Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua berdiri tepat di depan gerbang rumah Sekar, memandang ke arah jendela kamarnya. Dimana Sekar terlihat menatap gua dengan matanya yang berlinang. Gua meraih ponsel dari saku celana, dan mulai menghubunginya.
“Jangan nangis, kar…” Ucap gua pelan. Seandainya saat ini gua berada disampingnya, pasti gua telah menyeka air mata di pipinya.
“Nggak bisa, bi…” Jawabnya sambil terisak.
“Sorry ya Kar…”
“Sorry for what?”
“For letting you down…”
“Nggak bi, bukan salah elo… bukan salah kita kok…” Ucap Sekar, terdengar ia sebisa mungkin menahan tangisnya.
Kami berdua lalu terdiam cukup lama, hanya saling pandang dari kejauhan. Gua di depan pagar rumahnya, sementara Sekar berada di kamarnya. Jendela kaca memisahkan kami berdua. Kondisi ini mengingatkan gua akan kejadian beberapa tahun yang lalu, saat gua dan Sekar untuk pertama kali berpacaran. Saat itu, kami berdua berdiri di posisi serupa dan sama-sama bicara melalui sambungan ponsel sementara kami saling pandang dari kejauhan.
“Take care ya, Kar…” Ucap gua sambil melambai ke arahnya.
“Bian, tunggu…” Panggilnya, kemudian terdengar suara ponselnya terjatuh ke lantai. Disusul suara langkah kaki menjauh.
Sekar keluar dari dalam rumahnya, berlari mendekat dan memeluk gua. Isak tangisnya pecah, kepalanya ditenggelamkan dalam pelukan. Gua membalas pelukannya yang semakin erat, kemudian mengecup lembut keningnya dan berdiam cukup lama, membiarkan Sekar menangis sejadinya.
Perlahan gua melepas pelukan, meletakkan telapak tangan gua di kedua pipinya; “Jangan sedih ya kar, kita kan masih bisa ketemuan lagi…” ucap gua pelan yang di respon dengan anggukan kepala darinya.
“.. as a friend..” Gua menambahkan.
Sekar kembali mengangguk, dan mengulang kata-kata gua; “Ya, as a friend”.
Masih menatap dengan mata yang berlinang, Sekar menurunkan tangan gua dari kedua pipinya. Dan seakan mencoba terlihat tegar, ia tersenyum ke arah gua; “Bye Bian…”
—
Mungkin, malam itu merupakan malam pertemuan terakhir gua dengan Sekar. Semua kata dan kalimat hiburan yang kami berdua lontarkan saat itu, nggak berarti apa-apa. Bukan, bukan karena semua terlihat mudah dilupakan. Melainkan, gua dan Sekar nggak mau menaruh harapan setinggi langit, agar jika gagal dan jatuh, nggak terlalu sakit.
Lagi pula, mungkin ini jalan terbaik buat kita semua; gua, Sekar dan Bokap-Nyokapnya. Malam itu, sesaat setelah Sekar berlari, kabur ke kamarnya. Bokap Sekar tiba-tiba menjatuhkan diri di hadapan gua, sambil berlutut ia memohon agar gua melupakan anaknya. Saat itu, gua nggak banyak bertanya dan dengan cepat menyetujui permintaannya. Bokapnya Sekar yang dikenal dengan egonya yang tinggi, mau merendahkan dirinya di depan gua yang sebelumnya dianggap hanya sosok ‘berandal’. Hal itu jelas membuktikan motivasi besar dibalik permohonannya. Motivasi dari seorang ayah yang nggak mau hidup anak gadisnya berantakan gara-gara gua.
Gua duduk di sudut kamar kos sambil menatap ke arah ponsel yang tergeletak di lantai. Layarnya menampilkan beberapa pesan masuk. Dengan ujung kaki, gua meraih ponsel dan mulai membaca pesan yang masuk.
Salah satunya dikirim oleh Mas Bobi yang meminta gua segera datang ke tempat kerja.
Sisanya, beberapa pesan dari Sekar. Gua membaca pesan paling baru yang berbunyi; ‘Bian, jangan lupain gw yah’
Kemudian mengosongkan kotak masuk pesan di ponsel. Gua melempar ponsel ke arah kasur, menghela nafas panjang dan segera bersiap mandi untuk berangkat bekerja.
—
Butuh waktu berbulan-bulan bagi Edi untuk mengetahui kandasnya hubungan gua dengan Sekar, entah karena kurang peka atau level kepeduliannya rendah.
“Gara-gara apa? Selingkuh? Siapa? elo ya?...” Tanya Edi sambil berasumsi.
Gua nggak menjawabnya, enggan untuk menjelaskan, kemudian pergi meninggalkannya duduk sendirian di salah satu anak tangga di koridor kampus.
“Mau kemana?” Panggilnya setengah berteriak.
“Bimbingan…” Jawab gua tanpa menoleh ke arahnya.
Saat ini, masuk ke bulan kelima sejak gua putus dengan Sekar, Ia sudah tak lagi mengirimi gua pesan singkat. Intensitasnya mengirim pesan semakin berkurang seiring berjalannya waktu, dua hari sekali, seminggu sekali, sebulan sekali, hingga sekarang; ia berhenti sama sekali mengirim pesan ke gua. Memang benar kata pepatah; ‘Waktu adalah obat paling mujarab bagi hati yang terluka’.
Hari-hari berjalan seperti sebelumnya. Kadang berjalan begitu cepat saat tugas dari kampus yang menumpuk, jadwal bimbingan skripsi yang nggak tentu, ditambah harus tetap bekerja malam. Sebaliknya, disaat hari libur waktu terasa berjalan sangat lambat, saking lambatnya sampai terasa seperti berjalan mundur.
Gua mulai disibukkan dengan urusan Skripsi di kampus, sementara pekerjaan bersama Mas Karlan juga tetap nggak bisa ditinggalkan. Pola hidup yang nggak karuan, makan sembarangan, dan istirahat yang nggak teratur, jelas akhirnya membuat tubuh gua yang selama ini ‘fine-fine’ aja untuk diajak bergulat dengan kerasnya kehidupan, akhirnya menyerah.
Pagi itu, badan gua menggigil, kelopak mata terasa panas, sementara seluruh tubuh terasa lemas. Perasaan tak berdaya mulai menghantui gua. Setelah, mengirim pesan ke dosen pembimbing dan Mas Karlan untuk izin absen, gua jatuh tertidur.
Sebuah ketukan di pintu membangunkan gua. Kondisi kamar kos yang gelap membuat gua agak kesulitan untuk berdiri dan meraih gagang pintu. Mas Karlan berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang besar dan tegap sedikit menghalau cahaya lampu dari teras kamar, membuat gua menyadari kalau hari sudah malam.
“Masuk mas…” Ucap gua pelan, kemudian segera kembali berbaring diatas kasur.
Mas Karlan masuk, ia meletakkan bungkusan plastik di sebelah kasur dan mulai menyentuh dahi gua dengan punggung tangannya.
“Wis, ngombe obat cuk?” Tanyanya.
Gua mengangguk sambil menatap kemasan obat warung yang tergeletak di sebelah gua.
“Ke Dokter yo, cuk…” Ajak Mas Karlan.
“Nggak usah mas, besok juga sembuh…” Jawab gua, enggan merepotkan Mas Karlan.
“Yo wis, nek sesok ra mari, nyang dokter yo… Saiki wis rasah mangkat…” Ucapnya, memberikan gua ijin agar tak perlua berangkat bekerja hari ini.
“Iya mas, makasih ya…”
Mas Karlan kemudian berdiri, sebelum pergi ia menunjuk ke arah bungkusan plastik yang tadi ia bawa. “Kui Dipangan cuk…” Ucapnya.
Gua menatap bungkusan plastik yang dimaksud Mas Karlan, kemudian meraihnya; Bubur ayam. Perlahan gua membuka kemasan styrofoam dan mulai memakan bubur ayam yang dibawakan Mas Karlan. Tanpa sadar, air mata gua mulai menggenang. Bukan, kali ini gua bukan merasa terharu akan kebaikan Mas Karlan yang memang nggak perlu diragukan lagi. Kali ini gua merasakan kesedihan yang nyata; kesendirian. Mungkin, ditempat lain, di waktu yang berbeda, pemuda seumuran gua masih merasakan hangatnya masakan ibu-nya, atau kekhawatiran bokapnya, dan gua nggak merasakan keduanya.
Saat tengah meratapi nasib sambil menikmati bubur ayam pemberian Mas Karlan, gua mendengar suara langkah kaki berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan pintu kamar kos gua. Gua menghentikan seluruh kegiatan, pasang telinga, mencoba mendengarkan lebih seksama. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki kembali terdengar, kali ini suaranya terdengar mulai menjauh dan perlahan menghilang. Buru-buru, gua berdiri dan membuka pintu kamar; Tak ada siapapun. Namun, sesuatu menyentuh kaki gua; sebuah bungkusan plastik tergeletak persis di depan pintu.
Penuh keraguan, gua membuka bungkusan plastik tersebut dengan hati-hati. Didalamnya terdapat beberapa tumpuk kotak makan berbahan plastik. Satu persatu gua mulai membuka kotak plastik tersebut, semuanya berisi makanan; Rendang, Ayam, Telor Balado, Nasi putih dan bahkan potongan Apel. Tak ada satupun catatan yang ditinggalkan di dalam bungkusan tersebut.
Gua memutuskan kembali memasukkan kotak makan tersebut ke dalam bungkusan dan menyimpannya di dalam kamar. Takutnya kiriman yang salah alamat.
—
“Cad… cad…” Suara Edi kembali membangungkan gua.
“Apaan?” Jawab gua sambil membuka pintu.
“Udah sembuh lo?” Tanyanya, seraya menyeruak masuk kedalam kamar.
“Kayaknya udah mendingan…” Jawab gua sambil menyentuh dahi sendiri dengan telapak tangan; Demam gua sudah mereda.
“Apaan nih?” Tanya Edi sambil membuka bungkusan misterius yang tadi sempat gua buka.
“Makanan, tapi nggak tau siapa yang ngasih… tau-tau ada didepan pintu…” Gua menjelaskan.
“Pintu gua apa pintu elo?” Tanya Edi, kali ini wajahnya penuh kecurigaan.
“Pintu gua lah, kalo di pintu lo ngapain gua ambil…”
“Trus kalo di taro di pintu elo kenapa nggak dimakan?” Ia kembali bertanya, masih dengan nada penuh curiga.
“Takut orangnya salah kirim…” Gua mengemukakan alasan.
“Iya juga, elo kan nggak punya siapa-siapa… eh bisa aja Sekar cad…” Ujar Edi.
Gua nggak menjawab, hanya mengangkat kedua bahu.
“Yaudah sikat…” Edi bicara sambil bersiap untuk menyantap makanan yang berada dalam bungkusan.
“Kepala lo tuh Sikat…” Ujar gua sambil mencegahnya bertindak lebih jauh, kemudian segera mengembalikan kotak plastik berisi makanan tadi kedalam plastik dan mengikatnya kembali seperti semula.
“Lah kalo nggak dimakan sayang, ntar basi. Kita kan nggak punya kulkas…” Saran Edi, yang setelah gua sadari ada benarnya juga. Tapi, gua masih belum yakin.
“Lo titipin dulu ke temen lo yang punya kulkas dibawah, Kalo sampe besok nggak ada yang nyariin baru kita makan bareng-bareng…” Usul gua, seraya menyerahkan bungkusan tersebut ke arah Edi.
Walaupun terlihat sedikit kecewa, Edi akhirnya pasrah menerima bungkusan makanan tersebut dan membawanya menuju kamar salah satu kenalannya di lantai bawah, yang kebetulan memiliki kulkas.
—
“Sebenernya gua masih penasaran sama orang yang ngasih makanan-makanan itu ke elo…” Edi buka suara begitu kembali dari lantai bawah.
“...” Sementara gua hanya diam nggak menjawab, menutupi seluruh tubuh dengan sarung.
“... Kemungkinan terbesar; Sekar… Tapi, kata elo Sekar udah nggak pernah SMS… Atau mungkin temen kerja lo, siapa namanya… Mas Karlan?...”
“Hmmm… cukup menarik…” Edi terlihat berfikir layaknya Sherlock Holmes baru dapet kasus baru.
“...”
“... Mungkin orang dari masa lalu elo? orang yang pernah suka sama elo?...” Edi mencoba mengeluarkan hipotesanya.
“Udah lah, dot… Besok elo pasti gua bagi makanannya… nggak usah belagak sok detektif, berisik… Gua mau tidur…” Keluh gua.
“Hah.. yaudah gua lanjutin penyelidikan sendiri di kamar…” Ucapnya pelan, sambil berdiri dan pergi menuju ke kamarnya yang berada di sebelah.
—
Seminggu setelah kasus makanan ‘misterius’. Di sela-sela waktu senggangnya, Edi masih terlihat memikirkan sosok yang jadi pengirimnya. Beberapa kali ia kembali ‘menginterogasi’ gua dengan pertanyaan-pertanyaan ala detektif.
“Udahlah, dot…” Ucap gua, mulai lelah dengan permainan detektifnya.
“Nggak bisa cad, ini harus dicari siapa orangnya, kemungkinan besar sih Sekar…”
“Yaudah, anggep aja dia…”
“Nggak bukan… Soalnya Sekar udah gua telpon, katanya bukan dia…”
“Hah, lo nelpon dia?”
“Iya… Tenang gua nggak ngomongin elo…”
“Tapi…”
“Apa?”
“Dia sehat kan, dot?” Tanya gua penasaran.
“Kalo dari suaranya sih kayaknya sehat. Kenapa, lo kangen ya?” Tanyanya, yang lantas gua jawab dengan gelengan kepala.
“... Kalo kangen telpon lah, mau gua telponin…” Ucapnya, sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan bersiap melakukan panggilan.
Dengan cepat gua merampas ponsel dari tangannya; “Jangan!”
Namun apa daya, Edi sudah keburu menekan tombol panggil dan suara Sekar mulai terdengar samar di ponsel milik Edi. “Halo, kenapa dot?”
Pelan agar tak menimbulkan suara, gua menyerahkan ponsel ke Edi. Tapi, Edi menghindar dan mulai berlari menjauh sambil tertawa terbahak-bahak. Mau nggak mau, gua pun menjawab panggilan tersebut.
“Halo, kar…” Sapa gua ragu.
“Bian?” Tanyanya.
“Iya…”
“Apa kabar? Sehat?” Tanyanya, suaranya terdengar sedikit canggung. Mungkin nggak bakal mengira gua tiba-tiba menghubunginya.
“Sehat… lo gimana?” Jawab gua kemudian balik bertanya. Suara gua mungkin juga terdengar sangat canggung ditelinganya.
“Mmm… so far so good… minggu depan gua sidang…” Gua menjawab, mencoba bicara dengan tenang. Sementara, kaki gua seakan nggak bisa dikendalikan, mondar-mandir di area koridor kampus.
“Wah good luck deh kalo gitu, gw masih bimbingan. Kayaknya bulan depan depan baru sidang.. itu juga kalo nggak di undur…”
“...”
“... by the way, ada apa lo tiba-tiba nelpon gw. Kangen?” Sekar akhirnya bertanya maksud dari panggilan ini yang sebelumnya sempat terlupakan.
“Nggak, Eh, bukan, maksudnya, eh, tadi Si Edot yang nelpon… tau-tau dikasih ke gua…” Gua menjawab, berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal, namun sepertinya gagal.
“Hahahaha… lo jawab kangen juga gapapa, bi.. santai aja… gw soalnya juga kangen sama elo…”
“Eh..”
“Kangen as a friend yaaaa…” Sekar menambahkan, mungkin takut gua salah tangkap.
“Hahahaha….” Gua tertawa, mencoba menutupi kecanggungan.
Lalu, kembali hening.
“Eh udah dulu ya, bi…” Sekar pamit, di latar suara terdengar samar suara cowok yang tengah bicara memanggil namanya.
“Ok, bye then…” Gua menjawab dan mengakhiri panggilan.
Somehow, suara cowok yang terdengar bicara dengannya barusan mengganggu gua. Walaupun, saat ini gua sudah kehilangan hak untuk protes kepadanya. Namun, rasa-rasanya masih ada secuil percikan cemburu yang mengendap. Jika, gua nggak berhati-hati, bukan tak mungkin percikan tadi berubah menjadi kobaran yang membara dan bisa membawa gua kembali kepadanya.
Dari kejauhan terlihat Edi tengah berjalan bergandengan tangan dengan pacarnya; Tania, mereka mendekat ke arah gua.
“Dot…” Gua memanggil, kemudian melempar ponsel miliknya yang entah berhasil atau tidak ditangkapnya.
—
Gua berjongkok sambil menundukkan kepala, sesekali mencoba menghafal kata-kata penjelasan tentang skripsi gua. Pintu ruang sidang terbuka, mahasiswa yang sidang tepat sebelum gua baru saja keluar; wajahnya pucat dan penuh tekanan. Gua berdiri bersiap-siap, sambil mengusap kedua telapak tangan dan membetulkan dasi juga almamater abu-abu yang gua kenakan.
Pintu ruang sidang kembali terbuka, disusul sosok wanita yang muncul memanggil nama gua; “Abian Richard”
Gua mendekat dan masuk kedalam ruangan.
Suasana hening dan mencekam menyambut gua. Ruangan ini sebelumnya merupakan ruangan serba guna, yang di alih fungsikan sebagai ruangan sidang skripsi. Tempatnya cukup besar dengan atap langit-langit yang tinggi, sebuah podium kayu tak terpakai teronggok di sudut depan, sementara di Bagian tengah depan ruangan terdapat meja kayu kecil, dimana terdapat sebuah laptop dan proyektor yang menyorot ke layar putih diseberangnya.
Empat orang Dosen duduk di seberang posisi gua berdiri, salah satunya merupakan dosen pembimbing gua, dan sisanya merupakan dosen penguji. Sementara, beberapa dosen tamu terlihat duduk sambil mengamati di belakang para dosen penguji.
Gua memberi salam, memperkenalkan diri, dan mulai mempersiapkan presentasi yang sudah tersedia di laptop.
Tepat sesaat hendak memulai presentasi, mendadak, seisi ruangan berubah amat dingin dan hening. Tenggorokan gua terasa begitu kering, sementara bibir seperti tercekat, sulit untuk bicara. Gua memaksakan untuk mulai bicara, namun yang terdengar hanya potongan-potongan kata yang mungkin nggak terdengar seperti sebuah kalimat.
Dari silaunya sinar dari proyektor, di sudut terjauh ruangan yang memang dibiarkan gelap, mata gua menangkap sosok yang dulu begitu gua kenali. Gua memicingkan mata, mencoba melihat dengan lebih seksama sosok tersebut.
Larissa berdiri menatap gua, ia tersenyum, sambil mengepalkan tangannya, seolah-olah mencoba memberikan gua semangat.
Gua tau ini nggak nyata, tapi kehadirannya jelas membawa perubahan. Terngiang kata-katanya dulu; “Anggap aja nggak ada orang Bi, cuma ada gw di depan lo..” Gua lalu mulai memejamkan mata sejenak, menarik nafas panjang dan mulai memberikan presentasi.
—
Finch - What It Is To Burn
She burns
Today's on fire
The sky is bleeding above me, and I am blistered
I walk these lines of blasphemy, every day
And still:
Like a bad star, I'm falling faster down to her
She's the only one who knows, what it is to burn
I feel diseased
Is there no sympathy from the sun?
The sky's still fire
But I am safe in here, from the world outside
So tell me
What's the price to pay for glory?
Like a bad star, I'm falling faster down to her
She's the only one who knows, what it is to burn
Today is fire, and she burns
Today is fire, and she burns
She burns
She burns
She burns
She burns
She burns
She burns
Like a bad star, I'm falling faster down to her
She's the only one who knows, what it is to burn