Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Dalam satu minggu terakhir ini dua orang asing, yang sama-sama memiliki profesi sebagai penjaga makam, memberikan gua banyak pelajaran. Tentang keikhlasan dalam menjalani sesuatu, tentang makam sebagai simbol kematian.
Beberapa hari kebelakang hidup juga menguak banyak hal yang selama ini tak banyak gua ketahui; Lokasi makam nyokap, dan Bokap yang ternyata mengurus administrasi makam nyokap, yang artinya (mungkin) ia masih punya sedikit kepedulian terhadap istrinya; nyokap gua.
Dan pagi ini, gua berdiri di depan rumah yang terakhir gua tempati. Dari posisi gua berdiri saat ini, rumah ini terlihat ‘mengerikan’. Bagian depannya kotor, sarang laba-laba menghiasi hampir setiap sudutnya. Sementara, lantai terasnya penuh debu dan tumpukan daun-daun kering yang berserakan. Gua membuka kunci gembok pada gerbang dan menggeser untuk membukanya. Suara berdecit terdengar nyaring, sepertinya roda-roda besi pada gerbang sudah mulai berkarat.
Gua melangkah masuk dan mulai membuka pintu depan. Aroma pengap dan apek langsung menyambut begitu pintu berhasil gua buka. Gua memandang sekeliling, sambil terus melangkah masuk kedalam, lalu terhenti saat tiba di ruang keluarga. Sebuah sofa berdebu yang terdapat di sudut ruangan, tepat di seberang televisi besar membangkitkan kenangan.
Mirip seperti mimpi; gua seperti melihat bayangan samar Abian muda tengah bercengkrama dengan Larissa, sambil mengumbar senyum di atas sofa. Gua berpaling dan menuju ke dapur dan ruang makan, kali ini bayangan samar bokap terlihat tengah duduk di meja makan sambil membaca koran sementara secangkir kopi berada di dekatnya.
Rumah ini memiliki banyak kenangan.
Gua lalu bergegas menuju ke kamar bokap. Kondisinya masih sama seperti saat gua tinggalkan, hanya saja kali ini suasana ruangan menjadi lebih pengap dan berdebu. Gua mengeluarkan lembaran plastik besar dari dalam tas dan mulai mengeluarkan semua pakaian milik bokap dari dalam lemarinya. Satu plastik besar gua siapkan untuk membuang barang-barang yang sudah rusak atau kemungkinan besar tak lagi bisa dipakai.
Karena jumlah pakaian bokap yang nggak terlalu banyak, nggak butuh waktu lama buat gua untuk memindahkan semuanya ke dalam bungkusan plastik. Onggokan laci kecil yang berada dalam lemari terlihat cukup mengganggu gua. Gua mengeluarkannya dan meletakkannya diatas ranjang. Didalamnya terdapat beberapa amplop, buku tabungan pendidikan dan selembar foto berukuran 3R. Kondisinya sendiri sudah acak-acakan tak beraturan akibat penggeledahan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
Gua meraih salah satu foto yang ada disana. Terlihat, Bokap, Nyokap dan gua yang saat itu mungkin masih berusia 2-3 tahun. Dalam foto itu terlihat gua tengah berada dalam gendongan bokap, sementara nyokap memeluk kami berdua. Kami bertiga mengenakan jaket bulu musim dingin, berpose sambil tersenyum di depan sebuah kabin, dengan latar deretan pegunungan indah yang tertutup salju. Gua membalik lembaran foto tersebut, terlihat tulisan tangan bokap; Zakopane; Desember 1989.
Gua mengambil sebuah amplop yang berada di antara lembaran foto, kemudian mengeluarkan isinya. Tak diduga, di dalam amplop putih tersebut terdapat lembaran foto-foto lainnya. Satu persatu gua menatap ke arah lembaran foto tersebut. Foto-foto yang didominasi oleh gua, foto sejak gua bayi, hingga foto gua tengah berdiri sambil mengenakan seragam taman kanak-kanak, sambil tersenyum menatap ke arah kamera. Dibalik semua foto-foto tersebut terdapat tulisan tangan bokap yang menyebutkan nama gua, tahun dan momen saat foto tersebut diambil.
Salah satu foto menampilkan satu-satunya figur nyokap gua. Ia terlihat tengah berpose sambil mengangkat kedua jari tangannya dan tersenyum ke arah kamera. Di foto ini mendiang nyokap terlihat masih sangat muda, ia tampil sangat cantik dan menawan. Gua membalik lembaran foto tersebut, terdapat tulisan tangan bokap; “Celin - Jakarta 1985” Dibagian bawah tulisan terdapat sebuah plastik berukuran sangat kecil yang ditempel menggunakan tape perekat.
Gua melepas perekat yang menyatukan plastik dengan lembaran foto dan membuka plastik kecil tersebut; Sebuah kalung dengan liontin berbentuk sebuah huruf “C”, mungkin inisial dari nama depan nyokap. Gua lalu kembali membalik lembaran foto tersebut dan mulai memperhatikan dengan seksama potret diri nyokap gua. Di sana, saat foto itu diambil, nyokap gua tengah mengenakan kalung ini. Kalung yang sekarang berada di dalam genggaman tangan gua.
Sisa-nya, hanya lembaran fotokopi identitas dan paspor milik bokap. Tanpa memilah lagi, gua dengan cepat menuang semua isi yang berada dalam laci lemari kedalam tas. Sudah tak tahan lagi dengan bau apek dan lembab yang semakin menyengat di dalam kamar.
Gua lalu keluar dari kamar bokap dan masuk ke kamar yang sebelumnya gua tempati. Sama, tak ada yang berubah dari kamar ini semenjak gua tinggalkan. Hanya saja, kondisi sudah kosong. Sesaat sebelum gua pergi dari sini dan pindah ke kos-kosan, gua sempat mengosongkan lemari pakaian, memfilter baju-baju lama yang nggak lagi gua gunakan dan membuangnya. Sisanya, sampai saat ini masih tersimpan rapi dalam tas besar yang berada di kamar kosan. Barang-barang lain, seperti radio dan buku-buku milik gua, sudah gua simpan rapi didalam kardus, yang tertumpuk rapi di sudut kamar. Gua duduk di tepi ranjang yang tanpa sprei, kemudian menyentuh pelan bagian permukaan ranjang dan kembali mengingat momen-momen saat Larissa berbaring disini.
Ponsel gua berbunyi, mengganggu khayalan gua. Nama Mas Karlan muncul pada layarnya.
“Halo, kenapa mas?”
“Cuk, enek gawean, saiki iso po ora?” Tanyanya dari ujung sana, suaranya terdengar tenggelam dalam kebisingan jalan raya.
“Dimana mas?”
“Pancoran…”
“Bisa…” Jawab gua singkat.
“Lokasine tak sms ae yooo…” Ia bicara setengah berteriak agar suaranya terdengar.
“Ok…”
Nggak lama setelah gua mengakhiri panggilan, sebuah pesan masuk; dari Mas Karlan, yang isinya alamat lengkap lokasi kerja gua.
—
Semenjak bokap meninggal, dan akhirnya tau lokasi makam nyokap, gua jadi memiliki kebiasaan baru; Mampir ke makam mereka sebelum berangkat bekerja. Nggak setiap hari sih, paling seminggu sekali. Sementara, untuk ‘mampir’ ke makam Larissa tetap gua lakukan saat atau menjelang weekend.
Beberapa orang, seperti Mas Bobi dan rekan kerja yang lain sempat mengomentari kebiasaan gua tersebut. “Cad, jadi calo ziarah aja.. lumayan dapet penghasilan…”
“Eman bisa?” tanya gua polos. Jawaban gua lalu disambut gelak tawa rekan-rekan yang lain.
Sementara, Mas Karlan punya opini yang berbeda tentang gua. Apalagi setelah gua lulus kuliah. Ia acap kali meminta gua untuk cari kerja di tempat yang lain, alasanya agar taraf hidup gua meningkat, nggak ‘begini-begini’ saja.
“Cuk, gole’o kerjaan liane kono lho.. mosok sarjana nggulungi kabel wae… Po ra isin karo titel?” Ujarnya suatu waktu, menyarankan gua untuk mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dengan titel sarjana yang gua miliki.
Gua bukannya nggak mau, bukan. Gua bahkan sudah membuat dan menyiapkan surat lamaran kerja. Gua hanya takut! Takut kehilangan Mas Karlan cs, takut kehilangan ‘keluarga’ dan sentuhan hangat yang selama ini gua dapatkan dari mereka. Buat gua, percuma punya kerjaan bagus, gaji besar tapi hidup terasa sepi.
“Lha, kowe kerjo tempat liane kan sih tetep iso ngumpul…” Jawab Mas Karlan ketika gua mengemukakan alasan kenapa enggan bekerja di tempat yang lain.
“... Sayang-sayang ijasah mu, cuk…” Ia lalu menambahkan sambil menepuk pundak gua. Sementara ekspresi wajahnya tampak penuh harapan.
Mendengar penjelasan dari Mas Karlan, gua kembali berpikir; banyak sudah yang Mas Karlan cs korbankan agar gua bisa berkuliah, bisa lulus dengan baik. Tapi, pas sudah lulus, gua masih tetap berada disini. Rasa-rasanya kok kurang adil ya buat mereka. Harusnya, begitu lulus, jadi sarjana, gua lekas mencari pekerjaan yang layak, berpenghasilan ‘besar’ agar bisa membalas budi baik mereka.
Namun, perkiraan-perkiraan gua salah. Menurut Mas Karlan, ia melakukan ini semua; hal-hal baik yang sudah ia dan rekan-rekan lain korbankan buat gua, bukan berharap gua membalasnya dengan ‘kebaikan’ yang sama. Mereka hanya ingin berbuat baik ke gua karena merasa gua sudah seperti adik sendiri, adik bungsu mereka semua, yang perlu di ayomi, dijaga dan di prioritaskan. Skala kebahagiaan mereka adalah, melihat gua hidup mapan. Sama seperti standar kebahagiaan para orang tua kepada anaknya, seorang kakak kepada adiknya.
Mas Karlan juga pernah berpesan agar gua nanti melakukan hal yang serupa; berbuat baik kepada orang lain. Sebuah gagasan merubah mindset orang untuk melakukan hal baik dengan harapan orang lain akan melakukan hal serupa. Jika boleh meminjam istilah dari Catherine Ryan Hyde, hal ini bisa disebut dengan ‘Pay It Forward’.
‘Duh, sebuah gagasan mind blowing yang diutarakan oleh pria kampung yang bahkan hanya lulusan SD. Mendengarnya saja membuat gua merasa malu.
—
Beberapa hari setelah mendapat wejangan dari Mas Karlan cs, gua kembali menekuni surat lamaran pekerjaan yang sebelumnya sudah gua siapkan. Selain itu, gua juga menjadi rajin membeli koran populer Ibukota yang biasanya banyak menampilkan iklan lowongan pekerjaan.
Yang cukup membingungkan dari iklan lowongan pekerjaan yang tampil di koran adalah sebuah syarat lamaran yang berbunyi; “Berpengalaman”. Sementara, jurusan kuliah sama sekali jarang diangkat, yang penting Sarjana. Dan, hampir semua lowongan kerja yang gua lihat, memiliki kriteria serupa. Lalu, apa kabar manusia-manusia ‘fresh graduate’ kayak gua?
Setelah menunggu berminggu-minggu, gua mulai putus asa karena nggak ada satupun panggilan interview yang gua terima.
Gua mulai mencari akal. Gimana caranya mencari pekerjaan yang tak membutuhkan ‘pengalaman’. Atau, mungkin bisa disiasati dengan mencari lapangan pekerjaan sesuai dengan ‘pengalaman’ yang gua miliki. Gua akhirnya memilih opsi kedua; Mencari lowongan kerja dibidang IT. Walaupun melenceng jauh dari hal-hal berbau ‘Ekonomi’, yang notabene adalah jurusan kuliah gua. Tapi, paling tidak gua sudah cukup berpengalaman dalam bidang ini.
Ternyata, siasat gua terbukti cukup ampuh.
Selang satu minggu sejak gua mengirimkan lamaran, beberapa panggilan interview mulai berdatangan.
—
Sebelumnya, gua nggak begitu percaya dengan sebuah ‘kebetulan’. Hingga saat hari kedua gua bekerja di sebuah perusahaan retail yang bergerak di bidang food and beverage.
“Permisi…” Ucap gua begitu masuk ke dalam salah satu ruangan yang berada di lantai 18.
Dari sekian banyak karyawan yang berada di sana, tak ada satupun yang membalas ucapan gua. “Mbak, yang internetnya nggak bisa?” Tanya gua ke salah satu karyawan perempuan yang duduk paling dekat dengan pintu masuk. Ia menoleh, menatap gua, kemudian melepas headset di telinganya; “Kenapa mas?” Tanyanya sambil menatap ke arah ID card yang terlakung di leher gua.
“Mbak yang telpon ke IT, yang internetnya nggak bisa?” Gua mengulang pertanyaan sambil berbisik, takut mengganggu pekerja yang lain.
“Nggak, bukan..” Jawabnya pelan, kemudian kembali memasang headset di telinganya dan melanjutkan pekerjaan.
Gua menatap sekeliling, semua karyawan terlihat tengah sibuk bekerja, menatap ke layar komputer. Satu meja kosong cukup menarik perhatian gua, layar PC di meja tersebut menampilkan informasi “There is No Internet Connection!”. Gua bergegas menghampiri meja tersebut dan bertanya ke karyawan yang duduk tepat di sebelahnya; “Orangnya kemana ini mas?” Tanya gua.
“Lagi ke pantry, tunggu aja paling sebentar lagi balik…” Jawabnya.
“Oh gitu, ini yang tadi telpon ke IT internetnya nggak bisa kan?” Gua kembali bertanya. Yang lalu dijawab dengan anggukan olehnya.
Nggak menunggu lama, gua berinisiatif untuk mengecek sambungan kabel LAN yang berada di bagian belakang PC. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan; tak ada yang salah dengan sambungan kabel LAN yang menuju ke PC, kemungkinan besar koneksi internet terputus karena settingan PC yang (mungkin) tak sengaja diubah.
Namun, untuk memeriksa PC nya, gua harus terlebih dahulu menunggu pemiliknya.
Gua berjongkok di bawah meja, sambil menunggu gua berinisiatif untuk merapikan kabel-kabel yang berantakan.
“Udah bisa mas?” Sebuah suara mengejutkan gua.
Buru-buru, gua keluar dari kolong meja dan berdiri. Perempuan pemilik PC tersebut berdiri tepat di depan gua, tangan kanannya memegang cangkir yang sepertinya berisi kopi. Sementara, matanya menatap gua kemudian meraih ID Card yang tergantung di leher gua, seakan nggak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Belum, boleh gua cek PC-nya?” Gua balik bertanya, sambil pasang tampang datar, mencoba menyembunyikan keterkejutan gua. Ia mengangguk pelan, masih tetap menatap ke arah gua.
Gua lalu bergegas, mengakses PC miliknya dan memeriksa settingan internetnya yang bermasalah. Sambil memeriksa PC, mata gua melirik ke arah frame foto berukuran postcard yang terpajang di atas meja. Terlihat seorang perempuan tengah tersenyum sambil bergandengan tangan dengan seorang cowok yang mungkin pacarnya.
“Udah bisa ya…” Ucap gua singkat, setelah mencoba membuka browser dan merefresh halaman terakhir yang ia buka.
Gua bergegas pergi meninggalkan mejanya dan keluar dari ruangan tersebut. Sementara, ia masih berdiri di posisi yang sama seperti sebelumnya.
“Bi….” Panggilnya. Sementara gua tengah berdiri menunggu lift untuk kembali ke ruangan IT yang berada di lantai 7.
—
Arigatou - Ikimono Gakari
Mampus, ngerti nggak lu liriknya?
Arigatou tte tsutaetakute anata wo mitsumerukedo
Tsunagareta migite wa dareyori mo yasashiku
Hora kono koe wo uketometeru
Mabushii asa ni nigawaraishitesa anata ga mado wo akeru
Maikonda mirai ga hajimari wo oshiete
Mata itsumo no machi e dekakeruyo
Dekoboko na mama tsumiagetekita futari no awai hibi wa
Koboreta hikari wo daiji ni atsumete
Ima kagayaiteirunda
Anata no yume ga itsukaraka futari no yume ni kawatteita
Kyou datte itsuka taisetsu na omoide
Aozora mo nakizora mo harewataruyouni
Arigatou tte tsutaetakute anata wo mitsumerukedo
Tsunagareta migite ga massugu na omoi wo
Bukiyou ni tsutaeteiru
Itsumademo tada itsumademo anata to warattetakara
Shinjita kono michi wo tashikameteikunoni
Ima yukkurui to aruite ikou
Kenka shita hi mo nakiatta hi mo sorezore iro sakasete
Masshiro na kokoro ni egakareta mirai wo
Mada kakitashiteikunda
Dareka no tame ni ikiru koto dareka no ai wo ukeireru koto
Souyatte ima wo chottozutsu kasanete
Yorokobi mo kanashimi mo wakachiaeruyouni
Omoiau koto ni shiawase wo anata to mitsukete iketara
Arifureta koto sae kagayaki wo dakuyo
Hora sono koe ni yorisotteku
Aishiteru tte tsutaetakute anata ni tsutaetakute
Kakegae no nai te wo anata to no korekara wo
Watashi wa shinjiterukara
Arigatou tte kotoba wo ima anata ni tsutaerukara
Tsunagareta migite wa dareyori mo yasashiku
Hora kono koe wo uketometeru