Baru gw bersiap untuk menelpon Bian, pesawat telepon di ruang keluarga berdering. Gw bergegas menjawabnya. Surprisingly, suara Bian terdengar dari ujung sana. Duh, kangen deh denger suaranya!
Hati gw semakin berdebar kala mendengar jawaban Bian saat gw tanya; “lo kangen ya sama gw?
“Ya..” Dia menjawab singkat.
Walaupun setelahnya obrolan berlangsung singkat dan padat. Bahkan nyaris nggak ada 5 menit kami habiskan bicara di telepon. Iya, udah gitu aja. Tapi, buat gw sendiri, waktu yang sebentar itu, merupakan 5 menit paling mendebarkan sepanjang usia.
Besoknya, gw mulai kembali masuk ke sekolah. Selain Bian, tentu saja gw juga kangen beberapa teman-teman yang lain, salah satunya tentu saja Sekar dan Dita. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dan cukup mengganggu gw; Dita terlihat berbeda. Beberapa kali kedapatan, Dita mencuri pandang ke arah Bian. Dan saat Bian balik menatap ke arahnya, Dita justru berpaling, membuang muka dan tampak salah tingkah.
Yang bikin gw semakin curiga, hal tersebut nggak cuma terjadi sekali.
“Lo kenapa sih, Dit?” Tanya gw sambil berbisik kepadanya.
“Gapapa” jawab Dita singkat.
Nggak cukup puas dengan jawaban dari Dita, gw mencoba peruntungan; bertanya ke Bian. Walaupun, dengan cepat gw bisa menebak apa jawaban darinya.
“Lo sama Dita kenapa? gw perhatiin kayak ada yang aneh? lagi marahan? baru juga temenan, masa udah marahan…” Gua bertanya ke Bian.
“Nggak tau…” Bian menjawab santai dan sesuai dengan tebakan gw.
“Bener? nggak marahan?” Gw memastikan. Yang lalu dijawab dengan anggukan kepala olehnya.
Belum selesai investigasi gw perkara anehnya perilaku Dita belakangan ini. Masalah lain muncul; Rio. Sejatinya, Rio bukan cowok yang ‘biasa’ aja. Doi cukup ganteng, jago basket dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Bahkan sejak SMP, Rio cukup populer dan digandrungi oleh para cewek-cewek karena pesonanya yang luar biasa. Namun, entah kenapa Rio justru memilih gw. Dan, satu hal yang membuat gw merasa diri ini ‘aneh’ adalah tak adanya ‘percikan cinta’ yang muncul kala melihat sosok Rio.
“Sa, gw mau ngomong dong…” Ucap Rio sambil meraih lengan gw. Sontak gw berusaha melepaskan genggaman itu.
“Yaudah, ngomong aja..” ucap gw, ketus.
“Jangan disini…” Rio merespon, sementara matanya menatap ke arah Bian yang duduk tepat di sebelah gw, seakan memberi tanda kalau sosok Bian bakal jadi gangguan.
“Emang kenapa sih kalo Bian tau?” Gw berdalih.
Mungkin merasa kehadirannya mengganggu obrolan Gw dan Rio yang semakin nggak kondusif. Bian berdiri dan bersiap untuk keluar dari kelas.
“Mau kemana lo?” Hardik gw, sambil melotot ke arahnya.
“Ke belakang” Bian menjawab singkat, kepalanya menunduk sementara tangannya menunjuk ke halaman belakang sekolah.
“Duduk…” Gw memberi perintah sambil menunjuk ke arah kursinya.
Nggak mau mengganggu Bian dengan obrolan kami, Gw akhirnya menyetujui ajakan Rio dan bergegas menuju ke tempat yang cukup sepi untuk bicara. Satu-satunya tempat yang terpikir adalah Halaman belakang sekolah.
“Kenapa?” Tanya gw sambil menyilangkan tangan di dada dan berbalik ke arahnya saat kami berdua tiba di halaman belakang.
“Cowok yang lu suka, Bian kan?” Rio balik bertanya sambil menunjuk ke arah kelas.
“Iya..” Gw menjawab singkat.
“Kenapa lo bisa suka sama cowok gagu kayak dia?” Rio kembali bertanya.
Mendengar pertanyaannya barusan, emosi gw mulai tersulut. Darah gw yang sedikit, mulai terasa panas dan terbakar. Sambil mengepal tangan, mencoba menahan emosi, gw menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan; “Oh, jadi elo ngerasa keren banget? ngerasa paling sempurna? nggak ada orang yang lebih hebat dari elo? Tau apa lo soal Bian?”
“Gw nggak tau apa-apa! Begitu juga elo kan?” Responnya.
“...” Gw terdiam, bibir gw kelu. Nggak bisa menjawab pertanyaan dari Rio. Kali ini, untuk kali ini, pernyataan Rio ada benarnya. Gw, Rio, Sekar, Dita bahkan hampir semua anak yang bersekolah disini mungkin sama sekali nggak ada yang tau banyak tentang Bian.
“Lo yakin, lo suka sama cowok aneh yang nggak punya temen, dia bahkan nggak pernah ngomong, sa…” Rio menambahkan.
“Trus lo lebih baik dari Bian?” Gw balik bertanya.
“Iya!” Rio menjawab yakin.
“Nggak… Kesombongan lo aja udah jadi bukti lo nggak lebih baik darinya…” Gw merespon, kemudian pergi meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan ke kelas, gw meneguhkan hati, membuat janji untuk diri sendiri; ingin jadi orang yang tau segalanya tentang Bian, jadi satu-satunya orang yang ada buat dia. Gw mau jadi orang yang membuatnya merasa jadi manusia!
—
Kondisi gw sepertinya semakin gawat. Gw akhirnya harus collapse lagi. Perawatan di rumah nyatanya nggak membuahkan hasil yang maksimal, pada akhirnya gw harus ke rumah sakit. Pemeriksaan lanjutan dilakukan, kali ini prosesnya butuh waktu yang cukup panjang dan lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Hasil pemeriksaan yang keluar beberapa hari selanjutnya menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Sebenernya nggak terlalu mengejutkan sih buat gw, namun sepertinya Papi, Mami dan Resti cukup sulit menerima kenyataan kalau gw; menderita Leukimia. Pada diagnosa sebelumnya, dokter memberikan kemungkinan antara Thalasemia dan Leukemia. Jika, bernasib baik kemungkinan gw hanya mengidap Thalasemia yang bisa dibilang nggak separah Leukemia. Nyatanya, hasil pemeriksaan terakhir menyatakan sebaliknya.
Dan gw dengan sengaja nggak memberitahukan perihal diagnosa ini ke orang lain, termasuk Sekar dan Dita, apalagi Rio. Sedangkan Bian, akan gw beritahu sepulang dari rumah sakit.
—
Bian membungkuk tepat di depan gw. Setelah dipenuhi keraguan selama beberapa menit, akhirnya gw hinggap di punggungnya, Bian berdiri dan mulai menggendong gw. Tak terhitung berapa kali gw berusaha menyembunyikan kepala di belakang tengkuknya; malu! Biasanya, gw cukup percaya diri menghadapi orang, namun kali ini berbeda. Berada di gendongan cowok seperti Bian, di tempat umum dan jadi pusat perhatian tentu bukan hal mudah buat semua cewek. Dan, gw melampiaskan rasa malu, grogi yang bercampur senang dengan memberinya cubitan.
“Berat banget…” keluh Bian tepat saat kami tengah menyusul gerombolan siswi-siswi SMA lain berjalan di arah yang sama.
“Gw cuma 45 kilo ya…” Ucap gw berbisik di telinganya. Sementara tangan gw berusaha mencubit bagian tubuh manapun yang sanggup gw capai.
Beberapa menit berikutnya, kami sudah tiba di rumahnya. Kesan pertama yang gw dapat begitu memasuki rumahnya adalah ‘kosong’. Tentu saja bukan ‘kosong’ dalam arti sesungguhnya, rumah Bian tampak normal seperti layaknya rumah-rumah pada umumnya. Set Sofa panjang berbahan kulit berwarna coklat menyambut gw begitu masuk ke ruang tamu, sebuah lemari besar dengan berbagai macam pajangan keramik memisahkan ruang tamu dengan sebuah ruangan lain. Di ruangan ini juga terdapat sofa kecil dengan sebuah meja yang menghadap ke unit TV berlayar besar.
Gw berdiri diam memandang sekeliling. Akhirnya baru gw sadari kekosongan yang gw rasakan sebelumnya; tak ada satupun pigura foto terpasang di seisi ruangan.
“Rumah lo bersih ya bi…” Tanya gw, merujuk ke dinding yang sama sekali tanpa pajangan foto.
“Saking bersihnya sampe nggak ada foto satupun…” Gw menambahkan.
“Kenapa?” Gw bertanya lagi karena nggak mendapat jawaban.
“Apanya? Bian balik bertanya.
“Kenapa nggak ada foto?” gw kembali mengulang pertanyaan.
“Ya emang nggak ada aja..”
“Iya… gw tau nggak ada… tapi kenapa?..., why?”
“Ya… gua nggak punya foto..” Bian menjelaskan.
Bian kemudian bergegas mandi dan meninggalkan gw sendiri, duduk menunggu di ruang keluarga yang nyaman sambil menatap layar televisi yang baru saja dinyalakan. Beberapa menit kemudian, Bian kembali. Sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk, ia duduk di sebelah gw.
Sambil memainkan rambut, gw bersiap, ingin menceritakan diagnosa penyakit yang gw derita ke Bian.
“Bi…” Gw memanggil namanya.
“Ya..” Ia menjawab singkat, sambil menatap gw. Tatapan yang membuat gw akhirnya harus menunda cerita yang akan gw sampaikan.
“Cerita doong..” Ucap gw, berusaha mencari topik lain dengan cepat.
“Cerita apa?” Tanyanya.
“Apa aja, cerita masa SMP lo kek, SD kek, cerita Bokap lo, Nyokap lo, tetangga lo kek.. atau apa kek…”
“Hidup gua nggak menarik deh kayaknya…”
“Boong, buruan cerita…”
Bian lalu menghela nafas panjang. Matanya menatap kosong ke arah layar televisi, seperti tengah memikirkan sesuatu. Mungkin ia tengah menimbang apakah gw layak mendengar ceritanya.
“Gua nggak tau caranya, Sa…” Bian bicara. Dan untuk pertama kalinya ia menyebut gw dengan panggilan ‘Sa’. Disatu sisi, akhirnya gw menyadari kalau Bian benar-benar bukan sosok yang anti pergaulan dan introvert. Ia hanya tak tau cara berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik.
“Ok sekarang, dimulai dari perkenalan diri dulu…” Gw menginisiasi. Mulai sekarang, gw akan mengajarkan ke Bian, gimana caranya berkomunikasi dengan baik.
“Gimana?” ia bertanya.
“Iya, coba anggap gw orang yang baru lo kenal, trus lo ngenalin diri…” Gw menjelaskan
“Emmm… anu..eng…” Bian perlahan mulai bercerita namun masih tergagap.
“Buruan…”
Ia menghela nafas sebentar, kemudian dengan canggung mengangkat tangan sambil menyapa gw; “Halo..”
“Duh, bi… Jaman sekarang udah nggak ada orang kenalan pake ‘halo’..” ge memprotes tekniknya dalam memulai pembicaraan.
“Trus gimana?” Tanyanya.
“Gini nih..” Gw lalu menjelaskan langkah demi langkah. Sambil sesekali memberikan insight kepadanya tentang betapa pentingnya komunikasi dan sosialisasi dalam hidup.
Bian menganggukkan kepala beberapa kali saat mendengar penjelasan dari gw.
Menit berganti Jam, kami berdua larut dalam obrolan. Perlahan tapi pasti, Bian mulai terbiasa mengembalikan jawaban atau mengemukakan pertanyaan dengan kalimat penuh. Hanya saja, hal ini tentu masih harus dibuktikan dengan orang lain, selain gw.
Obrolan kami lalu terinterupsi, saat suara pagar depan terbuka. Disusul silau lampu mobil yang menembus jendela dan memantul ke dinding ruang tamu.
“Siapa?” Gw bertanya.
“Bokap…” Bian menjawab singkat. Jawabannya saat menyebut kata ‘bokap’ terdengar dingin.
Beberapa menit berikutnya suara pintu depan terbuka, disusul suara langkah kaki menuju ke arah dapur.
“Eh ada tamu…” Ucap sosok pria berusia sekitar 40-50 tahuanan, berwajah mirip Bian begitu melihat gw tengah duduk bersama Bian.
Gw berdiri, menghampiri Papahnya Bian, mulai memperkenalkan diri dan mulai sedikit berbasa-basi dengan pertanyaan-pertanyaan umum layaknya seorang remaja kepada orang tua temannya.
“Beli apa kek, Cad.. masa ada tamu nggak dibeliin apa-apa…” Ucap papahnya Bian selepas basa-basi kami selesai. Ucapannya barusan jelas membuat gw sedikit kaget, karena Bian dipanggil dengan nama belakangnya; Richard!
“Woooooowwww…. Bokap lo manggil nama belakang elo…” gw bicara ke Bian begitu papahnya pergi meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya.
“...”
“Gw boleh manggil nama belakang lo juga nggak, please…” Gw memohon ke Bian
“Terserah…” Jawabnya santai.
“Eh, nggak jadi deh… Setelah gw pikir-pikir, kayaknya Bian kedengeran lebih ‘ramah’ deh daripada ‘Icad’... lagian juga udah kebiasaan manggil bian, trus kalo ganti jadi Icad agak aneh ya? kayak manggil orang laen” Gw menganulir permohonan.
Setelahnya gw dan Bian bergegas keluar untuk membeli makan malam. Dan disaat itu, di malam itu, di bawah tenda dari terpal, untuk pertama kalinya dalam hidup gw makan lele. Ternyata enak!
Saat kembali ke rumah Bian, terlihat Papah-nya sudah kembali bersiap untuk berangkat. Mesin mobilnya sudah menyala, sementara pintu bagian penumpang dibiarkan terbuka. Dari dalam terlihat ia menenteng sebuah kemeja putih lengkap dengan jas hitam yang masih diselimuti plastik laundry kemudian menggantungnya di bagian belakang mobil.
Gw menatap Bian yang terlihat nggak begitu peduli dengan Papahnya. Ia hanya berlalu dan masuk kedalam rumah. Sementara gw berusaha kembali ngobrol dengan papahnya, seraya menyerahkan bungkusan makanan yang barusan kami beli di depan.
Beberapa menit kemudian, papahnya Bian berangkat.
“Bokap lo rajin ya bi?” Tanya gw sambil menjatuhkan diri diatas sofa. Sementara Bian nggak menjawab, ia hanya terdiam dan sebuah senyum sinis tersirat di wajahnya.
“Lo nggak begitu deket ya sama bokap lo?” Gw bertanya, menebak kemungkinan yang terjadi berbekal kejadian-kejadian tadi.
“...” Bian nggak menjawab.
“Kalo nyokap lo?” Gw kembali bertanya.
Bian masih terdiam, terlihat raut kesedihan yang mendalam di matanya. Berkali-kali ia menelan ludahnya, menandakan ketidaknyamanan dengan situasi seperti ini. Pelan, gw mendekat ke arahnya, lalu bersandar diatas pangkuannya sambil menatap wajahnya.
“Gw salah nanya ya bi?” Tanya gw
Bian menggeleng, ia masih terdiam.
“Khusus untuk yang ini, kalo lo nggak mau cerita gak papa kok bi…” Gw menambahkan.
“Lo mau denger cerita gua?” Tiba-tiba, Bian angkat bicara sambil tersenyum ke arah gw.
Gw mengangguk, setuju.
Bian menghela nafas kemudian mulai bercerita. Cerita tentang kesedihannya, cerita tentang masa lalunya.
—
Quote:
Bian kecil, kala itu ia duduk di kelas 2 SD. Hidupnya saat ini, penuh kebahagiaan. Walaupun harus sering berpindah-pindah sekolah dan tempat tinggal karena alasan pekerjaan papahnya, Bian kecil tetap mendapat perhatian luar biasa dari mamahnya. “Nggak punya teman nggak apa-apa, yang penting ada mamah…” ucap Bian menirukan suara dirinya ketika kecil.
Kebahagian Bian kecil kemudian terusik dengan kondisi mamahnya yang jatuh sakit. Berbulan-bulan Bian kecil harus ikut tinggal di rumah sakit untuk menemani mamahnya yang di rawat. Sementara, papahnya hanya datang sesekali untuk menjenguk dan mengurus administrasi. “Papah lebih sibuk bekerja…”
Hingga akhirnya kebahagiaan Bian kecil betul-betul direnggut.
Mamahnya meninggal dunia dalam pelukan Bian kecil. Bian yang belum mengerti apapun, yang bahkan belum hafal perkalian 9, Bian yang hanya mengenal mamahnya seumur hidupnya. Sementara, papahnya tak ada disisinya, masih sibuk bekerja.
Saking sibuk papahnya, dan sulitnya dihubungi akhirnya Mamah Bian harus dimakamkan tanpa kehadiran papahnya. Saat itu, sepanjang ingatannya; Bian hanya berdiri sendiri menatap gundukan tanah merah dimana mamahnya bersemayam. Tak ada pelayat, tak ada sanak famili yang menemaninya, hanya seorang petugas dari rumah sakit yang ikut membantu dan mengurus jenazah mamahnya.
Saat itu, secara diam-diam, Bian bahkan ‘mencuri’ segenggam bunga dari makam di sebelahnya. Hanya untuk memberi sedikit keharuman pada makam mamahnya yang terlihat polos.
Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi gw. Gw, saat seusia Bian kala itu, mungkin tengah merengek minta dibelikan boneka Hello Kitty seukuran lemari. Sementara di sisi lain, ada Bian kecil yang harus menanggung beratnya kehilangan orang yang disayanginya, di usia sekecil itu.
Quote:
Papahnya baru tiba menjemput Bian di rumah sakit 2 hari kemudian. Selama dua hari itu, Bian kecil hanya duduk diam di tepi ranjang sambil terus berharap mamahnya bisa hidup kembali. Sejak saat itu, kebencian Bian kepada ayahnya mulai tumbuh dan semakin lama semakin membesar.
Dari ceritanya, gw akhirnya menyadari betapa terpuruknya Bian tanpa support system yang seharusnya ada disisinya kala itu. Penyebab betapa pendiamnya Bian pun terungkap. Ia kehilangan kemampuannya berinteraksi karena selama ini Bian hanya ‘ngobrol’ ke mamahnya. Dan saat ‘pegangan’ itu hilang, Bian pun kehilangan arah dan perlahan-lahan tanpa sadar otaknya mengikis kemampuan komunikasi yang tak pernah digunakan.
“Sekarang lo tau kan?” Tanyanya ke gw.
“...”
“... Gua bahkan udah sendirian dari dulu…” Tambahnya.
Gw bangkit dari pangkuan dan kembali duduk di sebelahnya. Sementara mata gw masih berkaca-kaca, berusaha agar tangis ini tak meledak, gw memeluknya dan berbisik; “Sekarang kan ada gw bi…”
Dalam hati memendam rencana menceritakan tentang penyakit gw ke Bian. Kayaknya hari ini ia sudah cukup menderita dengan menceritakan kisah pilunya ke gw. Malam ini, gw ‘masuk’ jauh lebih dalam ke dunianya Bian. Dunianya yang gelap, kosong dan penuh derita. Namun, semakin dalam gw mengenalnya, semakin jauh gw tau tentang masa lalunya, semakin jatuh cinta gw dibuatnya.
—