uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Istriku Biadab Part 8


"Bentar, aku kirim link beritanya ke Aa." Rizky mematikan sambungan telepon. Aku keluar menghampiri Edi dengan gusar. Ada apa Rizky ini? Bikin kaget saja.






"Kenapa?" tanya Edi.







"Gatau, tuh, si Iky," sahutku seraya menyeruput kopi yang mulai dingin. 






Kuaktifkan data, dan notipikasi pesan dari Rizky muncul mengirimkan sebuah tautan. Segera kuklik dan tautan itu tersambung ke sebuah akun gosip.







Mataku hampir meloncat melihat video yang otomatis terputar di sana. Kejadian saat Resty digrebek tempo hari terpampang nyata di sana. Suhu tubuh seketika memanas, keringat dingin bercucuran. Kutaruh gelas ke meja dengan tangan bergetar. Mulut repleks mengucap istighfar beberapa kali.







"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...."






"Fan, kenapa?" tanya Edi seraya mendekat, turut melihat layar hape di tanganku.






"Astaga!" pekiknya terkejut.







Video berdurasi 12 menit itu diberi judul, "Istri seorang bos cilok di Tasikmalaya digrebek warga saat tengah berbuat asusila di sebuah kos-kosan."






Pada scene saat Resty menghampiri dan menangis memeluk kakiku, aku tak kuasa melanjutkan untuk menonton. Kuserahkan hape pada Edi. 







Ya Allah, ya Rabb. Ini sangat memalukan! Aku tidak mau semua orang tau dan mengasihaniku sebagai laki-laki yang malang. Tidak! Kuusap berkali-kali wajah yang seketika basah oleh keringat.







"Fan ... kok ... kok bisa?" ujar Edi tergagap.






"Warga yang dateng banyak banget. Di antara mereka pastilah banyak yang bawa hape dan videoin. Bodohnya, kenapa aku gak kepikiran ke sana." Kuremas rambut gusar.







Hati kecilku sedikit kecewa pada Edi. Kenapa tidak menanyaiku sebelumnya bahwa ia hendak memanggil warga saat itu. Tapi, di balik itu, niatnya baik. Edi hanya ingin membuat Resty menerima ganjaran atas pengkhianatannya kejinya padaku.






"Tapi, harusnya kamu bersyukur, Fan? Biar mereka kapok!" Wajah Edi berubah puas.






"Aku gak peduli sama mereka. Tapi gimana imbasnya sama anakku? Kamu gak mikir ke sana, Di? Jejak digital itu kejam. Gimana kalau hal ini berpengaruh buat masa depan anakku? Pasti nanti kalau sudah mengerti, dia malu sekali." Tanpa sadar, aku naik pitam dan membentak Edi.







"S-sorry, Fan. A-aku gak kepikiran ke sana. Maaf karena tindakanku memanggil warga tempo hari." Edi nampak sangat tidak enak. Membuatku tersadar, bahwa tak seharusnya memperlakukan Edi demikian.






Orang yang paling bersalah dalam hal ini hanyalah Resty. Dia yang membuat semua kehancuran ini. Tak sepatutnya kusalahkan Edi yang justru begitu peduli padaku.






"Gak pa-pa, Di. Sorry kalau aku kebawa emosi."







_____





Selepas Maghrib, aku masih saja kepikiran tentang video tersebut. Terpekur sendiri di ruang tamu. Sunyi sekali rasanya. Rasa aneh itu kembali menggelenyar menyebar ke seluruh rongga dada.






Bayangan-bayangan keharmonisan rumahtangga kami dulu berkelebat bagai tereka adegan dalam pandangan di setiap sudut ruang.






Aku mendengkus seraya memejamkan mata kuat-kuat. Kenapa sulit sekali melupakan semuanya? Bahkan aku tidak tahu, dari mana harus memulai menata hati yang sudah terpecah belah ini.






Sebenarnya, aura di rumah ini sudah berubah sejak beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah Resty bekerja. Tak ada lagi romansa seperti sebelumnya. Hambar.







sekarang, keadaannya semakin parah. Sunyi, sepi mencekam. Terlebih setelah pulang dari rumah sakit, Emak bersikeras ingin Salsa tinggal di rumahnya. Katanya, menunggu sampai hubunganku dan Resty membaik. Sementara itu tak akan pernah terjadi.







"Assalamualaikum, Kang." Panggilan Mira dari luar, memaksa tubuh yang kehilangan daya ini untuk bangkit dan membuka pintu. 






"Waalaikumsalam ... kenapa, Mir?"






Mira berdiri di teras membawa sepiring penganan. 






"Aku goreng pisang. Akang suka, 'kan? Tadi sore, aku liat nasi dan lauk yang dimasak pagi masih utuh. Akang pasti gak makan," ucapnya seraya meletakan buah tangan yang dibawa ke meja kaca di teras.







Ah, pantas saja tubuh ini terasa tak bertenaga. Rupaya belum makan. Aku beringsut duduk di kursi teras. Menyomot satu potong pisang goreng yang dibawa Mira. 






"Makasih, Mir." 






"Ya, makan apa aja, Kang. Yang penting perut diisi. Ntar sakit. Mira buatkan teh, ya," ucapnya perhatian. Aku hanya mengangguk mengiyakan seraya mengunyah. Sementara Mira ngeloyor ke dalam.





Lagi-lagi aku teringat pada Resty. Kenapa aku baru sadar, sejak dulu, bahkan Mira lebih peduli dan perhatian melebihi ia sebagai istriku. Apakah Resty memang tidak pernah mencintaiku? 






Selama ini, aku yang terlalu intens menunjukan perasaan yang menggebu padanya. Bagiku, ia adalah duniaku setelah kami menikah. Sementara ia terkesan datar. Hanya bersikap manja dan mesra ketika ada yang diminta. Bisa-bisanya aku baru sadar sekarang.






Ah ... shit! Kenapa semua hal selalu saja memusatkan otakku untuk memikirkannya. Lama-lama, aku bisa gila!







"Ini, Kang, tehnya!" Mira meletak segelas besar teh panas. Kemudian duduk di kursi yang lain, bersebelahan denganku.






"Makasih." Kuraih gelas, dan menyeruput perlahan hingga hangatnya terasa meresap ke seluruh penjuru tubuh.







"Kang, harus kuat, ya! Demi Salsa!" lirih Mira, membuatku menoleh dan terpaku sejenak. 







"Untuk?" 







"Ya, tentang apa yang terjadi sama Akang dan ... Teh Resty," ucapnya ragu-ragu.






"Kamu tahu, Mir?" Kutaruh kembali pisang goreng yang sudah tergigit setengah.





Ah, pertanyaan bodoh. Semua karyawan tahu, mengingat beberapa hari ini Resty tidak pulang-pulang. Juga saat aku membereskan barang-barang Resty dan memasukannya ke bagasi. Terlebih Mira yang bolak-balik masuk rumah dan membersihkan kamar yang semerawut kuacak-acak.






"Sebenarnya, pas hari Minggu lalu, aku udah ngerasa ada yang gak beres. Eh, emm tadi siang liat berita viral di TV, sama yang berseliweran di media sosial. Aku kaget banget. Sabar, ya, Kang!"






Astaga! Bahkan orang-orang terdekat sudah menonton video memalukan itu. Sial! Kuacak rambut dengan frustrasi.






"Gak usah kasihanin akulah, Mir. Aku gak mau dikasihani," ucapku serak.







Mira menghela napas, seperti tidak enak hat, "maaf, Kang. Aku ...."






"Ya, gak pa-pa. Maaf, aku sedang sensitif."






"Aku ngerti, kok. Ya, paham betul gimana rasanya. Orang pernah ngalamin."





"Kamu?"






Mira mengangguk perlahan. "He-em."






"Kamu selingkuh kaya Resty?" tanyaku tak percaya. 






"Ya Allah ... enggaklah. Astaghfirullah. Maksudku mantan suamiku yang selingkuh!" ralat Mira dengan mata melebar.






"Kirain. Tapi, serius?" 






Terus terang, enam tahun ia menjadi karyawanku, aku tidak tahu sama sekali penyebab Mira menjadi janda. Padahal kami sering mengobrol dekat.






"Gitulah, Kang. Bener, ya, Kang, segala sesuatu yang berlebihan itu gak baik. Termasuk sayang sama pasangan. Aku dulu nikah muda. Segalanya aku korbankan untuk bakti pada suami. Itu semua karena aku sayang banget. Eh, dia merantau jauh ke luar pulau, tau-tau sudah nikah lagi. Sakit sekali rasanya, Kang," celotehnya dengan tatapan menerawang.






Beberapa saat hening. Hanya deru napas kami yang terdengar bersahutan.






"Aku tahu, loh, gimana Akang sama Teh Resty. Wanita mana yang gak iri sama Teh Resty. Eh, bisa-bisanya." Mira kembali bersuara, diakhiri mengepalkan tangan. Dengan wajah mengeras gemas.






Aku terkekeh sumbang, "Kamu juga iri, 'kah, Mir?" sahutku tiba-tiba.






"Emh ... enggak. B-bukan gitu maksudnya," ucapnya polos dan salah tingkah. 






Aku tersenyum geli. Sepertinya Mira keceplosan. "Lah, terus tau dari mana tadi bilang, wanita mana yang gak iri?" 






"Ya, iri sedikit," ucapnya pelan. Seraya meliriku.







Aku kembali terkekeh seraya menggeleng perlahan. 






Akhirnya, entah sampai jam berapa aku ngobrol ngalor ngidul dengan Mira tentang banyak hal. Bercengkerama dengan Mira, sejenak membuatku berhenti memikirkan tentang masalah pelih yang tengah dihadapi. 







Ya, mungkin semacam merasa nyambung karena senasib sama-sama pihak yang dikhianati. Jadi merasa ada teman.






Ditambah pembawaan Mira yang polos dan ceplas-ceplos, sesekali memecahkan tawaku setelah beberapa hari ini terus-menerus berkabut duka dan amarah. Meski sekilas, entah ... ada yang ganjil, tersirat dari manik wanita 29 tahun asal Tasikmalaya selatan itu ketika tatapan kami bertemu. Entah hanya perasaanku saja. Barangkali itu hanya tatapan prihatin atas apa yang menimpaku.






______






Semalaman, lagi-lagi aku tidak bisa tidur. Maksud hati, ingin beristirahat cukup setelah tiga malam tidak tidur selama Salsa sakit. Ternyata, aku bisa melupakan semuanya hanya ketika ada teman ngobrol saja.






Baru setelah Subuh bisa terlelap. Hingga terbangun oleh dering telepon di nakas samping tempat tidur. Dengan mata menyipit, kuraih dan menengok layar hape. 







Dari nomer Mama. Ada apa?







"Halo?"






"A', Aa bisa ke sini sekarang?" Suara Mama terdengar sangat panik dan terisak di seberang sana.







Bersambung


Karena kepanjangan, jadi ane lanjut di postingan baru, ya, Gan!

Part 9

Part 7

Part 6

Part 5

Part 4

Part 3

Part 2

Part 1
Diubah oleh uniekirdpan 24-12-2021 04:23
hernawan911
lsenseyel
servesiwi
servesiwi dan 21 lainnya memberi reputasi
22
9.4K
56
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42KAnggota
Tampilkan semua post
uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
#22
PART 9
POV Resty

"Malam ini, Aa bawa Emak dan keluarga buat ngelamar kamu ke rumah," sahutnya seraya tersenyum tipis.

"Hah, secepat itu?" tanyaku terkejut. Mengingat kami baru berpacaran dua bulan.

"Dari pada pacaran lama-lama, nambah dosa. Menurut Ayang gimana?"

"Aku ikut gimana Aa aja."

"Tapi, kamu mau, 'kan, nikah sama Aa?"

"Mau. Mau banget!" jawabku sumringah.

"Makasih, ya, Yang." Dikecupnya punggung tanganku lembut.

Sejujurnya, aku belum yakin dengan perasaan ini padanya. Aku menerimanya sebagai pacar karena Irfan royal. Usahanya sudah mapan, ya ... meskipun kurang keren. Bos cilok. Kadang aku malu menceritakan pada tema-teman tentang apa pekerjaan Irfan.

Aku bertemu dengannya di wisata kuliner mingguan. Ia berjualan berbagai olahan dan varian cilok. Cilok goreng pedas jualannya menjadi camilan favoritku setiap malam mingguan di sana.

Aku tahu, Irfan selalu memperhatikanku sejak awal kami bertemu. Namun, kuabaikan saja. Pura-pura tidak menyadari. Percuma ganteng, cuma tukang cilok!

Namun, setelah beberapa kali melihat beberapa penjual cilok keliling dengan brand sama seperti spanduk jualan di standnya, aku penasaran dan mulai cari tahu. Ternyata, ia pemilik pabrik cilok. Bukan sekadar jualan. Dari sanalah aku mulai menanggapi sapaanya. Hingga akhirnya Irfan mengajak bertukar kontak pun aku bersedia. Lumayan buat diporoti.

Akhirnya malah telanjur nyaman. Diajak menikah pun aku pasrah.

Urusan perasaan terserah nantilah ... yang penting, menikah saja dulu. Kalau semua keinginan bisa terpenuhi, pasti hidup juga bahagia dan cinta bisa menyusul.

Lagipula, aku sudah tidak tahan dengan sikap Mama, Bapak, dan A' Samsul. Mereka selalu saja membuatku tertekan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sedikit-sedikit membandingkan dengan Nazwa. Hufft!

Mereka juga sebenarnya tidak mengizinkan aku berpacaran. Bahkan setelah aku lulus SMA.

"Setelah tamat kuliah, dapat pekerjaan yang layak, baru kamu boleh mulai dekat dengan laki-laki dan menikah," sahut A' Samsul tegas saat aku kedapatan sembunyi-sembunyi, bermain dengan pacarku. Kakak yang terpaut 12 tahun denganku itu memang sangat tegas dan over protektif pada adik-adik perempuannya.

Bahkan, entah apa yang dilakukan A' Samsul, hingga beberapa mantan pacarku tiba-tiba memutuskan hubungan dan menjauh tanpa alasan yang kumengerti setelah ketauan A' Samsul.

Sungguh, aku lelah sekali. Lagipula, memangnya siapa yang mau kuliah? Sekolah itu bikin pusing dan melelahkan. Aku ingin bekerja saja ke Bandung, atau Sukabumi seperti Rima dan Winda sahabatku. Namun, ya ... begitulah. Kedua orang tua dan A' Samsul menentang mentah-mentah.

Ah, betapa tersiksanya hidupku.

Kuceritakan semuanya pada Irfan. Bagaimana sikap keluargaku setiap kali aku punya pacar. Namun, Irfan sama sekali tidak terlihat takut atau pun terkejut.

"Nanti malam, aku maen ke rumah kamu, ya!" sahut pria bersorot mata teduh, dinaungi alis tebal itu kalem.

Saat itu, sekitar seminggu setelah kami berpacaran. Aku mengajaknya janjian bertemu di sebuah plaza. Awalnya ia bersikeras mau menjemput tapi, aku menolak. Ya, tentu saja takut kena marah.

"Loh, ngapain?" ujarku terkejut.

"Ya, mau kenalan dan ngobrol-ngobrol sama Bapak kamu aja," sahutnya seraya tersenyum tipis.

"Ah, janganlah! Aa gak bakal kuat ngadepin kegarangan Bapak sama Aaku."

"Hehehehe ... mau silaturahmi, masa gak boleh?"

Meski ragu dan takut-takut, setelah Irfan meyakinkan, akhirnya aku pasrah memberitahunya alamat lengkap.

Malamnya, Irfan benar-benar datang dengan mengendarai mobilnya. Astaga ... aku dibuat takjub. Dengan sopan, tanpa terlihat canggung dan takut ia memperkenalkan diri pada keluargaku, seraya menyerahkan buah tangan.

Ajaib!

Bapak, Mama, dan A' Samsul menyambut baik kedatangannya. Langsung akrab ngobrol banyak hal dengan Irfan. Tentang keluarganya, juga usaha yang digeluti. Dengan santai Irfan bercerita bahwa ia adalah pengusaha cilok. Mempunyai 12 pekerja di pabrik kecil sebelah rumahnya, dan beberapa orang yang setiap hari menjual cilok-ciloknya. Serta rutinitasnya membuka stand di wisata kuliner mingguan sebagai isi waktu senggang saja.

"Wah, hebat! Masih muda sudah sukses dengan kerja keras sendiri dari 0! Sangat menginspirasi dan perlu dicontoh," ujar Bapak nampak kagum.

"Ah, belum sukses, Pak. Masih harus lebih giat lagi mengembangkan," elak pria berkulit putih bersih itu.

Begitulah, Irfan seringkali ke rumah. Bukan mengapeliku, melainkan mengobrol bersama Bapak dan A' Samsul. Mungkin karena Irfan sudah dewasa. Seusianya memang bukan waktunya lagi pacaran main-main sembunyi dari orang tua.

Nampaknya ia berhasil mencuri hati keluargaku. Meskipun Bapak dan A' Samsul tak pernah terang-terangan membahas atau bertanya mengenai hubungan kami. Hingga aku tidak tahu pasti, apa mereka merestui hubungan kami, atau tidak.

______

"Saya ke sini, mau meminang Resty untuk jadi istri saya," ujar Irfan mantap saat datang bersama ibu, dan pamannya.

Aku membisu seraya tertunduk di samping Mama. Rasanya tak sanggup mendengar jawaban Bapak dan A' Samsul. Karena, meskipun selama ini Irfan sudah akrab dengan mereka, untuk hal ini, aku tidak begitu yakin mereka setuju. Apalagi lamarannya dadakan tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Beberapa jenak, Bapak hanya menghela napas, seraya saling pandang dengan A' Samsul. Aku menatap mereka bergantian dengan ekor mata.

Setelah Bapak, Mama dan A' Samsul saling angguk, "ya, kalau bapak terserah kalian saja. Pastinya Nak Irfan juga sudah sepakat sama Resty. Kami sebagai orang tua ikut saja," sahut Bapak mantap.

Demi apa, semudah itu? Aku ternganga mendengar jawaban Bapak. Acara tunangan pun langsung dilaksanakan malam ini juga. Ternyata, Irfan sudah menyiapkan sepasang cin-cin. Setelahnya tanggal pernikahan pun langsung ditentukan. Ah, mimpikah aku?

"Alhamdulillah ...," sahut Irfan dan keluarganya serempak.

"Tapi, kenapa gak bilang dulu sebelumnya, Nak Irfan? Mama 'kan jadi gak siapin apa-apa," ujar Mama.

"Sengaja, biar gak ngerepotin," sahut Irfan seraya tersenyum.

"Ah, Nak Irfan ini. Mana bawaannya banyak sekali." Mama menatap banyak sekali hantaran yang dibawa Irfan di meja. Dari mulai pakaian, buah, aneka snack, dan masih banyak lagi.

"Ah, justru kami gak sempat mempersiapkan apa-apa, Bu," jawab emaknya Irfan.

_______

"Bapak serius restuin Resty nikah sama A' Irfan?" tanyaku setelah Irfan dan keluarganya pulang.

"Ya, memangnya kenapa? Harusnya kamu seneng, kenapa malah kaget begitu?"

"Bukannya Bapak selama ini kekeuh larang Resty pacaran dan serius kuliah supaya dapet kerja yang bagus?"

"Lah, sekolah tinggi-tinggi, ujungnya kalau perempuan ke dapur juga. Kalau ada yang serius, baik, kerjaannya mapan. Kenapa, tidak? Bener, 'kan, Sul?" jawab Bapak seraya menoleh pada A' Samsul.

Pria berkacamata itu hanya mengangguk dari tempat duduknya. "Betul!"

"Lagian kasian Nak Irfan udah mau berumah tangga. Usianya 'kan, sudah matang." Mama juga turut nimbrung.

Aku hanya garuk-garuk kepala tak gatal. Kenapa mereka jadi mendadak plin-plan?

_____

Setelah menikah, awalnya aku merasa keputusan untuk menikah sangat tepat. Punya suami baiknya minta ampun, minta apa saja selalu dibelikan. Sehari-hari hanya santai di rumah atau jalan-jalan. Pokoknya benar-benar menikmati hidup. Terlebih setelah kelahiran putri kami. Salsa. Kasih sayang Irfan begitu melimpah ruah.

Namun, lama-lama aku merasa ... bosan. Cara Irfan dalam meluapkan kasih sayangnya padaku terasa berlebihan.

Berumah tangga dengannya terasa begitu monoton tanpa tantangan. Hingga lama-lama aku muak, kangen berkumpul dengan teman-teman. Menyesal sudah melepas masa muda untuk menikah dan punya anak di usia yang belum genap 20 tahun.

Hingga tanpa sengaja, aku bertemu seseorang yang masih mengenakan pakaian pabrik saat pulang dari mini market bersama Salsa.

"Resty?" sapanya, seraya melihatku dari ujung atas ke bawah.

Bersambung

Penasaran, gak, kenapa kemarin Mamanya Resty nelpon Irfan? Bakal dibahas entah di bab 10 atau 11. Masih pake POV Resty. Biar kalian tahu, cerita Resty di pabrik. 😂


BTW, buat kalian yang mau cepet baca sampai tamat, mampir ke akun KBM app ane, ya! Username UnieVejvongsa24 judulnya ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B. TRIMS.
Diubah oleh uniekirdpan 23-12-2021 11:26
pulaukapok
erman123
dewisuzanna
dewisuzanna dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.