Gua menoleh ke arahnya yang tengah berjalan mendekat ke gua, sementara cangkir kopi masih berada dalam genggamannya.

“Dari kapan?” Tanyanya.

“Apanya?” Gua balik bertanya.

“Dari kapan lo kerja disini?”

“Baru 2 hari…” Jawab gua singkat.

“Oh…”

‘Ting’ Pintu lift terbuka. Gua melangkah, masuk ke dalam lift dan menekan angka 7 dan menekan tombol ‘tutup’ berkali-kali. Sedangkan, ia terlihat berusaha mencegah pintu lift menutup, tapi terlambat.

Hari itu, gua percaya kalau ‘kebetulan’ itu beneran ada.

—

“Udah kelar, Cad?” Tanya Mas Ricky, supervisor IT yang tadi mengutus gua untuk memperbaiki kendala internet di lantai 18.

“Udah” jawab gua singkat sambil mengacungkan Ibu jari kearahnya.

“Di ‘Close’ ya tiketnya ya Dim…” Tambahnya sambil menunjuk ke arah Dimas, admin IT yang duduk di sudut ruangan.

Dimas mulai mencari tiket gangguan yang baru saja gua selesaikan kemudian mengklik tombol “Solved”.

Di perusahaan ini, semua jenis troubleshoot akan masuk ke dalam sistem ticket control seperti yang saat ini gua gunakan. Para karyawan yang memiliki masalah pada perangkat IT, dapat menghubungi departemen IT dan keluhannya akan di input kedalam sistem ticket control ini. Sayangnya, sistem ini belum sepenuhnya terintegrasi, para karyawan masih harus menghubungi IT secara manual; melalui telepon, kemudian staff admin IT akan menginput keluhannya tersebut kedalam sistem. Supervisor akan menunjuk IT Support yang bertugas untuk menyelesaikan troubleshoot tersebut. Setelah, pekerjaan selesai, IT Support wajib lapor ke admin untuk menutup tiket gangguan melalui sistem.

“Cad, ke Lobby ya… itu PC resepsionis nge-freeze…” Ucap Mas Ricky, sementara matanya masih menatap ke layar PC yang menampilkan sistem Ticket Control.

“Her, ke lantai 21.. Mesin fotocopy nggak bisa lagi…” Mas Ricky bicara ke Heri, salah satu IT Support yang juga baru saja masuk kedalam ruangan.

“Ok…” Gua dan Heri menjawab kompak, kemudian bergegas keluar dari ruangan.

“Baru naro pantat…” Keluh Heri saat kami berdua tengan menunggu lift.

“...”

“... gua sebenernya males banget ngurusin tuh mesin fotocopy, kayaknya ada setan-nya. Udah berkali-kali diservis, rusak melulu…” Heri kembali mengungkapkan keluhannya.

“Kenapa emang?” Tanya gua penasaran.

“Offline terus, padahal udah run diagnostic normal. Kata vendornya juga mesinnya nggak ada masalah…” Ia menjelaskan.

“Terus?”

“Ya paling gua restart. Kalo abis di restart pasti bisa. Tapi, ntar beberapa hari nggak bisa lagi.. aneh kan?”

“Kabel LAN nya?”

“Kabel Lan udah berapa kali diganti, kayaknya bukan masalah di kabelnya…”

“Port LAN nya?”

“Portnya juga udah di cek sama Vendor, nggak ada masalah. Pokoknya aneh dah tuh mesin.. orang vendornya aja sampe bingung, cad…”

Gua menganggukan kepala mendengar penjelasannya, sambil mencoba membayangkan masalah pada mesin tersebut. Tentu saja, gua nggak percaya teorinya yang berhubungan dengan hal gaib.

“Mau tukeran?” Tanya gua.

“Maulah…” Jawabnya cepat.

‘Ting’ Pintu lift di depan kami terbuka. Indikator panah ke atas menyala berkelap-kelip. Gua melangkah masuk kedalam dan menekan tombol angka 21. Sebelum pintu lift menutup, Heri sempat memberikan informasi lokasi mesin fotocopy yang bermasalah.

Gua memeriksa mesin fotocopy bermasalah yang terletak di tengah-tengah ruangan. Mungkin diletakan di sini agar seluruh karyawan bisa mengaksesnya dengan mudah. Beberapa orang terlihat tengah berdiri, mengantri untuk menggunakan mesin fotocopy tersebut, sepertinya mesin ini cukup laris digunakan

Sejatinya, mesin fotocopy ini bisa digunakan dengan baik untuk proses menggandakan dokumen. Kendala utamanya adalah, mesin ini seringkali ‘Offline’ sehingga nggak bisa digunakan untuk ngeprint melalui jaringan (online). Hal ini tentu saja merepotkan bagi para karyawan yang harus pergi ke lantai lain hanya untuk mencetak dokumen.

“Udah ganti aja sih mas, mesinnya.. rusak melulu…” Ujar salah satu karyawan yang duduk paling dekat dengan mesin fotocopy tersebut.

Menanggapi ucapannya, gua hanya melempar senyum ke arahnya. Gua kemudian berjongkok menghadap ke bagian belakang mesin dan memperhatikan kabel-kabel yang carut marut. Terlihat kabel LAN yang masuk kedalam port mesin fotocopy diikat dan dijadikan satu dengan beberapa kabel power yang mengarah ke unit dan beberapa PC disekitarnya.

Gua mengambil tang potong dari saku celana dan mulai memotong ikatan yang menggabungkan kabel LAN dan kabel listrik. Kemudian membuat jalur baru untuk masing-masing kabelnya. Setelahnya, gua melakukan hard reset pada mesin fotocopy dan menunggunya kembali menyala.

‘Beep-beep’ terdengar suara notifikasi, tanda mesin fotocopy sudah kembali menyala. Gua menatap ke arah layar kecil diatas mesin, dan mulai mengecek statusnya; ‘Online’. Seharusnya, mesin ini sudah normal. Analisa gua, kenapa mesin ini seringkali masuk ke mode Offline adalah karena kabel LAN yang menghubungkan mesin ini kedalam jaringan menempel dengan beberapa kabel listrik. Hal ini tentu saja menyebabkan medan listrik pada kabel listrik menimbulkan efek radiasi pada kabel data LAN sehingga memicu terganggunya proses pengiriman data.

“Lo menghindari gw ya?” terdengar suara dari belakang gua, saat gua tengah berjalan melalui koridor yang menuju ke lobby lift. Gua kemudian menoleh, tersenyum sejenak kemudian kembali melanjutkan langkah.

“Kenapa?” Tanyanya lagi, sambil mencoba mengejar langkah gua.

“Apanya yang kenapa?” Gua balik bertanya.

“Lo menghindari gw?” Ia mengulang pertanyaannya.

Gua mengernyitkan dahi. “Kenapa gua harus menghindar dari elo?”

“Tadi, lo buru-buru pergi…” Jawabnya.

“Gua kan baru kerja disini dua hari, nggak enak kalo keliatan ngobrol pas kerja…” Gua beralasan.

“Alesan apaan tuh? emangnya lo kerja di Korea Utara, Sampe nggak boleh ngobrol?” Tanyanya.

“...” Gua nggak menjawab, masih terus melanjutkan langkah.

“... Kenapa? Takut gw jatuh cinta sama elo lagi?” Tambahnya, kali ini ia menarik bagian belakang kemeja gua.

Gua menghentikan langkah, kemudian melirik ke arah jam tangan yang gua kenakan; Hampir jam makan siang.

“Ayo makan siang…” Ucap gua sambil menarik tangannya masuk ke dalam Lift yang kebetulan dalam posisi terbuka.

Kami berdua tenggelam dalam diam saat berada di dalam lift yang membawa kami menuju ke lobby lantai dasar. Hampir setiap lantai, lift berhenti, beberapa orang masuk memenuhi ruangan sempit dalam lift, memaksa kami berdua terhimpit di sudut. Gua menghadap ke arahnya, membentangkan kedua tangan pada kedua sisi lift, mencoba menahan himpitan orang-orang disekeliling. Wajah kami berdua saling menatap, dekat. Saking dekatnya, gua bahkan bisa mendengar deru nafasnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya sambil membetulkan rambutnya,dan gua pun melakukan hal yang sama; membuang pandagan ke arah lain.

“Eh, gw kira lo masih sakit?” Tanyanya kepada salah seorang karyawan yang ia temui saat kami berdua keluar dari lift di lantai dasar.

“Masih pusing nih gw, tapi gimana, kerjaan belom kelar… hehe..” jawab karyawan tadi sambil kemudian bergegas pergi. Aroma pedas khas minyak kayu putih tercium saat ia melewati kami berdua.

“...”

“Eh, kar… lo mau makan dimana? gw nitip dong…” Karyawan tadi menghentikan langkahnya dan kembali bicara.

“Nitip apa?”

“Beliin koyo cabe yak… ntar duitnya gw ganti…” Tambahnya, kemudian pergi.

“Ok..” Jawabnya.

—

“Mau makan dimana?” Tanya Sekar sambil menatap gua.

Gua mengangkat bahu; “Gua kan baru dua hari disini, kar… ke tempat parkir aja mungkin gua masih nyasar…”

Sekar tersenyum sebentar mengacungkan jarinya; “Pecel ya?” tanyanya.

Gua mengangguk setuju.

“Lo apa kabar?” tanyanya saat kami berjalan menyusuri gang kecil yang tepat berada di belakang gedung kantor. Walaupun terbilang sempit, gang ini cukup ramai. Pada kedua sisi gang, berjejer rumah rumah penduduk yang dialih fungsikan menjadi berbagai jenis warung makan. Disaat jam makan siang seperti sekarang ini, gang sempit ini mendadak berubah menjadi ramai dan dipadati para karyawan yang bekerja di gedung perkantoran. Lokasi perumahan penduduk ini memang tepat bersebelahan dengan pusat bisnis dan perkantoran di bilangan Jakarta Pusat.

Buat para karyawan level bawah kayak gua, tempat seperti ini merupakan tempat paling ideal untuk makan siang. Rasa makanannya bersahabat dan harganya pas di kantong. Sementara, untuk para karyawan yang punya penghasilan lebih, biasanya menghabiskan waktu makan siangnya ke Mall yang juga lokasinya nggak begitu jauh.

“Baik…” Jawab gua singkat.

“...” Sekar nggak langsung merespon, ia hanya terdiam seakan mengharapkan pertanyaan yang sama diarahkan kepadanya.

“Kalo elo apa kabar?” tanya gua.

“Baik dooong…” Ia menjawab cepat, sambil menoleh ke arah gua dan tersenyum.

“Bokap sehat?” Tanya gua lagi. Kali ini ia nggak langsung menjawab. Terjadi perubahan ekspresi di wajahnya.

“Sehat” Jawabnya lirih.

Gua mengikuti Sekar masuk ke salah satu teras rumah penduduk yang difungsikan sebagai warung makan. Kami berdua duduk diatas kursi plastik berwarna merah, menghadap ke arah meja panjang yang dilapisi plastik bermotif bunga.

“Mas, Pecel ayam satu, Pecel lelenya satu ya.. minumnya es teh manis satu, es tawar satu…” Ucap Sekar kepada mas penjual pecel.

“...”

“... eh, Lo pecel lele kan, sama es tawar…” Sekar bertanya ke gua memastikan. Ia sepertinya masih terbawa kebiasaan saat berpacaran dengan gua.

“Iya…” Gua mengangguk, setuju.

“Eh, sebenernya gua mau nanya dari dulu tapi lupa mulu…”

“Apa?”

“Lo kenapa sih suka banget makan lele?” Tanyanya sambil berpangku tangan menatap gua.

“...”

“... emang nggak geli?” ia menambahkan.

Gua nggak langsung menjawab. Masih segar diingatan gua, kala itu melihat Larissa untuk pertama kalinya makan pecel lele. Yang awalnya ia meragukan tampilan pecel lele karena dianggap bikin geli, namun setelah mencoba rasanya, ia benar-benar menyukainya. Sepertinya, ini cara paling ampuh yang bisa gua lakukan untuk selalu mengingatnya.

“... kenapa bi?” Sekar mengulang pertanyaannya.

“Enak…” Jawab gua singkat.

Ia tersenyum mendengar jawaban dari gua. Menurut Sekar, Lele bahkan bukanlah sebuah pilihan. Saat terdesak, dan tak ada pilihan lain, selain Lele, Sekar bakal memilih untuk nggak makan.

Gua menatapnya, Sekar menyadari tatapan gua kemudian membuang muka. Ia sepertinya enggan beradu pandang dengan gua, mungkin menghindari situasi canggung seperti yang tadi terjadi di dalam lift.

“Siapa namanya?” Tanya gua.

“...” Mendengar pertanyaan gua yang tiba-tiba, Sekar mengernyitkan dahinya.

“... nama cowok lo? Cowok yang ada di foto di atas meja kerja lo?” Tanya gua lebih detail.

Sekar nggak menjawab, ia kembali membuang muka seraya membetulkan poni pada rambutnya.

Sepertinya, pertanyaan gua barusan hadir diwaktu yang salah. Setelah pertanyaan tersebut, Sekar sama sekali nggak bicara hingga kami berdua selesai makan, ia hanya terdiam dan sesekali memainkan sedotan pada gelas minumnya.

“Sorry kalo gua salah nanya tadi…” Gua meminta maaf kepadanya saat kami berdua berada didalam lift menuju ke atas.

“Gapapa…” Jawabnya pelan.

“Lupain aja…”

“Nggak, nanti gw pasti ceritain ke elo…” ujarnya, sementara pintu lift terbuka di lantai 7.

“Bukan, maksud gua, lupain aja kalo kita pernah ketemu…” Gua bicara pelan kepadanya, sambil berjalan keluar dari lift, meninggalkannya sendirian.

—