Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Dingin angin malam menusuk daging menembus kulit dan kemeja gua yang basah. Gua berjalan diatas trotoar tepi jalan Jakarta yang lengang. Hanya sesekali terdengar suara sedan mewah yang memacu mesinnya, memanfaatkan suasana jalanan yang kosong. Angka di jam tangan gua menunjukkan nyaris pukul 3 dini hari, gua memutuskan untuk kembali ke kantor dan tidur disana.
Gua menuju ke ruang IT, mengambil salah satu sweater yang memang gua sengaja tinggalkan di kantor. Kemudian bergegas ke toilet. Setelah membasuh wajah, gua mulai mencuci kemeja dan jaket gua yang terkena muntahan Resti di wastafel. Iya, cuci koboy, tanpa detergen dan pewangi, hanya sekedar untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kemudian menjemurnya di outdoor AC balkon kantor.
Dua kursi kantor gua posisikan saling berhadapan, salah satu kursi sebagai alas gua duduk, kursi sisanya gua gunakan sebagai ambalan kedua kaki. Samar, suara teriakan dan tawa-canda tim creative yang sepertinya masih sibuk bekerja, menemani kantuk gua yang semakin berat, kemudian perlahan mulai terlelap.
Sebuah tepukan membangunkan gua.
“Mas.. mas..”
Gua membuka mata, dan mulai memijat bagian dahi diantara kedua mata.
Mas Abidin, seorang office boy kantor berdiri sambil menatap gua ramah.
“Eh, mas bidin…”
“Mau kopi mas?” Tanyanya sopan.
“Mmm… boleh deh…” Jawab gua, kemudian meraih jam tangan yang sebelumnya gua letakkan di atas meja kerja. Pukul 6.15 pagi.
Gua membuka pintu kaca di sisi ruangan yang menghadap ke arah barat, satu-satunya pintu akses menuju ke balkon di ruangan ini. Mengecek kemeja dan jaket yang semalam sempat gua cuci dan keringkan disana dengan memegang satu persatu; Keduanya memang sudah kering. Gua meraih dan mengendusnya; ‘Iyuh!’ tapi bau banget.
Akhirnya, daripada harus kerja dengan kemeja yang kering tapi bau, gua memutuskan untuk tetap memakai sweater yang masih gua kenakan.
Mas Abidin masuk kedalam ruangan, dan meletakkan cangkir berwarna putih di atas meja kerja gua; “Ini ya mas…”
“Thanks ya…” Ucap gua, kemudian meraih cangkir tersebut dan membawanya kembali ke balkon.
Keheningan, sebatang rokok, secangkir kopi sachet yang diseduh dengan air yang kurang panas, sambil menatap jalanan Jakarta pagi hari yang perlahan semakin padat. ‘Ah… bahagia rasanya’. Iya standar kebahagiaan gua memang rendah.
Satu jam, hanya satu jam ‘kebahagian’ pagi yang bisa gua rasakan. Jam 7 pagi, Wawan sudah tiba di ruangan, dan langsung mencecar gua dengan banyak tugas; Menyiapkan ruang meeting untuk presentasi direksi dengan calon investor.
“Disiapin apanya sih? kan itu ruangan udah tinggal pake aja…” Ucap gua ke Wawan.
“Meetingnya offline-online, mau ada investor dari luar yang ikut meeting..” Wawan menjelaskan.
“Telcon?” Tanya gua, menyebutkan istilah Teleconference yang biasa kami gunakan.
“Iya” Wawan mengangguk cepat.
“Pantesan jam segini lo udah dateng” Gua menggumam sambil meninggalkannya menuju ke ruang meeting.
“HP Lo mati ya, gua telpon nggak bisa?” Wawan bertanya sambil berteriak. Mendengar pertanyaan darinya barusan, sontak gua mengecek isi kantong celana gua; “Lah iya, HP gua mana?” Gua kemudian bergegas kembali ke ruang IT dan mulai mencari Ponsel gua.
“Udah gua yang nyari HP lo… Elo setting ruang meeting aja…” Wawan bicara, menawarkan solusi.
“Meetingnya jam berapa?” Tanya gua.
“Jam sembilan” Wawan menjawab singkat.
Pantes tim creative sampai harus bekerja lembur kemarin. Mungkin menyiapkan mockup dan deck presentasi untuk meeting pagi ini.
—
Wawan menyusul setelah gua hampir selesai menyiapkan ruang meeting untuk jam 9 nanti. Ia meletakkan laptop diatas meja dan mulai mengetes koneksi internetnya. Gua duduk di salah satu kursi ruang meeting yang nyaman, kemudian bertanya kepadanya; “Ketemu nggak HP gua?”
“Nggak” Jawabnya singkat, sementara matanya masih menatap ke layar laptop yang menunjukkan deretan angka hasil PING.
“Duh, kemana yak?” Gua bertanya ke diri sendiri, sambil mencoba mengingat-ingat terakhir kali gua mengeluarkan ponsel.
“Lagian udah sih, beli yang baru… Lo kan staff IT, masa iya masih pake HP jadul begitu…” Ucap Wawan santai.
Gua menyodorkan tangan ke arahnya; “Enak banget lo ngomong, mana sini duitnya buat beli HP baru”
‘Di Kantong Jaket!’ Batin gua dalam hati dan bergegas kembali ke ruangan IT.
Sesampainya di ruangan IT, gua langsung menuju ke Balkon dan mengecek saku Jaket yang tengah gua keringkan; kosong!
Gua duduk dan bersandar pada pintu balkon, sambil mencoba mengingat-ingat jumlah saldo terakhir tabungan. Sebenarnya, kalau hanya untuk membeli ponsel tipe terbaru yang beredar di pasaran nggak bakal menguras seluruh isi tabungan gua. Tapi, gua merasa ponsel yang sekarang gua gunakan masih berfungsi dengan baik. ‘Beli yang gua butuh, bukan yang gua inginkan’ salah satu moto ekonomis yang gua anut. Namun, sekarang, dengan kondisi ponsel hilang, jelas gua butuh penggantinya.
Akhirnya, setelah merenung cukup lama; 5 menitan kalo nggak salah. Gua memutuskan untuk membeli ponsel baru.
“Tipe HP apa yang paling ok sekarang?” Tanya gua ke Wawan, begitu ia kembali ke ruang IT.
“Wuidih, langsung mau beli nih… beli yang kayak punya gua aja…” Usul Wawan sambil menunjukkan ponsel miliknya. Sebuah ponsel dengan layar cukup besar, dipadukan keypad QWERTY dan trackpad mungil yang diapit tombol icon telepon berwarna merah dan hijau.
“Berapaan itu?” Tanya gua
“Browsing aja sih” Jawabnya, tanpa solusi yang berarti.
Sisa hari itu, di waktu senggang, diantara panggilan-panggilan untuk mengatasi troubleshoot, gua habiskan untuk melakukan riset mendalam mengenai calon ponsel yang akan gua beli nanti, beserta dengan perbandingan harganya. Akhirnya, gua memutuskan untuk membeli ponsel yang sama persis dengan milik Wawan; Harganya cukup ekonomis dan fiturnya lumayan lengkap.
—
Besoknya, pas libur kerja, setelah menyempatkan diri mampir ke proyek tempat Mas Karlan Cs bekerja, gua langsung bergegas ke sebuah mall di bilangan Jakarta Pusat yang terkenal karena menjual gadget terbaru dan bervariasi.
“Mau dipasangin SIM Cardnya sekalian?” Tanya salah satu SPG saat gua selesai memilih ponsel baru.
Gua baru teringat akan kondisi nomor ponsel yang gua gunakan. Karena ponselnya hilang otomatis nomornya juga ikut hilang, sementara cukup banyak orang yang sudah menyimpan nomor gua tersebut.
“Nggak usah deh mbak, SIM Card saya ilang bareng sama HP nya.. nanti saya beli lagi aja” Jawab gua.
“Oh, kalo ilang bisa ganti SIM Card kok mas, nomor lamanya masih bisa di pake…” SPG tadi menjelaskan. Ia lalu menunjukkan gerai provider di lantai bawah, dimana gua bisa mengganti SIM Card yang hilang dengan SIM Card baru namun dengan nomor yang sama.
Setelah menyelesaikan pembayaran, gua bergegas menuju ke lokasi yang sebelumnya diinfokan oleh SPG ponsel.
Entah dunia berlalu begitu cepat, atau gua yang terkungkung di dalam cangkang terlalu lama. Teknologi berkembang begitu pesat, hanya membutuhkan waktu nggak sampai 5 menit bagi petugas di gerai provider untuk memproses penggantian SIM Card milik gua yang hilang.
Terbesit ucapan Wawan sebelumnya; “Lo kan staff IT, masa iya masih pake HP jadul begitu”
Ya, gua terlalu menutup diri dengan sesuatu yang sama sekali nggak menarik minat. Seandainya pun gua nggak terlanjur terjun ke dunia jaringan lewat Mas Karlan Cs, mungkin saat ini gua cuma jadi pemuda pengangguran yang gagap teknologi.
Gua menghabiskan malam dengan menjelajahi fitur-fitur yang tersedia di ponsel baru, sambil tersenyum lebar. Dan tak henti-hentinya saling berkirim pesan instan dengan Wawan; satu-satunya kontak yang saat ini gua miliki. Seandainya, Edi belum pindah kosan, mungkin malam ini akan gua habiskan untuk pamer ponsel baru kepadanya.
Bahkan, di sisa malam itu, gua tidur sambil memeluk ponsel. Keliatan norak? iya nggak apa-apa. Maklum, baru pertama kali punya ponsel secanggih ini.
—
Gua menutup kepala dengan hoodie sweater, menyulut sebatang rokok dan duduk di kursi plastik berwarna biru. Di Sebelah gua, duduk seorang perempuan, sama-sama mengenakan sweater dengan hoodie menutupi kepalanya.
“Kemana aja?” Tanya gua.
“Sibuk” Jawab Resti pelan.
Sore itu, setelah hampir dua minggu ia tak terlihat di gang belakang kantor, ia kembali. Resti duduk sendirian, dengan tangan menggenggam plastik berisi es teh manis.
“Lo udah kelar kerja?” Kali ini Resti balik bertanya.
“Secara resmi, udah… tapi nggak tau kalo tiba-tiba ada problem terus di telpon suru balik lagi…” Jawab gua.
“...”
“... by the way, kemaren ada sekitar, hmmm… 4 atau 5 cowok, yang konfirmasi ke gua.. kalo nggak salah namanya; Sigit, Emon, Sardi, sama siapa lagi gua lupa namanya…”
Gua mengernyitkan dahi dan menatap ke arahnya. Dia pura-pura nggak tau atau memang berlagak lugu? Jelas-jelas, ia yang ngasih nomor ponsel gua ke para cowok itu untuk meminta konfirmasi tentang hubungan kami.
“Nanya tentang hubungan kita” Jawab gua.
“Terus lo bilang apa?”
“Ya gua bilang kalo kita nggak ada apa-apa…” Jawab gua.
“Oooh…” Resti merespon singkat.
“Lo yang ngasih nomor gua ke mereka kan?”
“Iya…”
“Kenapa?” Tanya gua, ingin tau alasan Resti memberikan nomor ponsel gua kepada para cowok yang menyukainya.
“Gapapa…” Jawabnya singkat, sambil menerima seporsi ketoprak dari si abang penjual.
Ia lalu menyerahkan piring berisi ketoprak yang baru ia terima ke gua; “Nih, udah gua bayar” Ucapnya, kemudian bergegas pergi sambil menenteng Paper bag karton berwarna hitam. Sementara, gua masih terdiam dengan piring berisi ketoprak di tangan, nggak habis pikir dengan tingkah laku Resti yang seenaknya.
Gua mengembalikan piring berisi ketoprak yang sama sekali belum tersentuh ke abang penjual, kemudian menyusulnya.
Resti menoleh, menatap tajam ke arah gua tanpa menghentikan langkahnya. Gua yang perlahan mulai memahami mood-nya yang naik turun nggak terkendali memutuskan untuk nggak buru-buru kembali bicara dengannya. Hanya mengikutinya berjalan dari belakang, sambil menunggu moodnya kembali normal.
Beberapa kali Resti menoleh ke belakang, mungkin memeriksa apakah gua masih mengikutinya, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Gua akhirnya benar-benar berhenti mengikuti Resti begitu sampai di lobby apartemennya. Sigit terlihat berdiri di beranda Lobby, sementara Resti bergegas menyambutnya dengan senyuman; sepertinya moodnya sudah kembali normal begitu melihat Sigit. Mereka berdua lalu ngobrol sambil ketawa-ketiwi, lalu masuk ke dalam.
Cewek aneh!
—
Wawan bersandar pada kursinya, sementara kakinya ia naikkan ke atas meja, kedua tangannya sibuk memutar rubik. Setelah tadi pagi menemani vendor provider internet melakukan maintenance, hampir seharian ini kami berdua nggak ada kerjaan sama sekali. Gua hanya duduk sambil menonton video tutorial troubleshooting di ponsel, sementara Wawan baru saja marathon menyelesaikan serial Sherlock di laptopnya.
Telepon di meja Wawan berdering. Tak menunggu dering berikutnya, Wawan dengan sigap menjawab panggilan.
“Cad, ke resepsionis…” Ucap Wawan sambil meletakkan gagang telepon.
Gua tersenyum; ‘Akhirnya ada kerjaan’ Batin gua dalam hati.
“Ada tamu…” Wawan menambahkan.
“Hah siapa?” Tanya gua. Yang lalu dijawab Wawan dengan mengangkat kedua bahunya.
Gua bergegas menuju ke ruang resepsionis, sambil terus bertanya-tanya; kira-kira siapa yang mengunjungi gua di kantor?
Begitu tiba di ruang resepsionis, terlihat seorang perempuan duduk di sofa ruang tunggu, tentu saja dengan sweater dan hoodie menutupi kepalanya. Sementara disebelahnya duduk seorang pria yang gua nggak kenali.
Melihat kedatangan gua, Resti berdiri; “Kenalin nih…”
Sebelum Resti menyelesaikan kalimatnya, gua menunjuk ke luar; ke arah lobby lift. Dan bergegas berjalan menuju ke arah yang gua tunjuk. Resti dan teman prianya menyusul gua.
“Kenalin nih, Raymond… Mon, ini Abian…” Ucap Resti sambil menunjuk Cowok di sebelahnya.
Cowok yang bernama Raymond menjulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabatnya; “Icad, panggil aja Icad…” Ucap gua memperkenalkan diri.
“Iya, Gua Raymond yang kemaren telpon…”
Gua lalu beralih ke Resti dan berbisik di telinganya; “Lo kesini cuma mau ngenalin cowok ini?”
“Nggak juga, HP lo kan…”
“Iya HP gua ilang, ini gua udah beli HP baru… nomornya masih yang lama…” Gua bicara, memotong kalimatnya yang belum selesai.
Resti tampak sedikit terkejut begitu gua menunjukkan ponsel baru. Ia lalu meraih ponsel milik gua, mengetikkan sesuatu di aplikasi perpesanan instan, dan mengembalikan ponsel ke gua. Kemudian buru-buru menekan tombol lift menuju ke bawah.
Perhatian gua tertuju ke paper bag karton berwarna hitam yang ia bawa. ‘Emang nggak ada tas, kemana-mana nenteng paper bag?’ tanya gua dalam hati, sambil melihat mereka berdua menghilang masuk ke dalam lift.
Baru saja beberapa langkah gua meninggalkan lobby lift, terdengar notifikasi pesan di ponsel gua; Resti. ‘Gw mau ngobrol’.
—
“Kenapa sih lo?” Tanya Resti begitu membuka pintu apartemennya.
“Apanya yang kenapa?”
“Tadi kan gw mau ngobrol sama elo…”
“Ya kan gua tadi masih kerja…” Jawab gua, sambil tetap berdiri di ambang pintu.
Resti lalu menyingkir dari pintu, dan membiarkan gua masuk.
“Ada apaan?” Tanya gua.
“Duduk…” Resti memberikan instruksi sambil menunjuk ke arah sofa. Sementara, membuka kulkas, mengambil dua kaleng minuman dan menyodorkan salah satunya ke gua.
Gua meletakkan Bir kaleng yang baru saja ia berikan di atas meja kaca tepat di depan gua. Resti duduk di sebelah gua, kakinya ia silangkan, tangannya sibuk membuka pin pada kaleng bir. Gua merebut kaleng bir dari tangannya, dan meletakkannya ke atas meja kaca.
“Apaan sih?” Tanya nya, sambil berusaha mengambil kembali kaleng minuman dari atas meja.
“Ada apaan?” Gua mengulangi pertanyaan kepadanya.
Resti berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuah paper bag karton berwarna hitam. Paper bag yang beberapa pertemuan terakhir selalu dibawa-nya.
Ia melemparkan paper bag tersebut ke arah gua. Kaget, gua buru-buru menangkapnya.
“Apaan?” Tanya gua.
“Liat aja…” Jawabnya pelan, sambil menyeruput bir kaleng di tangannya.
Gua mengintip perlahan kedalam paper bag hitam yang baru saja diberikan oleh Resti. Didalamnya terdapat ponsel lama gua dan sebuah kotak besar berwarna hitam.
“Lah, kok ini sama elo?” Tanya gua sambil mengeluarkan ponsel lama gua dan memperlihatkannya ke Resti.
Resti mengangkat kedua bahunya.
“... trus ini apa?” Tanya gua lagi, seraya susah payah mengeluarkan kotak besar dari dalam paper bag.
Bagian luar kotak terdapat, gambar ponsel keluaran terbaru dengan merk yang sama dengan ponsel baru milik gua, namun tentu saja dengan varian paling canggih yang ada di pasaran.
Gua mengernyitkan dahi, menatap ke kardus ponsel di tangan gua.
“HP?” Tanya gua ragu.
“Iya…” Jawab Resti singkat.
“Baru?” Tanya gua lagi.
“Iyalah..”
“Buat?”
“Ya buat elo…” Resti menjawab setengah berteriak. Mungkin gemas dengan pertanyaan-pertanyaan yang gua lontarkan.
Gua membuka kemasan kardus ponsel baru dengan hati-hati; “Buat apa? kan gua udah beli HP baru..”
“Yaudah kalo nggak mau…” Resti kembali berdiri, lalu meraih kardus ponsel yang belum selesai gua buka dan membuangnya di tempat sampah dapur. Tanpa rasa penyesalan ia lalu kembali duduk dan menikmati bir dinginnya.
“Lo kenapa sih sebenernya?” Tanya gua, seraya mengambil kembali kardus berisi ponsel dari tempat sampah.
“...”
“... Gila lo ya…” Maki gua sambil membersihkan kardus ponsel yang kini ditangan gua.
“Iya gw gila… Kenapa?” Jawabnya setengah berteriak, kemudian ia menundukkan kepalanya dan mulai menangis.
‘Fuck!, gua salah ngomong kan’ Batin gua dalam hati.
Gua nggak langsung mencoba menghiburnya. Nggak seperti kebanyakan wanita; Resti agak sulit di tebak. Alih-alih menyerupai bintang seperti adiknya; Larissa, dimata gua Resti justru seperti matahari. Saat berada di luar jangkauannya, lo bakal merasakan kehangatan yang nyaman. Tapi, jangan sekali-sekali mencoba berada terlalu dekat; lo bakal hangus terbakar. Anyway; matahari juga masuk dalam kategori bintang.
Saat mengenalnya dulu, Resti selalu memancarkan kehangatan yang nyaman. Sekarang, mungkin sepertinya gua terlalu ‘dekat’.
Shades Apart - Stranger By The Day
Snow is falling from the sky in the middle of July
Sun was shining in my eyes again last night
Alarm goes off without a sound
The silence is so loud, something isn't right
Footsteps echo down the hall, no one's there at all
Dial your number but your voice says, "I'm not home"
Everything is inside out, I don't know what it's about
It keeps getting stranger by the day
Stranger by the day
It keeps getting stranger by the day
Stranger by the day
Goin' for a walk outside to see what I can find
No reflections in the windows I pass by
It feels hotter in the shade, water's runnin' up the drain
Something's goin' on
Conversations with a mime stared at by the blind
Imagination must be workin' overtime
The world is upside down, everything is turned around
It keeps getting stranger by the day
Stranger by the day
It keeps getting stranger by the day
Stranger by the day
By the time I reach your door, I can't take anymore
I just happened to be in your neighborhood
I'm the one who gets surprised
I don't believe my eyes, your alibi's no good
Whatever happened to the world
Whatever happened to the girl, I thought I knew
It just can't be true, I guess I'm losing you, you
Stranger by the day, stranger by the day
It keeps gettin' stranger by the day
Stranger by the day, stranger by the day
Stranger by the day, stranger by the day
Yeah, yeah