Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Dot…” Panggil gua begitu turun dari motor. Sementara yang dipanggil tetap acuh dan berjalan cepat menjauh.
Gua berlari, bergegas menyusulnya.
“Dot…” Gua kembali memanggilnya, kali ini sambil menarik ransel di punggungnya.
Edi menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah gua; “Apaan sih?”
“Awas lu ya cerita ke orang-orang…” Ancam gua
“Cerita apa?” Edi bertanya, sepertinya pura-pura nggak tau.
“Yang kemaren…” Gua memberikan kisi-kisi.
“Oooh… yang lo ciuman…”Jawabnya setengah berteriak, membuat beberapa orang yang berada di area parkiran kampus berpaling ke arah kami berdua.
“Dot!!” Gua berusaha menutup mulutnya. Sementara Edi segera menghindar dan berlari ke arah gedung fakultas.
Gua memutuskan untuk nggak mengejarnya; percuma. Pada akhirnya, kabar ini akan sampai juga ke teman-teman di kampus. Edi terkenal dengan ketidak-mampuannya menyimpan rahasia. Entah karena keceplosan atau memang ia tipikal cowok yang gampang dirayu dan berpendirian lemah.
Pernah suatu ketika gua tanpa sengaja mengalami sebuah ‘kecelakaan’. Sore itu, kondisi kampus sudah mulai sepi, hanya terlihat segelintir mahasiswa yang tinggal di kampus. Mungkin tengah mengerjakan tugas, sekedar nongkrong-nongkrong atau berpacaran. Gua dan Edi tengah turun melalui tangga dari lantai 3 menuju ke lantai dasar. Tepat di depan kami, berjalan seorang mahasiswi yang sepertinya satu jurusan namun berbeda angkatan dengan gua.
Tiba-tiba dari lantai atas terdengar teriakan melengking yang cukup keras. Refleks gua, Edi dan mahasiswi di depan kami menoleh ke atas. Di saat yang bersamaan, gua melangkahkan kaki terlalu jauh, melewati dua anak tangga. Hal itu membuat gua kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Apesnya, gua jatuh ke arah mahasiswi yang berdiri tepat di depan kami. Gua dan mahasiswi tadi jatuh terjerembab di lantai, tangan kanan gua menahan tubuh, sementara tangan kiri gua mendarat tepat di dada si mahasiswi. Sambil berteriak, ia menepis tangan gua dari dadanya lalu bangkit, berdiri.
“Cabul, lo…” Teriaknya, kemudian menampar gua dan pergi.
“Gila lo ya…” Ucap Edi, berusaha menyalahkan gua kemudian pergi.
Sementara gua, hanya bisa berdiri mematung sambil memegangi pipi kiri gua yang terasa kebas.
Di kos-kosan, gua sebisa mungkin meyakinkan Edi agar nggak membahas atau menyebarkan kejadian ‘cabul’ tadi sore. Rokok, kopi dan gorengan gua sajikan sebagai sesajen kepadanya agar permohonan gua dikabulkan. Nyatanya, semua percuma.
Besoknya, di kampus, gua jadi bahan gosip. “Eh, katanya ada orang cabul dari Fakultas Ekonomi..” Itu kata yang sempat gua dengar begitu masuk ke dalam salah satu kelas.
Dan kejadian tersebut terus menjadi topik hangat sepanjang bulan, hingga akhirnya kasus tabrak lari di depan kampus berhasil mengalihkan perhatian para mahasiswa julid.
—
Begitu masuk ke dalam kelas, mata gua berkeliling, mencari lokasi duduk Edi. Nggak butuh waktu lama untuk menemukan pemuda jangkung, berparas goblin, dengan rambut klimis belah tengah. Edi terlihat tengah ngobrol sambil berbisik dengan beberapa teman yang lain. Begitu, gua mendekat ke arah ke arahnya, mereka langsung menghentikan obrolan dan mencoba bersikap normal. Rian, yang duduk disebelah Edi, menatap gua; “Gimana, Cad? Enak nggak?” Tanyanya, lalu disusul tawa dari teman-teman yang lain.
Gua berpaling ke Edi, dan memoles kepalanya dengan kepalan tangan; “Emang ember…” Ucap gua sambil duduk tepat di belakangnya.
Sejujurnya, gua nggak terlalu memusingkan gosip yang beredar di inner circle. Ketakutan justru kalau gosipnya nanti meluas, dan perlahan konotasinya berubah (entah ditambah-tambahin atau dikurang-kurangi).
“Santai aja sih, Cad… Lo kan emang udah dikenal sebagai pria cabul di fakultas ini…” Bisik Edi ke gua, sambil ketawa cekikikan.
Gua kembali memoles kepalanya.
—
Seperti biasa, gua duduk di kursi besi panjang di halte bus yang berada tepat di depan kampus. Saat janjian dengan Sekar, gua selalu menunggunya disini. Kebetulan lokasi kampus kami berdua nggak terlalu jauh dan jalan ini merupakan satu-satunya jalur yang Sekar tahu untuk menuju ke rumah.
Di Sebelah gua Rian berjongkok diatas kursi panjang; ‘There is’-nya Box Car Racer menggema di headset yang terbagi dua; satu di telinga kanan gua, satu lagi di telinga kiri Rian. Kompak, masing-masing dari kami memutar rokok yang terselip di jari tangan, sesekali menghembuskan asapnya ke udara. Sementara, Edi dan Tania duduk bersisian ngobrol berdua sambil bercengkrama.
Gua meraih ponsel dari dalam tas, mengintip ke layarnya; tak ada pesan dan panggilan masuk. Hari semakin sore, samar terlihat jam yang tergantung di kios rokok yang berada tepat di sebelah halte; Jam 3, hampir setengah 4.
Sekar nggak pernah terlambat selama ini.
Ponsel gua berdering; Nama Sekar muncul pada layarnya.
“Halo, dimana?” Tanya gua.
“Bi…” Sekar menyebut nama gua, suaranya terdengar pelan, sementara terdengar riuh suara teriakan dilatarnya.
“Ya, lo dimana. Kok lama?” Gua kembali bertanya.
“Gw nabrak…” Jawabnya, ada ‘ketakutan’ pada suaranya.
“Dimana?” Tanya gua. Sekar lalu menjelaskan lokasinya.
“Tunggu. Gua kesana sekarang! Jangan buka pintunya!” Gua menambahkan, kemudian mengakhiri panggilan dan bergegas pergi.
“Kenapa?” Tanya Rian dan Edi, kompak.
“Sekar, nabrak…” Gua memberikan secuil informasi. Kemudian berlari ke arah kampus Sekar. Rian, Edi dan beberapa mahasiswa lain yang kebetulan ada disana bergegas menyusul gua.
Gua berlari sambil berusaha menghindari pejalan kaki dan pedagan asongan yang berdiri di trotoar. Rian, Edi dan beberapa teman yang lain terlihat berlari mengikuti gua. Banyak mata menatap kami penuh curiga, entah apa yang ada dipikiran mereka; Copet, Maling atau Tawuran.
Masih sambil berlari, gua menoleh ke belakang; Rian dan beberapa teman lain perlahan mulai tertinggal, sebaliknya Edi justru semakin cepat, ia hampir menyusul gua.
Nggak seberapa lama, terlihat dari kejauhan sedan merah yang begitu gua kenali, merangsek ke arah trotoar. Kap bagian depannya terlihat penyok sementara sebuah motor tergeletak tepat hadapan mobil. Sementara, gerombolan massa terlihat mengerubungi mobil sambil berteriak. Beberapa diantaranya, bahkan sudah siap mengacungkan helm, bambu, dan balok kayu panjang.
Gua menyeruak kerumunan. Melalui kaca depan mobil yang mulai retak, terlihat Sekar masih duduk dibalik kemudi, wajahnya ia tutupi dengan kedua tangan.
Edi, walau masih dengan nafasnya yang tersengal-sengal dengan sigap memasang badan, mencegah kerumunan mendekat ke mobil. Hal ini lalu diikuti oleh beberapa teman yang lain. Sementara gua berusaha membaca situasi, mencari sosok alpha yang berada di kerumunan. Sosok yang menjadi pengendali; biasanya badannya paling besar atau bacotnya paling keras.
Seorang pemuda gondrong terlihat memenuhi kriteria alpha yang gua cari; Badannya cukup besar dan bacotnya paling keras. Teriakannya berapi-api dan cenderung provokatif; “Turun lo, jangan mentang-mentang orang kaya bisa seenaknya. Jangan Kabur! Tanggung jawab!”
Gua menarik dan mendekap pria tersebut, beberapa pria lain yang ada disekitarnya berusaha mencegah, namun Edi dan Rian sudah bersiap.
“Yang mau kabur siapa?!” Teriak gua.
“Itu dia mau kabur! Tanggung jawab dulu!” Jawabnya sambil menunjuk ke arah Sekar yang masih terjebak di dalam mobil.
“Dia mau kabur kemana?!” Tanya gua lagi.
“Lo siapa?” Ia balik bertanya ke gua sambil berteriak.
“Gua yang tanggung jawab!!” Teriak gua kepadanya sambil mengepalkan pukulan.
Mendengar hal tersebut, beberapa pria menoleh ke arah gua.
“Gua yang tanggung jawab!!” Gua berteriak, mengulangi ucapan sambil menepuk dada. Rian dan beberapa teman lain terlihat menenangkan massa dan membubarkan mereka. Sementara Edi, menghampiri korban yang terduduk di tepi trotoar, kemudian bertanya tentang kondisi dan juga kronologinya.
Satu persatu, massa yang berkerumun perlahan-lahan mundur. Gua menarik pemuda alpha tadi ke pinggir, ke arah sisi jalan dan mulai mengajaknya berbicara.
Sesungguhnya, pemuda alpha ini bukanlah siapa-siapa. Saat kejadian terjadi Ia hanya kebetulan lewat dan merasa senasib dengan pengendara motor yang ditabrak oleh Sekar. Kemudian berusaha memperjuangkan nasib korban dengan memprovokasi warga lain.
“Iya, lo dengerin gua ya, njing… Gua bakal tanggung jawab, si bapak yang ketabrak nanti gua bawa ke dokter, motor yang rusak nanti gua bawa ke bengkel…” Gua menjelaskan kepadanya sambil menahan emosi.
Pemuda tadi kemudian menepis genggaman tangan gua dari kerah bajunya lalu berlalu pergi.
Gua menghampiri Sekar, yang masih berada di dalam mobil. Ia menurunkan kaca, menatap gua kemudian mulai menangis.
—
Suara adzan Maghrib terdengar bersaut-sautan. Sekar mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan sebagai ganti rugi biaya pengobatan dan kerusakan motor.
dan menyerahkannya ke Bapak pengendara motor seraya memohon maaf. Si Bapak kemudian pergi setelah dijemput kerabatnya.
Sementara, Edi, Rian dan beberapa teman lain terlihat duduk di tepi trotoar sambil mengibaskan pakaian mereka yang basah oleh keringat.
“Makasih ya guys…” Ucap Sekar sambil menundukan kepala ke Rian, Edi dan yang lain.
“Santai, kar…” Jawab Edi, mewakili yang lain.
Beruntung, walaupun kap dan kaca depannya rusak, mobil Sekar masih layak jalan. Setelah mengantar Edi, Rian dan yang lain kembali ke kampus, kini gua masih harus mengantar Sekar untuk pulang.
“Duh, gw masih deg-degan deh…” Ucap Sekar sambil membetulkan letak kacamatanya. Terlihat tangannya masih bergetar.
“Makanya ati-ati…” Gua merespon.
“Iya itu gw udah ati-ati banget Bi… si Bapak itu aja yang naek motornya ugal-ugalan…” Balas Sekar.
“Nggak usah Bi, ntar lo capek.. Lo kan masih harus kerja…” Sekar menolak.
“....”
“Tadi cuma apes aja…” Tambahnya, pelan.
—
Tiba dirumah Sekar, Orangtuanya sudah berdiri menunggu di teras rumah. Sepertinya, Sekar sudah memberi tahu ke mereka perihal kejadian sore ini. Begitu turun dari mobil, nyokapnya langsung memeluk Sekar dan mengajaknya masuk ke dalam. Sementara, bokapnya menatap gua dingin.
Gua menyusul turun dari mobil dan menyerahkan kunci mobil ke Bokapnya. Dengan cepat bokapnya menyambar kunci mobil dari tangan gua dan masuk ke dalam, lalu membanting pintu.
Dari tempat gua sekarang berdiri; di teras rumahnya, terdengar suara Bokapnya berteriak; “Tuh, akibatnya kalo nggak mau dengerin orang tua. Udah berapa kali papah bilang jangan maen sama itu anak, anak nggak jelas juntrungannya, Berandalan…”
‘Berandalan?’ Batin gua dalam hati, sambil tersenyum, berusaha menghibur diri dan bergegas pergi dari sana.
Sepanjang perjalanan pulang, kata kata Bokapnya Sekar terus terngiang di kepala; ‘Anak Nggak Jelas’, ‘Berandalan’. Sementara, ponsel gua nggak henti-hentinya berdering, nama Sekar muncul di layarnya dan gua mengabaikannya.
Gua berdiri di parkiran motor kampus yang kini sepi dan gelap. Ponsel gua kembali berdering; Sekar.
“Halo..”
“Kenapa nggak diangkat-angkat dari tadi?” Sekar bertanya, suaranya terdengar serak seperti habis menangis.
“Tadi di bis nggak kedengeran…” Gua beralasan.
“Sekarang dimana? udah sampe kosan?” Tanyanya
“Di kampus, ngambil motor…”
“Balik ke kosan kan?”
“Nggak, mau langsung ke kerjaan…” Jawab gua.
“Ooh.. Udah makan?” Tanyanya.
“Belum…” Jawab gua pelan.
“Makan dulu…”
“Nanti aja di kerjaan…”
“Yaudah ati-ati ya…”
“Iya…” Jawab gua, kemudian bersiap mengakhir panggilan. Namun, suara Sekar terdengar menyebut nama gua.
“Bi…”
“Ya…”
“Lo tadi denger ya?” Tanyanya, merujuk ke kata-kata Bokapnya tadi.
“Denger apa?” Gua balik bertanya, berpura-pura nggak tau apa yang dimaksud olehnya.
“Yang Bokap gw bilang, tadi…”
“Nggak kok, gua kan langsung pulang…” Jawab gua berbohong.
“Bohong… Gw tau lo denger..”
“...” Gua terdiam, nggak menjawab. Sementara, Sekar juga terdiam, hanya suara sisa tangisnya yang terdengar samar.
“Udah ya, gua mau jalan dulu…” Ucap gua menutup obrolan.
—
Gua berjalan meniti potongan konblok halaman parkir komplek perkantoran. Komplek perkantoran ini terdiri dari beberapa ruko 5 lantai yang sepertinya baru selesai dibangun. Terlihat, Mas Karlan dan beberapa rekan yang lain tengah duduk bersila di depan salah satu pintu kaca di depan sebuah ruko kosong. Beberapa kardus berisi gulungan kabel dan Tas perkakas tergeletak nggak begitu jauh dari tempat mereka duduk.
Ini hal yang biasa kami lakukan, saat tengah mengerjakan proyek gedung baru di malam hari; Duduk menunggu orang yang memegang kunci gedung sambil makan malam.
“Wis, mangan cuk?” Tanya Mas Karlan begitu melihat kedatangan gua.
Gua menggeleng pelan. Ia lalu menyodorkan bungkusan plastik ke arah gua; Nasi bungkus. Gua membuka isinya, seporsi nasi putih dengan sepotong telur dadar, sambal dan dilengkapi dengan kuah sayur kuning.
“Makasih mas…” Ucap gua, kemudian bergabung duduk bersila, dan mulai makan dengan yang lain.
Gua melirik ke arah bungkusan nasi dihadapan Mas Karlan, kemudian beralih ke menu makanan teman-teman yang lain. Tanpa sadar, air mata gua menetes. Bisa-bisanya, dia ngasih gua nasi bungkus dengan lauk Telur dadar, sementara mereka hanya makan dengan sepotong tahu.
“Yah opo cuk, kok mbrebes mili?” Tanya Mas Karlan begitu melihat gua meneteskan air mata.
“Gapapa mas…” Jawab gua berbohong sambil berusaha mengusap ujung mata yang basah.
Mas Karlan yang sepertinya tanggap dengan alasan gua sedih dan menangis kemudian menepuk lembut pundak gua dengan tangan kirinya.
“Kamu kan masih kuliah, makannya harus yang bergizi, biar otakmu tokcer, jos…” Jelasnya.
“...”
—
There is - Box Car Racer
this vacation's useless
these white pills aren't kind
i've given a lot of thought on this 13-hour drive
i missed the grinding concrete where we sat past 8 or 9
and slowly finished laughing in the glow of our headlights
i've given a lot of thought to the nights we use to have
the days have come and gone
our lives went by so fast
i faintly remember breathing on your bedroom floor
where i laid and told you but you swear you loved me more
do you care if i don't know what to say?
will you sleep tonight, will you think of me
will i shake this off pretend it's all okay
that there's someone out there who feels just like me
there is
those notes you wrote me
i've kept them all
i've given a lot of thought of how to write you back this fall
with every single letter in every single word there
will be a hidden message about a boy that loves a girl
do you care if i don't know what to say?
will you sleep tonight, will you think of me
will i shake this off
pretend it's all okay that there's someone out there who feels just like me
there is
do you care if i don't know what to say?
will you sleep tonight, will you think of me
will i shake this off
pretend it's all okay that there's someone out there who feels just like me
do you care if i don't know what to say?
will you sleep tonight, will you think of me
will i shake this off
pretend it's all okay that there's someone out there who feels just like me
there is