkan terima kasih begitu mendengarkan penjelasan dari gua.
Mungkin karena takut gua akan ikut membantu pekerjaannya di proyek, Mas Karlan ‘mengusir’ gua. Sebelum pergi, ia sempat menyelipkan selembar uang 50 ribuan ke saku jaket gua; ‘Buat ongkos’ katanya. Ia masih memperlakukan gua seperti seorang mahasiswa yang kurang jajan, padahal saat ini gua sudah bekerja. Dan hal ini sudah terjadi berkali-kali, setiap gua mengunjunginya.
“Nggak usah, Mas… Malu, gua kan udah kerja…” Ucap gua sambil berusaha mengembalikan uang tersebut.
Mas Karlan menggeleng dan terus memaksa. Katanya, seberapa pun gedenya gaji gua, seberapa pun mapannya gua, seberapa pun tajirnya gua, uang 50 ribu ini adalah uang jajan dari kakak ke adiknya.
—
Setibanya di kosan, gua memasukkan lembaran uang 50 ribu pemberian Mas Karlan ke dalam celengan plastik berbentuk tong berwarna kuning. Sejak lulus kuliah dan bekerja, semua uang ‘jajan’ pemberian Mas Karlan selalu gua masukkan kedalam celengan ini. Dan sekarang sepertinya sudah hampir penuh.
Bunyi ponsel terdengar beberapa kali. Cukup lama buat gua menyadari kalau yang berbunyi merupakan ponsel milik gua; Nada deringnya terdengar asing.
Layar besar di ponselnya menampilkan nama Resti.
“Halo…”
“Dimana?” Tanyanya dari ujung sana.
“Di kosan, kenapa?”
“Ooh.. Kirain balik lagi ke kantor… Gw mau ngajak makan ketoprak”
“Emang udah selesai nangisnya?” Tanya gua.
“Udah…”
“Besok aja kalo mau makan ketoprak…” Gua menawarkan solusi.
“Ah, besok belom tentu gw pengen ketoprak…”
“Ya kan di gang belakang, yang dagang banyak. Nggak cuma ketoprak doang…”
“Lo udah pake HP dari gw kan?”
“Iya udah, ini lagi gua pake HP nya…”
“Ih Seneng deh… ha ha ha… Yaudah sampe ketemu besok sore ya, di tukang ketoprak.. Eh di tukang nasi goreng aja deh…” Ucap Resti kemudian mengakhiri panggilan.
Sementara gua termenung menatap ke layar ponsel yang menunjukkan durasi panggilan Resti barusan. Bingung, padahal baru beberapa jam yang lalu ia menangis sesenggukan di depan gua. Lalu barusan, udah ketawa-ketawa lagi.
Gua membuka browser di ponsel, mengetik ‘Psikolog di Jakarta’ pada kolom pencarian Google dan mengirimkan link-nya melalui pesan instan ke Resti.
Beberapa saat kemudian, Resti membalas pesan gua; ‘Maacih lho infonya :P’
—
“Lah lo beli HP lagi?” Tanya Wawan begitu melihat gua mengganti ponsel dengan varian baru pemberian Resti.
“Nggak… boleh dikasih” Jawab gua.
“Sama siapa?” Tanya Wawan penasaran.
“Orang…” Jawab gua singkat, enggan menjelaskan.
“Pacar lo yak?” Ia bertanya lagi, seakan belum puas dengan jawaban dari gua.
“Bukan…” Gua kembali menjawab singkat.
“Lo nggak jadi simpenan tante-tante kan, cad?”
“...”
“...nggak kan cad?”
Gua diam, nggak menjawab, kemudian menoleh ke arahnya sambil pasang tampang licik. Agar dia benar-benar percaya kalau gua jadi simpenan tante-tante.
“Ya harusnya lo minta mobil dong, jangan cuma HP…” Jelasnya.
“Aaah…” Gua menyeruput kopi yang kali ini diseduh dengan air yang cukup panas. “... Iya, ntar gua minta mobil…”
“Terus HP yang kemaren mana?” Tanya Wawan.
“Kenapa emang?” Gua balik bertanya.
“Sini gua bayarin…”
“Udah gua kasih orang…” Jawab gua
“Aduuuh.. kenapa nggak kasih gua aja…”
“Buat apa? lo kan udah punya…”
Perdebatan kami berdua perkara ponsel lalu terinterupsi dengan hadirnya beberapa karyawan baru yang datang untuk mengambil laptop. Wawan yang sebelumnya sudah mendapat kabar dari divisi HR untuk menyiapkan beberapa laptop baru untuk karyawan kelabakan.
“Duh, belom pada di data lagi nih laptop…” Keluh Wawan sambil menatap ke tumpukan kardus laptop baru di sudut ruangan.
Gua meraih lembaran post-it di atas meja; “Tulis nama, sama nomor HP ya, Laptopnya gua data dulu. Kalo udah nanti gua Telpon” Ucap gua seraya menyerahkannya ke para karyawan baru yang sudah terlanjur berada di ruangan kami.
Satu persatu para karyawan baru mulai menulis di lembar post-it yang gua berikan. Sementara Wawan mulai grasak-grusuk mengeluarkan laptop dari dalam kardus, mencetak barcode inventory dan menempelkannya di bagian belakang laptop.
Saat para karyawan baru satu persatu mulai pergi dari ruangan, seorang gadis mungil masuk ke dalam ruangan.
“Permisi kak, Aku Feli.. Tadi disuru ambil Laptop kesini katanya…” Ucap perempuan mungil tersebut ke arah gua.
“Baru ya?” Tanya gua sambil menoleh ke arahnya yang masih berdiri persis diambang pintu ruangan IT. Salah satu tangannya memeluk tas, sementara satu tangan lainnya masih memegang gagang pintu.
“Iya kak…” Jawabnya singkat sambil tersenyum
“Masuk…”
“Makasih kak…”
“Tulis nama sama nomer HP ya, laptopnya masih disiapin. Nanti kalo udah selesai gua telpon..” Ucap gua sambil menyerahkan lembaran post-it kepadanya.
Perempuan mungil dan manis itu lalu mulai menulis di atas lembaran post-it yang gua berikan. Namun, ekspresi wajahnya penuh dengan keraguan.
“Mmm… Kak, aku lupa bawa HP, gimana ya?” Tanyanya pelan.
“Mmmmm…” Gua menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal, mencoba mencari solusi untuknya. Sebenarnya bisa saja gua langsung menyiapkan satu laptop untuknya sekarang. Tapi, tentu saja terkesan nggak adil buat karyawan baru yang lain, yang datang lebih dulu darinya.
“... Lo duduk dimana? Ntar kalo udah siap gua telpon ke meja lo…” Akhirnya menemukan solusi.
Perempuan mungil tadi merespon dengan menggelengkan kepala; “Belom tau kak duduk dimana…”
“Lo divisi apa?” Tanya gua.
“Desain…” Jawabnya pelan.
“Grafis apa UI?” Tanya gua lagi.
“Grafis…” Ia menjawab.
“Ok ntar gua anter ke tempat lo…” Jawab gua.
“Makasih ya kak…” Ucapnya sambil menundukkan kepala dan bergegas pergi.
Beberapa detik setelah ia pergi meninggalkan ruangan, terdengar suara dentuman pelan dari koridor. Gua buru-buru keluar, dan mengintip melalui celah pintu; Terlihat perempuan mungil barusan tengah membungkuk di koridor, sepertinya habis terjatuh.
“Suara Apaan?” Tanya Wawan begitu gua kembali ke meja kerja.
“Cewek yang barusan, Jatoh…” Jawab gua.
—
Total 12 laptop telah selesai disiapkan oleh Wawan. Sementara gua baru saja selesai melakukan registrasi alamat email para karyawan baru. Beberapa saat kemudian, satu persatu karyawan baru datang ke ruangan untuk mengambil jatah laptop mereka.
Gua meraih sebuah laptop berwarna silver yang tersisa, perangkat charger dan magic mouse berwarna putih serta lembaran serah terima perangkat kemudian bergegas menuju ke ruang tim creative.
“Mau kemana?” Tanya Wawan begitu melihat gua bersiap pergi.
“Nganter ini…” Jawab gua sambil menunjukan laptop yang gua bawa.
“Oooh… Jangan lama-lama…”
“Iya..”
Gua membuka pintu kaca yang merupakan satu-satunya akses ruang tim creative. Sebuah koridor panjang membentang dengan masing-masing sisinya terdapat ruangan-ruangan lebih kecil; sub divisi dari tim creative.
Walaupun sudah sering bolak-balik ke sini, gua tetap masih bingung dengan posisi ruangan dari sub divisinya. Tim Desain sendiri terbagi menjadi 2; Desain Grafis dan Desain UI/UX, keduanya berada di ruang terpisah dengan dua manajer berbeda. Ada pula sub divisi lain seperti Digital Imaging, Content Writer, 3D studio, dan Video/Motion Editing.
Setelah beberapa kali ‘salah kamar’ akhirnya gua menemukan ruang Desain Grafis. Nggak seperti ruangan-ruangan lain di divisi creative, yang terlihat betul-betul ‘kreatif’ dengan mural dan poster-poster pada dindingnya, ruangan ini malah lebih mirip seperti ruang tim Accounting; rapi, bersih dan hening. Saking heningnya, suara gua menggeser pintu kaca pun membuat seisi ruangan menoleh.
Dengan cepat mata gua berkeliling, mencari perempuan mungil pemilik laptop yang tengah gua bawa.
‘Ah, itu dia’ Saat mata gua terhenti pada sosok perempuan mungil yang duduk di salah satu meja terjauh di sudut ruangan. Saat gua mendekat ke arahnya, Ia terlihat tengah membaca lembaran-lembaran kertas dengan seksama; Sepertinya lembar kontrak kerja.
Gua menepuk bahunya pelan; “Laptop lo..”
Ia menoleh dan mendongak ke arah gua; “Eh… Iya”
Setelah mengecek kelengkapan, gua menyerahkan formulir tanda terima kepadanya untuk diisi dan ditandatangani.
“Makasih ya kak…” Ucapnya sambil mengembalikan formulir serah terima perangkat ke gua.
“Sama-sama…” Jawab gua kemudian pergi dari sana.
—
Tepat menjelang jam istirahat makan siang, perempuan mungil tadi kembali ke ruangan gua. “Permisi Kak, Aku Feli…” Ucapnya dari ambang pintu.
“Eh, iya… kenapa?” Tanya gua.
“Ini, Mousenya kok nggak bisa ya?” Tanyanya sambil menyodorkan magic mouse berwarna putih ke arah gua.
“Lah…” Gua meraih mouse tersebut. Kemudian memindahkan switch on-off pada bagian bawahnya. Lampu indikator power nggak menyala. Gua lalu membuka kompartemen baterainya; Kosong.
“Rusak ya kak?” Tanya Feli dengan tatapan penuh kepanikan.
“Ya gimana mau nyala, nggak ada batre-nya…” Gua menjelaskan.
“Oooh…” Feli merespon, kali ini ekspresi paniknya telah hilang, berganti tatapan lucu dan menggemaskan.
“Batrenya aku beli sendiri atau gimana kak?” Ia kembali bertanya.
“Batre sama ATK harusnya minta ke GA…” Ucap gua, sambil membuka laci meja kerja dan mulai mencari baterai yang sengaja gua simpan untuk mengganti baterai mouse milik gua.
“...”
“... Ini pake batre punya gua dulu…” Gua menambahkan, seraya memasang baterai baru untuk magic mouse miliknya.
Feli terlihat memicingkan mata, sepertinya berusaha membaca nama pada ID card yang tergantung di leher gua. “Makasih ya kak… A.. bi..an.. Ri..chard” Ucapnya.
“Icad aja, jangan Abian…” Gua merespon singkat.
“Iya kak Icad, Makasih ya udah ngerepotin dari tadi…”
—-
Sorenya, seperti janji yang sudah kita sepakati kemarin, Resti sudah terlihat duduk di kursi plastik berwarna biru, berada di posisi paling jauh dari deretan pelanggan lain yang sepertinya sama-sama menunggu antrian ketoprak. Karena nggak ada kursi yang tersisa, gua berjongkok sambil bersandar pada dinding tepat disebelah Resti.
“Hari ini banyak yang pengen ketoprak kayaknya…” Ucapnya sambil mengumbar senyum ke arah gua.
“Lo udah pesen?” Tanya gua, kemudian menghisap rokok dan memainkan hembusan asapnya membentuk lingkaran.
Resti menggelengkan kepala. Gua lalu berniat berdiri untuk segera memesan dua porsi ketoprak. Namun, dengan cepat Resti menahan gua.
“Nggak usah… gw nggak begitu laper…” Ucapnya.
“Lah, terus ngapain disini?” Tanya gua.
“Ya numpang duduk aja. Gw udah izin sama abangnya, minjem bangku tadi…” Jelasnya.
“Emang harus nunggu lo nggak punya duit buat beliin lo ketoprak?” Tanyanya, mendebat gua.
“Ya elo mau bayarin gua karena lo pikir gua nggak punya duit kan?”
“Kalo lo punya duit kenapa lo tadi nggak langsung pesen?”
“Karena biasanya lo udah pesen duluan…”
“Gw biasanya pesen duluan karena gw laper, sekarang gw nggak laper..”
Di Tengah perdebatan kami yang kurang penting, sebuah suara terdengar memanggil gua; “Kak Icad..” Panggil Feli seraya melambaikan tangannya.
Ia lalu berjalan mendekat ke arah gua, sambil menenteng plastik putih berlogo mini market. Sementara, perempuan yang tengah berjalan bersamanya terlihat berjalan cepat menyusul.
“Kak, ini batrenya…” Ucapnya sambil menyodorkan satu pack berisi 6 buah baterai.
“Eh, banyak amat…” Ucap gua seraya meraih baterai yang ia sodorkan.
“Sama ini buat Kak Icad…” Ia merogoh sesuatu dari dalam plastik dan menyerahkan sebungkus ice cream.
“Makasih ya…” Jawab gua sambil menerima pemberiannya.
“Sama-sama kak, aku naik dulu ya… bye…” Feli pamit, kemudian bergegas pergi. Ia sempat kembali melambaikan tangannya sambil tersenyum sebelum pergi. Sementara, gua masih terdiam, tersipu sambil menggenggam satu pack baterai dan ice cream.
“Siapa?” Tanya Resti. Matanya menatap tajam ke arah Feli yang tengah berjalan menjauh.
“Feli, anak baru…” Jawab gua.
“Yang satu lagi?” Tanyanya lagi, merujuk ke perempuan yang tadi bersama Feli.
“Nggak tau, kayaknya anak baru juga…”
“Jadi, dua-duanya anak baru. Tapi lo cuma kenal yang cakep doang? siapa namanya tadi? Feli?”
Gua nggak menjawab pertanyaan terakhirnya. Kemudian menyodorkan bungkusan ice cream yang tadi diberikan Feli kepada Resti.
“Ogah!” Ucapnya sambil buang muka. Gua lalu membuka kemasan ice cream dan kembali menyodorkannya ke arah Resti. Dan lagi; ia menolaknya; “Dibilang ogah, itu kan pemberian orang. Ngapain malah lo kasih ke orang lain.. makan aja sendiri..”
“Hah…” Gua menghela nafas, kemudian menikmati ice cream pemberian Feli. Gua lalu bangkit berdiri dan meninggalkan Resti, menuju ke minimarket yang berada nggak jauh dari sana; tempat ia membeli Ice Cream yang kini tengah gua nikmati.
Beberapa saat kemudian, gua kembali dari minimarket dengan Ice Cream berada di tangan gua. Sementara, Resti masih terlihat duduk di kursi plastik dekat tukang ketoprak, bertopang dagu sambil memainkan ponselnya dengan satu tangan.
“Nih…” Gua menyodorkan Ice Cream yang baru gua beli kepadanya.
Resti mendongak dan menatap gua.
“Ini… gua baru beli, khusus buat elo” Ucap gua, sementara tangan gua masih menyodorkan Ice Cream kepadanya.
“Makasih” Ucapnya dengan nada ketus dan ekspresi jutek.
Ia lalu memasukkan ponsel kedalam saku sweater kemudian berdiri. “Ayo…”
“Kemana?” Tanya gua.
“Makan, gw laper…” Jawabnya, kemudian pergi.
“Tadi katanya nggak laper…” Gerutu gua pelan.
Resti yang sepertinya mendengar gerutuan gua lalu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gua dan menatap tajam; “Iya, tadi emang nggak laper, Sekarang dikasih gajah juga gw makan!” Jawabnya sangar.
—
Sore - Sssst
Dan kutahu kau tak pernah bilang gila
Dan tak pernah kau kutahu bilang gila
Namun kau tak juga pernah bilang gila
Takkan pernah, takkan pernah hilang jiwa
Di antara sejumlah bilang yang menggila
Di samping kawan
Jangan kau buang yang merasakan berjiwa
Di samping lawan
Dan sekarang semua rasa sudah gila
Dan gila pun merasakan punya jiwa
Namun kau tak pernah juga bilang gila
Takkan pernah, takkan pernah hilang gila
Di antara sejumlah bilang yang menggila
Di samping kawan
Jangan kau buang yang merasakan berjiwa
Di samping lawan