Quote:
"Jadi," Prapto membersihkan beberapa umbi singkong yang baru saja dicabutnya entah dari kebun siapa itu. "Bagaimana ceritanya sampai kemarin itu kamu bisa jatuh ke jurang?"
"Jadi," Galih mencoba menyalakan tumpukan kayu kering dihadapannya dengan bantuan sedikit minyak tanah. "Kemarin itu aku ikut Paklik Harno melihat kebun kelapa milikku di lereng gunung sana."
"Lalu?" Prapto menyorongkan beberapa umbi singkong kedalam api unggun yang telah berhasil Galih nyalakan.
"Lalu," Galih meracik bubuk kopi dan gula kedalam cangkir, lalu menuanginya dengan air panas dari dalam termos. "Setelah puas melihat lihat, akupun pulang, sementara Paklik Harno masih tinggal di kebun. Mau sekalian memetik kelapa katanya."
"Hmmm, terus?" Prapto mengambil jatah kopi miliknya, meniup niupnya sebentar, lalu menyecapnya sedikit.
"Terus," Galih mengikuti apa yang dilakukan Prapto, meniup kopi dan menyecapnya sedikit. "Pas dalam perjalanan pulang aku ketemu sama....."
"Sama siapa?" tanya Prapto penasaran, sambil mulai sibuk melinting tembakau. Kali ini Galih tak mengikuti apa yang dilakukan oleh Prapto, karena ia memang tidak suka merokok.
"Coba tebak, siapa yang kutemui waktu itu?" alih alih menjawab, Galih justru mengajak Prapto bermain teka teki.
"Anjar?" Prapto coba menebak.
"Ngawur!"
"Lalu?"
"Mbah Pariyem!"
"Mbah Pariyem?"
"Ya!" Galih mengibas ngibaskan tangannya, mengusir asap tembakau Prapto yang terhembus menyapa wajahnya. "Awalnya, aku tak mengenalinya. Namun saat aku melihat ia mulai mendaki ke atas gunung, aku langsung teringat pada ceritamu kemarin, bahwa hanya Mbah Pariyemlah satu satunya orang tua yang masih mampu mendaki ke puncak Kambengan. Luar biasa! Aku sempat dibuat kagum dengan kekuatan kakinya. Orang setua itu, masih sangat lincah mendaki lereng yang terjal dan masih perawan itu. Aku bahkan sempat beberapa kali hampir kehilangan jejak karena tak mampu mengimbangi kelincahan kakinya."
"Jadi, kau mengikutinya?"
"Aku membuntutinya!"
"Edan! Untung kamu nggak ketahuan! Bisa didamprat habis kamu kalau sampai ketahuan membuntutinya diam diam. Mbah Pariyem itu orangnya galak banget. Sama kayak Anjar cucunya."
"Ya! Aku tau kalau dia galak, karena pas bertemu itu kami tanpa sengaja hampir bertabrakan, dan dia memaki makiku habis habisan."
"Terus?"
"Aku membuntutinya, karena penasaran dengan apa yang akan ia lakukan diatas gunung sana. Dan lagi lagi benar ceritamu kemarin, ada dua makam diatas gunung sana."
"Aku kan sudah bilang," Prapto membolak balik umbi singkong didalam nyala api unggun agar tak sampai gosong. "Lalu, apa yang terjadi?"
"Kukira, benar katamu! Mbah Pariyem itu sudah kurang waras. Ia bicara dengan kedua makam itu seolah olah tengah berbicara dengan manusia."
"Apa yang dia katakan?"
"Entahlah, tak begitu jelas, karena ia bicara tak begitu keras. Yang bisa kudengar hanya sepotong sepotong. Seperti 'mereka benar benar datang,'lalu, 'apa yang harus aku lakukan?' dan 'baiklah, akan kucoba meski itu tak akan mudah!' Entah apa maksudnya ia bicara seperti itu!"
"Jadi sekarang kamu sudah tau ya letak makam itu?"
"Iya. Tapi kalau disuruh kesana lagi aku tak yakin masih ingat jalannya. Hutan diatas gunung sana, ternyata sangat lebat, dan sepertinya jarang didatangi orang."
"Memang," Prapto mengeluarkan sepotong ubi yang dibakarnya, lalu memijit mijitnya. Masih keras! Ia memasukkan kembali umbi singkong itu kedalam bara api. "Tapi kalau aku sudah ingat, karena sudah beberapa kali membuntuti Mbah Pariyem kesana. Eh, kaubilang tadi kau mengintip Mbah Pariyem yang sedang nyekar ya?"
"Iya," jawab Galih. "Eh, apakah kedua makam itu angker Prap?"
"Entahlah," Prapto menjawab, setelah kembali menyecap kopinya. "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Karena aku bertemu dengan sesuatu yang aneh disana."
"Sesuatu? Apa itu?"
"Jerangkong gondrong!"
Glek! Prapto nyaris tersedak oleh kopi yang diminumnya.
Je..., jerangkong?"
Ya." Galih lalu menceritakan bagaimana kemarin ia nyaris ketahuan saat mengintai Mbah Pariyem, lalu berlari tunggang langgang hingga jatuh tergelincir dan nyaris jatuh ke jurang kalau saja ia tidak segera berpegangan pada betis makhluk itu yang ia kira adalah batang pohon.
"Kamu serius?!" Tanya Prapto dengan wajah pias. Jerangkong, meski ia sama sekali belum pernah melihat penampakan jerangkong, namun sedikit banyak ia bisa membayangkan seseram apa wujud makhluk yang satu itu, karena saat kecil dulu emaknya sering menceritakan soal hantu jerangkong untuk menakut nakuti Prapto yang memang lumayan bandel itu.
"Buat apa aku bohong." Jawab Galih.
"Seperti apa wujudnya?" Prapto penasaran.
"Sangat menyeramkan! Kurus, saaangat kurus, hingga hanya seperti tulang dibalut kulit. Berkulit sangat hitam dengan tulang tulang yang bertonjolan di dadanya. Aku bisa melihat dengan jelas, karena sosok itu tak mengenakan baju. Hanya celana kumal yang sudah compang camping nggak karuan. Rambutnya gimbal, dan wajahnya...."
"Wajahnya seperti apa?"
"Wajah kempot dengan tulang pipi menonjol dan mata melotot seolah mau lepas dari tempatnya. Saat aku menatap wajahnya, makhluk itu menyeringai ke arahku, memamerkan gigi giginya yang kotor kehitaman, membuatku ketakutan setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan peganganku pada pergelangan kakinya, dan akupun jatuh ke jurang!"
"Aneh," gumam Prapto. "Masa iya sih ada hantu siang siang?"
"Siapa bilang itu hantu?"
"Eh, bukannya tadi...."
"Aku menyebutnya jerangkong gondrong karena ciri ciri orang itu mirip hantu jerangkong yang dulu sering diceritakan ibuku untuk menakut nakutiku agar tak suka keluyuran malam. Tapi aku yakin itu bukan hantu, karena aku sempat memegang pergelangan kakinya."
"Kalau bukan hantu, lalu apa dong?"
"Jelas itu manusia."
"Manusia macam apa yang mempunyai ciri ciri seperti itu? Tak ada warga di desa ini yang ciri cirinya seperti itu."
"Mungkin warga dari desa di balik gunung sana, atau..."
"Atau apa?"
"Orang gila!"
Orang gila?"
"Ya. Itu yang paling tepat. Ciri cirnya itu, sangat pas untuk ukuran orang gila. Kudengar dari Paklik, belakangan ini, karena susahnya hidup, banyak orang yang akhirnya menjadi gila dan keluyuran di sekitaran pasar sana sekedar untuk mengais ngais sampah mencari sisa sisa makanan!"
"Memang," Prapto membenarkan ucapan Galih. "Belakangan memang makin banyak orang gila keluyuran. Di pasar, di jalanan, bahkan kadang masuk ke desa untuk meminta makanan sama warga. Tapi kalau digunung, ngapain coba orang gila sampai naik gunung? Tak ada makanan disana."
"Mungkin tersesat, atau...., eh, Prap, daripada penasaran, kenapa tak kita selidiki saja?"
"Kita?"
"Iya. Kamu kan lebih paham medan di puncak sana. Bagaimana kalau kapan kapan kita kesana? Siapa tau..."
"Jangan cari penyakit Galih! Bagaimana kalau ternyata orang itu berbahaya? Perampok atau garong misalnya, yang memang sengaja bersembunyi di gunung?"
"Perampok?"
"Iya. Selain orang gila, belakangan juga semakin banyak perampok, garong, ataupun maling yang sering beraksi meneror warga. Karena kesulitan hidup, orang memang bisa melakukan apa saja hanya demi agar bisa makan."
"Begitu ya?"
"Ya begitulah," Prapto kembali melinting tembakaunya, membuat Galih terheran heran. Rupanya sahabatnya itu benar benar telah kecanduan asap bernikotin itu.
"Eh, ngomong ngomong, bagaimana kamu bisa pulang? Dari puncak ke sini jauh lho, dan jalanannya juga terjal. Dengan sebelah kakimu yang terkilir...."
"Entahlah! Sepertinya aku pingsan sesaat setelah jatuh. Dan saat tersadar, aku sudah terbaring di lincak sana."
"Aneh," entah sudah berapa kali Prapto mengucapkan kata aneh malam ini.
"Aku juga heran! Tapi setelah kupikir pikir, mungkin Mbah Pariyem yang telah menolong dan mengantarku pulang, atau..."
"Atau apa?"
"Atau justru si jerangkong gondrong itu yang menolongku, mengingat kemarin diminta untuk mengurutku saja Mbah Pariyem nggak mau dan malah marah marah."
"Bisa jadi sih, mengingat bahwa kau hanya dibaringkan saja diatas lincak dan ditinggal begitu saja. Tapi kalau benar dia atau Mbah Pariyem yang mengantarku pulang, kenapa kita tak berpapasan di jalan ya? Padahal semalam aku dan Paklikmu mencarimu sampai ke puncak sana. Jalan untuk naik dan turun ke puncak sana kan cuma satu."
"Entahlah!" hanya kata itu yang bisa diucapkan oleh Galih. Semua hal yang ia alami kemarin, memang serba aneh. Dan hanya kata entahlah yang bisa menjelaskan kenapa hal aneh itu bisa terjadi.
Obrolan keduanya sedikit terjeda, saat Ajeng dan Arum telah kembali dari musholla. Kedua gadis itu lalu ikut nimbrung dalam pesta singkong bakar itu. Jadilah, obrolan tentang apa yang dialami Galih di puncak Kambengan kemarin harus ditunda. Prapto sadar, Galih tak akan pernah mengatakan hal hal yang sensitif di hadapan sang adik.
Maka, untuk memecah suasana, Galih mengalihkan pembicaraan dengan membahas soal kebun jagungnya yang esok hari hendak dipanen. Juga rencananya untuk mengambil alih ladang itu dari warga yang menggarapnya, karena ia ingin menggarapnya sendiri dengan cara yang lebih baik, agar bisa menghasilkan panen yang lebih baik lagi.
"Kau serius?" tanya Prapto setelah mendengar keinginan Galih itu.
"Ya serius lah, kenapa memangnya?" tanya Galih heran.
"Ndak papa sih, cuma, kalau menurutku sih, apa yang akan kaulakukan itu, sama saja kau mau cari penyakit!"
"Cari penyakit?"
"Kau tau kan? Kedatanganmu kembali ke desa ini saja, sudah tidak disukai oleh sebagian warga desa ini. Apalagi kalau kau sampai mau mengambil tanahmu yang digarap oleh warga itu, kau bisa bayangkan seperti apa tanggapan mereka nanti?"
"Yach, aku tau sih. Paklik Harno juga kemarin bilang begitu. Tapi, mau gimana lagi, yang kulihat, mereka menggarap tanahku dengan cara yang asal asalan, sehingga hasilnya kurang begitu memuaskan. Aku hanya akan memberi contoh kepada mereka Prap, agar nanti kalau usahaku itu berhasil, mereka mau mengikuti apa yang aku lakukan itu."
"Kalau boleh tau, seperti apa kamu mau menggarap ladangmu itu?"
"Aku mau mencontoh para petani di Tawangmangu sana, menanami ladang itu dengan tanaman yang lebih mudah dirawat dan juga lebih cepat dipanen, dan aku juga akan mengajarkan warga bagaimana caranya membuat pupuk...."
"Aku tau soal itu," sela Prapto. "Maksudku, bagaimana caramu menggarap ladang seluas itu sendirian?"
"Tentu aku tak akan menggarapnya sendirian Prap. Mungkin aku bisa mengupah warga untuk membantuku...."
"Setelah engkau mengambil tanah yang mereka garap? Kau pikir mereka akan mau?"
"Ah, soal itu...."
"Kalau aku boleh menyarankan Galih, biarkan saja mereka menggarap ladangmu. Kau cukup mengajarkan kepada mereka bagaimana cara menggarapnya, juga menyediakan bibit dan pupuk. Nanti setelah panen, hasil penjualannya bisa dibagi dua seperti biasanya. Selain kau tak perlu mengeluarkan uang untuk mengupah mereka, jika usahamu berhasil nanti, maka mereka akan sedikit bersimpati kepadamu. Kau bisa mengambil hati mereka, dan merubah kebencian mereka kepadamu menjadi rasa simpati. Bukankah itu tujuanmu yang sebenarnya kembali ke desa ini?"
Galih terdiam. Apa yang dikatakan oleh Prapto barusan, sepertinya ada benarnya juga. Kenapa ia tak berpikir sampai kesana? batin Galih.
"Itu cuma saran dariku lho. Kau mau dengarkan atau tidak, itu..."
"Prap," Galih tersenyum. "Tak kusangka, kau rupanya tak sebodoh yang kukira ya. Saranmu itu, aku bahkan tak memikirkannya sampai kesana."
"Ah, aku bahkan tak pernah makan bangku sekolahan Galih. Cuma, yach, aku lebih paham tabiat warga sini saja daripada kamu."
"Tapi saranmu itu, sangat luar biasa Prap. Aku akan mempertimbangkannya."
"Syukurlah kalau begitu."
Obrolan terus berlanjut, hingga tanpa sadar, hari semakin larut, dan rasa kantukpun datang menyerang. Ajeng dan Arumpun lalu pamit untuk tidur duluan, sementara Galih dan Prapto masih melanjutkan pesta singkong bakar mereka.
"Kau beruntung Galih, hidup dikelilingi dua bidadari surga yang cantik cantik dan sholehah seperti mereka," ujar Prapto sambil menatap Ajeng dan Arum yang tengah beranjak masuk ke rumah.
"Hei! Apa maksudmu berkata seperti itu? Mereka adik adikku Prap!"
"Justru itu. Kau beruntung dikaruniai adik adik seperti Ajeng dan Arum itu. Juga Anjar. Sementara aku, saudarapun aku tak punya. Satu satunya yang kumiliki sekarang hanyalah emakku yang sudah tua dan sakit sakitan, semenjak kejadian malam itu dan ayahku ikut kena garuk!"
"Jangan berkecil hati Prap! Harusnya kau bersyukur, masih memiliki seorang ibu. Sedang aku? Kau tau sendiri apa yang sudah menimpa kedua orang tuaku."
"Yach! Hidup memang kadang tidak adil ya Galih. Kau, orang tuamu yang sebenarnya aku tau bahwa mereka adalah orang baik, justru mengalami kejadian yang seperti itu. Sedang aku, meski sudah berusaha mati matian, tapi aku seperti orang yang tak punya masa depan."
"Ayolah Prap! Sudah kubilang kalau jangan berkecil hati. Aku yakin, asal kamu tetap mau berusaha, insya Allah Tuhan nanti akan memberi jalan. Dan, daripada kau hidup kesepian hanya dengan ibumu, kenapa kau tak berusaha untuk mencari pendamping hidup?"
"Ah, siapa juga yang mau sama orang jelek dan miskin seperti aku Galih, kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kau mengijinkanku untuk melamar adikmu!"
"Ngawur kamu!"
"Hahaha! Bercanda Galih. Aku cukup sadar diri kok akan siapa diriku. Aku..."
"Bukan begitu Prap. Tapi Ajeng itu baru limabelas tahun, dan dia satu satunya keluarga yang kumiliki. Kadang aku berpikir, betapa kesepiannya aku nanti, kalau suatu saat Ajeng disunting orang dan pergi mengikuti suaminya."
"Nah, kau takut kesepian juga rupanya. Kenapa kau tak mencari pendamping hidup saja, hidupmu lebih mapan dari aku, dan wajahmu juga lumayan tampan. Aku yakin, di kota sanapun sudah banyak gadis gadis yang tergila gila padamu."
"Kau pikir semudah itu untuk mencari jodoh? Nggak cukup hanya bermodal hidup mapan dan tampan saja. Apalagi di desa ini, melihat penilaian warga terhadap kedua orang tuaku, aku yakin tak akan ada satupun warga desa ini yang mau mengijinkan putri mereka untuk kupersunting."
"Ah, nggak semua warga bersikap seperti itu Galih. Ada juga kok warga yang masih peduli padamu. Bahkan, baru dua hari kamu disini, kulihat sudah ada gadis yang diam diam menaruh perhatian kepadamu."
"Eh, siapa?"
"Kau lupa dengan apa yang dilakukan Anjar kemarin? Gila, baru dua hari kau disini, tapi kau sudah mampu menundukkan singa betina semacam Anjar!"
"Semprul! Anjar kan juga adikku Prap! Masa iya...!"
"Apa salahnya? Cuma adik sepupu ini. Dan sebenarnya dia baik lho, dan juga cantik, andai saja tak ada bekas luka di pipi kirinya itu."
"Ndak lah, andaipun aku berniat untuk...."
"KYAAAAAAAAAAA...!!!"
"Ajeng?! Astaga!"
Ucapan Galih tertahan saat tiba tiba terdengar jerit ketakutan dari arah dalam rumah. Jelas itu suara Ajeng. Sontak kedua pemuda itupun melompat bangkit dan berlari masuk kedalam rumah.
bersambung