Setelah dua hari rehat, aku mulai merasa kondisiku sudah benar benar pulih kembali. Maka, pagi itu aku pun bersiap siap untuk kembali masuk kerja.

"Lho, udah mau mulai kerja lagi Mas?" Met penceng yang muncul dari dapur membawa dua cangkir kopi bertanya, saat melihatku telah rapi di ruang tamu.

"Ho-oh Met," jawabku pendek sambil mengikat tali sepatuku.

"Mbok kalau belum sehat bener rehat aja dulu Mas, sehari atau dua hari lagi," kata Met Penceng setelah meletakkan cangkir kopinya diatas meja, lalu duduk di sebelahku.

"Ndak enak Met kalau kelamaan libur, lagian aku sudah baikan kok," ujarku. Kopi yang dihidangkan oleh Met Penceng kuseruput sedikit. Segar rasanya. "Oh ya, soal kerjaan sudah sampai tahap mana Met?"

"Masih masang atap Mas," Met Penceng menyalakan rokoknya. "Tinggal dikit lagi sih. Seharusnya, kalau kemarin nggak ada kendala sudah kelar."

"Ada kendala apa lagi memangnya?" Tanyaku.

"Ada acara di pabrik, katanya menyambut mulainya musim giling gitu Mas," jawab Met Penceng, juga setelah menyecap kopinya. "Dan kayaknya, mulai hari ini pekerjaan kita bakalan banyak tersendat Mas."

"Kok bisa?" Tanyaku heran.

"Iya. Truk truk pengangkut tebu yang masuk ke pabrik itu, seolah ndak ada habis habisnya Mas, dari pagi ketemu sore, bahkan sampai malam masih terus berdatangan. Pekerjaan kita jadi sedikit terganggu. Nanti sampeyan lihat sendiri deh, kalau bisa sih, cari cara biar nggak terlalu banyak gangguan gitu Mas."

"Hmmm, iya deh! Nanti aku lihat dulu sikonnya, kalau memungkinkan, nanti aku cari solusinya. Jujur Met, aku pengen pekerjaan ini cepet kelar, dan kita juga bisa cepet pulang," ujarku.

"Tumben Mas! Biasanya ndak buru buru gitu kalau nanganin proyek. Sudah kangen ya sama Mbak Ndut, gara gara kemaren yang di sofa goyang itu," kata Met Penceng setengah menggoda.

"Bukannya gitu Met, tapi kau tau sendiri kan, situasi dan kondisinya kurang memungkinkan. Banyak banget gangguannya. Kalau cuma masalah teknis sih nggak masalah. Lha ini gangguan yang tak masuk akal gitu. Aku masih kepikiran sama kata kata Mbak Riska dulu."

"Iya juga sih, aku juga takut sebenarnya Mas. Tapi mau gimana lagi, kita sudah terlalu menyanggupinya."

"Mangkanya itu, sebisa mungkin kita cepat cepat selesaikan pekerjaan kita Met."

"Okelah kalau begitu Mas, ayo kita berangkat, keburu siang nanti."

Setelah menghabiskan kopi, kamipun berangkat. Sengaja pagi itu aku membonceng Met Penceng, karena aku masih enggan untuk membawa motor sendiri. Dan dari rumah tempat kami menginap, aku meminta Met Penceng untuk langsung menuju ke pabrik.

"Ndak usah mampir ke bengkel Met, masih segan aku kalau harus bertemu Mbak Riska," ujarku.

"Oke Mas," Met Pencengpun segera tancap gas, langsung menuju ke arah pabrik.

Benar kata Met Penceng. Sampai di pabrik, kulihat sudah ada beberapa truk pengangkut tebu yang berjalan perlahan memasuki area pabrik. Aku segera mengecek semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Selain sedikit tersendat oleh kehadiran truk truk pengangkut tebu itu, sepertinya tak ada masalah yang berarti. Met Penceng rupanya cukup bisa diandalkan juga untuk menghandle semua pekerjaanku selama aku libur kemaren.

Atap telah terpasang hampir semua, tinggal kira kira sepuluh persen lagi yang perlu dibereskan. Mudah mudahan hari ini bisa diselesaikan.

"Gimana Mas?" Met Penceng mendekat ke arahku, setelah selesai memberi instruksi kepada orang orang yang bekerja dibawah pengawasan kami.

"Hari ini fokus untuk menyelesaikan atap dulu saja Met. Soal yang lain kita bahas besok saja," jawabku.

"Lalu, soal truk truk yang hilir mudik itu gimana Mas? Jujur, mereka itu sangat mengganggu lho," tanya Met Penceng lagi.

"Ya mau gimana lagi Met, nanti deh, biar aku bicarakan dengan Met Bengkel dan Pak Syarief dulu," jawabku.

"Okelah kalau begitu. Aku tak naik dulu Mas. Sampeyan disini aja, ndak usah ikut ikut naik, kayaknya masih belum sehat betul gitu kok," ujar Met Penceng. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Meski kadang menyebalkan dan suka bertindak konyol, namun disaat saat seperti ini anak itu cukup perhatian juga kepadaku.

Aku lalu kembali berkeliling, mengecek apa apa yang telah dikerjakan Met Penceng kemarin selama aku libur. Sepertinya semua aman dan terkendali. Hanya ada beberapa hal yang mungkin perlu dievaluasi lagi, dan itu masih dalam tahap wajar.

Puas berkeliling, entah mengapa tiba tiba timbul niatku untuk mengintip sedikit ke ruang mesin. Penasaran ingin melihat seperti apa proses penggilingan tebu, aku lalu melangkah ke ruangan itu.

Deru suara mesin segera menyambutku. Rupanya semua mesin giling yang ada di pabrik itu mulai dioperasikan penuh, setelah kemarin kemarin hanya beberapa saja yang bekerja. Pekerja pekerja disitu juga nampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing. Bahkan mereka seolah sama sekali tak mengacuhkan kehadiranku yang melongok dari bibir pintu besar ruangan itu. Truk truk pengangkut tebu juga terus hilir mudik datang dan pergi. Benar benar sebuah hari yang sibuk.

Terlalu serius mengamati proses penggilingan tebu itu, entah mengapa aku jadi berpikir yang bukan bukan. Melihat batang batang tebu yang dimasukkan kedalam mesin, lalu tergiling dan keluar telah menjadi ampas, membuatku seketika teringat dengan cerita pemilik warung seberang pabrik tempo hari, bahwa pernah ada kejadian seorang pekerja pabrik yang naas masuk kedalam mesin itu dan tergiling hingga tubuhnya lumat menjadi serpihan serpihan daging.

Aku bergidig ngeri membayangkannya. Dan..., entah mengapa, tiba tiba aku merasa pandanganku sedikit mengabur, lalu gelap sesaat. Hanya sesaat, tak lebih dari beberapa detik. Dan saat pandanganku kembali normal, aku tercekat. Nyaris aku menjerit saat melihat air tebu yang keluar dari dalam mesin itu berwarna merah pekat seperti darah. Kukucek mataku untuk memastikan bahwa aku salah melihat. Namun tetap saja, cairan yang keluar dari mesin itu masih tetap berwarna merah pekat. Aroma amis yang teramat sangat menyapa indera penciumanku, menimbulkan rasa mual yang teramat sangat dalam perutku. Samar aku juga mendengar suara jerit kesakitan yang sayup sayup menyapa indera pendengaranku.

Aku diam terpaku. Dengan tubuh gemetar dan keringat dingin yang mulai membanjir di sekujur tubuhku. Tanpa sadar aku mundur pelan pelan sambil membekap mulutku dengan telapak tangan. Hingga tiba tiba, sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang.

Aku terlonjak kaget, dan refleks menoleh untuk mengetahui siapa yang menepuk pundakku itu. Ternyata Met Bengkel yang telah berdiri dibelakangku.

"Ngapain disini?" Tanya Met Bengkel penuh selidik.

"Eh, anu..., ndak papa. Cuma penasaran aja pengen lihat proses penggilingan tebu," jawabku gugup.

"Ada ada saja! Ini bukan ranahmu Cuk! Urusi saja pekerjaanmu! Jangan keluyuran kemana mana!" Sentak Met Bengkel.

"Tenang, pekerjaan aman terkendali kok, cuma..."

"Cuma apa? Ada masalah?"

"Nggak sih. Cuma pekerjaan sedikit terhambat karena truk truk yang hilir mudik itu," jawabku.

"Ya mau gimana lagi, memang begini situasinya kalau musim giling sudah dimulai. Sabar aja, toh pekerjaanmu juga nggak diburu buru kan?" Ujar Met Bengkel sambil mengajakku kembali ke area gudang.

"Kau sendiri ngapain disini?" Tanyaku.

"Bagianku sudah kelar. Kau lihat sendiri kan, mesin mesin dan lori lori itu sudah bisa bekerja dengan baik. Itu semua hasil kerjaku Cuk!"

"Bagus lah kalau begitu. Jadi kau sekarang bisa bantu bantu pekerjaanku."

"Dih! Maunya! Berani bayar berapa kau nyuruh nyuruh aku?"

"Tar aku traktir kopi dah!"

"Anjiirrrr...! Tenagaku hanya kau hargai dengan secangkir kopi gitu?"

"Hahaha, itu sudah terlalu mahal Met!"

"Ancuk cen'e! Eh, tapi bener kan, semua pekerjaan aman?"

"Aman Met! Cuma tadi itu..."

"Kenapa?"

"Ah, ndak papa Met."

"Jangan bohong. Wajahmu pucat! Dan tadi kulihat di pintu ruang mesin itu kau seperti ketakutan. Apa yang kaulihat?"

"Yang kulihat? Ya tebu yang digiling di mesin penggiling."

"Aku nanya serius Cuk!"

"Hmmm! Biasalah! Sesuatu yang tak bisa dijelaskan."

"Pasti karena kamu mikir yang enggak enggak! Sudah kubilang kan, nggak usah mikir yang macem macem. Selalu berpikir jernih, biar semuanya....."

"Kayaknya sekarang justru kamu deh Met yang harus berpikir jernih."

"Aku?"

"Ayolah! Kau juga tak bisa membohongiku Met. Wajahmu itu, sepertinya ada yang sedang mengganggu pikiranmu."

"Sok tempe!" Met Bengkel mendengus. Aku hanya nyengir. Meski sebenarnya aku tak bercanda dengan ucapanku barusan. Raut wajah Met Bengkel hari ini, sangat berbeda dari biasanya. Seolah sedang menyimpan keresahan yang sengaja disembunyikan dariku.

Aku lalu kembali sibuk mengawasi para pekerjaku. Demikian juga dengan Met Bengkel. Dia ikut ikutan sok ngatur ini dan itu kepada para pekerja yang sedang memasang atap diatas sana. Aku tau, Met Bengkel hanya pura pura melakukan semua itu, sengaja untuk menutupi keresahan yang coba ia sembunyikan dariku.

"Met!" Kuhampiri laki laki itu, dan kutepuk pundaknya pelan. "Jujurlah padaku, apa yang sedang mengganggu pikiranmu saat ini?"

"Apaan sih? Ndak ada apa apa kok."

"Bibirmu bisa berbohong Met, tapi tidak dengan raut wajahmu!" Tegasku. "Katakan saja, siapa tau aku bisa membantu."

"Perasaanku tak enak," jawabnya tanpa memandang ke arahku. Ia justru menengadah memperhatikan orang orang yang sedang bekerja diatas sana.

"Tak enak kenapa?" Desakku.

"Entahlah. Pokoknya perasaanku tak enak. Seperti..., ah, sudah jam makan siang! Suruh orang orangmu turun, dan ajak ke warung depan untuk makan!" Jawab Met Bengkel sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. Nada suaranya terdengar sedikit cemas.

"Masih setengah jam lagi Met," sanggahku, juga sambil melihat arlojiku.

"Sudah! Jangan banyak bacot! Suruh mereka turun. Cepat!" Tegas Met Bengkel, seperti orang yang sedang panik.

Mau tak mau akupun segera memanggil para pekerjaku untuk turun, meski aku belum paham dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Met Bengkel. Namun nada suaranya yang sedikit cemas itu sepertinya tak bisa kukesampingkan.

"Met!" Seruku pada Met Penceng. "Ajak semua teman temanmu ke warung. Kita makan siang dulu."

"Tapi Mas ..."

"Sudah! Jangan membantah!" Tegasku.

Met Pencengpun segera meneruskan perintahku kepada para pekerja. Namun sebagian dari mereka menolak untuk ke warung karena telah membawa bekal makan siang dari rumah.

"Tak ada alasan!" Met Bengkel berseru tegas. "Semua harus keluar! Makan di warung depan sana! Yang bawa bekal, makan bekal kalian disana!"

"Tapi..."

"Aku tak suka dibantah!" Kembali Met Bengkel menunjukkan ketegasannya.

Akhirnya, semua pekerjaku, termasuk juga aku dan Met Penceng keluar dari area pabrik dan menyeberang ke warung makan yang ada di seberang jalan. Suasana warung belum begitu ramai, karena jam makan siang masih setengah jam lagi. Kami segera mengambil tempat duduk dan memesan makanan. Ibu si pemilik warungpun dengan sangat cekatan melayani pesanan pesanan kami.

Nasi telah terhidang didepan kami, lengkap dengan lauk pauknya, siap untuk disantap. Namun baru saja aku mengambil sendok, Met Bengkel yang duduk di depanku menahan tanganku.

"Ndra, kau dengar sesuatu nggak?" Tanyanya.

"Denger apa?" Aku balik bertanya, sambil memasang indera pendengaranku baik baik.

"Dari arah pabrik," desis Met Bengkel.

"Apaan sih? Aku nggak denger...."

"Gawat! Jangan lagi..." Met Bengkel melompat berdiri dari duduknya, lalu segera berlari menyeberang kembali ke dalam pabrik.

"Ada apa Mas?" Tanya Met Penceng.

"Kita ikut kesana Met!" Akupun segera bangkit dan berlari mengikuti Met Bengkel. Demikian juga dengan Met Penceng. Kulihat Met Bengkel langsung menuju ke ruangan penggilingan, dimana nampak beberapa pekerja tengah berkerumun. Met Bengkel segera menyibak kerumunan itu. Aku dan Met Penceng mengikutinya. Sampai di depan kerumunan, langkah Met Bengkel terhenti tiba tiba, membuatku nyaris saja menubruknya dari belakang.

"Ada apa Met?" Tanyaku setengah berbisik.

"Kita terlambat Ndra," desis Met Bengkel. Aku mencoba mengintip apa yang ada didepan Met Bengkel melalui pundak laki laki itu. Dan begitu aku melihat apa yang dilihat oleh Met Bengkel itu, tubuhku langsung lemas seketika.

Darah kental kemerahan mengalir keluar dari salah satu mesih giling yang telah dimatikan, membanjir di lantai bercampur dengan serpihan serpihan daging yang teronggok mirip gumpalan daging kornet kalengan. Bau amis yang teramat sangat membuat rasa mual di perutku tak tertahankan lagi.

"Astaghfirullahhaladziem...!!! Astaghfirullahhaladziem...!!! Astaghfirullahhaladziem...!!!" Kalimat istighfar terus kugumamkan, sambil melangkah terhuyung keluar, dan....

"Hoeeeeekkkk...!!!" Seluru isi perutkupun aku tumpahkan diluar ruangan mesin giling itu.