Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua berniat untuk mengejarnya, sebelum ia menjauh dan benar-benar pergi. Namun, apa daya kaki gua bergeming, tetap diam, tak menuruti perintah tuannya. Akhirnya, gua hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dan perlahan hilang.
Sepertinya kedua kakinya memilih keputusan yang tepat. Daripada mengejarnya, lebih baik menghabiskan waktu lebih lama di pusara bokap.
Saat hendak pulang meninggalkan makam, salah seorang petugas penjaga makam datang menghampiri gua. Ia memperkenalkan diri sebagai Pak Wanuri. Tak banyak basa-basi, Pak Wanuri langsung menawarkan jasa untuk mengganti nisan kayu yang saat ini terpasang dengan sebuah nisan keramik yang lebih elegan; katanya.
Pak Wanuri lalu mengajak gua berkeliling, menunjukkan berbagai jenis Nisan batu dan keramik yang ada di area makam. Ia menggunakan makam orang lain sebagai katalog produknya.
“Kalo yang kayak gini harganya 150 ribu… kalo yang kayak gini 200.. nah kalo yang kayak gini nih lebih mahal nih; 400 ribuan…” Ujarnya
“Udah sama ongkos pasang?” Tanya gua lagi.
“Udah dong, mas tinggal terima beres…” Jawabnya.
“Ok Deh… Pake Nisan yang simpel aja kayak gitu…” Gua menyetujui proposal verbalnya, sambil menunjuk ke arah salah satu nisan marmer sederhana yang berada di dekat gua berdiri.
Kemudian terbesit sebuah pemikiran yang mungkin terlalu ‘aneh’ untuk diutarakan, namun pada akhirnya tetap gua utarakan ke Pak Wanuri.
“Pak…”
“Ya, mas…”
“Ibu saya kan udah meninggal juga, tapi sampe sekarang saya lupa dimana makamnya. Kalo saya bikin satu makan lagi di sebelah makam Bapak saya, apa bisa?” Tanya gua.
“Kok bisa lupa?” Ia bertanya balik.
Gua mengangkat kedua bahu, enggan menjelaskan kronologi panjang dan lebar kepadanya. Dulu, waktu nyokap meninggal dan dimakamkan, gua masih kecil. Tak ada satu orang keluarga pun yang hadir pada proses pemakaman, hanya gua dan beberapa staf rumah sakit.
“Bisa nggak pak?” Tanya gua lagi.
Pak Wanuri nggak langsung menjawab, ia terlihat berpikir keras sementara matanya menatap ke arah langit, seakan meminta persetujuan dari Tuhan.
“Waduh, kalo masalah kayak gitu saya juga kurang paham. Ntar saya tanya-tanya dulu deh…” Pak Wanuri menjawab sambil menggaruk kepalanya.
“Oh gitu ya…”
“Iya, saya minta nomer telpon masnya aja. Ntar saya kabarin…” Balasnya, sambil mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari saku celananya yang lusuh.
Setelah selesai mencatat nama dan nomor ponsel gua, Pak Wanuri kembali angkat bicara; “Coba, dicari aja dulu mas makam ibunya… kalo nyarinya ikhlas pasti ketemu…” Ucapnya, kemudian pergi.
Sementara gua masih berdiri mematung mendengar ucapan Pak Wanuri barusan. Kemudian kembali muncul penyesalan dalam hati; kenapa nggak sejak dulu gua mencoba mencari makam nyokap? Kenapa baru terpikir sekarang? Tapi, hanya menyesal tak akan menghasilkan apa-apa. Akhirnya, gua membulatkan tekad untuk mencari makam nyokap mulai besok.
—
Saat tiba di kamar kos, gua langsung membuka Laptop dan mulai membuat daftar rumah sakit terdekat dengan lokasi tempat tinggal gua kala itu.
“Bikin surat lamaran yak?” Tanya Edi yang tiba-tiba saja masuk kedalam kamar dan duduk di sebelah gua.
Gua nggak menjawab.
“Mau ngelamar kerja di rumah sakit?” Edi kembali bertanya, kali ini sambil melihat layar laptop gua yang menampilkan list rumah sakit.
Gua menggeleng.
“Trus ngapain nyari rumah sakit?”
Gua menoleh ke arahnya kemudian mulai menjelaskan duduk perkara alasan kenapa gua membuat daftar rumah sakit yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal gua dulu. Sementara, Edi duduk tenang sambil mendengarkan cerita gua. Awalnya gua berharap, Edi sedikit berempati dan akhirnya mau menemani gua mencari lokasi makam nyokap. Nyatanya, setelah gua selesai bercerita, ia lalu berdiri, menepuk pundak gua pelan; “Good Luck!” ucapnya santai, kemudian pergi kembali ke kamarnya.
Pagi-pagi buta, keesokan harinya, gua sudah meluncur ke rumah sakit pertama yang berada dalam daftar. Semua lokasi rumah sakit yang gua data berada di daerah Jakarta Pusat.
Berbekal nama lengkap nyokap, gua mengemukakan statement dan pertanyaan yang sama ke semua rumah sakit yang gua sambangi. Namun, tak satupun dari rumah sakit yang ada dalam daftar mau dan berkenan memberikan informasi yang gua minta. Berbagai alasan mereka ungkapkan; “Nggak bisa memberikan data pasien”, “Kejadiannya sudah terlalu lama”, “Database kami nggak lengkap” dan beberapa alasan-alasan klise lainnya.
Satu rumah sakit tersisa dan merupakan satu-satunya rumah sakit milik pemerintah/militer yang berada dalam daftar.
Gua mengemukakan statement dan pertanyaan yang sama saat tiba di meja informasi rumah sakit ini. “Misi Mbak, saya mau cari tau info tentang ibu saya yang meninggal disini…”
“Atas nama siapa mas?” Tanya wanita petugas informasi. Lalu, gua jawab dengan memberikan nama lengkap nyokap gua.
“Siapa? Bisa dieja?”
Gua lalu mengulang menyebut nama gua huruf demi huruf. Iya, nama nyokap gua memang agak sulit diucapkan.
“Waktu meninggalnya?” ia kembali bertanya, sembari tangannya bergerak lincah diatas keyboard komputer.
“Kira-kira 15-16 tahun yang lalu…” Jawab gua.
Wanita petugas rumah sakit tiba-tiba menghentikan gerakan jarinya di atas keyboard komputer kemudian menatap gua. Melihat, kebingungan melalui tatapannya, gua lalu mulai menjelaskan duduk perkaranya kepada si petugas. Wanita tersebut mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menganggukan kepala.
“Kalo itu sih, kita juga nggak punya data-nya mas, kalau pun ada kita kayaknya juga nggak bisa ngasih…” Ucapnya.
“Oh gitu…” Jawaban yang sama dari rumah sakit sebelum-sebelumnya.
“Tapi… kalo disini, biasanya kalau ada pasien yang meninggal dan nggak ada sanak saudara atau proses pemakamannya diserahkan ke pihak rumah sakit pasti dimakamin disana…” Jelasnya, sambil jarinya menunjuk ke arah Utara.
Gua mengernyitkan dahi, bingung akan arah yang ia tunjukan.
“Makam Karet Bivak…” Tambahnya begitu melihat ekspresi kebingungan di wajah gua.
Gua tersenyum, kemudian berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada wanita tersebut. Lalu bergegas pergi menuju ke lokasi pemakaman yang baru saja di infokan olehnya.
—
Hanya butuh waktu tak lebih dari 10 menit gua tempuh dari rumah sakit terakhir ke lokasi pemakaman Karet Bivak dengan menggunakan sepeda motor. Setelah memarkirkan motor, gua bergegas menuju ke sebuah gedung kecil tempat dimana para keluarga mengurus sewa dan perawatan makam dari keluarga mereka. Seorang pria setengah baya, berbaju koko lengkap dengan peci putih di kepalanya menyambut gua.
Gua menyebutkan nama, dan maksud kedatangan gua kesana.
“Tahun berapa?” Tanya bapak itu, seraya mengambil buku berukuran besar dan tebal dari atas meja yang berada disudut ruangan.
“Kira-kira, 15-16 tahun yang lalu pak…” Gua menjawab.
Mendengar jawaban gua, bapak itu kembali meletakkan buku yang baru saja di ambilnya. Kemudian beralih ke lemari besi yang berada di sebelahnya. Disalah satu laci lemari ia terlihat mencari-cari sesuatu, kemudian mengeluarkan sebuah buku yang sama besarnya dengan buku yang pertama yang ia ambil dari atas meja.
Ia menjilat jarinya kemudian mulai membolak balik halaman buku besar yang sudah terlihat usang.
“Siapa tadi namanya?” Tanyanya. Yang lalu gua jawab dengan menyebutkan nama lengkap nyokap gua.
Cukup lama ia membolak-balik lembaran buku tersebut. Beberapa kali terlihat ia merubah posisinya; berdiri, bersandar pada tembok dan akhirnya duduk diatas kursi. Perlahan, wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda keputusasaan dan hampir menyerah.
Ia menghela nafas kemudian menutup buku besar di depannya.
“Kayaknya nggak ada deh…” Ucapnya pelan.
Gua nggak mau langsung mengikuti keputusannya. Kemudian menggeser buku besar tersebut mendekat ke arah gua; “Saya boleh liat pak?”
“Boleh-boleh…”
Dengan cepat gua meraih buku besar tersebut dan mulai mencari nama nyokap gua dari dalam daftar, sementara telunjuk gua meniti nama-nama yang terdapat disana satu persatu. Hampir 20 menit gua habiskan untuk mencari nama nyokap gua dalam daftar tersebut dan hasilnya pun nihil.
—
Gua berdiri tepat di luar gedung administrasi pemakaman tersebut, menatap jauh ke arah area pemakaman, dimana gundukan tanah dan nisan-nisan terlihat berjajar rapi membentuk sebuah barisan. Menurut info dari bapak tadi; Pemakaman Karet Bivak memiliki luas kira-kira 16,2 hektar dan merupakan Pemakaman kedua paling luas yang berada di Jakarta. Saat ini, menurut data yang dimiliki pihak pemakaman, terdapat kurang lebih 40 ribuan makam disini. Jika, gua mencari secara manual, dengan berkeliling makam, mungkin butuh waktu yang cukup lama. ‘Ah bodo amat’ Batin gua dalam hati dan mulai berkeliling.
Gua menghabiskan waktu kira-kira satu jam untuk memeriksa 100 makam. Jadi, untuk memeriksa seluruh makam, bakal butuh waktu sekitar 400 jam. Jika, dalam satu hari gua meluangkan waktu selama 4 jam, berarti butuh waktu 100 hari hingga gua selesai memeriksa semua. Ok, mungkin ini ‘Keikhlasan’ yang dimaksud oleh Pak Wanuri sebelumnya.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore, gua masih punya waktu sekitar 3 jam sebelum langit gelap. Akhirnya, sore itu, gua memutuskan untuk memeriksa 300 makam lagi sebelum pulang dan berangkat bekerja.
Keesokan harinya, gua datang lebih awal ke Pemakaman. Tentu saja agar dapat memeriksa nama-nama pada nisan lebih banyak.
Gua berjalan perlahan sambil membaca nama-nama yang berada pada nisan. Sedikit demi sedikit, gua menemukan metode pencarian yang cukup efektif, yaitu dengan mengabaikan nisan yang memiliki nama laki-laki dan tahun kematian yang nggak cocok dengan tahun kematian nyokap gua.
Proses pencarian gua pun semakin cepat. Walau, di hari kedua ini, masih belum membuahkan hasil nyata.
Hari berikutnya, gua mempersiapkan diri lebih baik. Kini berbekal, botol air mineral dan roti bungkus yang tadi gua beli di jalan. Gua kembali berjalan pelan sambil menyusuri deretan makam, sambil dengan cepat membaca nama-nama pada nisan.
Sebuah makam bernisan batu alam berwarna hitam dengan tulisan emas, mirip dengan nisan Larissa cukup menarik perhatian gua. Gundukannya terlihat terawat, hampir tak ada rumput liar yang menyelimuti makam. Gua mendekat ke arah nisan dan mulai membaca nama yang tertera di sana; ‘Celina Adamczyk’
Sontak, gua menjatuhkan botol air mineral dari dalam genggaman. Kedua lutut mulai bergetar dan akhirnya gua jatuh berlutut. Kedua mata gua mulai berlinang, tanpa dapat dibendung air mata mulai menetes membasahi kedua pipi. Gua mencoba mendongak ke atas, mencoba sekuat mungkin agar tak menangis.
“Mah… Ini Icad mah…” Ucap gua lirih sambil mendekat dan memeluk nisannya.
Sisa hari itu gua habiskan untuk bercerita seluruh kehidupan gua sepeninggalnya. Mulai dari masa SD, SMP yang kelam, masa SMA bersama Larissa yang tak terlupakan hingga hidup gua yang berat saat berkuliah.
Gua berdiri tepat di depan makam nyokap, bersiap untuk kembali berpisah lagi setelah bertemu sebentar; ‘Damaikah surgamu mah?’ tanya gua dalam hati, sebelum akhirnya pergi.
Sebelum benar-benar pulang, gua menyempatkan diri mampir ke gedung administrasi pemakaman. Pria setengah baya yang tempo hari membantu gua kembali menyambut; “Gimana, udah ketemu belum?” Tanyanya.
Gua menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadanya.
“Makam Ibu saya, sampe sekarang masih ada berarti ada yang bayar administrasi-nya?” Tanya gua lagi.
“Iya, emang makam ibumu di unit berapa?” Tanyanya lagi.
Gua lalu menunjuk ke arah posisi makam nyokap gua. Pria tadi lalu berjalan menuju ke arah yang gua tunjukkan, sementara gua yang penasaran lalu mengikutinya dari belakang, kembali ke makam nyokap.
Begitu kami berdua tiba di posisi makam nyokap, pria tersebut mengernyitkan dahi, menandakan kebingungan. Ia lalu bergegas kembali ke gedung administrasi, lagi-lagi seperti terhipnotis, gua mengikutinya. Sesampainya disana, ia dengan cepat menuju ke lemari besi tempat penyimpanan dokumen dan menarik laci paling bawah kemudian mengeluarkan tumpukan amplop coklat dari dalamnya.
Pria tersebut menuang seluruh berkas yang berada di dalam amplop coklat ke atas meja. Dengan cepat ia mencari-cari lembaran kertas yang berserakan. Kemudian, ia meraih selembar kertas kecil dan menyerahkannya ke arah gua; sebuah kwitansi tanda pembayaran.
Pada lembar kwitansi tersebut tertera nominal pembayaran yang terbilang cukup besar, pada bagian keterangan tertera; “Untuk pembayaran administrasi makam atas nama Celina Adamczyk 1993-2013 (20th)- Blok D1-Unit 312”
Pada bagian atas tertera nama Bokap gua sebagai pembayar dan penanggung jawab.
—
Gua duduk bersandar pada dinding gedung administrasi Pemakaman, seraya menatap kembaran kwitansi yang masih berada di tangan gua.
“Itu jangan dibawa pulang ya mas…” Ucap pria paruh baya yang sejak tadi berdiri di sebelah gua.
“Oiya pak, kalo mau mindahin makam ribet nggak?” tanya gua.
“Duh, kamu ada-ada aja… emang mau dipindahin kemana?” Tanyanya.
“Kesebelah makam bapak saya…” Jawab gua.
“Mas…” Pria tersebut menepuk pundak lalu duduk disebelah gua.
“...”
“...Makam tuh buat yang hidup hanya simbol, biar yang hidup bisa selalu ingat sama kematian. Sementara buat yang mati, makam nggak ada artinya, jasad mereka udah nggak ada, udah abis, dimakan cacing… yang sisa cuma tulang”
“...”
“... Mindahin makam nggak ada gunanya buat yang mati, buat yang hidup cuma buang-buang duit…” Tambahnya.
“...” Gua terdiam mendengar penjelasannya.
“... Lagian dalam agama mindahin makam itu nggak boleh, kecuali; kondisinya darurat, misalnya makamnya ada di pinggir sungai yang nyaris longsor, atau berada di tanah sengketa. Kalo makamnya disini mah amaaaaan…” Kali ini ia menjelaskan dari sisi agama.
Gua mengangguk mendengar penjelasan darinya. Dan, akhirnya membatalkan niat pemindahan makam nyokap.
—
Mariah Carey - Hero
There's a hero
If you look inside your heart
You don't have to be afraid
Of what you are
There's an answer
If you reach into your soul
And the sorrow that you know
Will melt away
And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fears aside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you'll finally see the truth
That a hero lies in you
It's a long road
When you face the world alone
No one reaches out a hand
For you to hold
You can find love
If you search within yourself
And the emptiness you felt
Will disappear
And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fears aside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you'll finally see the truth
That a hero lies in you
Lord knows
Dreams are hard to follow
But don't let anyone
Tear them away
Hold on
There will be tomorrow
In time
You'll find the way
And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fears aside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you'll finally see the truth
That a hero lies in you
That a hero lies in you
That a hero lies in you