Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Mobil lo dimana?” Tanya gua sambil melihat sekeliling.
“Gak bawa…” Jawabnya.
“Trus lo naik apa kesini?”
“Naik kaki…” Jawabnya sambil menepuk lututnya.
“Hah, jalan?” Tanya gua nggak percaya. Jarak dari rumahnya di Bintaro ke sini mungkin sekitar 30 km. Dan nggak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki.
“...”
“... Dianterin?” Tanya gua lagi.
“Dibilang jalan kaki…” Jawabnya keukeuh.
“Bohong..”
Ia lalu menunjuk sebuah gedung tinggi yang kelihatannya nggak terletak begitu jauh dari tempat kami duduk saat ini. Gua mengenalinya sebagai gedung kantor yang beberapa bulan lalu di alih fungsikan sebagai apartemen. Lokasinya, hanya beberapa lot dari gedung tempat gua bekerja saat ini.
“Gw disana sekarang…”
“Oh…Pantes” Jawab gua santai. Barulah masuk akal selama ini kenapa setiap kali gua bertemu dengannya, ia selalu mengenakan outfit ‘santai’ seperti sekarang ini.
Gua berdiri, sementara Resti menyelesaikan transaksi pembayaran ke abang tukang ketoprak.
Gua menatap gedung apartemen tempat Resti tinggal. Kalau hanya dilihat dengan mata telanjang memang lokasinya nggak cukup jauh. Tapi, nyatanya jarak antara gedung apartemen tersebut dengan lokasi kami saat ini bakal cukup melelahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki.
“Nggak capek?” Tanya gua.
“Udah biasa” Jawabnya pelan, kemudian ia melangkah pergi.
Gua memandang tubuhnya yang perlahan menjauh. Saat dilihat dari belakang, gaya jalannya mirip sekali dengan Larissa, tak sedikitpun berbeda. Gua berlari dan menyusulnya.
Ia menoleh, begitu gua berada tepat di sampingnya.
“Ngapain?” Tanyanya.
“Nemenin lo…” Jawab gua singkat.
“Nggak usah…” Ia memberikan penolakan.
“Gapapa…” Gua memaksa.
Kami berjalan bersisian di atas trotoar dengan latar suara deru mesin dan klakson pengendara yang nggak sabaran. Sesekali, Resti menendang apapun yang berada tepat di hadapannya; dari mulai bungkus rokok, kaleng minuman kosong, hingga kerikil kecil pecahan konblok trotoar.
“Gua perhatiin sekarang lo sering pake kupluk atau topi?” Tanya gua, penasaran.
“Bad hair day…” Jawabnya pelan.
Gua mengangguk mendengar jawaban darinya. Walaupun nggak masuk akal, tapi daripada pertanyaan gua selanjutnya bakal memicu mood-nya menjadi jelek. Gua memutuskan untuk tetap diam.
“Nggak mau mampir?” Tanyanya begitu kami berdua tiba tepat di depan gedung apartemen dimana Resti tinggal.
Gua menggelengkan kepala.
“Bye then…” Ia pamit kemudian berbalik dan pergi.
Gua berdiri diam menatapnya menjauh. Saat ia masuk ke dalam gedung dan hilang dari pandangan, barulah gua bergegas pulang. Beberapa menit berselang, ponsel gua berbunyi, sebuah pesan masuk dari Resti; ‘Gw udah dikamar, ati-ati pulangnya’.
—
Malam itu merupakan sebuah permulaan untuk malam-malam selanjutnya. Dimana Resti kerap datang dan menunggu gua di gang belakang gedung kantor. Hidup gua pun perlahan, sedikit demi sedikit mulai berubah, walau nggak sepenuhnya berubah ke arah yang lebih baik.
Ponsel gua berdering, layarnya menampilkan barisan nomor yang nggak gua kenal. Sesaat gua sempat ragu, hingga akhirnya memutuskan untuk menjawabnya.
“Halo?” Sapa gua.
“Halo, ini Bian ya?” Tanya suara dari ujung sana. Suara seorang pria yang terdengar asing. Tapi, ia memanggil gua dengan nama depan. Yang mana, hanya orang terdekat saat SMA saja yang memanggil gua dengan nama tersebut.
“Iya…” Jawab gua ragu.
“Gini Bian, Gw Sigit. Bisa ketemu sebentar nggak?” Ia memperkenalkan diri dan langsung mengajak bertemu.
“Sigit mana ya?” Gua bertanya, sambil berusaha mengingat-ingat kenalan yang bernama Sigit.
“Oh, Sorry… Gw Sigit temennya Resti…” Ia menjelaskan.
“Hmm.. Ada apa ya?” Tanya gua lagi.
“Nggak gw cuma mau ngobrol bentar aja, bisa kan? Sebentar aja…” Bujuknya.
“Ngobrol tentang apa nih?” Tanya gua lagi, masih nggak percaya dengan ucapannya; Takut telpon yang berkedok penipuan.
“Tentang Resti, bentar aja… paling 15 menit” Ujarnya, setengah memaksa.
Pasrah, akhirnya gua mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Ia setuju untuk datang ke kantor gua hari ini, saat makan siang.
—
Gua keluar dari lift dan berjalan cepat menuju ke coffee shop tempat gua dan pria bernama Sigit membuat janji. Begitu masuk kedalam area coffee shop, sosok pria rupawan dengan tampilan necis menghampiri gua. Sosok yang sempat gua lihat saat bertemu Resti pertama kali, ditempat yang sama; di coffee shop ini.
“Bian ya?” Tanya pria itu sambil menyodorkan gelas kopi ke arah gua.
Gua mengangguk pelan, kemudian meraih gelas kopi yang ia berikan; “Sigit?” Gua balik bertanya.
Pria itu lalu tersenyum sambil mengangguk. Kemudian menyodorkan tangan ke arah gua; mengajak bersalaman. Gua memindahkan gelas kopi ke tangan kiri dan menyambut jabat tangannya.
“Panggil Icad aja…” Ucap gua.
“Ok…”
“...”
“Ada tempat laen yang bisa bisa ngobrol sambil ngerokok, cad?” Tanya Sigit ke gua.
Gua lalu menunjuk ke arah beranda lobi gedung; satu-satunya smoking area terdekat. Sigit lalu melangkah menuju ke beranda lobi gedung, gua berjalan menyusulnya.
“Jadi gini, Bian… eh sorry, Cad…” Sigit langsung mulai bicara begitu kami berdua tiba di beranda lobi.
“...”
“... Gua cuma mau nanya aja sih, lo sama Resti ada apa yah?” Tanyanya, seraya menyulut rokok di bibirnya. Sambil menunggu jawaban gua, ia menyodorkan bungkusan rokok yang terbuka ke arah gua. Gua mengangkat tangan, menolaknya. Kemudian mengeluarkan bungkusan rokok milik gua sendiri, menyulut dan mulai menghisapnya.
“Sorry, lo siapanya?” Gua balik bertanya. Dalam hal ini, jelas gua punya hak untuk tau alasan apa dibalik pertanyaannya dan apa hubungan Sigit dengan Resti.
“Temen… Temen deket…” Jawabnya, sambil memberikan penekanan pada kata ‘Dekat’.
Sampai disini gua sudah mendapat gambaran umum dari maksud dan tujuan Sigit datang kesini.
“Ok, gua ngerti… jadi gini, git…”
“...”
“... gua nggak ada apa-apa sama Resti, kalo mau lebih jelas, lo bisa tanya ke Restinya langsung…”
“Justru, Resti yang nyuru gua langsung nanya ke elo…”
“Lah, gimana dah?”
“Tapi, gua bener nggak ada apa-apa sama Resti. Kalo lo emang suka sama Resti, go on!”
“Ok, untuk sekarang ini gua masih belom punya hak apa-apa buat nyuru lo jauhin Resti. Tapi, once Resti udah sama gua….”
“Iya, gua ngerti…” Gua bicara, memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Ok berati clear ya, thanks anyway…” Ucapnya.
Sigit membuang puntung rokok miliknya ke standing ashtray yang berada di antara kami, kemudian menepuk pundak gua pelan dan bergegas pergi.
Nyatanya, Sigit bukan satu-satunya cowok yang meminta konfirmasi dari gua. Besoknya, cowok lain bernama Raymond menghubungi gua. Sama dengan Sigit, ia meminta klarifikasi mengenai hubungan gua dengan Resti. Dan, tentu saja gua memberikan jawaban yang sama seperti yang gua berikan ke Sigit.
Parahnya, Ternyata nggak cuma Sigit dan Raymond!
Beberapa hari kemudian, dua cowok lainnya datang untuk menagih klarifikasi yang sama. Sampai di titik ini, gua bahkan lupa siapa nama-nama mereka.
Sementara, Resti seakan menghilang. Hampir satu minggu lebih, gua mencoba menghubunginya melalui telepon; tak pernah ia jawab. Pesan singkat yang gua kirim pun tak ada satupun yang ia balas. Ia juga tak lagi nampak di gang belakang kantor, tempat biasa kami bertemu.
—
Malam itu, gua duduk diatas kursi plastik sambil menikmati kopi gelas plastik yang gua beli dari penjaja bersepeda di belakang gedung kantor. Menikmati kopi murah sambil menghisap rokok dalam-dalam. Kenikmatan semu yang lumayan menghibur.
Ponsel gua berdering, nama Wawan muncul pada layarnya. Perasaan mulai nggak enak, ‘pasti urusan kerjaan’ batin gua dalam hati.
“Nggak besok pagi aja, Wan?” Tawar gua ke Wawan, begitu menerima perintah darinya untuk mengecek koneksi internet kantor yang mati.
“Justru mereka baru pada mau mulai kerja sekarang” Jawab Wawan.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukan jam 9 malam; “Ok..” Jawab gua singkat, kemudian bergegas kembali ke kantor.
Di perusahan advertising seperti ini, banyak karyawan yang bekerja sampai malam. Bahkan tak sedikit yang tidur dan menginap di kantor, hanya untuk bekerja mengejar deadline. Hal ini tentu saja berimbas ke gua, yang kadang harus rela mengorbankan waktu untuk memberikan service kepada para karyawan.
Setelah bolak-balik melakukan pengecekan, ternyata salah satu access point di ruang karyawan bermasalah. Hal itu mengakibatkan koneksi internet melalui sambungan WIFI nggak stabil. Sebenarnya, hanya koneksi melalui koneksi wireless saja yang bermasalah, para karyawan masih bisa menggunakan koneksi kabel untuk mengakses internet. Namun, para pekerja kreatif ini suka unik pemikirannya, kadang mereka bekerja di tempat-tempat yang nggak umum; misalnya di balkon atau di pantry yang nggak memiliki sambungan kabel LAN.
Gua menggotong tangga aluminium dan memasang tangga tepat di bawah salah satu access point yang rusak.
Ponsel kembali berdering saat gua tengah memasang access point baru. Gua mengabaikannya; ‘tanggung’ pikir gua dalam hati. Dan terus melanjutkan pekerjaan.
Setelah selesai mengganti perangkat yang rusak dan mengembalikan tangga ke gudang. Salah satu staf kreatif kembali memanggil gua. Kali ini server data nggak bisa di akses. ‘Duh, apalagi ini’. Gua kembali ke ruang IT untuk mengambil kartu akses ke ruang server dan jaket, kemudian bergegas menuju ke ruang server.
Jam pada layar laptop menunjukan angka 23.34. Gua memijat pelan leher bagian belakang yang mulai terasa nyeri. Sementara, diagnosa data server di laptop baru saja selesai, saat gua teringat akan ponsel gua yang tadi sempat berdering. Gua mengeluarkan ponsel dari saku celana, melihat ke layarnya; 3 panggilan tak terjawab dan semuanya dari Resti. Buru-buru, gua menekan tombol panggil.
Nada sambung terdengar beberapa kali, namun tak ada jawaban. Hal tersebut terjadi beberapa kali, hingga kali keempat gua mencoba memanggilnya, barulah ada jawaban.
“Halo…” Resti menyapa dari ujung sana, suaranya pelan dan serak. Sementara, latar suara di belakangnya terdengar gaduh.
“Kenapa?” Tanya gua.
Hening, tak ada jawaban. Yang terdengar hanya dentuman musik di latar.
“Res?” Gua memanggilnya.
“Lo dimana, jemput gw dong…” Pintanya, masih dengan suara pelan yang serak.
“Dimana?” Tanya gua.
Tak ada jawaban.
“Res… Res..” Gua kembali memanggil namanya.
“Halo…” Lalu terdengar jawaban, Suara perempuan tapi bukan Resti. Suaranya terdengar serak tapi nggak selemah Resti.
“Ini siapa?” Tanya gua. Yang ditanya nggak menjawab, ia malah menyebutkan alamat lokasi persis mereka berada dan menjelaskan alasan Resti menghubungi gua.
Gua mengakhiri panggilan, buru-buru membereskan laptop dan pergi.
—
Argo di dashboard taksi yang gua tumpangi menunjukkan angka 120 ribu. Berat hati, gua memberikan dua lembar pecahan lima puluh ribu dan dua lembar pecahan sepuluh ribu, kemudian bergegas turun dari taksi.
Gua berdiri menghadap sebuah bangunan yang cukup besar, tanpa banyak ornamen menghiasi bagian depannya. Terlihat seperti bangunan aneh berbentuk kotak tanpa tanda kehidupan. Namun, melihat banyak kendaraan memenuhi area parkirnya, jelas ada kegiatan besar di dalamnya.
Suara dentuman musik yang sangat keras menyambut gua begitu masuk ke dalam. Gelap, hanya lampu warna-warni yang menjadi sumber cahaya, berasal dari podium berbentuk meja di ujung ruangan. Dimana, sosok pria mengenakan headphone tengah asik bergoyang sambil memainkan tangannya di atas meja. Gua berkeliling, sebelum akhirnya menemukan Resti, dua perempuan dan dua cowok lain tengan duduk di atas sofa merah berbentuk melingkar. Salah satu cowok gua kenali sebagai; Sigit. Banyak sisa botol minuman keras dan kaleng bir tergeletak di atas meja. Semuanya terlihat teler dan tak sadarkan diri.
“Res..” Gua mencoba memanggil sambil menggoyangkan tubuhnya.
“...”
“Res.. Resti…”
“Haa…” Jawabnya pelan, sementara matanya menatap gua; sayu.
“Bangun, ayo pulang…” Ucap gua.
“Hehehehe…” Resti merespon dengan tertawa. Entah apa yang ia tertawakan. Gua meraih ponsel miliknya dan mulai memapahnya.
“Tas gw…” Ucapnya pelan, tanpa membuka mata sambil menunjuk ke arah meja.
“Ini?” Tanya gua sambil mengangkat tas jinjing berwarna merah.
“Item…” Ia menjawab, memberikan satu petunjuk; warna tasnya.
Gua meraih satu-satunya tas selempang kecil berwarna hitam yang berada di atas sofa. Sementara, Resti masih berdiri bersandar di pundak gua. Susah payah, sambil menahan rasa mual dan pusing di kepala akibat suara yang terlalu keras, gua memapahnya keluar dari tempat tersebut.
Begitu sampai di luar, gua menurunkan Resti dan membiarkannya duduk di trotoar. “Mobil lo dimana?” tanya gua sambil menggoyangkan tubuhnya.
Gua membuka tas kecil miliknya, mengeluarkan kunci mobil dan mulai menekan tombol berlogo lonceng pada kunci, disusul suara klakson dan lampu berkedip dari salah satu mobil di ujung parkiran. Gua membangunkan Resti dan kali ini menggendongnya menuju ke mobil.
Resti terlihat mencoba menutup mulutnya saat berada di gendongan gua. Ia bersiap untuk muntah.
“Uweek….” Resti muntah, dan semua muntahannya tepat mengenai bagian pundak dan tengkuk gua.
Gua buru-buru membuka pintu mobil dan mendudukannya di kursi penumpang bagian belakang. Sementara gua lekas membuka jaket yang terkena muntahannya dan bergegas masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Resti bernyanyi walau kedua matanya terlihat terpejam.
Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 2 dini hari. Gua baru selesai memarkir mobil di area basement apartemennya. Resti masih ngedumel nggak jelas di kursi penumpang bagian belakang. Sementara, gua menggigil kedinginan karena kemeja yang basah akibat terkena muntahan Resti. Mematikan AC di dalam mobil sepertinya bukan sebuah pilihan, karena takut Resti kegerahan.
Gua turun dari mobil, mengenakan Jaket yang sempat terkena muntahan. Dan kembali menggendong Resti menuju ke lobby lif yang berada di tengah area basement.
“Bau…..” Ucap Resti sambil menutup hidungnya dan memukul-mukul gua.
“Ya bau muntahan lo sendiri…” Jawab gua.
Gua mencoba mendorong pintu kaca lobi lift; Terkunci.
“Pake akses…” Terdengar suara Resti memberi info, sementara matanya masih terpejam. Masih dengan dirinya berada di gendongan, gua mencari-cari akses card miliknya dari dalam tas kecil berwarna hitam.
Setelah membuka pintu lobi dan masuk ke dalam lift, gua menurunkan Resti dan menyandarkan dirinya ke dinding lift. “Lantai?” Tanya gua kepadanya.
Kejadian yang sama terulang saat kami berdua keluar dari lift. Gua menatap kosong ke arah koridor panjang dengan banyak pintu yang saling berhadapan. “Yang mana kamar lo?” Tanya gua ke Resti yang kali ini duduk bersandar pada dinding, kepalanya menunduk, tak menjawab.
Gua duduk disebelahnya dan mulai menyandarkan kepala di dinding.
“Kenapa nggak masuk?” Gumamnya pelan.
Gua menoleh ke arahnya, nggak menjawab. Ada perasaan kesal yang bercampur aduk dengan rasa iba saat menatapnya.
Resti kembali menutup mulutnya, sepertinya kembali mencoba menahan muntah.
“Kamar lo yang mana?” Tanya gua lagi sambil berbisik di telinganya.
Kali ini ia menjawab dengan menunjuk salah satu pintu terjauh dari koridor tempat kami berdua duduk. Gua menaikkan Resti kembali ke gendongan dan mulai melangkah ke pintu yang ia tunjuk.
“Kuncinya?” Tanya gua, sementara Resti masih berada di gendongan gua.
“Pake akses yang tadi” Jawabnya pelan.
Gua mengeluarkan kartu akses yang tadi digunakan untuk membuka pintu kaca ruang lobby lift di basement. Dan memasukkan kartu tersebut ke dalam slot sempit di gagang pintu. Indikator LED pada gagang pintu berubah dari merah ke hijau, disusul bunyi ‘cklek’, tanda kunci sudah terbuka.
Begitu masuk kedalam. Kegelapan total menyambut kami berdua. Gua meraba-raba bagian dinding sebelah kiri dengan tangan, terus berjalan masuk kedalam sambil berharap menemukan saklar lampu. Setelah menjatuhkan Resti di atas sofa, gua akhirnya berhasil menyalakan lampu dengan susah payah meraba-raba seluruh dinding untuk mencari saklarnya.
Begitu lampu menyala, terlihat ruangan apartemen milik Resti yang cukup besar. Mungkin tiga atau empat kali lebih besar dari kamar kos yang gua tempati. Gua membuka salah satu pintu yang sepertinya menuju ke kamar, kemudian membopong dirinya kedalam dan merebahkannya diatas ranjang. Menyalakan pendingin ruangan, menyelimuti dirinya dan bergegas pergi.
Sebelum pergi, gua meraih selembar post it dan menuliskan catatan untuknya; “Ongkos taksi 120rb + welcome drink buat masuk Bar 150rb, Total 270rb” Kemudian menempelkan catatan tersebut tepat di meja kecil disebelah ranjangnya.
I Need Some Fine Wine And You, You Need To Be Nicer
The Cardigans
Sit
Good dog
Stay
Bad dog
Whoo
Down
Roll over
Well, here's a good man and a pretty young girl
Trying to play together somehow
I'm wasting my life, you're changing the world
I get drunk and watch your head grow
It's the good times that we shared
And the bad times that we'll have
It's the good times
And the bad times that we had
Well it's been a long slow collision
I'm a pitbull, you're a dog
Baby you're foul in clear conditions
But you're handsome in the fog
So I need some fine wine
And you, you need to be nicer
For the good times and the bad times
That we'll have
Sometimes we talk over dinner like old friends
Till I go and kill the bottle
I go off over any old thing
Break your heart and raise a glass or ten
To the good times that we shared
And the bad times that we'll have
To the good times
And the bad times that we've had
Well it's been a long slow collision
I'm a pitbull, you're a dog
Baby you're foul in clear conditions
But you're handsome in the fog
So I need some fine wine
And you, you need to be nicer
For the good times and the bad times
We know will come, yeah
I need some fine wine
And you, you need to be nicer
We need to be nicer
You and me
For the good times
And the bad times that we had
Sit
Good times
Bad times
Sweet wine
Bad wine
Good cop
Bad cop
Lapdog
Bad dog
Sit