- Beranda
- Stories from the Heart
ILLUSI
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
open.minded
#4473
After All...
Tidak terasa 3 tahun sudah berlalu semenjak gw mendarat di Russia. Banyak hal yang tak terduga gw alami disini, gw kira, kegiatan yang akan gw lakukan di sini akan membosankan, tapi tuhan sangat mengetahui mahluk ciptaannya yang satu ini. Dari gw ngangkat Anastasya menjadi ‘anak’ gw, sampai ada cewek bule aneh yang tiba tiba ‘memaksa’ gw menerima cintanya.
Salah satu penanda milestone 3 tahun gw di Russia ini adalah lulus nya gw dari kuliah. Lumayan gw bisa mempersingkat waktu kuliah 4 tahun menjadi 3 tahun, karena didukung oleh gw yang mengambil matkul dobel dari mahasiwa lain, gw yang sudah bekerja dibidang yang gw pelajari, dan dosen/professor yang merecognise semua effort gw untuk cepat lulus. Gw resmi mendapatkan titel BSc. Tentu saja sebagai manusia yang teladan gw lebih memilih mengambil ijazah lanngsung tanpa mengikuti prosesi ‘wisuda’, yang membuat gw dimarahi besar-besaran sama Valli.
“Kamu gimana Si!!! Aku kan pengen foto-foto pas kamu Wisudaa!!”
Marah Valli sambil menarik-narik kerah gw, membuat leher dan kepala gw maju mundur. Demi meredam amarah dan ambekannya, gw sampe beli seragam wisuda 18 biji, terus gw bawa ke kantor dan suruh anak buah gw pura-pura jadi mahasiswa untuk gw dan Valli berfoto ria. Alhasil gw hanya mendapatkan sebuah cubitan panas darinya. Not bad.
Malam itu gw sedang tiduran di kamar Valli sambil membaca bahan presentasi yang akan gw lakuin besok. Presentasi project terakhir gw di kerjaan ini. Suara pintu kamar terbuka terdengar dikuping gw dilanjutkan dengan rasa seseorang yang menyelinap ke bawah selimut yang gw pakai, tidak lama kemudian muka Valli muncul tepat dibawah selimut yang ada di dada gw, membuat tablet yang gw baca harus gw angkat ke atas.
“Kamu kok belum tidur?” tanya Valli.
“Belum. Lagi baca-baca aja buat presentasi besok.” Jawab gw simpel.
“Presentasi terakhir kan katamu? Abis itu kamu mau ngapain?” tanyanya.
“Aku? Mau seneng-seneng bareng kamu.”
“Ihh. Kok gak nyari kerja lagi?” protesnya.
“Aku udah burnt out kayanya. Lagian duitku udah cukup kalo mau leha leha ampe tua.” Ucap gw.
“Sombongg!!”
“Hahahaha. Kamu cepet lulus biar ku ajak ke Indonesia cepet” ujar gw.
“Iya sayaang. Ini lagi final kok aku.”
“Sip-sip. Ku tunggu.”
“Sayang… aku boleh yaa ikut Tera (Wanita berambut biru) ngurusin mereka besok.” Bujuknya.
“Ga boleh.” Jawab gw tegas.
“Kamu dari kemarin ga bolehin aku teruss!!” ucap Valli kini sudah beranjak dari posisinya yang menempel di badan gw menjadi berdiri di atas lututnya di kasur ini.
“Bahaya Valli. Bahaya banget.”
“Sekali ini doang Adii. Ini yang terakhir, aku janji. Pleaseee…” mohonnya sambil menempelkan kedua telapak tangannya seperti orang berdoa.
“Gak boleh!” jawab gw tegas kembali.
“KAMU APA SIH!! CUMA GINI DOANG GA BOLEH!!” marah Valli dengan suara sangat tinggi.
“Valli. Aku udah beri alasannya kan? Apa permintaanku terlalu berat?”
“TAPII.. TAPIII..”
“Kamu mau aku setuju sama rencanamu? Jawabanku tetep tidak Valli.”
“tapii.. besok itu penting adii.” Ucapnya lirih.
“Valli. Jawabanku tetep akan sama. Aku gak minta, aku mohon kamu gak ngikutinn temenmu itu. Jalan pikir dia pendek.” Jelas gw.
“…..”
Gw melihat mata Valli yang memerah, terlihat airmatanya mulai menggenang di matanya yang terang. Gw seka air matanya pelan-pelan, lalu gw peluk badannya erat-erat. Gw bisa merasakan hangat badannya di badan ini. Sudah beberapa hari ini Valli memohon permintaan yang sama. Tapi sayangnya permintaan ini gak bisa gw penuhi. Gw kecup bibirnya dengan hangat, lalu gw usap rambutnya sampai kami berdua pun tertidur dengan pulas.
Keesokan harinya gw sudah berada di kantor, kali ini bukan di ruangan gw, tapi di ruangan para bos ‘besar’ di perusahaan ini, ada 3 orang yang duduk di meja dan kursi mewah itu. Gw mengenal mereka semua, tentu saja ada pak Denniz yang menjadi bos besar di sini, dan dua orang berjas hitam, mereka berdua tidak punya hubungan langsung dengan perusahaan ini, tapi mereka punya jabatan lain yang lebih besar dari Denniz, Politisi.
“Kamu yakin kamu akan berhenti setelah presentasi nanti?” tanya Denniz.
“Keputusan saya sudah bulat. Tidak akan berubah.” Jawab gw.
“Apa alasanmu ingin berhenti Adi? Kamu baru 3 tahun disini. Apakah ini masalah bayaran?” tanyanya.
“Bayaran? Hmmm tidak terlalu, lebih ke bosan. Saya sudah kurang lebih 10 tahun berhubungan dengan bidang ini, saatnya saya pensiun dan cari hal yang lebih menarik.” Ucap gw.
“Saya akan janjikan kamu naik jabatan.”
“Denniz. Saya sudah tidak tertarik.”
“Apa yang akan membuatmu tertarik? Pasti ada jumlah yang akan memuaskanmu.”
“…..”
“Adi? Jawabanmu?”
“Jawaban saya tetap tidak. Bahkan kalau bapak menawarkan saya Kremlin, mungkin saya akan berpikir dulu, baru menjawab tidak.”
“Haaaah.”
Denniz lalu berdiskusi dengan 2 orang disamping kiri dan kanannya dengan suara sangat pelan, tapi gw masih bisa mendengarnya. Ada yang ingin memaksa gw tetap disini, ada yang mencoba menaikkan offer, dan entah kenapa mereka mencapai kesimpulan yang absurd.
“Sayang sekali Adi, kami tidak bisa menerima request pemberhentianmu.” Ucap Denniz.
“Well kalo gitu saya akan membuat diri saya dipecat.”
“Saya belum selesai, kamu akan dipindah jabatannya menjadi penasihat saja.”
“Ha?”
“Kamu akan tetap mendapat gaji, kamu tidak perlu bekerja dikantor ini, kamu bisa bekerja ditempat lain.” Ucap Denniz.
“Offer yang menggiurkan.. apa syaratnya?”
“Syaratnya, kamu harus meluangkan waktumu ketika kami membutuhkan pendapat.”
“……” gw diam berpikir apakah ada alasan gw menolak penawaran menggiurkan ini.
“Adi?”
“Kalau saya lagi tidak punya waktu?” tanya gw.
“Kamu tetap bisa menjawabnya diwaktu yang lain. Kami hanya minta kamu memikirkan pertanyaan kita.”
“Tidak ada kontrak?”
“Tidak.”
“Bagus. Karena kalian yang membutuhkan, bukan saya.” Ujar gw.
“Jadi?”
“Oke saya terima, siapa yang tidak akan menerima gaji buta? Hahahaha”
“Oh ya. Satu lagi.” Ucap Denniz sambil memberi sebuah amplop berwarna hitam dan biru.
“Hm? Apa ini?”
“Offer untuk anak buahmu. Dan tolong bujuk mereka untuk stay.”
Gw langsung berjalan menuju keruangan gw. Ketika pintu ruangan ini terbuka, disana terlihat semua anak buah gw sedang duduk di kursi masing-masing di meja oval ini. Gw melangkah ke kursi gw yang disambut dengan berdirinya semua anak buah gw dari posisi duduknya. Gw melihat ke muka anak buah gw satu per satu. Ada rasa bangga yang mekar di dada gw. Gw robek pinggir amplop yang diberikan tadi dan gw bacakan dengan keras. Intinya adalah, mereka akan diberikan jabatan di upper management dengan gaji yang tenntunya akan dinnaikkan berkali-kali lipat, anehnya tidak ada ekspresi terkejut di wajah mereka.
Gw hanya tersenyum melihat muka datar mereka. Lalu gw mengeluarkan sebuah kotak dari saku coat yang gw pakai hari ini. Kotak ini berisi 20 kartu debit sebuah bank kecil yang ada di Russia, gw lempar setiap kartu ke masing-masing anak buah gw. Mereka dengan cekatan menangkap lemparan kartu yang gw lempar, lalu menatap gw dengan heran.
“Gw masih inget momen dimana nama kalian direkomendasiin ke gw. Bos-bos di atas sangat ragu dengan project yang gw usulkan dan tentunya meremehkan kemampuan gw untuk menyelesaikan project ini. Mereka berpikir gw ada disini karena gw anak kesukaan Denniz.”
“Lalu datanglah nama kalian, orang yang tidak dibutuhkan perusahaan, orang bermasalah, orang tidak kompeten, kalian, kalian semua hanyalah sampah dia mata perusahaan ini.”
“Dan sekarang lihatlah kalian, berdiri disini, di meja oval ini, dengan jas mahal, kemeja sutra, sepatu branded, mobil mahal. Kalian sekarang sudah menjadi miliuner.”
“Kalian bukan sampah lagi, kalian adalah aset yang dicari-cari oleh banyak perusahaan.”
“Dan yang paling penting, kalian mau mendengar dan dipimpin oleh gw. Kalian tidak pernah membuat masalah untuk gw. Kalian membuat hidup gw simpel. Gw sangat mengapresiasi itu.”
“Dalam kartu itu adalah return investasi kalian yang kalian beri ke gw dari 10% gaji yang kalian setor ke gw.”
“Kaget? Lo semua pikir gw adalah lowlife yang kerjanya ngambil setoran dari anak buah gw sendiri ha?”
“Ini adalah hadiah terakhir buat kalian dari gw.”
Aneh. Mereka tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah sebaliknya, mereka semua menatap tajam ke arah gw. Seperti ada sebuah pertanyaan di kepala mereka. Dan sebuah ketakutan.
“Hadiah terakhir? Boss. Lo resign abis ini?” tanya Kim diujung sana.
“Yep.”
“Dan maksudnya apa boss lo ngasih kita duit sebanyak ini?”
“Kan gw bilang Kim. Return dari investasi yang kalian kasih gw selama 3 tahun ini.”
“Sebanyak ini?”
“Apa yang bisa gw lakukan? Memutar duit di jaman sekarang sangatlah mudah. Tanpa sadar duit kalian sudah jadi sebanyak itu.”
“Hmmm. Terus apa yang bos minta dari kita.”
“Ha? Gw ga minta apa-apa. Kim apa lo budeg? Ini adalah gift, bukan gift exchange.”
“Kita harus memberikan sesuatu juga sebagai timbal balik apa yang boss berikan. Kalau kita tidak melakukan ini, kita tau, hubungan pertemanan kita akan boss putuskan secara sepihak. Karena seperti yang bos katakan. Ini adalah farewell gift dari boss kan?”
“Kalian sudah bisa berdiri sendiri, kaya, punya power. Apa arti pertemanan kita di atas semua itu? Hm?” tanya gw.
“Semuanya boss.” Ucap mr.Bushido yang daritadi diam
“Hahh. Nyusahin aja kalian.”
“Jadi apa yanng boss mau dari kami?” tanya Kim kembali.
Gw melihat anak buah gw satu per satu. Mengecek apakah ada raut ketidakjujuran dari apa yang mereka katakan. Gw hanya tersenyum saat otak gw telah mengambil kesimpulan ari observasi gw.
“Kalo tidak keberatan. Buat kamar khusus buat gw, jika kalian membuat rumah pribadi di negara kalian masing-masing. Gw gak suka hotel.” Ucap gw memberitahu permintaan gw ke mereka.
“Siap Bos.” Jawab mereka serentak merundukkan kepala.
Setelah itu kami langsung bersiap siap untuk memasuki ruangan tempat kami akan mempresentasikan hasil project kami. Kali ini, sebagai perpisahan, gw lah yang menjadi pembicara dalam presentasi ini. Didalam ruaangan ini berdiri banyak orang dari tim gw, sampai dari mantan tim gw saat bersama Yvette dulu. Ada Yvette dan Recht yang berdiri di belakang para direktur dan chief. Semua berjalan lancar. Sampai HP gw tiba-tiba berdering. Sudah jadi kebiasaan gw untuk selalu melihat siapa yang menelfon gw dulu sebelum memutuskan untuk mematikannya.
Dilayar itu terpampang nama Valli
Salah satu penanda milestone 3 tahun gw di Russia ini adalah lulus nya gw dari kuliah. Lumayan gw bisa mempersingkat waktu kuliah 4 tahun menjadi 3 tahun, karena didukung oleh gw yang mengambil matkul dobel dari mahasiwa lain, gw yang sudah bekerja dibidang yang gw pelajari, dan dosen/professor yang merecognise semua effort gw untuk cepat lulus. Gw resmi mendapatkan titel BSc. Tentu saja sebagai manusia yang teladan gw lebih memilih mengambil ijazah lanngsung tanpa mengikuti prosesi ‘wisuda’, yang membuat gw dimarahi besar-besaran sama Valli.
“Kamu gimana Si!!! Aku kan pengen foto-foto pas kamu Wisudaa!!”
Marah Valli sambil menarik-narik kerah gw, membuat leher dan kepala gw maju mundur. Demi meredam amarah dan ambekannya, gw sampe beli seragam wisuda 18 biji, terus gw bawa ke kantor dan suruh anak buah gw pura-pura jadi mahasiswa untuk gw dan Valli berfoto ria. Alhasil gw hanya mendapatkan sebuah cubitan panas darinya. Not bad.
Malam itu gw sedang tiduran di kamar Valli sambil membaca bahan presentasi yang akan gw lakuin besok. Presentasi project terakhir gw di kerjaan ini. Suara pintu kamar terbuka terdengar dikuping gw dilanjutkan dengan rasa seseorang yang menyelinap ke bawah selimut yang gw pakai, tidak lama kemudian muka Valli muncul tepat dibawah selimut yang ada di dada gw, membuat tablet yang gw baca harus gw angkat ke atas.
“Kamu kok belum tidur?” tanya Valli.
“Belum. Lagi baca-baca aja buat presentasi besok.” Jawab gw simpel.
“Presentasi terakhir kan katamu? Abis itu kamu mau ngapain?” tanyanya.
“Aku? Mau seneng-seneng bareng kamu.”
“Ihh. Kok gak nyari kerja lagi?” protesnya.
“Aku udah burnt out kayanya. Lagian duitku udah cukup kalo mau leha leha ampe tua.” Ucap gw.
“Sombongg!!”
“Hahahaha. Kamu cepet lulus biar ku ajak ke Indonesia cepet” ujar gw.
“Iya sayaang. Ini lagi final kok aku.”
“Sip-sip. Ku tunggu.”
“Sayang… aku boleh yaa ikut Tera (Wanita berambut biru) ngurusin mereka besok.” Bujuknya.
“Ga boleh.” Jawab gw tegas.
“Kamu dari kemarin ga bolehin aku teruss!!” ucap Valli kini sudah beranjak dari posisinya yang menempel di badan gw menjadi berdiri di atas lututnya di kasur ini.
“Bahaya Valli. Bahaya banget.”
“Sekali ini doang Adii. Ini yang terakhir, aku janji. Pleaseee…” mohonnya sambil menempelkan kedua telapak tangannya seperti orang berdoa.
“Gak boleh!” jawab gw tegas kembali.
“KAMU APA SIH!! CUMA GINI DOANG GA BOLEH!!” marah Valli dengan suara sangat tinggi.
“Valli. Aku udah beri alasannya kan? Apa permintaanku terlalu berat?”
“TAPII.. TAPIII..”
“Kamu mau aku setuju sama rencanamu? Jawabanku tetep tidak Valli.”
“tapii.. besok itu penting adii.” Ucapnya lirih.
“Valli. Jawabanku tetep akan sama. Aku gak minta, aku mohon kamu gak ngikutinn temenmu itu. Jalan pikir dia pendek.” Jelas gw.
“…..”
Gw melihat mata Valli yang memerah, terlihat airmatanya mulai menggenang di matanya yang terang. Gw seka air matanya pelan-pelan, lalu gw peluk badannya erat-erat. Gw bisa merasakan hangat badannya di badan ini. Sudah beberapa hari ini Valli memohon permintaan yang sama. Tapi sayangnya permintaan ini gak bisa gw penuhi. Gw kecup bibirnya dengan hangat, lalu gw usap rambutnya sampai kami berdua pun tertidur dengan pulas.
Keesokan harinya gw sudah berada di kantor, kali ini bukan di ruangan gw, tapi di ruangan para bos ‘besar’ di perusahaan ini, ada 3 orang yang duduk di meja dan kursi mewah itu. Gw mengenal mereka semua, tentu saja ada pak Denniz yang menjadi bos besar di sini, dan dua orang berjas hitam, mereka berdua tidak punya hubungan langsung dengan perusahaan ini, tapi mereka punya jabatan lain yang lebih besar dari Denniz, Politisi.
“Kamu yakin kamu akan berhenti setelah presentasi nanti?” tanya Denniz.
“Keputusan saya sudah bulat. Tidak akan berubah.” Jawab gw.
“Apa alasanmu ingin berhenti Adi? Kamu baru 3 tahun disini. Apakah ini masalah bayaran?” tanyanya.
“Bayaran? Hmmm tidak terlalu, lebih ke bosan. Saya sudah kurang lebih 10 tahun berhubungan dengan bidang ini, saatnya saya pensiun dan cari hal yang lebih menarik.” Ucap gw.
“Saya akan janjikan kamu naik jabatan.”
“Denniz. Saya sudah tidak tertarik.”
“Apa yang akan membuatmu tertarik? Pasti ada jumlah yang akan memuaskanmu.”
“…..”
“Adi? Jawabanmu?”
“Jawaban saya tetap tidak. Bahkan kalau bapak menawarkan saya Kremlin, mungkin saya akan berpikir dulu, baru menjawab tidak.”
“Haaaah.”
Denniz lalu berdiskusi dengan 2 orang disamping kiri dan kanannya dengan suara sangat pelan, tapi gw masih bisa mendengarnya. Ada yang ingin memaksa gw tetap disini, ada yang mencoba menaikkan offer, dan entah kenapa mereka mencapai kesimpulan yang absurd.
“Sayang sekali Adi, kami tidak bisa menerima request pemberhentianmu.” Ucap Denniz.
“Well kalo gitu saya akan membuat diri saya dipecat.”
“Saya belum selesai, kamu akan dipindah jabatannya menjadi penasihat saja.”
“Ha?”
“Kamu akan tetap mendapat gaji, kamu tidak perlu bekerja dikantor ini, kamu bisa bekerja ditempat lain.” Ucap Denniz.
“Offer yang menggiurkan.. apa syaratnya?”
“Syaratnya, kamu harus meluangkan waktumu ketika kami membutuhkan pendapat.”
“……” gw diam berpikir apakah ada alasan gw menolak penawaran menggiurkan ini.
“Adi?”
“Kalau saya lagi tidak punya waktu?” tanya gw.
“Kamu tetap bisa menjawabnya diwaktu yang lain. Kami hanya minta kamu memikirkan pertanyaan kita.”
“Tidak ada kontrak?”
“Tidak.”
“Bagus. Karena kalian yang membutuhkan, bukan saya.” Ujar gw.
“Jadi?”
“Oke saya terima, siapa yang tidak akan menerima gaji buta? Hahahaha”
“Oh ya. Satu lagi.” Ucap Denniz sambil memberi sebuah amplop berwarna hitam dan biru.
“Hm? Apa ini?”
“Offer untuk anak buahmu. Dan tolong bujuk mereka untuk stay.”
Gw langsung berjalan menuju keruangan gw. Ketika pintu ruangan ini terbuka, disana terlihat semua anak buah gw sedang duduk di kursi masing-masing di meja oval ini. Gw melangkah ke kursi gw yang disambut dengan berdirinya semua anak buah gw dari posisi duduknya. Gw melihat ke muka anak buah gw satu per satu. Ada rasa bangga yang mekar di dada gw. Gw robek pinggir amplop yang diberikan tadi dan gw bacakan dengan keras. Intinya adalah, mereka akan diberikan jabatan di upper management dengan gaji yang tenntunya akan dinnaikkan berkali-kali lipat, anehnya tidak ada ekspresi terkejut di wajah mereka.
Gw hanya tersenyum melihat muka datar mereka. Lalu gw mengeluarkan sebuah kotak dari saku coat yang gw pakai hari ini. Kotak ini berisi 20 kartu debit sebuah bank kecil yang ada di Russia, gw lempar setiap kartu ke masing-masing anak buah gw. Mereka dengan cekatan menangkap lemparan kartu yang gw lempar, lalu menatap gw dengan heran.
“Gw masih inget momen dimana nama kalian direkomendasiin ke gw. Bos-bos di atas sangat ragu dengan project yang gw usulkan dan tentunya meremehkan kemampuan gw untuk menyelesaikan project ini. Mereka berpikir gw ada disini karena gw anak kesukaan Denniz.”
“Lalu datanglah nama kalian, orang yang tidak dibutuhkan perusahaan, orang bermasalah, orang tidak kompeten, kalian, kalian semua hanyalah sampah dia mata perusahaan ini.”
“Dan sekarang lihatlah kalian, berdiri disini, di meja oval ini, dengan jas mahal, kemeja sutra, sepatu branded, mobil mahal. Kalian sekarang sudah menjadi miliuner.”
“Kalian bukan sampah lagi, kalian adalah aset yang dicari-cari oleh banyak perusahaan.”
“Dan yang paling penting, kalian mau mendengar dan dipimpin oleh gw. Kalian tidak pernah membuat masalah untuk gw. Kalian membuat hidup gw simpel. Gw sangat mengapresiasi itu.”
“Dalam kartu itu adalah return investasi kalian yang kalian beri ke gw dari 10% gaji yang kalian setor ke gw.”
“Kaget? Lo semua pikir gw adalah lowlife yang kerjanya ngambil setoran dari anak buah gw sendiri ha?”
“Ini adalah hadiah terakhir buat kalian dari gw.”
Aneh. Mereka tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah sebaliknya, mereka semua menatap tajam ke arah gw. Seperti ada sebuah pertanyaan di kepala mereka. Dan sebuah ketakutan.
“Hadiah terakhir? Boss. Lo resign abis ini?” tanya Kim diujung sana.
“Yep.”
“Dan maksudnya apa boss lo ngasih kita duit sebanyak ini?”
“Kan gw bilang Kim. Return dari investasi yang kalian kasih gw selama 3 tahun ini.”
“Sebanyak ini?”
“Apa yang bisa gw lakukan? Memutar duit di jaman sekarang sangatlah mudah. Tanpa sadar duit kalian sudah jadi sebanyak itu.”
“Hmmm. Terus apa yang bos minta dari kita.”
“Ha? Gw ga minta apa-apa. Kim apa lo budeg? Ini adalah gift, bukan gift exchange.”
“Kita harus memberikan sesuatu juga sebagai timbal balik apa yang boss berikan. Kalau kita tidak melakukan ini, kita tau, hubungan pertemanan kita akan boss putuskan secara sepihak. Karena seperti yang bos katakan. Ini adalah farewell gift dari boss kan?”
“Kalian sudah bisa berdiri sendiri, kaya, punya power. Apa arti pertemanan kita di atas semua itu? Hm?” tanya gw.
“Semuanya boss.” Ucap mr.Bushido yang daritadi diam
“Hahh. Nyusahin aja kalian.”
“Jadi apa yanng boss mau dari kami?” tanya Kim kembali.
Gw melihat anak buah gw satu per satu. Mengecek apakah ada raut ketidakjujuran dari apa yang mereka katakan. Gw hanya tersenyum saat otak gw telah mengambil kesimpulan ari observasi gw.
“Kalo tidak keberatan. Buat kamar khusus buat gw, jika kalian membuat rumah pribadi di negara kalian masing-masing. Gw gak suka hotel.” Ucap gw memberitahu permintaan gw ke mereka.
“Siap Bos.” Jawab mereka serentak merundukkan kepala.
Setelah itu kami langsung bersiap siap untuk memasuki ruangan tempat kami akan mempresentasikan hasil project kami. Kali ini, sebagai perpisahan, gw lah yang menjadi pembicara dalam presentasi ini. Didalam ruaangan ini berdiri banyak orang dari tim gw, sampai dari mantan tim gw saat bersama Yvette dulu. Ada Yvette dan Recht yang berdiri di belakang para direktur dan chief. Semua berjalan lancar. Sampai HP gw tiba-tiba berdering. Sudah jadi kebiasaan gw untuk selalu melihat siapa yang menelfon gw dulu sebelum memutuskan untuk mematikannya.
Dilayar itu terpampang nama Valli
junti27 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
