Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

perojolan14Avatar border
TS
perojolan14
Kisruh UMP DKI Buruh-Anies vs Pengusaha, Pusat Harus Turun Tangan


Kisruh Upah Minimum Provinsi (UMP) antara buruh, pengusaha, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) semakin ramai setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi keputusannya dengan menaikkan upah dari semula cuma Rp37.749 atau 0,85 persen menjadi Rp225.667 atau 5,1 persen.

Artinya, tahun depan UMP DKI menjadi Rp4.641.854 dari rencana awal Rp4.453.935. Angka baru ini disambut riang gembira oleh buruh. Tetapi, bikin pengusaha garuk-garuk kepala karena dinilai tidak sesuai dengan formula di pasal 26 Peraturan Pemerintah (PP) 36/2021 tentang Pengupahan.

Apalagi, pasal 27 dan 29 PP tersebut berbunyi penetapan UMP dan batas waktu penetapan UMP selambat-lambatnya pada 21 November 2021 dan tidak bisa diubah.

Memang, Anies sempat menyurati Menaker Ida Fauziyah untuk mengkaji ulang formula penetapan besaran UMP DKI 2022 karena dianggap tidak adil dan tidak layak.

Namun, Anies tiba-tiba merevisi sendiri besaran UMP yang sudah ditetapkannya. Alasannya, revisi UMP mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari Bank Indonesia (BI) sebesar 4,7-5,5 persen, dengan tingkat inflasi 2-3 persen.

Sebetulnya, rata-rata kenaikan UMP DKI mencapai 8,6 persen dalam enam tahun terakhir. Oleh karenanya, ia ingin mengapresiasi para pekerja dan buruh, termasuk ingin UMP DKI lebih layak, sesuai dengan daya beli masyarakat.

"Yang lebih penting adalah melalui kenaikan UMP yang layak ini, kami berharap daya beli masyarakat atau pekerja tidak turun," ucap Anies dalam keterangan resmi, Sabtu (18/12).

Sontak, pengusaha marah karena revisi UMP dilakukan sepihak tanpa diskusi dan menggunakan asas tripatrit bersama serikat pekerja. Padahal, musyawarah tripatrit sudah dilakukan pada penetapan besaran UMP DKI 2022 sebelum revisi dan seluruhnya diklaim sudah bersepakat.

Atas dasar itu, para pengusaha di Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berencana menggugat keputusan Anies ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan akan dilayangkan saat Anies menerbitkan peraturan gubernur (pergub) baru.

"Jadi begitu pergub keluar, Apindo dan Kadin DKI akan langsung lakukan gugatan," tegas Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani.

Apindo dan Kadin, lanjut Hariyadi, juga mengimbau para pengusaha di ibu kota tidak menerapkan UMP revisi. Sebab, akan berdampak buruk bagi perusahaan dalam penyusunan struktur upah dan skala upah (SUSU) serta menghambat kesempatan bagi pekerja baru.

Tak cuma itu, pengusaha juga meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk memberi sanksi kepada Anies dan kepala daerah lain apabila menetapkan besaran UMP 2022 tidak sesuai dengan formula di PP 36/2021.

"Meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberikan pembinaan atau sanksi kepada kepala daerah dan Gubernur DKI Jakarta yang tidak memahami peraturan perundangan, sehingga mengakibatkan melemahnya sistem pemerintahan," katanya.

Bau Politik

Di sisi lain, pengusaha menilai Anies merevisi besaran UMP demi kepentingan politik jelang pilpres 2024. "Oh jelas (demi pilpres 2024)," ujar Wakil Ketua Umum Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Adi Mahfudz Wuhadji.

Lantas, bagaimana cara menyelesaikan kisruh revisi UMP DKI?

Pengamat ketenagakerjaan dari UGM Tadjudin Nur Effendi menilai Anies jelas melanggar pedoman pusat soal penetapan besaran UMP. Memang, penetapan akhir besaran UMP ada di tangan gubernur, tapi formulanya seharusnya tetap berpedoman pada aturan dari pemerintah pusat, yakni PP 36/2021.

Dengan begitu, suka tidak suka, aturan ini harus dijalankan kecuali ada hal-hal yang membuat PP tersebut tidak berlaku dan mengacu pada formula di aturan yang lain.

"Penetapan memang di mereka (gubernur), tapi penyesuaian harus ikut pusat," tutur Tadjudin kepada CNNIndonesia.com.

Kesalahan lain, yaitu Anies tidak melibatkan musyawarah tripatrit dalam perubahan besaran UMP. Padahal, sudah jelas-jelas, kalangan pengusaha dan serikat buruh perlu diajak komunikasi dalam proses penetapan besaran UMP.

"Dan tidak boleh tinggalkan perusahaan, harus ingat dengan tripatrit dan menurut saya, Pak Anies tidak mengikutkan pengusaha," imbuhnya.

Untuk itu, sambung Tadjudin, pemerintah pusat harus segera 'turun tangan' menyelesaikan kisruh revisi UMP DKI. Bahkan, menurutnya, pemerintah pusat layak memberi sanksi.

"Karena sudah ada formulanya, kalau dia tidak ikut, berarti langgar pusat, dan harusnya ada sanksinya dari pusat. Tapi apa sanksinya, ada tidak di Kemendagri dan pusat?" terang dia.

Kendati begitu, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan kementerian masih mempelajari soal kisruh revisi UMP DKI. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik belum juga memberi tanggapan kepada redaksi hingga berita ini diturunkan. "Saat ini, kami sedang mempelajari permasalahan tersebut," ucap Benni.

Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan Chairul Harahap menyayangkan keputusan Anies yang mengubah besaran UMP DKI 2022 dan tak mengikuti formula PP 36/2021. Namun, ia memberi sinyal hal ini tidak serta merta salah bila merujuk pada PP 36/2021.

Sebab, menurut PP, pemerintah pusat memang memberi pedoman formula perhitungan besaran UMP kepada kepala daerah. Namun, keputusan dan penetapan akhir sebenarnya ada di kepala daerah.

"Terkait upah, memang leading sector-nya Kemnaker, tapi penetapan itu harus bicara kewenangan dan dalam hal ini ditetapkan kepala daerah," jelasnya.

"Jadi kalau tidak ikuti regulasi yang ada, referensi kita Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah," lanjutnya.

Berdasarkan Pasal 68 UU 23/2014, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Sanksi ini berupa teguran tertulis sampai dua kali berturut-turut. Bila kepala daerah tetap tidak melaksanakan, maka bisa diberhentikan sementara selama tiga bulan. Namun, kalau setelah pemberhentian sementara tetap tidak dilakukan, maka bisa diberhentikan secara permanen.

"Kalau bicara soal upah minimum itu merupakan program strategis nasional yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh kita semua," imbuh dia.

Kendati begitu, Chairul belum serta merta menilai Anies bisa dikenakan sanksi. Sebab, ia mengatakan kementerian tentu perlu berkoordinasi dengan kementerian teknis lain terkait pembinaan kepada kepala daerah ini.

"Dalam hal ini yang membina para kepala daerah di UU 23/2014 itu kan Kemendagri, kita harus sinergi dan komunikasi juga," tuturnya.

link


"Karena sudah ada formulanya, kalau dia tidak ikut, berarti langgar pusat, dan harusnya ada sanksinya dari pusat. Tapi apa sanksinya, ada tidak di Kemendagri dan pusat?" terang dia.
areszzjay
muhamad.hanif.2
bajier
bajier dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3.9K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.6KThread41.3KAnggota
Tampilkan semua post
flozaholicAvatar border
flozaholic
#3
jarang kerja.. senengnya beli penghargaan.. sekalinya pengen keliatan kerja malah nyusahin banyak orang.. idola kadrun bgt yg bgini..
antikhilafah
EvoltoCiao
baikapuk
baikapuk dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.