Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Sekar menatap gua lama, kemudian mulai buka suara. “Masa iya, gw harus ngalah terus sama Sasa…” Ucapnya pelan sambil membetulkan posisi kacamatanya.
Gua nggak menggubris ucapannya barusan, enggan membesar-besarkan masalah. Sekar punya sifat yang ‘to the point’, nggak mau berbelit-belit dan cenderung berapi-api. Namun, sifatnya itu ia tampilkan guna menutupi kepribadiannya yang ‘lembut’. Jadi, ada kalanya gua lebih memilih diam daripada melanjutkan pembahasan yang akhirnya berujung menjadi perdebatan mungkin bahkan menjadi pertengkaran.
Kemarin adalah salah satu contohnya; betapa Sekar nggak mau terlalu berlarut-larut tenggelam dalam masalah. Saat gagal mencoba menghubungi gua, ia akan datang menemui gua secara langsung; untuk ‘membereskan’ masalah, meminta atau bahkan menagih maaf.
Disisi lain, Sekar punya perasaan yang amat lembut, hatinya mudah tersentuh dan kerap menyembunyikan kesedihan. Menurutnya, rasa sedih hanya eksklusif miliknya seorang dan tak ada satupun yang diperbolehkan melihatnya menangis.
Gua mengambil gorengan yang tersaji di atas piring berlapis plastik. Sementara, Sekar terdiam. Kali ini tatapannya ia alihkan ke rokok yang terselip di jari tangan kiri gua lalu berusaha menutup hidungnya dengan tangan dan mulai berakting; terbatuk-batuk.
Masih dengan rokok di sela-sela jari, gua meraih tas dan mengeluarkan obat batuk cair dalam kemasan sachet, kemudian menyerahkannya ke Sekar. Alih-alih menyambut pemberian gua, Sekar justru menatap gua sambil terdiam. Sementara tangannya masih ia gunakan untuk menutup mulut dan hidungnya.
Dengan cepat ia meraih lengan gua, mengambil batangan rokok dari sela-sela jari gua dan membuangnya ke dalam asbak.
“Duh, sayang-sayang, masih panjang itu Kar…” Gerutu gua sambil kembali memungut batangan rokok dari asbak, membersihkan bagian filternya yang sudah terkena debu dan kembali menghisapnya dalam-dalam.
Sekar lalu berdiri, dan bergegas keluar dari kamar kos gua.
“Mau kemana?” Tanya gua sambil menoleh ke arahnya.
Ia balik menatap gua kemudian bicara; “Bosen gw, keluar yuk…”
“Tunggu…” Jawab gua, kemudian berdiri dan meraih celana jeans yang tergantung di balik pintu dan tas yang tergeletak di lantai.
Gua berjalan cepat menyusul Sekar yang sudah terlebih dulu turun kebawah.
“Naek motor aja kali bi…” Ucap Sekar kalau gua sudah berada tepat dibelakangnya.
“Motor gua dipake sama Edot…” Jawab gua sambil membetulkan kemeja flannel yang baru saja selesai gua kenakan.
Sekar menghela nafas kemudian melanjutkan berjalan menuju ke area parkir kos-kosan yang berada tepat di seberang bangunan.
Beberapa menit berikutnya kami sudah berada di tengah-tengah kemacetan jalan Lenteng Agung yang mengarah ke Depok.
“Bi..”
“Ya…”
“Lo inget nggak besok hari apa?” Tanya Sekar, sambil menoleh ke arah gua. Sementara kedua tangannya berada di kemudi.
“Minggu?..” Jawab gua, kurang yakin.
“Bukaaaan itu maksudnya… Ih elo maah…” Sekar merajuk.
Sementara gua nggak merespon kata-katanya barusan, hanya memandang ke arah luar melalui jendela. Menatap kosong ke arah bangunan-bangunan kayu semi permanen yang menjual jasa pertamanan di sepanjang jalan Lenteng Agung.
“Bian…” Sekar kembali memanggil gua, yang semakin tenggelam dalam lamunan.
“Apa?”
“Inget nggak?”
“Nggak…” Gua menjawab cepat.
“Lo beneran nggak inget?”
“Nggak…”
“Oh Yaudah…” Sekar akhirnya menyerah.
Namun, nggak butuh waktu lama hingga akhirnya ia kembali mengajukan pertanyaan ke gua. “Lo nggak penasaran?”
Gua menggeleng.
“Lo bener-bener nggak seru yah, Bi…” Sekar kembali menyerah.
—
Satu jam berikutnya, kami sudah tiba di salah satu coffee-shop favorit Sekar di mall yang terletak di bilangan Depok. Ia mulai memesan kopi dan memilih kursi di sudut ruangan.
“Nggak…” Jawab gua singkat kemudian bergegas pergi.
Ini merupakan salah satu kebohongan dari beberapa kebohongan lain yang sempat gua utarakan ke Sekar. Gua melangkah ke arah berlawanan dari posisi toilet mall, kemudian bergegas menuju ke lantai dua mall, ke sebuah toko yang khusus menjual CD musik.
“Ada CD Paramore yang Riot! mbak?” Tanya gua ke salah satu pegawai yang menjaga toko, sambil terus melihat-lihat deretan CD musik yang berderet di atas rak.
“Band barat ya mas?” ia balik bertanya.
“Iya…” Jawab gua. Yang lalu direspon oleh pegawai tadi dengan menunjukkan salah satu rak berisi deretan CD yang berada di belakang gua.
Tangan gua kembali meniti deretan CD musik yang berada di rak. Nggak butuh waktu lama, gua akhirnya menemukan CD dari band yang gua maksud. Setelah melakukan pembayaran, gua bergegas kembali ke coffee-shop.
“Lama deh…” Sambut Sekar begitu melihat gua kembali. Ia lalu menyodorkan secangkir kopi hitam pesanan gua.
“Kar…” Panggil gua sambil menatap matanya.
“Ya…”
“Besok gua kerja, jadi gua kasih sekarang aja…” Ucap gua sambil menyodorkan CD Paramore yang barusan gua beli.
“Eh…” Sekar memandang ke arah CD Paramore diatas meja, kemudian beralih menatap gua.
“....”
“Lo Inget?” Tanyanya, sambil meraih CD dan memeluknya.
Gua mengangguk, kemudian mulai buka suara; “Ucapan selamat-nya besok aja…”
“Yeay… makasih ya…” Sekar berteriak pelan
“....”
“Eh, mahal nggak ini? lo punya duit emangnya?” Tanya Sekar.
“Punya…” Jawab gua, nggak sepenuhnya jujur.
Sekar berdiri dan kini duduk persis di sebelah gua. Tanpa banyak basa-basi, ia menyandarkan kepalanya di bahu gua. Sementara, kedua tangannya terlihat masih menggenggam CD Paramore yang baru saja gua berikan kepadanya. “Jadi inget waktu pertama kali kita kayak gini…” Sekar bicara pelan.
—
Potongan-potongan masa lalu mulai berterbangan di benak gua.
Kala itu, Akhir tahun ketiga masa SMA, hari perayaan kelulusan.
Disaat semua siswa-siswi menebar senyum kebahagian, gua duduk sendiri di halaman belakang sekolah dengan headset menyumbat kedua telinga. Bayang-bayang Larissa masih terasa nyata. Ia serasa masih duduk di sebelah gua, bersandar di bahu sambil mendendangkan lagu favoritnya yang kini tengah gua dengarkan.
Sosok perempuan berkacamata berjalan mendekat, ia duduk tepat di sebelah gua. Ia mengambil salah satu headset dari telinga gua, kemudian menyibak rambut yang menutupi telinga dan mulai memasang headset tersebut.
Hampir 3 lagu kami dengarkan bersama, dan selama itu pula kami tenggelam dalam diam. Hanya menatap kosong ke arah deretan kursi-kursi rusak yang teronggok tepat di depan kami berdua.
“Gw ganggu lo nggak?” Tanyanya tanpa menoleh ke arah gua.
“Kenapa baru nanya sekarang?” Gua balik bertanya.
“Abis tadi lagunya enak…” Jawabnya santai, sementara kedua kakinya ia goyangkan mengikuti irama lagu.
“...”
“Lo masih kepikiran Sasa?” Ia kembali bertanya. Yang lalu gua respon dengan sebuah anggukan pelan.
“Sampai kapan?” Tanyanya lagi. Lagi, gua jawab dengan mengangkat kedua bahu; Nggak tau sampe kapan.
“Tapi kan lo juga punya hidup yang harus dijalanin, Bi…” Ucap Sekar, kali ini tak lagi menatap kosong ke depan, ia menoleh, menatap ke arah gua.
Gua ikut menoleh, kemudian melempar senyum ke arahnya. Jujur, gua nggak tau gimana harus merespon pernyataannya barusan.
Sejak ‘ditinggal’ Larissa, gua berusaha untuk tetap hidup seperti saat ia masih berada di sisi gua. Nyatanya, hal itu sungguh nggak mudah dilakukan. Semasa hidupnya, Larissa betul-betul menjadi ‘pemandu’ gua. Gua kehilangan pegangan, layaknya tulisan tangan pada buku tulis tanpa garis; berantakan, layaknya nasi bungkus tanpa ikatan karet; Ambyar!
Terdengar suara gemuruh siswa-siswi dari halaman depan sekolah.
“Kayaknya udah mau mulai acaranya tuh, yuk Bi…” Sekar berdiri kemudian menjulurkan tangannya.
Gua mendongak dan menatap matanya yang penuh ketulusan.
Di halaman depan sekolah, terlihat kerumunan siswa-siswi, menghadap ke arah panggung besar dan megah yang digelar dalam rangka perayaan kelulusan. Sekumpulan siswa kelas 2 berpenampilan necis tengah beraksi di atas panggung, membawakan lagu-lagu Green Day sambil melompat-lompat penuh semangat.
Sementara Sekar dan gua berada di barisan paling belakang, berdiri bersisian, bersandar di dinding kelas. Sesekali ia ikut bernyanyi, mengikuti suara sang vokalis yang terdengar sedikit sumbang. Kadang, ia kedapatan tengah menatap gua kemudian buru-buru kembali memalingkan pandangannya ke arah panggung.
—
Selepas acara selesai dan siswa-siswa mulai membubarkan dirinya. Beberapa kelompok siswa berkumpul di depan sekolah, sepertinya akan melakukan konvoi dengan sepeda motor. Dan sisanya tengah bersiap untuk acara corat-coret seragam di luar sekolah. Acara yang telah direncanakan jauh-jauh hari secara diam-diam tanpa sepengetahuan guru.
Dita dan Rio menghampiri kami berdua.
“Ayo, Kar…” Ajak Dita sambil meraih lengan Sekar.
“Iya bentar, Gw ambil tas dulu…” Jawabnya kemudian pergi menuju ke kelas.
“Lo ikut juga nggak, Bi…” Tanya Dita ke gua.
“Nggak deh, gua balik aja…” Jawab gua, kemudian menyusul Sekar menuju kelas.
Gua mempercepat langkah untuk menyusul Sekar. Saat sudah berada disisinya, gua bertanya; “Lo beneran mau ikut coret-coretan, kar?”
“Iya, emang lo nggak mau ikut?” Ia balik bertanya.
Gua menggeleng. Sementara, Sekar menghentikan langkahnya; “Ah, nggak seru lo…” Ucapnya sambil menepuk pundak gua kemudian kembali melanjutkan langkah menuju kelas.
Gua meraih pergelangan tangannya. “Jangan ikut, Kar…” Pinta gua.
Sekar terdiam. Matanya menatap ke arah tangan gua yang menggenggam pergelangan tangannya. Pandangannya kemudian beralih ke wajah gua.
“Kenapa?” Tanyanya pelan.
“Bahaya…” Gua memberi alasan. Sebuah alasan klise yang pada akhirnya gua sesali. Sejujurnya, gua cuma nggak mau sendirian.
Mendengar alasan gua, Sekar tertawa. “Ya ampun Bi… ini tuh cuma seru-seruan doang… apa bahayanya sih coret-coretan seragam. Kan buat kenang-kenangan kita juga…” Jelasnya.
Gua mengangguk pelan, kemudian melepas genggaman gua dan bergegas pergi menjauh. Sementara, Sekar terlihat kembali berjalan menuju ke kelasnya, untuk mengambil tas dan bergabung dengan yang lainnya.
—
Gua duduk diatas meja di dalam kelas yang kosong. Sengaja berlama-lama disini, sambil menunggu gerombolan siswa-siswi yang bersiap coret-coretan pergi dari depan sekolah. Setelah menunggu beberapa lama, gua keluar dari kelas. Dari koridor kelas gua yang berada di lantai tiga, terlihat suasana sekolah mulai sepi. Yang tersisa hanya sekumpulan anggota OSIS dan panitia perayaan yang mayoritas anak kelas 2 tengah membersihkan halaman sisa perayaan. Sepertinya anak-anak kelas tiga yang berencana konvoi dan corat-coret seragam telah meninggalkan sekolah.
Dengan headset di telinga, gua berjalan melalui koridor sementara tangan kanan gua menyusuri railing besi pembatas.
Gua berdiri di sisi jalan, menunggu angkot untuk pulang. Samar terdengar teriakan yang memanggil, namun gua abaikan; mungkin perasaan gua aja.
Angkot berwarna merah berhenti tepat di depan gua. Beberapa siswi SMP terlihat turun dari dalam angkot, dan gua bersiap untuk naik. Lalu, sebuah tarikan mencegah gua naik. Gua berpaling; Sekar berdiri di belakang gua, sementara tangannya masih menggenggam seragam sekolah gua.
“Nggak jadi ikut?” Tanya gua. Yang lalu dijawab dengan gelengan kepala olehnya.
“Kenapa?” Gua menambahkan.
“Bahaya…” Jawabnya pelan.
—
Gua dan Sekar berdiri di sisi jalan. Kami sama-sama terdiam.
“Lo harus tanggung jawab, Bi…” Sekar mulai buka suara.
“Hah?”
“...Lo udah bikin gw nggak ikut coret-coretan…” Ia menambahkan.
“...”
“...Sekarang lo harus ngajak gw melakukan sesuatu yang sama memorablenya dengan coret-coretan…”
“Lah…”
“Kenapa? nggak mau? yaudah gw nyusul yang laen aja klo gitu…” Ancam Sekar kemudian berniat pergi. (Lagi) gua mencegahnya pergi dengan menarik lengannya.
“Jangan…” Cegah gua.
“...”
Akhirnya sore itu kami habiskan dengan duduk di salah satu restoran cepat saji paling dekat dengan sekolah. Kami hanya ngobrol, saling bertukar cerita dan keluh kesah. Sekar banyak menceritakan tentang hobi dan kegiatan-kegiatannya selain di sekolah. Sementara gua jelas lebih banyak mendengar daripada bicara. “Kalau mau jago ‘bicara’, lo harus lebih banyak mendengar” Salah satu kata-kata Larissa yang nggak pernah terlupa.
Hari berikutnya, pertemuan gua dengan Sekar semakin intens. Kami berdua sama-sama tengah berjuang untuk tes masuk perguruan tinggi negeri. Sekar punya motivasi masuk Kampus negeri demi pengakuan dari kedua orang tuanya, sedangkan motivasi gua jelas lebih ke arah biaya. Konon katanya, masuk kampus negeri lebih murah daripada kampus swasta. Adakalanya, Sekar berkunjung kerumah gua dengan tumpukan buku-buku tebal panduan lulus tes perguruan tinggi negeri. Atau sebaliknya, gua yang maen kerumahnya.
Perjuangan Sekar nyatanya berbuah manis. Ia akhirnya diterima di salah satu kampus negeri paling bergengsi yang berlokasi di daerah Depok. Sementara, takdir buat gua berkata lain. Gua gagal masuk kampus negeri dan harus rela menghabiskan uang tabungan hasil jual mobil bokap buat biaya masuk kampus swasta, yang kebetulan terletak nggak begitu jauh dari Kampusnya Sekar.
“Udah kelar?” Tanya gua sambil menyeruput es kopi dalam gelas plastik besar.
Terlihat Sekar tengah sibuk merapikan barang-barangnya di dalam tas. Ia baru saja menyelesaikan masa orientasinya di kampus.
“Akhirnya kelaaar juga” Keluhnya sambil menjatuhkan diri di kursi tepat di sebelah gua.
Gua lalu menyodorkan gelas berisi es kopi ke arahnya. Sekar menyambutnya dan mulai meneguknya sampai tak tersisa. Gua menatap wajahnya yang terlihat lelah namun kali ini penuh kelegaan karena telah menyelesaikan masa orientasinya yang berat.
Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu gua, kemudian menghela nafas panjang.
“Makasih ya, Bi… udah semangatin gw terus, udah dengerin keluhan-keluhan gw..” Ucapnya pelan.
Gua mengangguk pelan. Kemudian memberanikan diri menggenggam tangannya. Sekar lalu mendongak dan mulai menatap gua, seakan mempertanyakan apa arti genggaman ini.
Beberapa menit berikutnya, kecanggungan menghinggapi kami berdua. Kami bahkan berjalan berjauhan saat menuju ke lokasi parkir. Dan kembali diam saat berada di dalam mobil.
“Dari tadi diem aja, kenapa?” Gua akhirnya memberanikan diri membuka obrolan.
Dari sudut mata, terlihat Sekar seperti salah tingkah. Ia tampak kebingungan untuk merespon pertanyaan gua, beberapa kali ia melepas kacamata dan membersihkannya dengan ujung kaos. Atau, membuka laci dashboard mobil dan menutupnya lagi, seakan akan tengah mencari kesibukan yang tak perlu.
“Kar…” Gua memanggilnya.
“Eh, iya… kenapa?” Jawabnya kikuk.
“Kenapa diem aja?” Gua mengulang pertanyaan.
“Eh, anu.. gapapa..”
“Tumben banget? biasanya ceplas-ceplos…”
Sekar terdiam cukup lama sambil menggigit kuku jarinya, sementara matanya menatap ke luar jendela.
“Kita ini apa, Bi?” Sekar akhirnya mengajukan pertanyaan.
“Maksudnya?” gua balik bertanya.
“Tadi di coffee-shop, lo megang tangan gw… Gw takut salah ngartiin, makanya dari tadi gw bingung… sekarang gw tanya ke elo, kita ini apa?” Tanya Sekar, sembari menjelaskan.
“Gua juga nggak tau…” Jawab gua
“Trus, kenapa tadi lo megang tangan gw?” Tanyanya lagi.
“Karena gua…”
“Karena apa?” Ia memotong kalimat gua yang belum selesai.
“...” Gua nggak mampu melanjutkan kata-kata. Kali ini gua yang terlihat kikuk didepannya.
“Lo sayang sama gw kan?” Ia menambahkan, to the point.
“...”
Kemudian kami kembali tenggelam dalam diam. Gua nggak mampu menjawab pertanyaannya. Entah kenapa, gua masih terbayang-bayang rasa bersalah kalau gua menjalin hubungan dengan orang lain. Rasa-rasanya, Larissa masih menjadi bintang dan mengawasi gua dari sana; gua seperti berkhianat!
Kami terus dalam diam, hingga akhirnya tiba dirumah Sekar. Ia, buru-buru turun dari mobil dan bergegas masuk, meninggalkan gua sendiri di dalam mobilnya.
Gua menyandarkan kepala di atas kemudi. Pikiran mulai berkecamuk.
Setelah hampir sepuluh menit terdiam di dalam mobil, gua keluar dan menghubungi Sekar melalui ponsel.
“Apa?” Suara Sekar terdengar di ujung sana.
Gua menatap ke arah jendela kamarnya dari luar. Sekar terlihat mengintip dari balik tirai, kami bicara melalui ponsel tapi saling pandang secara langsung.
“Turun gua mau ngomong…” Jawab gua.
“Ogah? Kalo mau ngomong kenapa nggak dari tadi…” Responnya ketus.
“Iya, Kar…”
“Iya apa?” Tanyanya.
“Iya, gw sayang sama elo…” Ucap gua ke Sekar, sambil menatapnya melalui jendela kamar.
Sekar lalu hilang dari pandangan, beberapa saat kemudian suara pintu terbuka. Tanpa alas kaki Ia menghambur keluar dan dengan cepat memeluk gua.
“Gw juga sayang sama elo…” bisiknya
—
Misery Business - Paramore
I'm in the business of misery,
Let's take it from the top.
She's got a body like an hourglass, it's ticking like a clock.
It's a matter of time before we all run out,
When I thought he was mine she caught him by the mouth.
I waited eight long months,
She finally set him free.
I told him I couldn't lie he was the only one for me.
Two weeks we caught on fire,
She's got it out for me,
But I wear the biggest smile.
Whoa, I never meant to brag.
But I got him where I want him now.
Whoa, it was never my intention to brag
To steal it all away from you now.
But God does it feel so good,
'Cause I got him where I want him now.
And if you could then you know you would.
'Cause God it just feels so...
It just feels so good.
Second chances they don't ever matter, people never change.
Once a baik you're nothing more, I'm sorry, that'll never change.
And about forgiveness, we're both supposed to have exchanged.
I'm sorry honey, but I passed it up, now look this way.
Well there's a million other girls who do it just like you.
Looking as innocent as possible to get to who,
They want and what they like, it's easy if you do it right.
Well I refuse, I refuse, I refuse!
Whoa, I never meant to brag
But I got him where I want him now.
Whoa, it was never my intention to brag
To steal it all away from you now.
But God does it feel so good,
'Cause I got him where I want him right now.
And if you could then you know you would.
'Cause God it just feels so...
It just feels so good.
I watched his wildest dreams come true
Not one of them involving you
Just watch my wildest dreams come true
Not one of them involving...
Whoa, I never meant to brag
But I got him where I want him now.
Whoa, I never meant to brag
But I got him where I want him now.
Whoa, it was never my intention to brag
To steal it all away from you now.
But God does it feel so good,
'Cause I got him where I want him now.
And if you could then you know you would.
'Cause God it just feels so...
It just feels so good.