- Beranda
- Stories from the Heart
Ku Kejar Cintamu Sampai Garis Finish
...
TS
congyang.jus
Ku Kejar Cintamu Sampai Garis Finish

Tuhan tidak selalu memberi kita jalan lurus untuk mencapai suatu tujuan. Terkadang dia memberi kita jalan memutar, bahkan seringkali kita tidak bisa mencapai tujuan yg sudah kita rencanakan diawal. Bukan karena tuhan tidak memberi yg kita inginkan, tetapi untuk memberi kita yg terbaik. Percayalah, rencana Tuhan jauh lebih indah.
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 13 suara
Siapa yang akan menjadi pemaisuri Raja?
Olivia
31%
Bunga
8%
Diana
15%
Zahra
15%
Okta
8%
Shinta
23%
Diubah oleh congyang.jus 04-03-2022 10:27
JabLai cOY dan 37 lainnya memberi reputasi
38
165.6K
793
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
congyang.jus
#669
Part 84 - Pelangi Baruku
Hari-hari gua kembali berwarna saat ini. Ada Zahra yang 1x24 jam berada di samping gua.
Meski rasanya sedikit aneh, antara percaya dan ngga percaya. Gua berpacaran dengan orang yang satu atap dengan gua. Seperti ada rasa incest-incestnya.
"Tapi kan dalam agama, diperbolehkan menikah dengan sepupu. Lagian kalian juga bukan sepupu yang mempunyai hubungan darah"
Masa bodoh lah
"Ngga usah bilang-bilang dulu kalo kita pacaran ra" ucap gua
Zahra menatap gua dengan pandangan sinis "iya tau, mas Raja takut kehilangan fans kan?"
Sejenak gua menghela nafas panjang "bukan begitu, raaa. Emang kamu mau kalo aku ngga boleh tidur sini lagi semisal kita Tante sama Om mu tau kita pacaran?" ucap gua kemudian
Ia manggut-manggut sambil membentuk huruf 'o' di mulutnya.
"Eh, kita pacaran ya? Aku ngga ngerasa ada adegan penembakan deh" Tanya Zahra
"Ini tanggal berapa sih?" Tanya gua balik
"Tanggal 10 November"
Gua berdiri dari kursi, menengok sebentar kedalam rumah, memastikan bahwa Mamah ngga berada di tempat yang cukup dekat untuk mendengar ucapan kami "Keren tuh tanggalnya, inget-inget tanggal ini. Kita jadian" sambung gua kemudian
"Haaaah?" Zahra terheran membeku
Segera gua pergi meninggalkan Zahra yang masih tak percaya dengan cara penembakan yang aneh tersebut.
Ngga ada perkiraan aneh dari Mamah sepanjang hubungan backstreet kami berdua.
Pernah sekali Mamah bertanya kebingungan perihal gua yang ngga pernah bawa cewek lagi ke rumah.
"Kamu ngga nyari cewek lagi mas?" Tanya Mamah, yang keheranan karena sudah lama gua ngga pernah kelihatan jalan sama cewek lagi kecuali Zahra dan Mbak Oliv
"Ntar lah, langsung nikah aja" ucap gua bercanda
Dini yang kini sudah tumbuh menjadi balita aktif malah sering nempel ke gua dan Zahra. Akibatnya ketika pacaran, gua juga harus momong ini bocah.
"Seret ntar jodoh kalian ini. Kemana-mana pergi berdua, bawa anak kecil lagi. Orang-orang pasti ngiranya kalian udah nikah" kata Mamah, ketika gua, Zahra, dan Dini tiba di rumah sehabis jalan-jalan.
Zahra cengar-cengir sembari memberikan Dini yang tertidur pulas ke Mamah.
--
Duduk di bangku kelas 3 membuat gua mulai menata tujuan, akan ke arah mana nantinya setelah lulus sekolah.
"Kalo mamah sih minta aku ngelanjutin kuliah" ucap gua ke Zahra
"Aku pengen nikah aja" balas Zahra, memandang gua dengan tatapan yang tak bisa gua jelaskan
Gua menepok jidat "kalo kamu mau maharnya air putih, trus cuma syukuran pake nasi gudangan sama bubur merah putih ya gass aja" ceplos gua, selanjutnya
"Ya jangan dong. Nanti aku minta abah jual sapi buat resepsi deh" dengan polosnya Zahra berkata demikian
Gua mematikan rokok ke asbak "ngawur aja kalo ngomong" lalu berjalan ke kamar, kemudian mulai menyelesaikan gambar permintaan Papah.
Beberapa hari lalu Papah menelepon, ia meminta gua untuk menggambar kompleks kos-kos an yang akan ia bangun.
Bukan perkara sulit bagi gua, apalagi bentuk dari tiap kamar kos ngga ada yang berbeda.
Gua hanya perlu menempatkan sebuah ruang utama yang juga jadi kamar tidur, dapur kecil, serta kamar mandi yang total luas per kamarnya 6x3.5 meter. Setelah gua plot ke layout tanah yang tersedia, mampu dibangun 2* kamar kos, seaudah dikurangi untuk lahan parkir juga tentunya.
"Kos-kos an udah kek kamar hotel aja" batin gua
Ilmu gua saat magang di developer perumahan benar-benar terpakai kali ini. Ada banyak hal yang ngga pernah gua pelajari di sekolah saat menggambar bangunan; yaitu kelistrikan dan instalasi air bersih maupun air kotor.
Berkat magang di developer perumahan kali itu, gua ngga bingung lagi bagaimana mengatur penempatan lampu maupun mengatur jalur instalasi pipa air bersih dan air kotor.
Setelah selesai memploting gambar ke bentuk PDF, gua mengirim file gambar tersebut ke Papah melalui e-mail.
"Tuh, ntar kan abis ini jadi juragan kos, ngga perlu bingung duit resepsi" Zahra berdiri di belakang gua, melihat ke layar komputer yang sedang mengupload file gambar tadi
Gua membalikkan kursi, posisi kami jadi saling berhadapan "kamu kok ngebet banget nikah? Ngga pengen lanjut sekolah? Ngga mau kerja dulu?"
"Ngga mau, pengan jadi ibu-ibu aja. Kan kita udah simulasi punya anak juga" balas Zahra, merujuk ke Dini yang lebih suka nempel ke kami berdua dari pada ke ibunya sendiri
"Tapi simulasi bikin anaknya belom" timpal gua, bercanda. Yang membuat Zahra lari keluar terbirit-birit dari kamar gua
--
Malam kemarin kota Semarang diguyur hujan deras, mengakibatkan banjir di mana-mana. Bahkan sampai pagi hari ketika kami hendak berangkat sekolah, hujan belum benar-benar reda.
Sudah jam 6 lebih, gua masih berada di teras rumah, berharap hujan segera reda.
"Pake mobil aja mas. Kalo reda pun, kalian pake motor ntar seragamnya kotor kena ciprat air" ucap mamah, di sebelah gua. Tangannya menadah rintik gerimis dari langit
Zahra masuk ke dalam rumah, mengambil kunci mobil, menyerahkan ke gua selanjutnya.
Ada hal yang ngga terpikirkan dalam otak gua ketika masih di rumah; yaitu macet.
Banyaknya titik banjir membuat orang-orang mencari jalan alternatif, sehingga jalan yang tidak terkena banjir malah menjadi macet.
"Yah, telat deh" kesekian kalinya gua menarik rem tangan lagi hanya setelah beberapa meter mobil berjalan
Setibanya di depan gerbang, gua melihat beberapa siswa yang juga terlambat. Mereka terlihat dihukum di sebelah pos satpam.
Gua menghentikan mobil di depan gerbang "aku bolos aja lah ra"
"Kok gitu" balas Zahra kecewa
Lalu gua menjelaskan bahwa biasanya hukuman keterlambatan bakal dilanjut dengan razia celana serta rambut.
Lingkar celana yang kurang dari 20cm bakal di sobek, serta rambut gua yang hampir dua bulan belum terkena gunting barbershop jelas bakal kena pitak.
Zahra masih belum turun dari mobil, ia gelisah memainkan sabuk pengaman.
"Apa mau ikut bolos aja?" Tanya gua, ia ngga menjawab.
Segera gua lajukan mobil menjauh dari sekolah, diamnya Zahra gua anggap sebagai persetujuan bahwa ia ikut gua bolos sekolah.
Sampailah kami berdua di bengkel Mas Joe. Zahra melihat ke arah warung, merasa takut jika aksi bolos sekolahnya ini bakal sampai ke telinga orang rumah.
"Udah ngga apa-apa" gua mencoba menenangkan
Tangannya gua gandeng saat berjalan menuju bengkel, ke samping bengkel tepatnya, di warung milik Emaknya Mas Joe.
"Owalah, ja. Zahra mbok yo ojo diajari nakal" Emak menghentikan kegiatan meracik masakannya, dengan terkejut melihat kami berdua yang masih memakai seragam datang ke sana saat jam sekolah
"Tadi telat mak. Zahra aku suruh berangkat sendiri ngga mau" elak gua, mencoba membela diri.
Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di sana, tanpa kegiatan.
Kebosanan melanda kami berdua. Ditambah, entah sudah berapa potong gorengan yang kami makan, berapa gelas teh yang kami minum. Berujung pada Emak yang ngomel-ngomel "engga ngelarisin, malah bikin nombok" ucap Emak
Daripada ocehan yang makin panjang, gua menarik Zahra pergi dari sana, mengendarai mobil ke arah selatan.
Melewati Ungaran, Tuntang, sampai akhirnya perjalanan ngga jelas ini mengantar kami ke Kopeng.
Mobil gua belokkan ke minimarket, sembari membeli camilan, gua merokok sejenak.
"Tau wisata keren deket sini ngga dek?" Gua bertanya ke Zahra
"Jalan dikit ke sana ada gunung yang bisa dinaikin pakai motor gitu" ia mengunyah chiki besar
"Kalo mobil bisa?"
"Ngga tau, aku juga belum pernah ke sana. Cuma denger-denger dari orang aja" Zahra menyerahkan botol mineral ke gua, bermaksud agar gua melonggarkan segel untuknya
Tanpa pikir panjang, gua berangkat ke sana. Sekitar 3-5KM dari kopeng, gua berbelok ke jalan alternatif yang terhubung sampai ke Grabag.
Di sana, beberapa petani yang gua tanyai mengarahkan dengan ramah jalan yang harus gua lewati.
Sampai di sebuah warung kecil yang terletak di sudut pertigaan, kami berdua turun menanyakan dimana letak gunung Telomoyo.
"Masuk ke sini mas" ucap ibu-ibu tersebut, menunjuk sebuah jalan tanah di sebelah warungnya
Kemudian ada bapak-bapak membawa cangkul menghampiri kami, sepertinya ia sehabis dari kebun "Mau kemana mas?"
"Ke Telomoyo pak" jawab gua
Sejenak ia melirik ke arah mobil gua "Ngga bisa naik kalo pake gerobak" terangnya kemudian
"Kalo mau, bisa sewa motor punya saya" lanjutnya
Setelah negosiasi harga, gua menyetujui untuk menyewa motor milik bapak-bapak yang memperkenalkan diri sebagai Pak Nardhi tersebut. Rupa-rupanya, ia juga merupakan suami dari ibu-ibu tadi.
Gua dan Zahra mulai masuk ke area gunung Telomoyo. Saat itu, kondisi telomoyo masih sangat memprihatinkan.
Jalanan dari rumah Pak Nardhi ke arah loket masih berupa tanah, kalau sekarang sudah ada paving block yang tertata.
Loketnya pun dahulu masih berupa bilik kayu, dengan tiket masuk 3ribu rupiah/motor. Karena waktu itu area wisata hanya dikelola oleh karang taruna sekitar.
Tapi sekarang? Setelah pihak perhutani dan dinas pariwisata minta jatah, tiketnya melambung sampai 15ribu/kepala.
Kami harus melewati jalan bebatuan terjal untuk sampai ke atas. Sesekali Zahra harus turun dari motor agar gua bisa melewati titik titik tertentu yang sangat tidak layak.
Puncak gunung Telomoyo ini sebenarnya adalah tower pemancar sinyal, tapi oleh pihak dusun dibuat juga sebagai tempat wisata.
Di gunung ini juga, pernah menjadi salah satu latar belakang thread legenda di SFTH milik mas Indunkz.
"Kok jalannya gini sih, balik aja yuk mas" rengek Zahra melihat jalan yang semakin rusak.
Jalannya bukan rusak sebenarnya, hanya ngga diperbaiki dengan semestinya. Banyak batu-batu kali yang ditata supaya tidak menyebabkan becek ketika hujan. Namun, hal tersebut tetap saja menyusahkan pengendara untuk melaluinya.
"Yah, udah nyampe sini. Nanggung" balas gua
Hampir 30 menit kami melewati medan yang terjal, curam, dan berkelok-kelok. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah spot pemandangan yang keren.
Spot pemandangan tersebut sebenarnya adalah landasan paralayang yang terbuat dari papan kayu berwarna biru.
"Bagus banget" ucap Zahra mengagumi lereng dihadapannnya
Gua berjalan ke arah landasan paralayang tersebut, lalu duduk di sana. Zahra menyusul gua, menikmati pemandangan dengan cara yang sama, kepalanya disenderkan ke bahu gua.
Meskipun gua datang ke Telomoyo saat jalannya masih luar biasa busuk, tapi gua sangat bersyukur bisa menikmati keindahan pemandangan Telomoyo dengan tenang karena wisata tersebut masih sangat sepi kala itu.
Ditambah, kami datang di saat weekday, di jam sekolah. Gunung Telomoyo serasa milik berdua, setan-setan di sana pada ngontrak.
"Kita ngga bakal kesambet kan pacaran di sini?" Tanya gua
Zahra menjauhkan badannya, kemudian mengangkat kedua pundaknya
Lalu kami berdua tertawa soal kemungkinan bahwa kami bakal kesurupan di gunung.
Tangan gua meraih bahunya, mendekatkan tubuhnya lagi ke gua.
Entah ada apa gerangan, dengan reflek gua mengecup keningnya.
Gua merasakan badannya bergetar, sesaat berikutnya baru gua sadari bahwa Zahra menangis
"Kenapa?" Tanya gua keheranan
Zahra menatap gua "ngga apa-apa. Aku cuma terharu" ucapnya kemudian, sembari mengusap linang air yang membasahi sudut matanya.
"Dan nampaknya kumulai takut kehilangan sosok dirimu..." Senandung lagu gua bisikkan ke telinga Zahra
Kami berdua menghabiskan waktu berjam-jam di sana tanpa siapapun yang mengganggu. Menikmati pemandangan lereng sampai akhirnya kabut mulai berdatangan seakan memberi isyarat 'waktunya pulang'
Meski rasanya sedikit aneh, antara percaya dan ngga percaya. Gua berpacaran dengan orang yang satu atap dengan gua. Seperti ada rasa incest-incestnya.
"Tapi kan dalam agama, diperbolehkan menikah dengan sepupu. Lagian kalian juga bukan sepupu yang mempunyai hubungan darah"
Masa bodoh lah
"Ngga usah bilang-bilang dulu kalo kita pacaran ra" ucap gua
Zahra menatap gua dengan pandangan sinis "iya tau, mas Raja takut kehilangan fans kan?"
Sejenak gua menghela nafas panjang "bukan begitu, raaa. Emang kamu mau kalo aku ngga boleh tidur sini lagi semisal kita Tante sama Om mu tau kita pacaran?" ucap gua kemudian
Ia manggut-manggut sambil membentuk huruf 'o' di mulutnya.
"Eh, kita pacaran ya? Aku ngga ngerasa ada adegan penembakan deh" Tanya Zahra
"Ini tanggal berapa sih?" Tanya gua balik
"Tanggal 10 November"
Gua berdiri dari kursi, menengok sebentar kedalam rumah, memastikan bahwa Mamah ngga berada di tempat yang cukup dekat untuk mendengar ucapan kami "Keren tuh tanggalnya, inget-inget tanggal ini. Kita jadian" sambung gua kemudian
"Haaaah?" Zahra terheran membeku
Segera gua pergi meninggalkan Zahra yang masih tak percaya dengan cara penembakan yang aneh tersebut.
Ngga ada perkiraan aneh dari Mamah sepanjang hubungan backstreet kami berdua.
Pernah sekali Mamah bertanya kebingungan perihal gua yang ngga pernah bawa cewek lagi ke rumah.
"Kamu ngga nyari cewek lagi mas?" Tanya Mamah, yang keheranan karena sudah lama gua ngga pernah kelihatan jalan sama cewek lagi kecuali Zahra dan Mbak Oliv
"Ntar lah, langsung nikah aja" ucap gua bercanda
Dini yang kini sudah tumbuh menjadi balita aktif malah sering nempel ke gua dan Zahra. Akibatnya ketika pacaran, gua juga harus momong ini bocah.
"Seret ntar jodoh kalian ini. Kemana-mana pergi berdua, bawa anak kecil lagi. Orang-orang pasti ngiranya kalian udah nikah" kata Mamah, ketika gua, Zahra, dan Dini tiba di rumah sehabis jalan-jalan.
Zahra cengar-cengir sembari memberikan Dini yang tertidur pulas ke Mamah.
--
Duduk di bangku kelas 3 membuat gua mulai menata tujuan, akan ke arah mana nantinya setelah lulus sekolah.
"Kalo mamah sih minta aku ngelanjutin kuliah" ucap gua ke Zahra
"Aku pengen nikah aja" balas Zahra, memandang gua dengan tatapan yang tak bisa gua jelaskan
Gua menepok jidat "kalo kamu mau maharnya air putih, trus cuma syukuran pake nasi gudangan sama bubur merah putih ya gass aja" ceplos gua, selanjutnya
"Ya jangan dong. Nanti aku minta abah jual sapi buat resepsi deh" dengan polosnya Zahra berkata demikian
Gua mematikan rokok ke asbak "ngawur aja kalo ngomong" lalu berjalan ke kamar, kemudian mulai menyelesaikan gambar permintaan Papah.
Beberapa hari lalu Papah menelepon, ia meminta gua untuk menggambar kompleks kos-kos an yang akan ia bangun.
Bukan perkara sulit bagi gua, apalagi bentuk dari tiap kamar kos ngga ada yang berbeda.
Gua hanya perlu menempatkan sebuah ruang utama yang juga jadi kamar tidur, dapur kecil, serta kamar mandi yang total luas per kamarnya 6x3.5 meter. Setelah gua plot ke layout tanah yang tersedia, mampu dibangun 2* kamar kos, seaudah dikurangi untuk lahan parkir juga tentunya.
"Kos-kos an udah kek kamar hotel aja" batin gua
Ilmu gua saat magang di developer perumahan benar-benar terpakai kali ini. Ada banyak hal yang ngga pernah gua pelajari di sekolah saat menggambar bangunan; yaitu kelistrikan dan instalasi air bersih maupun air kotor.
Berkat magang di developer perumahan kali itu, gua ngga bingung lagi bagaimana mengatur penempatan lampu maupun mengatur jalur instalasi pipa air bersih dan air kotor.
Setelah selesai memploting gambar ke bentuk PDF, gua mengirim file gambar tersebut ke Papah melalui e-mail.
"Tuh, ntar kan abis ini jadi juragan kos, ngga perlu bingung duit resepsi" Zahra berdiri di belakang gua, melihat ke layar komputer yang sedang mengupload file gambar tadi
Gua membalikkan kursi, posisi kami jadi saling berhadapan "kamu kok ngebet banget nikah? Ngga pengen lanjut sekolah? Ngga mau kerja dulu?"
"Ngga mau, pengan jadi ibu-ibu aja. Kan kita udah simulasi punya anak juga" balas Zahra, merujuk ke Dini yang lebih suka nempel ke kami berdua dari pada ke ibunya sendiri
"Tapi simulasi bikin anaknya belom" timpal gua, bercanda. Yang membuat Zahra lari keluar terbirit-birit dari kamar gua
--
Malam kemarin kota Semarang diguyur hujan deras, mengakibatkan banjir di mana-mana. Bahkan sampai pagi hari ketika kami hendak berangkat sekolah, hujan belum benar-benar reda.
Sudah jam 6 lebih, gua masih berada di teras rumah, berharap hujan segera reda.
"Pake mobil aja mas. Kalo reda pun, kalian pake motor ntar seragamnya kotor kena ciprat air" ucap mamah, di sebelah gua. Tangannya menadah rintik gerimis dari langit
Zahra masuk ke dalam rumah, mengambil kunci mobil, menyerahkan ke gua selanjutnya.
Ada hal yang ngga terpikirkan dalam otak gua ketika masih di rumah; yaitu macet.
Banyaknya titik banjir membuat orang-orang mencari jalan alternatif, sehingga jalan yang tidak terkena banjir malah menjadi macet.
"Yah, telat deh" kesekian kalinya gua menarik rem tangan lagi hanya setelah beberapa meter mobil berjalan
Setibanya di depan gerbang, gua melihat beberapa siswa yang juga terlambat. Mereka terlihat dihukum di sebelah pos satpam.
Gua menghentikan mobil di depan gerbang "aku bolos aja lah ra"
"Kok gitu" balas Zahra kecewa
Lalu gua menjelaskan bahwa biasanya hukuman keterlambatan bakal dilanjut dengan razia celana serta rambut.
Lingkar celana yang kurang dari 20cm bakal di sobek, serta rambut gua yang hampir dua bulan belum terkena gunting barbershop jelas bakal kena pitak.
Zahra masih belum turun dari mobil, ia gelisah memainkan sabuk pengaman.
"Apa mau ikut bolos aja?" Tanya gua, ia ngga menjawab.
Segera gua lajukan mobil menjauh dari sekolah, diamnya Zahra gua anggap sebagai persetujuan bahwa ia ikut gua bolos sekolah.
Sampailah kami berdua di bengkel Mas Joe. Zahra melihat ke arah warung, merasa takut jika aksi bolos sekolahnya ini bakal sampai ke telinga orang rumah.
"Udah ngga apa-apa" gua mencoba menenangkan
Tangannya gua gandeng saat berjalan menuju bengkel, ke samping bengkel tepatnya, di warung milik Emaknya Mas Joe.
"Owalah, ja. Zahra mbok yo ojo diajari nakal" Emak menghentikan kegiatan meracik masakannya, dengan terkejut melihat kami berdua yang masih memakai seragam datang ke sana saat jam sekolah
"Tadi telat mak. Zahra aku suruh berangkat sendiri ngga mau" elak gua, mencoba membela diri.
Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di sana, tanpa kegiatan.
Kebosanan melanda kami berdua. Ditambah, entah sudah berapa potong gorengan yang kami makan, berapa gelas teh yang kami minum. Berujung pada Emak yang ngomel-ngomel "engga ngelarisin, malah bikin nombok" ucap Emak
Daripada ocehan yang makin panjang, gua menarik Zahra pergi dari sana, mengendarai mobil ke arah selatan.
Melewati Ungaran, Tuntang, sampai akhirnya perjalanan ngga jelas ini mengantar kami ke Kopeng.
Mobil gua belokkan ke minimarket, sembari membeli camilan, gua merokok sejenak.
"Tau wisata keren deket sini ngga dek?" Gua bertanya ke Zahra
"Jalan dikit ke sana ada gunung yang bisa dinaikin pakai motor gitu" ia mengunyah chiki besar
"Kalo mobil bisa?"
"Ngga tau, aku juga belum pernah ke sana. Cuma denger-denger dari orang aja" Zahra menyerahkan botol mineral ke gua, bermaksud agar gua melonggarkan segel untuknya
Tanpa pikir panjang, gua berangkat ke sana. Sekitar 3-5KM dari kopeng, gua berbelok ke jalan alternatif yang terhubung sampai ke Grabag.
Di sana, beberapa petani yang gua tanyai mengarahkan dengan ramah jalan yang harus gua lewati.
Sampai di sebuah warung kecil yang terletak di sudut pertigaan, kami berdua turun menanyakan dimana letak gunung Telomoyo.
"Masuk ke sini mas" ucap ibu-ibu tersebut, menunjuk sebuah jalan tanah di sebelah warungnya
Kemudian ada bapak-bapak membawa cangkul menghampiri kami, sepertinya ia sehabis dari kebun "Mau kemana mas?"
"Ke Telomoyo pak" jawab gua
Sejenak ia melirik ke arah mobil gua "Ngga bisa naik kalo pake gerobak" terangnya kemudian
"Kalo mau, bisa sewa motor punya saya" lanjutnya
Setelah negosiasi harga, gua menyetujui untuk menyewa motor milik bapak-bapak yang memperkenalkan diri sebagai Pak Nardhi tersebut. Rupa-rupanya, ia juga merupakan suami dari ibu-ibu tadi.
Gua dan Zahra mulai masuk ke area gunung Telomoyo. Saat itu, kondisi telomoyo masih sangat memprihatinkan.
Jalanan dari rumah Pak Nardhi ke arah loket masih berupa tanah, kalau sekarang sudah ada paving block yang tertata.
Loketnya pun dahulu masih berupa bilik kayu, dengan tiket masuk 3ribu rupiah/motor. Karena waktu itu area wisata hanya dikelola oleh karang taruna sekitar.
Tapi sekarang? Setelah pihak perhutani dan dinas pariwisata minta jatah, tiketnya melambung sampai 15ribu/kepala.
Kami harus melewati jalan bebatuan terjal untuk sampai ke atas. Sesekali Zahra harus turun dari motor agar gua bisa melewati titik titik tertentu yang sangat tidak layak.
Puncak gunung Telomoyo ini sebenarnya adalah tower pemancar sinyal, tapi oleh pihak dusun dibuat juga sebagai tempat wisata.
Di gunung ini juga, pernah menjadi salah satu latar belakang thread legenda di SFTH milik mas Indunkz.
"Kok jalannya gini sih, balik aja yuk mas" rengek Zahra melihat jalan yang semakin rusak.
Jalannya bukan rusak sebenarnya, hanya ngga diperbaiki dengan semestinya. Banyak batu-batu kali yang ditata supaya tidak menyebabkan becek ketika hujan. Namun, hal tersebut tetap saja menyusahkan pengendara untuk melaluinya.
"Yah, udah nyampe sini. Nanggung" balas gua
Hampir 30 menit kami melewati medan yang terjal, curam, dan berkelok-kelok. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah spot pemandangan yang keren.
Spot pemandangan tersebut sebenarnya adalah landasan paralayang yang terbuat dari papan kayu berwarna biru.
"Bagus banget" ucap Zahra mengagumi lereng dihadapannnya
Gua berjalan ke arah landasan paralayang tersebut, lalu duduk di sana. Zahra menyusul gua, menikmati pemandangan dengan cara yang sama, kepalanya disenderkan ke bahu gua.
Meskipun gua datang ke Telomoyo saat jalannya masih luar biasa busuk, tapi gua sangat bersyukur bisa menikmati keindahan pemandangan Telomoyo dengan tenang karena wisata tersebut masih sangat sepi kala itu.
Ditambah, kami datang di saat weekday, di jam sekolah. Gunung Telomoyo serasa milik berdua, setan-setan di sana pada ngontrak.
"Kita ngga bakal kesambet kan pacaran di sini?" Tanya gua
Zahra menjauhkan badannya, kemudian mengangkat kedua pundaknya
Lalu kami berdua tertawa soal kemungkinan bahwa kami bakal kesurupan di gunung.
Tangan gua meraih bahunya, mendekatkan tubuhnya lagi ke gua.
Entah ada apa gerangan, dengan reflek gua mengecup keningnya.
Gua merasakan badannya bergetar, sesaat berikutnya baru gua sadari bahwa Zahra menangis
"Kenapa?" Tanya gua keheranan
Zahra menatap gua "ngga apa-apa. Aku cuma terharu" ucapnya kemudian, sembari mengusap linang air yang membasahi sudut matanya.
"Dan nampaknya kumulai takut kehilangan sosok dirimu..." Senandung lagu gua bisikkan ke telinga Zahra
Kami berdua menghabiskan waktu berjam-jam di sana tanpa siapapun yang mengganggu. Menikmati pemandangan lereng sampai akhirnya kabut mulai berdatangan seakan memberi isyarat 'waktunya pulang'
Quote:
oktavp dan 14 lainnya memberi reputasi
15