Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua membolak-balik lembaran catatan milik Larissa; kosong. Catatan Larissa berakhir hingga saat Ia memberitahu gua tentang diagnosa penyakitnya. Gua memeluk catatan bergambar Hello kitty tersebut, sambil kembali menangis sejadi-jadinya.
Selama ini Gua selalu merasa menjadi sosok yang paling mengerti dirinya. Selama ini Gua merasa selama ini, gw selalu ada buat menemani dan melindungi dia, nyatanya gua salah. Di waktunya yang singkat, Larissa justru selalu hadir buat gua, mengajari banyak hal, membuka mata dan hati untuk dunia.
Gua harus berubah. Bukan, bukan buat Larissa, tapi buat diri gw sendiri. Buat sosok Bian yang selama ini susah payah disadarkan oleh Larissa. Betapa dunia, nggak ‘sehitam’ bayangan gua sebelumnya.
Dengan catatan masih dalam pelukan, gua berdiri hendak menuju ke kamar. Dari dalam catatan milii Larissa, jatuh beberapa lembar kertas. Gua memungutnya dari lantai; Foto-foto gua dan Larissa; diantaranya diambil saat gua tengah menjenguknya di rumah sakit, sisanya diambil saat kami berwisata ke Cibodas beberapa waktu yang lalu. Gua memandangi foto-foto tersebut, kemudian tersenyum, sementara tangis ini masih belum reda.
Untuk pertama kalinya, gua memasukkan foto kedalam dompet.
Masih sambil memandangi foto-foto gua dan Larissa yang kini berada di dalam dompet, gua meraih ponsel dan mulai menelpon.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga suara cewek yang mirip dengan Larissa menyapa gua dari ujung sana; “Kenapa?” Tanyanya.
“Res, Lo udah baca semua?” Tanya gw.
“Udah…” Jawab Resti singkat, seakan tau yang gua maksud; Catatan milik Larissa.
“Semua?” Gua kembali bertanya, mencoba meyakinkan.
“Iya, semua… Kan tadi gw udah bilang ‘sorry gw jadi tau tentang lo’” Resti menjelaskan.
Gua menghela nafas panjang, yang mungkin terdengar olehnya dari ujung sana. Resti lalu kembali meyakinkan gua; “Tenang, gw nggak bakal cerita ke siapa-siapa?”
“Lo cerita ke siapapun juga nggak masalah buat gua…” Jawab gua.
“You wish!, gw juga males nyeritain kisah lo ke orang…” Responnya.
“...”
“... Udah ya, gw lagi nyetir….” Pamit Resti, kemudian mengakhiri panggilan.
Ucapan tersebut, mungkin suara Resti terakhir yang sempat gua dengar. Tak ada lagi sosok yang menjadi alasan gua dan Resti bisa ngobrol atau bertemu lagi.
—
Siang itu, matahari betul-betul tengah bersemangat. Gua memicingkan mata seraya menurunkan topi untuk menghalau pantulan sinar matahari dari kaca-kaca mobil yang melintas di jalan raya. Gua duduk di kursi besi panjang di sebuah halte bus yang berada tepat di depan kampus.
“Lo balik, cad?” Tanya Edi sambil duduk di atas kursi panjang tepat di sebelah gua. Edi, ini merupakan salah satu teman seangkatan gua, yang sekaligus teman satu kost-an.
“Mau maen dulu…” Jawab gua santai, sambil menghisap dalam-dalam rokok filter kemudian menjatuhkan ke lantai dan menginjaknya.
“Motor lo mana?” Tanya Edi
“Di parkiran…” Jawab gua sambil menunjuk ke arah parkir motor kampus yang posisinya tepat di belakang halte dimana kami sekarang berada.
“Sini, gw pake dulu, buat nganter Tania…” Ujar Edi sambil menadahkan tangan kanannya. Tanpa banyak mikir, gua merogoh saku celana jeans dan menyerahkan kunci sepeda motor beserta karcis parkir kepadanya.
“STNK?” Tagihnya setelah menerima kunci dan karcis parkir.
Gua mencari-cari dompet dari dalam tas, setelah ketemu, lalu mengeluarkan STNK dari dalam dompet dan memberikannya ke Edi. Ia sempat mengintip saat gua tengah membuka dompet. “Ih siapa tuh? Cewek lo ya?” Tanyanya ketika melihat lembaran foto usang di dalam dompet gua.
“Kok Beda?” Edi kembali bertanya.
Gua nggak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan a-la Clint Eastwood yang menyiratkan; ‘udah pergi sana!’
Edi, mengeluarkan batangan rokok yang dibungkus plastik transparan dari dalam saku bajunya. Tipikal para mahasiswa dari golongan menengah ke bawah seperti kami; beli rokok ketengan yang dibungkus plastik transparan alih-alih kemasan rokok pada umumnya.
“Yaudah sana… katanya mau nganter Tania…” Gua mengusir Edi sambil mengibas asap rokok yang sengaja ia hembuskan ke arah gua.
“Ntar nunggu Tania, Doi lagi ke tukang fotokopi dulu sebentar…” Edi berdalih.
“...”
“Lo ngangkot? apa dijemput cewek lo?” Edi kembali bertanya.
“Dijemput…” Jawab gua pelan.
Nggak seberapa lama, sebuah sedan merah berhenti tepat di depan halte tempat gua dan Edi duduk. Sosok cewek, berambut panjang keluar dari pintu kemudi, menatap kami berdua sambil menyunggingkan senyum.
“Yuk…” Ajaknya, sambil kembali masuk ke dalam mobil. Kali ini ia masuk melalui pintu depan sebelah kiri; bagian penumpang.
“Gua duluan ya, motor isiin bensin…” Gua pamit ke Edi kemudian bergegas masuk kedalam mobil.
—
“Lo ngerokok?” Tanyanya, begitu gua masuk kedalam mobil dan duduk dibalik kemudi. Sementara, suara deru kereta api melintas. Iya, lokasi kampus gua memang persis berseberangan dengan rel kereta api yang terbentang sepanjang jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Hah?” Gua pura-pura nggak mendengar.
Ia terdiam, sambil menunggu deretan gerbong melintas. Kemudian kembali bertanya; “Lo ngerokok?”
“Nggak…” Gua menggeleng.
Sontak, ia meraih lengang kiri gua yang berada di atas perseneling dan mulai mengendusnya.
Tak mendapati apa yang dicurigai, ia lalu menggerakan tangannya, berusaha meraih tangan kanan gua yang tengah berada di kemudi; “Yang kanan, coba”
Pasrah, gua menjulurkan tangan kanan ke arahnya. Ia kembali mengendusnya, kemudian menepuk pelan tangan gua; “Suru berenti ngerokok aja susah banget…” Omelnya.
Gua hanya terdiam sambil melengos mendengar omelannya. Kemudian kami berdua tenggelam dalam diam. Hanya suara penyiar yang menyajikan obrolan seputar gosip artis terbaru dan riuh suara klakson sepeda motor yang menemani keheningan kami.
Hampir satu setengah jam lamanya kami tempuh, hingga akhirnya tiba di pelataran parkir pemakaman umum Tanah Kusir. Gua keluar dari mobil, sementara ia tak kunjung menyusul keluar.
“Nggak mau ikut?” Gua bertanya kepadanya melalui kaca depan mobil; tanpa suara, hanya dengan gerakan bibir dan kode menggunakan tangan. Sementara ia hanya, menggeleng dengan ekspresi datar.
Gua mengangguk dan bergegas meninggalkannya, menuju ke area pemakaman.
Sebuah makam dengan nisan marmer berwarna hitam seakan menanti kehadiran gua. Gundukan tanahnya, terlihat bersih dan terawat. Hampir tak ada rumput liar yang tumbuh di sekitar makam, hanya sisa-sisa taburan kelopak bunga berwarna merah yang kini memudar yang berada tepat diatas gundukan. Sementara, tepat di bawah nisan, beberapa tangkai mawar terlihat mulai layu.
Gua duduk di tepi nisan. Mengeluarkan setangkai mawar dari dalam tas yang tadi sengaja gua beli di tukang kembang dekat kampus. Setangkai mawar yang beberapa kelopaknya kini mulai rusak karena harus tertumpuk dengan tumpukan buku di dalam tas. Gua meletakkannya tepat di bawah nisan.
“Sorry ya Sa, mawarnya rusak dikit…”
“Oiya, sorry juga, minggu kemarin gua nggak sempet mampir. Soalnya ada kerjaan… Kan lumayan buat nambah-nambahin bayar semesteran… gapapa kan, sa?”
“Minggu ini banyak tugas di kampus. Udah gitu terus bentar lagi UTS, mana kemeja putih gua udah dekil banget. Ntar, kalo duit ‘narik kabel’ udah ‘turun’ gua mau beli kemeja putih, terus beliin lo mawar dua tangkai ya…”
“Trus, trus, Sa… Laptop gua mulai lemot deh… Kayaknya keseringan dipake maen game sama edot deh…”
“Lo kangen gua kan, Sa? Lo pasti bosen yah dengerin pertanyaan ini terus tiap kali gua kesini?”
“Kalo gua sih, tiap hari kangen terus sama elo… Kangen sama cubitan lo, kangen sama sentilan lo, kangen sama bawelnya elo, pokoknya kangen sama semuanya tentang elo deh…”
Gua menatap jam tangan yang kini menunjukkan pukul 3 sore.
“Udah jam 3, Sa… gua balik ya… Nanti minggu depan gua kesini lagi ya…”
Gua mengelus pelan nisan marmer berwarna hitam dimana terukir nama Larissa disana.
Hampir 4 tahun terakhir, setiap hari Jumat gua selalu menyempatkan diri kesini; ke makam Larissa. Hanya sekedar untuk ngobrol sendiri, mengadu dan berkeluh kesah. Buat gua, ini semacam kebiasaan yang nggak bisa hilang. Terasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati saat satu kali saja gua nggak mengunjunginya, sesuatu yang bakal sangat mengganggu gua.
—
“Tumben nggak bawa bunga?” Tanyanya begitu gua masuk ke dalam mobil.
“Ooh…” Responnya sambil menatap kosong ke arah luar melalui jendela mobil.
Lagi. Kami tenggelam dalam diam.
“Diem aja kenapa?” Tanya gua sambil menoleh ke arahnya yang masih menatap ke luar jendela.
“Gapapa… BT aja…” Jawabnya pelan.
“BT kenapa?” Tanya gua.
“Gapapa…” Ucapnya, ada kekecewaan dari nada bicaranya barusan.
“BT gara-gara nunggu kelamaan? Atau nyesel karena harus nganter gua kesini?” Tanya gua, mencoba menebak arah kekecewaannya.
“...” Sementara ia kembali terdiam, (masih) sambil menatap kosong ke arah luar melalui jendela mobil.
“Gua kan udah pernah bilang sama elo, kalo nggak mau nganter ke sini gapapa. Gua bisa kok kesini sendiri…” Gua menambahkan.
“...” Tak ada respon darinya.
Kami berdua kembali tenggelam dalam keheningan.
Beberapa menit kemudian, ia berpaling, menatap gua dan mulai bertanya; “Kira-kira kapan lo mau berenti kesana tiap minggu?”
Gua mengangkat kedua bahu; ‘Nggak tau, mungkin nggak bakal berenti…”
“...”
“Kenapa?” Gua balik bertanya kepadanya.
“Gapapa…”
“Nggak suka ya, nemenin gua kesana?”
“Bukan gitu… gw tuh cuma bingung aja…”
“Bingung kenapa?” Gua kembali bertanya, sambil sesekali menatap ke arahnya.
“Ya bingung aja… yang idup ada disini, nemenin lo, support lo. Tapi, elo nya tuh kayak nggak bisa move-on sama yang ‘udah nggak ada’... Gw tuh kayak ngerasa jadi nggak penting lagi dimata lo…” Ia menjelaskan.
Gua mengernyitkan dahi, hampir nggak percaya dengan apa yang gua dengar barusan. Gua melambatkan laju kendaraan dan mulai menepi.
“Masalah ini, bukannya dulu kita udah sepakat ya. Lo bilang bakal ‘fine-fine’ aja kalo gua nengokin Sasa seminggu sekali. Bahkan lo yang nawarin diri buat nemenin gua. Dan Sasa, kan juga temen lo… Trus sekarang lo ngomong gini…” Gua merespon sambil menatap ke arahnya.
“Ya dulu gw pikir, lo nggak bakalan terus-terusan ke makam Sasa…” ia berdalih.
Gua menggelengkan kepala, meraih tas yang berada di kursi belakang dan keluar dari mobil. Ia menyusul gua keluar; “Mau kemana?”
“Balik, lo balik sendiri bisa kan? besok-besok nggak usah nemenin gua kesini lagi…” Ucap gua kepadanya sebelum akhirnya pergi meninggalkannya.
“Bi… Bian…” Ia memanggil, namun gua abaikan dan tetap berjalan menjauh.
—
“Malem amat?” Tanya Edi begitu gua tiba di Kosan. Terlihat ia tengah duduk bersandar di teras kamar sambil memainkan gitar. Sementara, gelas plastik berisi kopi dan asbak rokok berada tepat didepannya.
“Macet…” Jawab gua singkat.
“Berantem ye?” Edi kembali bertanya.
Mendengar pertanyaannya, gua yang tengah melepas sepatu, terkejut. Tau darimana dia kalau gua bertengkar?
“Tadi Cewe lo nelpon gw… Nanyain lo udah sampe apa belom” Edi menjelaskan, seakan tau apa yang gua pikirkan.
“Terus lo bilang apa?” Tanya gua, sambil mencari-cari kunci kamar kos didalam tas.
“Ya gw bilang, ‘kamarnya masih gelap, kayaknya belom pulang’…” Ia menjawab, sambil menirukan gaya bicara dengan telapak tangan yang ia bentuk seperti telepon.
“Oh… yaudah…” Respon gua sambil masuk kedalam kamar dan menutup pintu.
Beberapa detik kemudian, gua kembali membuka pintu; “Kunci motor, sama STNK mana?”
“Ada di dalem…” Jawab Edi sambil menunjuk ke arah kamarnya dengan dagu. Ia lalu melanjutkan bernyanyi sambil bermain gitar.
Selepas mandi, gua merebahkan diri di atas kasur lantai tipis yang selama 4 tahun terakhir ini jadi tempat gua tidur. Gua meraih ponsel dan menatap ke layarnya; 8 panggilan tak terjawab, 11 pesan masuk. Tanpa mengecek satu persatu pesan yang masuk, gua menjatuhkan ponsel ke atas kasur.
Masih terngiang-ngiang di kepala gua ucapannya tadi; “yang idup ada disini, nemenin lo, support lo. Tapi, elo nya tuh kayak nggak bisa move-on sama yang ‘udah nggak ada’... Gw tuh kayak ngerasa jadi nggak penting lagi dimata lo…”
Kalo dipikir-pikir, ucapannya tadi memang ada benarnya. Tapi, entah kenapa saat mendengarnya hati ini terasa seperti dicabik-cabik; Kesal!
‘Ah masa bodo!’ batin gua dalam hati. Kemudian memasang headset di telinga dan mulai mendengarkan lagu The Best of Me-nya The Starting Line.
—
Suara ketukan pintu kamar membangunkan gua.
Masih setengah sadar, gua memutar kunci dan membuka pintu. Edi berdiri di ambang pintu, ia sudah terlihat rapi dan necis. “Kalo nggak kemana-kemana, pinjem motor lagi. Gw mau jalan sama Tania…”
Gua nggak menjawab, lalu kembali ke atas kasur ingin melanjutkan tidur.
Nggak menunggu jawaban dari gua, Edi ngeloyor masuk kedalam kamar dan meraih kunci serta STNK motor yang semalam gua letakan di atas container plastik kecil tempat gua menyimpan baju-baju.
“Cad, minta minyak wangi sekalian…” Ujarnya berbisik di telinga gua.
“Di Tas!!” Respon gua sambil menunjuk ke arah tas gua yang tergeletak di lantai.
Edi dengan cepat, meraih tas gua dan mengeluarkan botol parfum dari saku tas bagian luar. Terdengar suara semprotan parfum berkali-kali. Gua bangun, dan melempar bantal ke arahnya. “Elo siram aja sekalian…” Ia tertawa kemudian bergegas pergi setelah melempar botol parfum ke arah gua.
Nggak beberapa lama, Edi kembali. Sambil menjulurkan kepalanya di ambang pintu ia berbisik; “Ssst.. Cad, cad… Ssst…”
Gua menggeser bantal yang menutupi kepala; “Apa lagi?”
“Ada cewek lo tuh…” Ucap Edi sambil menunjuk ke lantai bawah dan bergegas pergi.
Gua bergegas bangun, keluar dari kamar dan melongok dari teras kamar kosan gua yang kebetulan terletak di lantai dua. Dari sini terlihat, sosok cewek berambut panjang tengah berjalan menaiki tangga besi menuju ke kamar gua.
“SMS gw nggak dibales?” Tanyanya sambil berdiri tepat di depan gua, kepalanya ia tundukkan.
“Udah ngantuk semalem…” Gua menjawab, kemudian masuk kedalam kamar. Ia berjalan di belakang, menyusul gua masuk.
“Sampe jam berapa semalem?” Tanyanya.
“Jam 9an…” Jawab gua, sambil merapikan kasur dan bantal yang masih berantakan. Ia lalu duduk di atas kasur. Sementara gua bergegas masuk kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi. Di hari libur seperti sekarang ini, sepertinya agak ‘haram’ ya kalau harus bangun pagi seperti sekarang dan mandi.
“Udah sarapan?” Tanya gua sambil meraih dompet dari dalam tas, setelah selesai cuci muka dan menggosok gigi.
Ia menjawab dengan anggukan.
Gua lalu bergegas turun ke bawah, menuju ke warung makan yang berada tepat di seberang gedung kos-kosan gua. Sekitar 5 menit berikutnya, gua sudah kembali ke kamar, dengan bungkusan plastik di genggaman yang berisi gorengan dan dua botol minuman ringan.
Sebuah piring plastik menjadi alas dari gorengan yang baru saja gua beli. Sementara bungkus plastiknya sengaja nggak gua buang agar nanti piringnya bisa langsung kembali digunakan tanpa harus repot mencucinya. Alasan yang sama juga kami gunakan ketika harus minum dengan menggunakan gelas plastik sisa dari air mineral kemasan; agar praktis.
Gua duduk bersandar pada kusen pintu, kemudian menyulut sebatang rokok yang baru saja gua beli. Ia amat membenci saat gua merokok, dan kali ini gua sengaja merokok di depannya. Di saat-saat normal, bila kedapatan gua merokok di depannya, ia bakal langsung menutup hidungnya dan mengeluarkan akting andalannya; batuk yang dibuat.
Namun saat ini, ia nggak melakukan hal tersebut. Hanya terdiam dan menatap gua dengan pandangan sayu.
“Bi.. yang kemaren gw minta maaf ya…” Ucapnya pelan.
Gua balas menatapnya, kemudian mengangguk.
“Gua juga minta maaf. Tapi, permintaan maaf gua bukan karena harus nengokin Sasa. Tapi gua minta maaf Karena nggak seharusnya gua ngajak atau minta temenin lo kesana…” Gua balas meminta maaf kepadanya.
“...”
“... Besok-besok, gua kesana sendiri aja…”
“...” Sementara ia masih terdiam.
Gua lalu duduk di sebelahnya.
“Kar, Lo beneran cemburu sama Sasa, cemburu sama orang yang udah nggak ada?” gua bertanya.
Sekar menatap gua lama, kemudian mulai buka suara. “Masa iya, gw harus ngalah terus sama Sasa…” Ucapnya pelan sambil membetulkan posisi kacamatanya.
—
The Starting Line -Best of Me
tell me what you thought about
when you were gone and so alone
the worst is over
you can have the best of me
we got older but we're still young
we never grew out of this feeling that we wont give up
here we lay again
on two separate beds
riding phone lines
to meet a familiar voice
and pictures drawn from memory
we reflect on miscommunication
and misunderstandings
and missing each other too
much to have had to let go
we turn our music down
and we whisper
say what your thinking right now
tell me what you thought about
when you were gone and so alone
the worst is over
you can have the best of me
we got older but we're still young
we never grew out of this feeling that we wont give up
jumping to conclusions
made me fall away from you
i'm so glad that the truth
has brought back together me and you
we're sitting on the ground
and we whisper
say what your thinking outloud
tell me what you thought about
when you were gone and so alone
the worst is over
you can have the best of me
we got older but we're still young
we never grew out of this feeling that we wont give up
we turn our music down
and we whisper
we're sitting on the ground
and we whisper
we turn our music down
we're sitting on the ground
and next time i'm in town
we will kiss girl
we will kiss girl
tell me what you thought about
when you were gone and so alone
the worst is over
you can have the best of me
we got older but we're still young
we never grew out of this feeling that we wont
feeling that we cant
we're not ready to give up
we got older but we're still young
we never grew out of this feeling that we wont give up